Fase Ketidakmampuan Tindak Pidana ambtsdelicten dalam KUHP Fase Kepres No. 40 Tahun 1957 jo Regeling op de Staat van Oorlog en

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Studi Kasus LC Fiktif BNI 46, 2007. USU Repository © 2009 pembuktian dan dpoerhatikan dalam pembuktian unsur ini ialah kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menujukkan bahwa Pasal 2 ayat 1 UU PTPK mengamanatkan agar tindak pidana korupsi harus dipahami sebagai delik Formil dan bukannya delik materil. Dari pemahaman seperti ini, maka harus disimpulkan bahwa adanya tindak pidana korupsi atau untuk membuktikan seseorang bersalah atau koorporasi dapa disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, otomatis cukup hanya dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur pembuatan melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

B. Kronologis Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia Secara kronologis perkembangan peraturan tindak pidana korupsi di Indonesia di bagi dalam 8 delapan fase 31

1. Fase Ketidakmampuan Tindak Pidana ambtsdelicten dalam KUHP

untuk Menanggulangi Korupsi , yaitu : Dalam KUHP teradapat beberapa ketentuan perbuatan oleh pejabat dalam menjalankan jabatannya, seperti : Bab XXVIII KUHP yaitu khususnya terdapat perbuatan penggelapan oleh pegawai negeri Pasal 415 KUHP, membuat palsu atau memalsukan Pasal 416 KUHP, menerima pemberian atau janji Pasal 418, 31 Seiring dengan perkembangan peraturan terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, sebelumnya hanya dikenal 6 enam fase perkembangan peraturan korupsi Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1999, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal.1-12 dan kini menjadi 8 delapan perkembangan yaitu ditambah perkembangan fase ketujuh mengenai UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan fase kedelapan tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi disingkat KAK 2003 yang diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 2006. Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Studi Kasus LC Fiktif BNI 46, 2007. USU Repository © 2009 419, dan 420 KUHP serta menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum Pasal 423, 425, dan 435 KUHP. Pada hakekatnya, ketentuan-ketentuan tundak pidana korupsi ini ternyata kurang efektif dalam menanggulangi korupsi seperti diintrodusir Sudjono Dirdjosisworo sebagai berikut : ”Tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan dalam pasal-pasal KUHP saat itu dirasakan kurang bahkan tidak efektif menghadapi gejala-gejala korupsi saat itu. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan yang dapat memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap pelaku- pelakunya.” 32

2. Fase Kepres No. 40 Tahun 1957 jo Regeling op de Staat van Oorlog en

van Beleg Stb. 39-582 jo 40-79 Tahun 1939 tentang Keadaan darurat Perang Dengan tolak ukur referensi ilmu Hukum, perkembangan fase kedua ini dikenal munculnya peraturan-peraturan mengenai korupsi, yaitu : a. PrtPM-061957 tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi b. PrtPM-081957 tanggal 27 Mei 1957 tentang Penilikan Terhadap Harta Benda c. PrtPM-0111957 tanggal 01 Juli 1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Barang-barang. 33 Konsideran dari PrtPM-061957 mengatakan sebagai berikut : ”Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi ... dan seterusnya.” 34 32 Soedjono Dirdjosisworo, Masalah Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Pustaka Peradilan Jilid IX, Jakarta: Penerbit Mahkmah Agung RI, 1995, hal. 172. 33 Lilik Muliyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, Bandung: Alumni, 2007, hal. 6. 34 Jur Andi Hamzah, Op. Cit.,hal. 41. Dalam PrtPM-061957 mulai diperkenalkan batasan korupsi sebagai : Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Studi Kasus LC Fiktif BNI 46, 2007. USU Repository © 2009 a. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain atau kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan perekonomian negara; b. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ataupun dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kekuasaan yang diberikan padanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan materiel baginya. 35 Dalam perkembangan selanjutnya, karena melihat fakta-fakta sendiri ipso facto dan menurut dan menurut hukum ipso jure terdapat kekurangefektifan peraturan tersebut, kemudian lahirnya PrtPM-081957. Pada peraturan ini berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf a Penguasa Militer mempunyai kewenangan mengadakan penilikan harta benda terhadap setiap orang atau badan didaerahnya yang kekayaannya diperoleh dengan mendadak atau mencurigakan. Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf b, pengertian harta benda disini adalah sama dengan harta benda yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 PrtPM-061957, yaitu ”segala penghasilan baik tetal maupun yang tidak tetap, segala yang simpanan dimanapun juga, surat-surat berharga, mata uang, barang-barang yang berupa tanah, sawah, perkebunan, perusahaan, rumah, bungalow atau bangunan lain, kendaraan bermotor, perabot rumah tangga yang mahal, mas, intan, barang-barang perhiasan dan lain sebagainya yang berlimpah- limpah, semua itu baik yang atas nama diri sendiri, suami atau istri, anaknya, orang lain maupun atas nama suatu badan yang diurusnya.” 36 Akan tetapi, peraturan PrtPM-081957 tidak lama, kemudian diganti dengan Prt-PM-0111957, dalam konsiderans butir a ditentukan perlunya diadakan aturan tentang kekuasaan Penguasa Militer untuk menyita danmerampas harta benda yang asal mulanya diperoleh dengan perbuatan melawan hukum 37 35 Lilik Mulyadi, Op. Cit., 36 Ibid, hal,.7-8 37 Dalam ketentuan Pasal 1 PrtPM-0111957 tanggal 1 Juli 1957 yang dimaksud dengan perbutan melawan hukum adalah tiap perbuatan atau kelalaian yang: a.mengganggu hak dan dalam Pasal 2 disebutkan bahwa ketentuan tersebut dibuat guna memberi Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Studi Kasus LC Fiktif BNI 46, 2007. USU Repository © 2009 dasar kepada kewenangan Penguasa Militer untuk dapat menyita dan merampas barang –barang yang tidak sengaja atau karena kelalaian tidak ditearangkan oleh pemiliknyapengurusnya, harta benda yang terang siapa pemilik atau pemilik pembantu harta benda dianggap diperoleh secara mendadak dan mencurigakan. Dari ketiga peraturan Penguasa Militer ini, secara eksplisit Soedjono Dirdjosisworo menyimpulkan : “Di samping hal-hal yang berhubungan dengan keadaan darurat sebagaimana telah diuraikan dimuka, maka pada ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut tercermin bahwa pihak penguasa pada saat itu menetapkan kehendak politik polotical will dengan tekad yang sungguh- sungguh berusaha memberantas korupsi di Indonesia. Kemudian, kehendak politik yang dituangkan dengan peraturan-peraturan Penguasa Militer tersebut merupakan ”modal” berharga untuk dikembangkan dan disempirnakan dalam rangka membuat undang-undang tentang penanggulangan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dan citra masyarakat Indonesia.” 38

3. Fase Keppres No. 225 Tahun 1957 jo UU No.74 Tahun 1957 jo. UU No. 79