Metodologi Istinbat Hukum KONSEP MASHLAHAH AL-SYATHIBI
urutan ketiga. Ia digunakan manakala suatu masalah belum ditemukan atau belum dijelaskan hukumnya dalam al-Quran atau sunnah.
26
Kedudukan al-ijtihad pada posisi ketiga menempati posisi yang ideal mengingat bahwa al-Quran sebagai sumber utama dalam hukum Islam,
bukanlan sumber yang memuat kaidah-kaidah hukum secara lengkap terinci. Umumnya ia hanya memuat kaidah-kaidah hukum yang bersifat fundamental.
Begitu pula sunnah Nabi, sepanjang mengenai soal „muamalah’, pada umumnya, hanya mengatur kaidah-kaidah yang bersifat umum pula. Oleh
karena itu, al-ijtihad sebagaimana disebutkan di atas berfungsi memperjelas secara rinci. Dengan maksud agar kedua sumber, yaitu al-Quran dan sunnah
Nabi dapat diterpakan pada atau dalam kasus-kasus tertentu dalam kehidupan masyarakat.
27
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa al-ijtihad merupakan suatu kebutuhan dan keniscayaan adanya. Al-ijtihad dalam kajian ushul fiqh dapat
dilakukan oleh secara kolektif atau ijtihad jama‟iy yang dikenal dengan ijma‟,
atau secara individual ijtihad fardyi yang selanjutnya dikenal dengan qiyas.
28
Ijtihad jama‟iy atau ijma‟ adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad Saw. pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah tentang suatu
26
Suparman Usman, Hukum Islam, h.37.
27
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.75.
28
Suparman Usman, Hukum Islam, h.52.
hukum syara, yang terjadi dalam bentuk ijma‟ sharih aktif
29
atau ijma‟ sukuty
pasif.
30
Adapun qiyas adalah proses deduksi menarik kesimpulan untuk menetapkan hukum terhadap suatu masalah yang tidak disebutkan hukumnya
dalam nash al-Quran atau sunnah dengan sesuatu yang sudah disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan adanya kesatuan
„illat hukum antara keduanya.
31
Metodologi istinbath al-hukm al-Quran, sunnah, dan al-ijtihad seperti yang dikemukan di atas digunakan oleh seluruh ulama ushul fiqh dari kalangan
sunni yang masih eksis hingga sekarang.
32
Seperti Hanafi,
33
Maliki,
34
Syafi’i,
35
29
Ijma‟ sharih aktif adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. kesepakatan itu dikemukan dalam sidang pertemuan
ijma‟, setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang dibahas. Ijma‟ seperti ini, menurut jumhur ulamat bisa dijadikan hujjah landasan hukum.
30
ijma‟ sukuty pasif adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja tanpa ada yang menolak pendapat
tersebut. Menurut jumhur ulama – walaupun terjadi perdebatan – ijma‟ seperti ini tidak dapat dijadikan
hujjah landasan hukum.
31
uparman Usma, Hukum Islam, h.61.
32
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.163.
33
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.164. Menurut mazhab Handafi, dalam menetapkan dalail atau sumber hukum Islam maka dilakukan dengan metodologi ijtihad. Ijtihad
dilakukan dengan metode al-ijtihad bi an-nusus dan al-ijtihad bi ghair an-nusus. al-ijtihad bi an-nusus adalah ijtihad dengan nash al-Quran dan sunnah Nabi jika tidak ditemukan dalam al-Quran.
34
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.166. Menurut Mazhab Maliki, dalam ber-istidlal pertamakali harus merujuk kepada al-Quran, jika tidak ditemukan maka merujuk kepada Hadits hadits
mutawatir, hadits masyhur, dan hadis ahad, dan bila belum ditemukan lagi maka dengan melihat fatwa sahabat yang tidak bertentangan dengan hadis
marfu‟, jika fatwa sahabat tidak ditemukan maka dengan metode ijma’ ulama, jika tidak menemukan ijmak ulama maka dengan qiyas, jika qiyas
bertentangn dengan maqashid maka harus menerapkan istihsan, jikat tidak dapat maka dengan istislah, zara’i dan ;urf adat.
35
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.169. Metodologi istidlal al- Syafi’i secara
berurutan adalah pertama ayat al-Quran, jika tidak ditemukan di dalamnya ia menggunakan hadis mutawatir maupun ahad, jika tidak ditemukan, maka ia melihat pada zahir an-nash al-Quran dan
zahir al-sunnah secara berurutan, dengan teliti mencari segi-segi kekhususanny. Jika tidak menemukan lagi ia berpegang pada ijmak Syafi’i hanya menerima ijma’ sahabat. Jikat ijma’ sahabat tidak ada,
maka metode yang digunakan adalah qiyas.
Hanbali,
36
dan Daud Zahiri.
37
Sebagaimana halnya ulama ushul fiqh tersebut, al-Syathibi juga menggunakan metodologi istinbat hukum di atas. Dimana al-
Syathibi menempatkan al-Quran sebagai sumber hukum Islam yang paling utama, disusul kemudian sunnah Nabi yang berfungsi untuk menjelaskan al-
Quran, dan al-ijtihad pada posisi terakhir untuk memahami al-Quran dan sunnah, mengingat bahwa al-Quran dan sunnah diturunkan memiliki maksud
dan kandungan yang hakikatnya hanya diketahui oleh Allah dan Rasul-Nya.
38
Akan tetapi, bila dilihat dalam penetapan teori mashlahah, al-Syathibi dalam al-muwafaqat-nya, lebih menekankan siafat kepastian
qath‟iy sebuah dalil dalam ushul fiqh
39
di samping dalil-dalil terperinci. Penekanan kepastian dalil ini merupakan upaya al-Syathibi dalam membangun premis fundamental
muqaddimah dalam teori hukmnya tersebut. Sebab, jika suatu teori hukum dibangun berdasarkan sumber-sumber hukum yang dapat mengurangi
kepastiannya, maka seluruh bangunan hukum yang dibentuknya menjadi dapat
36
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.173. Hanbali menetapkan al-Quran sebagai sumber tertinggi, jika dalil dalam al-Quran tidak ditemukan, maka ia merujuk pada sunnah hadis sahi
hah. Jika tidak ditemukan lagi, ia berpaling dan menggunakan ijma’ sahabat. Bila tidak ditemukan lagi ia mencari fatwa sahabat. Kemudia jika tidak ditemukan fatwa sahabat, maka ia mencari fatwa
tabi’in yang riwayatnya masyhur masih diperdebatkan. Namun bila fatwa tabi’in juga tidak ditemukan, maka ia menggunakan hadis dhaif dan mursal. Jika tidak ditemukan lagi maka ia
menggunakan qiyas.
37
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.176. Dalam beristidlal Daud Zahiri pertamakali berpegang pada zahir an-nas al-Quran. Jika tidak ditemukan, ia menggunakan zahir sunah dengan cara
menakwil atau menggali „illat- nya. Bila dalam al-Quran dan Sunah tidak ditemukan maka ia menggunakan ijma’ pascasahabat. Namun bila ijam’ juga tidak ditemukan maka ia menggunakan
aqwal sahabat. Jika aqwal sahabat tidak dijumpai juga, maka ia menerapkan teori istihsab iatau al- ibahah al-asliyyah atau al-
bara‟ah al-asliyyah.
38
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.120-121.
39
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, Lebanon: Dar Al-Kibat Bairut, 2004, h.18.
dipertanyakan, bahkan diragukan. Premis fundamental yang dimaksud al- Syathibi ini berupa premise rasional pikiran manusia, konvensional
kebiasaan, dan wahyu nash. Yang mana masing-masing premise tersebut memiliki kepastian yang jelas.
40
Kepastian premis-premis di atas menurut Hallaq, dengan mengutib pendapat al-Syathibi, ditentukan berdasarkan penelitian yang komprehensif
terhadap seluruh dalil, baik itu berbentuk teks nash al-Quran dan sunnah, ijima‟, qiyas, dan bukti-bukti kontekstual qara-ini al-ahwal.
41
Cara memahami dalil sebagai istinbath hukum seperti ini merupakan dasar dari
metode al-Syathibi dalam membangun teori dan argumentasinya dalam al- muwafaqat.
42
Metode seperti ini lebih lanjut disebut sebagai metode al- istiqra‟
al- ma‟nawi induksi tematik terhadap teks, yaitu suatu metode berpikir yang
tidak semata-mata menggunakan dalil tertentu, tetapi juga dengan cara mengumpulkan beberapa dalil, sehingga menjadi
qath‟i.
43
Mengenai al- istiqra‟ al-ma‟nawi induksi tematik ini, al-Syathibi
sebagaimana diuraikan Hallaq, menggunakan prinsip-prinsip yang bersifat umum kulliyyat dalam membentuk dasar-
dasar syari’ah. Masing-masing prinsip tersebut dibentuk oleh kumpulan prinsip-prinsip khusus
juz‟iyyat, dimana prinsip-prinsip khusus ini memiliki makna atau kandungan yang sama
40
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.243.
41
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.244.
42
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.245.
43
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.124.
yang membentuk sebuah prinsip khusus. Dengan demikian sebuh juz‟iy harus
merupakan bagian dari kully, karena jika juz‟iy berdiri sendiri ia tidak dapat
dipergunakan sebagai dasar bagi teori hukum. Jika juz‟iy tidak dapat digunakan
karena berdiri sendiri, maka begitu juga dengan kully tidak dapat digunakan sebagai dasar bagi teori hukum tanpa menyebutkan semua
juz‟iy yang tergabung di dalamnya.
44
Melalui metode al- istiqra‟ al-ma‟nawi ini, al-Syathibi menarik
kesimpulan terhadap teori hukumnya tentang tujuan penetapan syariat maqashid al-syariah yaitu mashlahah manusia.
45
Para ulama juga menamakan mashlahah sebagai tujuan Allah selaku Pencipta syariat qashd al-
Syari‟. al- Syathibi juga mengutip pendapat Mu’tazilah yaitu, bahwa Tuhan mempunyai
tujuan dalam mengadakan syariat, yaitu untuk menjaga kemaslahatan manusia mashalih al-ibad.
46
Sehingga dengan demikian menurutnya bahwa kriteria mashlahah adalah tegaknya kehidupan dunia demi tercapainya kehidupan
akhirat.
47