BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA PRINT.docx

(1)

BAB VIII

TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

Umat manusia dalam milenium ketiga, hidup dalam zaman yang mengalami perubahan besar di segala bidang: “Dewasa ini umat manusia berada dalam periode baru sejarahnya, masa perubahan-perubahan yang mendalam dan pesat berangsur-angsur meluas ke seluruh dunia. Perubahan-perubahan itu timbul dari kecerdasan dan usaha kreatif manusia, dan kembali mempengaruhi manusia sendiri, cara-cara menilai serta keinginan-keinginannya yang bersifat perorangan maupun kolektif, caranya berpikir dan bertindak terhadap benda-benda maupun sesama manusia. Demikianlah kita sudah dapat berbicara tentang perombakan sosial dan budaya yang sesungguhnya, serta berdampak juga atas hidup keagamaan” (GS 4).

Transformasi dan perubahan-perubahan tentu saja memberikan kepada Gereja tantangan-tantangan baru dan membawa tugas-tugas baru pula. Paling tidak ada dua tantangan-tantangan utama dan paling mendesak, yaitu: evangelisasi baru dan inkulturasi Gereja dan Injil.

Evangelisasi baru itu merupakan kebutuhan mendesak yang harus dikerjakan di dalam bangsa-bangsa dan masyarakatnya, baik yang telah menerima Kabar Injil maupun yang belum mengenal dan menerimanya. Inkulturasi iman (Gereja dan Injil) merupakan tuntutan mendasar terutama bagi Gereja-gereja lokal yang baru di tanah-tanah misi. Iman hendaknya diwartakan dalam humus budaya suatu bangsa sendiri agar mendalam dan mengakar, sehingga menjadi Gereja lokal yang otentik.

8.1. EVANGELISASI BARU

Selama masa kepausan Yohanes Paulus II, kiranya sejarah perkembangan Gereja dapat dibedakan dalam dua masa, dan sebagai titik demarkasinya adalah tahun 1989, tahun yang cukup penting bagi sejarah manusia.

Periode pertama, adalah sebelum tahun 1989, yang memiliki tema dominan kemanusiaan kristiani; dan kedua adalah periode setelah tahun 1989, yang memiliki tema dominan evangelisasi baru.

Ada beberapa kecemasan sekaligus kemendesakan pada masa itu menyangkut umat manusia dan Gereja. Kemendesakan pertama adalah perlindungan terhadap martabat manusia: martabat manusia, pribadi, nilai, hak-haknya, pendidikannya adalah tema-tema yang terus menerus direfleksikan dalam sebagian besar Ensiklik Yohanes Paulus II: dari Ensiklik programatis

Redemptor Hominis tentang Penebusan Manusia hingga Mulieris Dignitatem tentang Martabat dan Panggilan Kaum Wanita (1988).

Kemudian kemendesakan kedua adalah soal tugas Gereja. Pada titik ini Gereja dituntut untuk kembali kepada tugasnya yang utama: pewartaan Injil, evangelisasi baru. Tema ini hadir atau diungkapkan dalam banyak diskursus atau ajaran Yohanes Paulus II, terutama dalam beberapa Ensikliknya yang terakhir: Ensiklik Redemptoris Missio tentang Amanat Misioner Gereja (1990) dan Ensiklik Centesimus Annus tentang Ajaran Sosial Gereja Masa Kini (1991). Dan atas inisiatif Paus pada waktu itu, tema di atas juga menjadi tema utama Konferensi para Uskup Amerika Latin:


(2)

Hal pertama yang dilakukan menyangkut evangelisasi baru adalah menjernihkan konsep. Kemudian tugas berikutnya adalah menjabarkan kemendesakannya, tujuan-tujuannya, metode dan strateginya. Istilah evangelisasi baru memaksudkan “pewartaan Injil yang kedua”, kepada mereka yang telah mengenal dan menerima Injil tetapi lantas meninggalkannya. Dan kasus ini terjadi hampir di seluruh belahan dunia dewasa ini.

Pemaknaan yang paling tepat tentang konsep evangelisasi baru adalah seperti yang ditegaskan dalam Konferensi Umum para Uskup Amerika Latin IV (Santo Domingo, 1992), yang dipilih sebagai tujuan utama karya Gereja, yaitu menguji kedalaman dan kesungguhan evangelisasi di dunia selama ini dan menyadari tantangan-tantangan baru yang muncul dalam upaya evangelisasi di dunia modern dan post-modern.

Tema evangelisasi baru telah digarisbawahi dengan jelas oleh Paus dalam diskursus atau pidato Konferensi tersebut, yang menyumbangkan suatu orientasi yang pasti atau jelas terhadap Konferensi itu sendiri, menyatukannya sebagai tujuan teologis dan pastoral yang tepat dalam melihat “tanda-tanda zaman”.

Dalam Konferensi itu juga dimunculkan beberapa kritik terhadap konsep yang mengaburkan atau memalsukan konsep evangelisasi baru, sehingga membelokkan sentralitas Kristus dan pesanNya. Konsep yang mengaburkan evangelisasi baru adalah suatu usaha pewartaan “injil baru” dengan menghindari atau membuang pesan Injil yang dianggap tidak cocok atau sulit diterima oleh mentalitas modern atau post-modern. Paus memberi penegasan bahwa evangelisasi baru tidak bisa hanya melihat isi, melainkan juga sikap atau cara, gaya, model, kesungguhan, program, metode kerasulan, bahasa, yang harus ada agar “jawaban (Injil) bagi manusia sekarang ini, mampu atau bisa diterima, meyakinkan, dan mendalam tanpa sama sekali memalsukan atau memodifikasi isi pesan Injil”. Kecuali hal tersebut di atas, masih menurut Yohanes Paulus II

“evangelisasi baru harus menyumbang suatu jawaban yang integral, siap sedia, dan tanggap, yang memperteguh atau menguatkan iman orang beriman, dalam kebenaran fundamentalnya, dalam dimensi individualnya, dalam keluarga dan sosial”.

Akhirnya, para Uskup Amerika Latin, dalam Dokumen Santo Domingo no. 24 menyepakati suatu definisi evangelisasi baru: “Evangelisasi baru adalah sarana yang kompleks, aksi dan sikap atau perilaku yang berguna untuk mewartakan Injil dalam dialog aktif dengan modernisme dan post-modernisme. Tetapi juga upaya untuk menginkulturasi Injil dalam situasi aktual budaya-budaya sekitar kita”. Isi dari evangelisasi baru tetap sama sepanjang masa, yaitu: “Yesus Kristus, Injil (Kabar Gembira) Allah Bapa”. Sasaran evangelisasi baru adalah “kelompok, masyarakat, lingkungan hidup dan kerja, yang bercirikan ilmu pengetahuan dan teknik dan oleh sarana-sarana komunikasi sosial”.1 Tujuan evangelisasi baru adalah untuk “membentuk

manusia dan komunitas yang matang dan dewasa dalam iman dan memberi jawaban kepada situasi baru yang sedang kita hidupi, yang diakibatkan oleh perubahan sosial dan budaya modernisme”. Di antara jalan-jalan mendesak, di samping tugas atau kewajiban personal (perorangan) dan dengan kesaksian, juga dengan pengkajian ekspresi-ekspresi baru, yang paling dekat dengan realitas kultural dewasa ini: “perlu mencari ekspresi atau ungkapan baru dalam berevangelisasi (menginjil) yang sesuai dengan lingkungan atau masyarakat yang dicirikan kultur urban (perubahan masyarakat desa ke kota) dan menginkulturasi Injil dalam bentuk-bentuk baru dengan budaya yang dihidupi masyarakat setempat”.

1 Bdk. Tema Hari Komunikasi Sosial sedunia ke-44 (16 Mei 2010): “Imam dan Pelayanan Pastoral di Dunia Digital: Media Baru demi Pelayanan Sabda”.


(3)

8.1.1. Umat Kristiani dalam Misi

Hal pertama yang harus dilakukan, untuk memberi jalan kepada evangelisasi baru adalah menyadari bahwa secara tradisional ada beberapa tempat yang telah memiliki dasar kristiani, praktisnya seluruh Eropa dan Amerika (Latin). Tetapi harus disadari pula bahwa di benua lain, terutama di Asia maupun di Afrika masih tetap merupakan tanah atau zona misi. Tetapi sekarang banyak tempat yang disebut Kristen hanya tinggal nama: dalam mayoritas besar penduduknya iman dalam Kristus sebagai satunya Tuhan dan Penyelamat, dan dalam Gereja sebagai satu-satunya sarana keselamatan, secara tragis menghilang. Perlahan-lahan tetapi pasti, budaya yang mendominasi bukanlah budaya Kristen melainkan budaya “kekafiran” atau pagan.

Dari kenyataan ini, Gereja perlu mencari tahu secara serius sebab-sebab mengapa iman akan Kristus, yang telah berabad-abad mengakar dan meragi di setiap aktivitas pribadi dan sosial lambat laun memudar. Penyebabnya tentu saja sangat kompleks dan secara substansial erat berhubungan dengan mentalitas atau paham-paham tertentu, misalnya ateisme, di mana telah dikatakan secara gamblang oleh Konsili Vatikan II, terutama dalam Konstitusi pastoral Gaudium et Spes tentang Gereja dalam Dunia Modern (art. 19-20): “Mereka yang dengan sengaja berusaha menjauhkan Allah dari hatinya serta menghindari soal-soal keagamaan, tidak mengikuti suara hati nurani, maka bukannya tanpa kesalahan. Akan tetapi kaum beriman sendiri pun sering memikul tanggung jawab atas kenyataan itu. Sebab ateisme, dipandang secara keseluruhan, bukanlah sesuatu yang asali, melainkan lebih tepat dikatakan timbul karena pelbagai sebab, antara lain juga karena reaksi kritis terhadap agama-agama, itu pun diberbagai daerah terutama terhadap agama kristiani. Oleh karena itu dalam timbulnya ateisme itu umat beriman dapat juga tidak kecil peran sertanya, yakni sejauh mereka – dengan melalaikan pembinaan iman atau dengan cara memaparkan ajaran sesat atau juga karena cacat cela mereka dalam kehidupan keagamaan, moral dan kemasyarakatan – harus dikatakan lebih menyelubungi dari pada menyingkap wajah Allah yang sejati maupun wajah agama yang sesungguhnya” (GS 19).

Kecuali karena sebab-sebab pendangkalan iman dalam komunitas Kristen tersebut yang sudah terjadi, maka perlu diperhatikan agar upaya evangelisasi baru melihat kembali mengenai kondisi spiritual, moral dan kultural, “religiusitas” manusia pada zaman kita dewasa ini. Siapa manusia itu, yang meskipun dikelilingi oleh aneka bentuk budaya dan sejarah, oleh banyak monumen seni dan tulisan-tuisan sastra yang membicarakan Kristus dan Injil, tetap tidak memahami lagi makna, nilai, penting dan kebenarannya? Dapat dikatakan bahwa manusia-manusia ini telah mengalami

de-kristianisasi, tidak mau tahu (acuh tak acuh) dan tidak jarang menjadi seteru pesan Injil. Apa saja keyakinan dan keraguan mereka, penantian dan frustasi mereka, pengharapan dan kegelisahan atau kekecewaan mereka yang menjadikan jauh dari Kristus. Para misionaris ad gentes (kepada para bangsa) sebelum memulai kerja mereka di tanah-tanah misi harus mengerti bahasa, adat istiadat, kebudayaan, nilai-nilai, harus mengenal budaya dan kepercayaan (religiusitas) masyarakat yang hendak diinjilinya.


(4)

Kita kiranya dapat menyebut beberapa ciri atau karakter manusia (dan masyarakat) modern atau post-modern sebagai berikut:

a. Manusia sekular. Dunia sekarang telah diresapi udara sekularisasi: udara yang tidak mengecualikan siapa saja, yang meracuni kesadaran, dengan tidak hanya menghapus iman akan Kristus, tetapi juga jejak atau benih-benih Allah: semboyan paham sekularisasi adalah: menghilangkan segala hipotesis adanya Allah dan seandainya ada Allah tidak akan memberi sesuatu; ini adalah semboyan yang selalu menginspirasi manusia post-modern. Proses

“sekularisasi ini, yaitu pembuangan setiap motivasi dan finalitas religius dari setiap tindakan hidup manusia, berlangsung secara cepat”.2

Dalam majalah Teologi, yakni Concilium, yang terbit 1980, ada suatu studi tentang pengaruh sekularisasi bagi hidup religius di Eropa, terutama di Prancis. Seorang sosiolog Prancis, J. Audinet menulis demikian:

“Prancis adalah negara di mana agama bukan merupakan kewajiban bagi penduduknya. Institusi, identitas individu atau tindakan sosial, setiap referensi religius dikecualikan dari hidup kolektif. Dunia politik, usaha atau pendidikan tertutup dari setiap intervensi religius (keagamaan). Orang beriman senang dianggap sebagai anggota suatu masyarakat non-religius (awam). Demikianlah, agama tidak mempunyai tempat dalam setiap keputusan dan dalam inisiatif kolektif”.3

Setiap agama, termasuk kristianisme telah dipinggirkan oleh societas (masyarakat) dan dari kebudayaannya dan telah menjadi suatu hal yang melulu privat, personal, urusan masing-masing pribadi. Kita dapat mendaftar pilar-pilar penting yang mendukung pembentukan budaya bagi suatu masyarakat, yakni: simbol-simbol, struktur-struktur, adat-istiadat, nilai-nilai, institusi. Dan lantas kita dapat mengamati nilai-nilai kekristenan apa, yang masih tinggal dalam pilar-pilar masyarakat sekular seperti yang kita hidupi.

Dalam dimensi simbolis, yaitu bahasa (filsafat, sastra, puisi dll), kristianisme telah hilang. Bahasa masyarakat kita, baik resmi maupun umum, tidak lagi bahasa kekristenan, yang mengungkapkan konsep-konsep dan hukum-hukum atau nilai-nilai kekristenan. Terutama dalam sarana-sarana komunikasi massa, yang mengontrol dimensi simbolis, kehadiran kekristenan sangat minim. Kristianisme juga lenyap dari institusi-institusi politik, ekonomi, yuridis dan pendidikan. Dasar perundang-undangan yang mengatur perilaku dan menuntun kebiasaan-kebiasaan masyarakat sipil tidak lagi mandatum novum Kristus: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”(Mrk 12: 30-31). Sehingga manusia tidak lagi menjaga perintah dasar dari setiap etika: “Jangan membunuh”. Misalnya, semakin maraknya aborsi, eutanasia, pembunuhan dll.

Terutama kristianisme telah lenyap dari dimensi axiology, dimensi akan nilai, yang menunjukkan jiwa dari suatu masyarakat. Nilai-nilai khas kristiani: cinta kasih, kepercayaan,

2 Yohanes Paulus II, “Pidato kepada para Uskup di Emilia Romagna”, dalam Obsservatore Romano, 2 Maret 1991, hlm. 5.


(5)

pengharapan, doa, kerendahan hati, pengampunan, penghargaan terhadap martabat pribadi dan hidup, bukan lagi menjadi sumber inspirasi dan tuntunan manusia post-modern sekarang ini. Nilai-nilai yang dikejar-kejar dengan berbagai jalan dan sarana oleh masyarakat kita, sekarang ini adalah kesehatan, kesenangan, uang, kekuasaan, ilmu pengetahuan, efisiensi, kecantikan, perkembangan dll. Tentu saja itu bukan merupakan nilai-nilai yang buruk dari dirinya sendiri, dapat juga merupakan nilai-nilai yang baik, tetapi akan menjadi jauh dari nilai kekristenan dan dengan sendirinya buruk jika diyakini sebagai nilai-nilai yang absolut (mutlak).

Para Uskup Amerika Latin dalam Dokumen Puebla (1979) mengatakan bahwa penyebab utama kejahatan yang meracuni masyarakat modern dan post-modern, adalah pemutarbalikan nilai-nilai, artinya manusia mengganti nilai-nilai spiritual dan moral dengan nilai-nilai material-duniawi, terutama materialisme, konsumerisme, hedonisme, individualisme,

indiferentisme dan relativisme. “Materialisme individualistis telah menjadi nilai tertinggi bagi sebagian besar masyarakat sekarang ini, yang mengancam communio dan partisipasi sehingga menghilangkan solidaritas; dan materialisme kolektivistis yang membawahkan atau menurunkan persona (pribadi manusia) kepada kekuasan negara. Konsumerisme, dengan keinginannya untuk selalu memiliki lebih dan lebih lagi, sedang menggerogoti manusia modern (dan post-modern) sehingga dengan sendirinya menutup nilai-nilai Injili keugaharian dan kesederhanaan. Hilangnya makna kejujuran publik dan privat, frustrasi dan hedonisme telah mengakibatkan perilaku-perilaku buruk tertentu, misalnya penyalahgunaan obat-obat terlarang, korupsi, penyimpangan seksual dll”.4

Ciri atau karakter manusia modern dan post-modern, kurang lebih bersangkut paut secara langsung dengan sekularisasi.

b. Manusia tanpa prinsip; mempunyai prinsip tetapi tidak jelas. Manusia modern dan post-modern bukan hanya tidak mengakui prinsip-prinsip agama Kristen, tetapi juga cenderung menolak setiap prinsip moral keutamaan dan kebenaran. Mereka adalah manusia yang terjebak dalam agnotisisme, nihilisme, “pemikiran lemah atau dangkal”. Bagi mereka tidak ada lagi prinsip-prinsip di mana dapat mendasari sebagai suatu pembenaran rasional atau yang masuk akal. Segala hal yang dapat dibaca adalah opini yang pada akhirnya merupakan opini massa, dan juga opini kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi. Bercermin dari kenyataan ini Paus Yohanes Paulus II pernah mengatakan: “Situasi demikian merupakan status tanpa roh kritis yang mencukupi dan juga tanpa discernment (pembedaan atau pemilahan), dalam suatu lingkungan hidup yang ditandai apa yang disebut “pemikiran dangkal”, yang menghantar kepada sikap untuk mereduksi segalanya kepada perbedaan yang sederhana, dan tidak mampu untuk menilai dan membedakan apa yang benar dan apa yang palsu atau salah. Keruntuhan yang sama dari ideologi-ideologi dengan sangat mudah membawa, terutama bagi orang-orang muda, kepada sikap individualisme, menutup diri sendiri, konsumerisme, ketidakpedulian terhadap hal-hal publik dan perkembangan perjalanan iman yang otentik”. Manusia modern atau post-modern yang tidak lagi dituntun oleh cahaya iman, dan juga oleh cahaya akal budi, akan membenarkan: abortus, eutanasia, homoseksualitas, perzinahan, kebohongan, penipuan, pemerasan, kekerasan, balas dendam dll.


(6)

Paham agnostisisme dan pemikiran dangkal sejak lama telah membawa korban orang-orang beriman. Hal ini telah diingatkan oleh Paus Paulus VI: “Sekarang ini, - tulis Paulus VI dalam suatu pidato di depan anggota Komisi Teologi Internasional (1974), - semakin banyak orang menolak prinsip-prinsip aturan moral objektif. Keadaan demikian datang dari manusia modern yang selalu mengalami kegelisahan. Mereka tidak tahu lagi mana yang baik dan mana yang jahat, dan kriteria mana untuk membedakannya; sebagian umat Kristen mengalami keraguan, telah kehilangan kepercayaan terhadap konsep moral natural, baik dalam ajaran-ajaran positif Revelasi (Wahyu) maupun Magisterium”.5

c. Manusia yang mementingkan nilai-nilai penunjang dari pada nilai-nilai utama. Manusia cenderung semakin menjauhkan diri dari Allah. Mereduksi realitas manusiawi sendiri kepada melulu dimensi somatis (ketubuhan) dengan menerima tesis Nietzsche yang menurutnya manusia hanya tubuh dan tidak ada lain lagi selain tubuh. Manusia post-modern selalu melekat dan terjerat kepada harta duniawi dan kepada sesuatu yang dapat membantu untuk memiliki segala sesuatu. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia post-modern sebagian besar adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mereka terus percaya teguh kepada hal-hal penunjang itu, juga ketika hasilnya tidak selalu menguntungkan manusia. Misalnya, perkembangan teknologi komunikasi dan persenjataan. Manusia cenderung mempercayakan secara eksklusif kepada hal-hal yang material, “kebudayaan dan ilmu pengetahuan tidak selalu beriorientasi kepada pencarian kebenaran, tetapi cenderung memberi dasar otonomi, sampai berpendapat bahwa secara moral itu sah atau baik segala sesuatu yang secara teknik mungkin: pemikiran terutama tertuju kepada eksperimen embrio manusia dan manipulasi genetis”.6

d. Manusia yang semakin sadar dan peka akan hak-hak asasi manusia. Meskipun ada kekeringan atau padang gurun spiritual yang dialami oleh manusia post-modern, kita masih dapat bertemu dalam jiwa mereka jejak-jejak kristianisme. Antara lain kesadaran atau sensibilitas akan hak asasi manusia dan solidaritas bagi sesamanya. Kepekaan akan hak-hak asasi manusia membawa manusia untuk dengan berani ikut terlibat melindungi mereka yang ditindas. Di antara hak-hak asasi manusia tempat pertama adalah kebebasan dan otonomi.

Cakrawala solidaritas terus meluas secara positif: manusia post-modern mengerti bahwa sesama (orang lain) bukan hanya anggota keluarganya, saudara-saudara sedaerah, sebangsa, satu ras atau suku, melainkan semua keturunan Adam, artinya seluruh penduduk planet bumi ini tanpa kecuali. Kita dapat melihat, bagaimana sikap solidaritas negara-negara lain, ketika wilayah atau negara tertentu mengalami bencana alam, gempa bumi, kelaparan, tekanan politik, penindasan dll. Juga kesadaran akan persoalan ekologi, yang merupakan ungkapan dalam mencintai alam, dapat diinterpretasikan secara positif sebagai jejak-jejak atau benih-benih kristianisme, meskipun kadang sikap tersebut dibarengi tujuan atau kepentingan tertentu, tanpa didasari sama sekali motif religius, kristiani, dan adikodrati. Sensibilitas

5 Bdk. L’Osservatore Romano, 18 Desember 1974, hlm. 2.

6 Yohanes Paulus II, “Pidato kepada para Uskup di Emilia Romagna”, dalam L’Osservatore Romano, 2 Maret 1991, hlm. 5.


(7)

terhadap nilai-nilai tertentu yang berakar dari kekristenan dan dapat dipandang sebagi suatu orientasi religius membangun batu loncatan positif bagi karya evangelisasi baru.

8.1.3. Tema-tema dan Bahasa Evangelisasi Baru

Secara substansial, evangelisasi baru tidak berbeda dengan evangelisasi ad gentes (kepada para bangsa). Seperti diungkapkan dalam Ensiklik Redemptoris Missio tentang Amanat Misioner Gereja: “Di lain pihak, batas-batas antara reksa pastoral kaum beriman, evangelisasi yang baru dan kegiatan misioner yang khusus tidak dapat dipisah-pisahkan secara jelas, dan tidak masuk akallah untuk menciptakan tembok-tembok pemisah di antara mereka ataupun untuk menempatkan mereka dalam kotak-kotak yang mutlak saling tersekat” (RM 34). Kecuali itu, hal yang dikatakan oleh Redemptoris Missio berkaitan dengan misi atau perutusan ad gentes (kepada para bangsa), berlaku juga bagi evangelisasi baru.

Meskipun sama kadar kemendesakannya maupun tujuannya, penerapan evangelisasi baru tidak bisa sejalan secara penuh dengan apa yang ada dalam misi atau tugas perutusan ad gentes. Sebenarnya, “situasi-situasi tidaklah sama di mana-mana. Sembari mengakui bahwa pernyataan-pernyataan tentang tanggung jawab misioner Gereja tidaklah dapat dipercaya, jikalau mereka tidak didukung oleh suatu komitmen yang serius terhadap evangelisasi baru di negara-negara secara tradisional Kristen, tampaklah tidak dapat dibenarkan menyamakan situasi dari orang yang tidak pernah mengenal Yesus Kristus dengan situasi orang yang telah mengenal Dia, menerima Dia dan yang kemudian menolak Dia, sementara terus tinggal dalam suatau kebudayaan yang sebagian besarnya telah diresapi oleh asas-asas dan nilai-nilai Injil. Dari sudut iman, ini adalah dua situasi yang berbeda secara mendasar” (RM 37).

Tujuan dari evangelisasi baru – seperti yang ditegaskan dalam Ensiklik tersebut – bukan hanya ditemukan dalam “daerah-daerah yang memiliki akar-akar Kristen lama dan kadang-kadang di Gereja-gereja lebih muda juga, di mana seluruh kelompok yang dibaptis telah kehilangan makna iman dalam kehidupan, atau bahwa tidak lagi memandang diri mereka sendiri sebagai anggota Gereja, serta mengarungi suatu kehidupan yang jauh menyimpang dari Kristus dan InjilNya. Dalam hal ini apa yang diperlukan adalah suatu ‘evangelisasi yang baru’ atau ‘proses penginjilan kembali (re-evangelisasi)’” (RM 33).

Kadar atau tingkat evangelisasi baru identik atau sama dengan misi (tugas perutusan) ad gentes, yaitu mengikuti Kristus. “Efektivitas hanya dapat ditemukan dalam Kristus, yakni sebagai batu yang kokoh di mana dibangun atau didirikan hidup dan seluruh masyarakat, menjadikan kaum beriman supaya tidak takut dari segala bentuk kesulitan dan hambatan. Rumah itu tidak akan roboh di bawah terpaan hujan, banjir yang menerjang dan angin kencang penuh ancaman, ketika didirikan di atas batu yang kokoh itu”.7

Tetapi kepada kadar atau tingkat itu (mengikuti Kristus) hanya dapat dicapai setelah manusia menjalani tahap-tahap penting dan tahap-tahap itu adalah: pembangunan kembali manusia dan pertobatan.

a. Proto-evangelisasi: pembangunan kembali manusia. Dengan mempelajari kondisi spiritual manusia dewasa ini (post-modern) tampak bahwa mereka ada dalam situasi kurang memiliki prinsip atau dasar yang kokoh. Pada akhirnya setelah lama berada dalam proses sekularisasi


(8)

manusia tidak hanya “membunuh Allah”, tetapi juga menyebabkan kematian dirinya sendiri: telah membunuh roh, jiwa dan nilai-nilai absolut. “Dalam dunia modern – tulis Ensiklik

Redemptoris Missioada kecenderungan untuk mereduksikan (menyempitkan) manusia dalam dimensi horisontalnya semata-mata. Tetapi tanpa suatu keterbukaan kepada Yang Mutlak, apakah jadinya dengan manusia itu? Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan di dalam sejarah umat manusia, suatu sejarah yang penuh dengan darah yang tertumpah atas nama ideologi-ideologi atau pun karena rezim-rezim politis yang telah berikhtiar membangun suatu ‘kemanusiaan yang baru’ tanpa Allah” (RM 8).

Tugas pertama evangelisasi baru adalah membangun kembali manusia, artinya sebelum mewartakan Kabar Gembira Kristus, perlu memproklamasikan kebenaran penuh manusia. Perlu kembali kepada manusia, kepada manusia integral; di mana proyek kemanusiaan penuh yang sudah ada dalam kebijaksanaan purba (Plato, Aristoteles, Plotino) telah dilukiskan kepada suatu model ilahi. Evangelisasi baru harus merupakan evangelisasi fundamental, yang artinya tertuju kepada dasar-dasar, akar-akar, pembangunan kembali prinsip-prinsip yang telah dilemahkan atau diancam oleh agnostisisme, nihilisme dan pemikiran dangkal. Harus merupakan suatu evangelisasi manusiawi, meliputi manusia dalam seluruh dimensi: fisik, kultural, spiritual dan religius. Harus merupakan evangelisasi akal budi (rasio) di samping kesadaran: evangelisasi yang menggarisbawahi hak-hak dan kewajiban akal budi, yaitu kebenaran. Karena akal budi diberikan kepada manusia untuk menyadari akan kebenaran, setiap kebenaran, tetapi terutama kebenaran manusia.

Evangelisasi baru itu harus memperjuangkan sungguh-sungguh melawan pelemahan akal budi. Evangelisasi baru harus membela dengan sungguh-sungguh martabat pribadi manusia, nilai mutlak dan tidak terbatas, yang selalu meminta perhatian yang besar dan penghormatan yang pantas. Keberanian dan kekonsistenan Yohanes Paulus II dalam membela hidup dapat menjadi suatu contoh bentuk proto-evangelisasi: “Sangat mendesak suatu aksi pastoral yang mencakupi akar-akar paling dalam dari pilihan-pilihan personal dan sosial dan mengantar kepada pengembalian nilai religius dan sosial akan kehidupan. Di sinilah letak kunci dari semua: dalam makna dan dalam nilai yang menentukan hidup”.8 Evangelisasi baru harus menyuarakan dengan lantang “kebenaran proyek atau rencana ilahi akan hidup dan akan pemeliharaan hidup. Tentang tema ini, sekali lagi Gereja dipanggil untuk menjadi garam yang memberi rasa dan yang melindungi dari kerusakan. Evangelisasi baru harus menyampaikan pewartaan kabar baik ini: Allah, Pencipta hidup, mempunyai proyek atau rencana istimewa demi kebahagiaan dan keabadian bagi setiap orang. Dia hanya meminta supaya manusia tersangkut akan proyek atau rencana ini, untuk mempercayakan diri kepada kasihNya, mengarahkan diri kepadaNya, seluruh hidup pribadi dan sosial, dengan menerima untuk mengenalNya, mencintaiNya dan melayaniNya”.9 Evangelisasi baru harus menekankan terus menerus mengenai nilai-nilai mendasar (fundamental), yang merupakan nilai-nilai yang menuntun dan membentuk manusia, nilai yang mempersatukan dan tidak memecahbelah dan nilai yang langgeng dan tidak sementara. Nilai-nilai itu adalah kebenaran, kehendak baik, kemurahan hati, kasih, keadilan, perdamaian, solidaritas dll.

8 Ibid. 9 Ibid.


(9)

Bagian dari proto-evangelisasi di atas secara langsung merupakan pembangunan kembali manusia individu atau menyangkut pribadi manusia. Ada bagian lain yang secara khusus merujuk beberapa aspek dari kelompok manusia, yaitu societas atau masyarakat. Di sini perlu disadari fakta bahwa hubungan masyarakat sekarang ini telah berkembang dan meluas (melewati batas-batas): umat manusia telah menjadi bagaikan satu keluarga. Sekarang ini, Gereja harus menjadi promotor dan pendukung suatu proyek kultural yang berdimensi global atau mendunia. Masih menyangkut proto-evangelisasi masyarakat (societas), Gereja harus menjadi penggerak dan pembela konsep pembangunan yang baru, didasarkan atas kebenaran dan keadilan sehingga dapat menyumbangkan kebaikan bagi semua anggota masyarakat secara merata. Ensiklik Redemptoris Missio 59 menegaskan bahwa “melalui pesan Injil, Gereja memberikan suatu daya kekuatan untuk pembebasan yang mendorong memajukan pembangunan justru karena dia mengarah menuju pertobatan hati dan pertobatan cara berpikir, membantu memajukan pengakuan akan martabat setiap orang, mendorong kesetiakawanan, komitmen dan pelayanan akan sesamanya, dan memberikan tempat kepada setiap orang dalam rencana Allah, yaitu membangun Kerajaan perdamaian dan keadilan, yang telah dimulai dalam kehidupan ini. [...]. Pembangunan manusia berasal dari Allah, berasal dari model Yesus Kristus – Allah dan manusia – dan mesti kembali lagi kepada Allah” (RM 59). Kemudian Ensiklik juga menambahkan bahwa “sumbangan Gereja dan evangelisasi kepada pembangunan manusia tidak saja menyangkut perjuangan melawan kemiskinan material dan keterbelakangan di dunia Selatan belaka, melainkan juga mencakup dunia Utara, yang cenderung terperangkap ke dalam kemiskinan moral dan kemiskinan spiritual, yang disebabkan oleh ‘kemajuan yang berlebih-lebihan’. Sebuah jalan pikiran tertentu, yang tidak dipengaruhi oleh suatu pandangan keagamaan dan yang tersebar luas di beberapa bagian dari dunia dewasa ini, didasarkan pada gagasan bahwa meningkatnya kekayaan dan kemajuan ekonomi dan pertumbuhan teknik adalah cukup bagi manusia untuk dapat berkembang pada tataran manusiawi. Namun suatu pembangunan yang tanpa jiwa semacam itu tidak dapat memuaskan umat manusia dan suatu kemewahan yang berlebih-lebihan adalah sama berbahayanya seperti kemiskinan yang berlebih-berlebih-lebihan” (RM 59). b. Pertobatan. Sementara kita mengupayakan pembangunan manusia dan masyarakat,

evangelisasi baru memberi jalan pada saat yang sama kepada aksi yang pada akhirnya harus bermuara dalam pertobatan, yaitu kembalinya manusia kepada Kristus. Pertobatan adalah karya Allah, seperti diajarkan oleh teologi. Tetapi dalam karya Allah memerlukan Gereja dan para pembawa pesan Injil (pewarta). Dan karena itu, pertobatan merupakan anugerah, tetapi sekaligus juga suatu keharusan dan tugas bagi semua.

c. Mengikuti Kristus. Bertobat berarti kembali kepada Kristus. Sebagai tema utama, pusat dan tujuan dari evangelisasi baru, sama seperti evangelisasi ad gentes (kepada para bangsa), tidak bisa lain selain Kristus. Sebagaimana dikatakan dalam Ensiklik Redemptoris Missio: “Inti pokok pewartaan adalah Kristus yang disalibkan, wafat dan bangkit: melalui Dia kita benar-benar dibebaskan secara penuh dari kejahatan, dosa dan kematian; melalui Dia Allah memberikan ‘hidup yang baru’ yaitu hidup yang ilahi dan abadi. Inilah ‘Kabar Baik’ yang mengubah manusia dan sejarahnya dan yang semua orang berhak untuk mendengarkannya”.


(10)

Dan sebelumnya telah dikatakan: “Semua bentuk kegiatan misioner diarahkan kepada pewartaan ini, yang menyingkapkan dan memberikan jalan masuk ke dalam misteri yang tersembunyi selama berabad-abad dan diperkenalkan dalam Kristus (bdk. Ef 3: 3-9; Kol 1: 25-29), misteri yang ada di inti terdalam dari tugas perutusan dan hidup Gereja, sebagai tempat bergantung dan kembalinya semua karya penginjilan” (RM 44).

Bertobat kepada Kristus berarti juga mengakui bahwa Dia adalah satu-satunya Penyelamat, sumber Kasih, sumber hidup dan kedamaian; berarti juga mengenal bahwa hanya Dia yang memiliki Sabda kehidupan kekal. Bertobat kepada Yesus Kristus berarti mempercayakan diri untuk mengikutiNya, dengan perlu selalu menyadari bahwa mengikuti Kristus harus dibayar “dengan harga mahal” (seperti dikatakan oleh Bonhoffer): adalah suatu keikutsertaan yang meminta penyangkalan diri dan pengurbanan.

Perhatian kepada evangelisasi baru kepada kebudayaan, terutama kebudayaan yang mulai mengalami krisis iman Kristen di seluruh belahan bumi, diangkat secara hidup dalam Ensiklik

Centesimus Annus tentang Ajaran Sosial Gereja Masa Kini (1 Mei 1991). Dalam Ensiklik ini ditegaskan bahwa Gereja memiliki kewajiban untuk menyampaikan ajaran sosialnya benar-benar atas nama evangelisasi baru terhadap kebudayaan dan masyarakat. “’Evangelisasi baru’, yang dewasa ini sangat dibutuhkan oleh dunia dan yang seringkali kami tekankan, di antara unsur-unsurnya yang paling pokok harus mencakup pewartaan ajaran sosial Gereja”(CA 5).

Tetapi sebenarnya meliputi apa saja evangelisasi kebudayaan itu? Secara substansial meliputi

purifikasi (pembersihan) dan pengangkatan kebudayaan masa kini, misalnya “budaya” materialistik, hedonistik dan egoistik ke arah nilai-nilai kemanusiaan, individual dan sosial, seperti yang diwartakan dan dijalankan oleh Yesus Kristus: kebenaran, kemurahan hati, keutamaan, kasih, keadilan, kemiskinan, penghargaan akan hidup, martabat pribadi manusia, solidaritas dll. Singkatnya suatu kebudayaan kembali kepada kekristenan di mana manusia menjadi anak Allah dan dicintai sebagai saudara. “Dalam konteks itu, - tulis Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Centesimus Annus, - perlu diingat pula bahwa evangelisasi (pewartaan Injil) pun meresap dalam kebudayaan bangsa-bangsa, dengan mendukung kebudayaan dalam perjalanannya menuju kebenaran dan dalam proses penjernihan dan pengayaannya. Akan tetapi bila kebudayaan mengungkung diri dan berusaha melestarikan unsur-unsur yang sudah usang, serta menolak segala pertukaran pandangan dan diskusi mengenai kebenaran tentang manusia, kebudayaan itu mandul dan mulai merosot” (CA 50). Hal ini tidak berarti bahwa evangelisasi baru yang dilakukan Gereja mau melenyapkan kebudayaan lokal, kebudayaan nasional atau benua-benua, yang dilestarikan sebagai warisan paling luhur dari masyarakat, tetapi justru hendak memasukkan atau meresapi kedalamnya

jiwa kristiani yang selalu merupakan jiwa Katolik, artinya universal: ini adalah tantangan besar dalam evangelisasi baru di dunia. Evangelisasi baru itu juga hendak membuka lebar-lebar pintu bagi Kristus dari sisi kebudayaan, suatu kebudayaan baru yang tidak lagi sempit, melainkan bersifat universal.


(11)

8.2. INKULTURASI GEREJADAN INJIL

Pada Sidang IV Konferensi para Uskup Amerika Latin di Santo Domingo (Republik Domenikan, 12-18 Oktober 1992), untuk pertama kali tema inkulturasi diangkat sebagai tema utama. Dalam sidang itu ditekankan prinsip-prinsip inkulturasi iman Kristen dan sambil menunjukkan bahwa prinsip-prinsip itu perlu ditampakkan dalam seluruh pengungkapan hidup umat dan menuntun setiap tindakan Gereja.

Gereja menyadari bahwa sekarang ini di mana-mana memerlukan lebih inkulturasi kristianisme yang sesuai, supaya benih-benih Injil meresapi sampai ke akar dalam jalinan kultural suatu bangsa, merasuk dalam jiwanya dan tidak hanya tinggal sebagai fakta personal dan privat. Umat Allah yang baru, yakni Gereja dengan kehadirannya harus menyuburkan dengan kasih semua orang disekitarnya, menyebarkan kasih bukan hanya dalam pribadi-pribadi, melainkan juga dalam seluruh struktur dan institusi masyarakat, dengan demikian akan mentransformasi (mengubah) struktur dan institusi yang penuh kebencian dan dosa ke dalam struktur dan institusi kasih dan rahmat.

Inkulturasi itu perlu pertama-tama dalam Gereja-gereja partikular untuk menjadikan benar-benar “partikular” (khusus, khas, istimewa) lokal: menginkarnasi (mendaging) dalam manusia, bangsa dan supaya bisa mengatakan kepada setiap orang “aku adalah daging dari dagingmu”. Inkulturasi itu penting agar tidak hanya individu, tetapi juga seluruh bangsa menjadi bagian “Tubuh Kristus”.

Tema inkulturasi begitu mendesak, baik dalam bidang historis (sejarah) maupun dalam bidang teoritis. Dalam bidang historis, karena seluruh sejarah kristianisme selalu bergumul dengan berbagai kebudayaan, menjadi ragi untuk suatu transformasi dan penciptaan. Dalam bidang teoritis, karena itu inkulturasi berkaitan dengan kemendesakan inkarnasionistik yang merupakan inti dari kristianisme; tetapi bagaimanapun juga inkarnasi tetap merupakan misteri yang tidak mudah dipahami dan dihidupi.

Guna mengetahui apa itu inkulturasi dan apa saja prinsip-prinsip dan norma bagi aktualisasinya, penting terutama diberi penjelasan sekitar konsep kebudayaan dan inkulturasi. Hal lain yang perlu kita lihat adalah hubungan antara Injil dan iman dengan Gereja di satu pihak dan hubungan Injil dan iman dengan kebudayaan di lain pihak. Lantas kita akan melihat dasar-dasar teologis inkulturasi, prinsip-prinsip dan metodenya.

8.2.1. Sejarah dan Pengertian Inkulturasi

Mengapa inkulturasi Gereja dan Injil diyakini sebagai tantangan besar sekarang ini? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditelusuri dalam fakta bahwa hanya baru-baru ini, berkat para antropolog kebudayaan, telah dimengerti pentingnya kebudayaan baik dalam hidup masing-masing pribadi maupun hidup masyarakat yang lebih luas.

Antropologi kebudayaan itu sendiri merupakan ilmu mutakhir di antara ilmu-ilmu pengetahuan sosial. Ilmu ini mulai berkembang akhir abad XIX, tetapi kehadirannya telah membuka jalan baru yang sangat penting bagi studi filosofis akan manusia dan masyarakat, yaitu kebudayaan itu sendiri. Dalam studi filosofis manusia ditemukan bahwa dimensi kultural bagi manusia sangat esensial: manusia di samping makhluk hidup, rasional, bebas tetapi juga makhluk


(12)

kultural. Kultur itu membedakan manusia dengan makhluk hidup yang lain. Sama halnya dengan masyarakat. Berkat studi para antropolog kultural tampak bahwa yang menjadi karakter khas suatu masyarakat dan bangsa bukan hanya agama, seni, politik, tetapi secara umum adalah kebudayaan (kultur), karena kebudayaan itu mencakup seluruh struktur suatu masyarakat dan seluruh hasil karyanya.

Karena menyadari hal itu, Gereja tidak tinggal diam (acuh tak acuh) dengan persoalan ini: bahwa kebudayaan itu penting baik bagi pribadi maupun masyarakat. Berikut kita akan melihat dokumen-dokumen yang menyatakan perkembangan dan perubahan baru kultural Gereja:

- Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini: dalam Bab II, (art. 53-62) yang berbicara secara khusus mengenai kebudayaan.

“Termasuk ciri pribadi manusia bahwa ia hanya dapat menuju kepenuhan kemanusiaannya yang sejati melalui kebudayaan, yakni dengan memelihara apa yang serba baik dan bernilai pada kodratnya. Maka di manapun dibicarakan hidup manusia, kodrat dan kebudayaan berhubungan erat sekali” (GS 53).

- Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi dari Paus Paulus VI, suatu magna charta dari evangelisasi, yang menyatakan bahwa perutusan atau misi Gereja yang mengevangelisasi (menginjili) kebudayaan-kebudayaan merupakan tugas esensial atau penting.

“Perlu penginjilan (evangelisasi) – bukan dalam cara dekoratif, seperti lapisan superfisial, tetapi dalam cara yang hidup, mendalam dan sampai ke akar-akarnya – kebudayaan dan kebudayaan-kebudayaan manusia, dalam arti yang kaya dan menjangkau luas yang istilah-istilah ini ada dalam Konstitusi Gaudium et Spes, berangkat selalu dari pribadi (persona) dan selalu kembali kepada hubungan pribadi-pribadi di antara mereka dan dengan Allah. Injil dengan demikian merupakan evangelisasi, dan tidak mengidentikkan dengan kebudayaan tertentu, dan lepas bebas atau tidak bergantung dari seluruh kebudayan-kebudayaan. Terutama Kerajaan, yang diwartakan Injil, telah dihidupi oleh manusia-manusia yang secara mendalam berhubungan erat dengan suatu kebudayaan, dan bangunan Kerajaan tidak bisa tidak dapat dipahami dari unsur-unsur kebudayaan dan dari budaya-budaya manusiawi. Meskipun lepas bebas berhadapan dengan kebudaya-budayaan-kebudaya-budayaan, Injil dan evangelisasi tidak perlu bertentangan dengan mereka, tetapi mampu untuk meresapi semua, tanpa memperalat satu pun. Kerusakan hubungan antara Injil dan kebudayaan tidak diragukan merupakan drama zaman kita, juga telah terjadi dengan yang lain. Sehingga perlu melakukan segala upaya menyangkut evangelisasi budaya, lebih tepatnya kebudayaan-kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan itu harus diperbaharui melalui perjumpaan dengan Kabar Gembira. Tetapi perjumpaan ini tidak akan menghasilkan, jika Kabar Gembira tidak diwartakan” (EN 20).

- Ensiklik Redemptoris Missio, terutama art. 52-54 berbicara secara eksplisit dan panjang lebar tentang inkulturasi, sebagai moment penting bagi aktivitas misioner: “dan perlunya keterlibatan seperti itu telah menandai ziarah Gereja sepanjang sejarahnya, tetapi dewasa ini hal itu menjadi lebih penting (mendesak) lagi”. Inkulturasi didefinisikan sebagai “proses masuknya Gereja ke dalam kebudayaan para bangsa” (art. 52), “suatu ‘proses yang mendalam dan menyeluruh’, yang mencakup pesan Kristen dan juga refleksi serta praktek Gereja” (art. 52). Tetapi juga disadari bahwa inkulturasi itu merupakan “proses yang sulit,


(13)

oleh karena ia harus sama sekali tidak boleh membahayakan kekhususan dan keutuhan iman Kristen” (art. 52).

Konsekuensi dari inkulturasi itu berlangsung timbal balik: dia membentuk secara mendalam baik bagi Gereja yang berevangelisasi (menginjil) maupun bagi komunitas masyarakat yang terevangelisasi (diinjili):

“Melalui inkulturasi, Gereja menjelmakan (mendagingkan) Injil dalam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda dan serentak membawa masuk para bangsa bersama dengan kebudayaan-kebudayaan mereka ke dalam persekutuan Gereja sendiri. Gereja menyampaikan nilai-nilainya sendiri kepada mereka; serentak pada saat yang sama Gereja mengambil unsur-unsur yang baik yang sudah ada dalam kebudayaan-kebudayaan itu serta memperbaharuinya dari dalam. Melalui inkulturasi, Gereja, pada pihaknya, menjadi suatu tanda yang dapat lebih dimengerti mengenai siapa Gereja itu, dan merupakan sarana tugas perutusan yang lebih efektif. Karena kegiatan di dalam Gereja-gereja lokal itulah, maka Gereja universal sendiri diperkaya dengan bentuk-bentuk ungkapan dan nilai-nilai dalam berbagai sektor kehidupan Kristen, seperti evangelisasi, peribadatan, teologi dan karya-karya cinta kasih. Gereja akhirnya dapat mengetahui misteri Kristus dan mengungkapkannya secara lebih baik, sambil terus didorong untuk melakukan upaya pembaharuan yang berkelanjutan” (RM 52).

Setelah mendefinisikan natura (kodrat) dan tugas-tugas inkulturasi, Ensiklik menegaskan beberapa instruksi dan prinsip-prinsip di mana penting untuk meneguhkan dalam praktek inkulturasi: kepada komunitas gerejawi yang sedang berkembang diingatkan supaya: a)

“secara perlahan-lahan mampu mengungkapkan pengalaman Kristen mereka dalam bentuk-bentuk dan cara-cara yang orisinal yang sesuai dengan tradisi-tradisi kebudayaan mereka sendiri, asalkan saja bahwa tradisi-tradisi itu selaras dengan tuntutan-tuntutan objektif dari iman itu sendiri”; b) “bekerja dalam persekutuan atau hubungan yang erat dengan Gereja-gereja partikular dari wilayah yang sama dan dengan seluruh Gereja, dengan meyakini bahwa hanya melalui perhatian kepada Gereja semesta dan sekaligus kepada Gereja partikular mereka akan mampu menerjemahkan harta karun iman ke dalam berbagai bentuk ungkapan yang sah” (RM 53).

Upaya inkulturasi tersebut harus dituntun oleh dua prinsip: 1) keselarasan atau kesesuaian dengan Injil; b) communio (persekutuan) dengan Gereja universal. Dengan memperhatikan dua prinsip ini akan mampu untuk menghindari kesalahan ganda, yaitu “alienasi (keterasingan) dari kebudayaan” di satu pihak dan “sikap sangat berlebihan menghargai atau menilai suatu kebudayaan” di lain pihak (bdk. RM 54).

- Dokumen Konferensi Umum para Uskup Amerika Latin IV di Santo Domingo (1992). Dokumen tersebut secara aktual merupakan Magisterium gerejawi paling sistematis dan lengkap menyangkut inkulturasi Gereja dan Injil. Dengan mengkonfrontasikan dengan kebudayaan dan mempertimbangkan kegiatan Gereja dengan unsur-unsur yang berasal dari dunia kebudayaan. Kita dapat mengamati dari judul atau tema konferensi: “Evangelisasi


(14)

baru, pewartaan kemanusiaan dan kebudayaan kristiani”. Dan lebih jelas lagi dalam sub temanya: “Suatu kebudayaan baru bagi evangelisasi baru”.

Dalam pidato penutupan Konferensi tersebut, Yohanes Paulus II menegaskan kembali pentingnya dan begitu mendesaknya inkulturasi: “Sekarang ini semakin disadari pentingnya upaya keras dan kepekaan istimewa untuk menginkulturasi (menjelmakan) pesan Yesus, agar memberi keyakinan bahwa nilai-nilai Kristen kiranya dapat mentransformasi benih-benih berbagai kebudayaan, dengan menyucikannya, jika hal itu memang perlu, dan meresapinya dengan kebudayaan kristiani yang dapat memperbaharui, memperluas dan mempersatukan nilai-nilai historis masa lampau dan masa kini agar mampu menjawabi tantangan dunia ini”. Bagi Yohanes Paulus II, inkulturasi merupakan “pusat, sarana dan tujuan dari evangelisasi baru”.

Keinginan para Uskup Amerika Latin tentang inkulturasi adalah untuk memasukkan sebagai semacam pengakuan iman sendiri yang dapat menjadi prolog (pembukaan) dari seluruh dokumen. Salah satu bagian dari pengakuan iman yang panjang menyatakan: “Yesus Kristus masuk ke dalam hati manusia dan mengundang semua kebudayaan untuk membiarkan diri dituntun oleh RohNya menuju kepenuhan, dengan mengangkat apa yang baik dari kebudayaan-kebudayaan itu dan membersihkan hal-hal yang ditandai dosa. Setiap evangelisasi harus merupakan inkulturasi Injil. Dengan begitu setiap kebudayaan dapat memiliki nilai kristiani, artinya selalu merujuk kepada Kristus dan dinspirasikan oleh Dia dan oleh pesan-pesanNya. Yesus Kristuslah ukuran setiap kebudayaan dan setiap karya atau perbuatan manusia. Inkulturasi Injil merupakan perintah mengikuti Yesus dan sangat penting untuk memulihkan wajah dunia yang kabur (bdk. LG 8)”.

Sebagaimana telah dikatakan bahwa dokumen tersebut menguraikan tema inkulturasi secara sistematis, dengan menjernihkan terutama pengertian atau konsep dan kemudian menghubungkannya dengan evangelisasi, sarana dan lingkungan evangelisasi. Inkulturasi tentu saja mengungkapkan beberapa konsep yang berkaitan dengan kultur atau kebudayaan. Kebudayaan tersebut harus dipahami dalam seluruh kekayaan makna antropologisnya, sebagai kediaman, tempat khusus bagi keberadaan manusia, sebagai “ladang untuk mengungkapkan seluruh hal yang manusiawi dalam hubungan dengan alam dan dimensi sosial masyarakat”. Dalam Dokumen Santo Domingo juga diberikan dasar teologis inkulturasi, yaitu inkarnasi:

“Ketika Yesus dalam inkarnasi menyatakan dan mengungkapkan diri secara manusiawi, kecuali dosa, pada saat itulah Sabda Allah masuk dalam kultur atau kebudayaan. Dengan demikian, Yesus Kristus adalah patokan atau ukuran dari semua yang adalah manusiawi, juga bagi kebudayaan. Dia berinkarnasi (menjelma menjadi daging) dalam kebudayaan bangsaNya, membawa ke dalam setiap kebudayaan historis anugerah kesucian dan kepenuhan. Seluruh nilai dan ungkapan kultural yang dapat diarahkan kepada Kristus meluhurkan hal yang secara otentik manusiawi” (no. 228).

Inkulturasi adalah moment penting dari evangelisasi: “inkulturasi merupakan pusat, sarana dan tujuan evangelisasi baru” (no. 230). Inkulturasi itu mencakupi semua dimensi Gereja dan


(15)

semua struktur societas (masyarakat), tetapi terutama bersentuhan dengan nilai-nilai:

“merupakan proses yang mendorong pengenalan kembali nilai-nilai Injili” dari satu pihak dan “pengenalan kembali nilai-nilai baru yang sesuai dengan pesan Kristus”, di pihak lain.

“Melalui inkulturasi tersebut diharapkan masyarakat menemukan karakter Kristen dari nilai-nilai tersebut, dan dengan demikian menghargai dan memeliharanya”. Agar evangelisasi itu efektif, maka perlu berinkulturasi baik dalam cara berada maupun dalam cara hidup kebudayaan-kebudayaan kita, dengan memperhatikan keunikan atau kekhasan suatu kebudayaan. Dengan demikian, evangelisasi baru akan terus berjalan dalam garis inkarnasi Sabda (no. 30).

Dengan memahami evangelisasi dalam kerangka inkulturasi dan juga kerangka pembebasan seperti yang telah dibahas dalam Konferensi Umum para Uskup Amerika Latin sebelumnya (Medellin dan Puebla), Konferensi di Santo Domingo menekankan evangelisasi secara lebih luas dan mendalam. Tentu saja tetap aktual tugas-tugas sebelumnya, yakni pembebasan dan (option for the poor) pilihan kepada kaum miskin, namun sekarang cakrawala diperluas, karena lingkungan kebudayaan tentu lebih luas dan kompleks dari pada dunia politik dan kemiskinan. Kebudayaan itu selalu berkaitan dengan kemanusiaan; dan semua hal yang merupakan buah dari inisiatif dan karya manusia, baik sebagai individu maupun kelompok sosial. Kebudayaan itu “universal”, karena alasan itu, maka dapat merupakan tanah atau lahan subur dan ideal untuk penyebaran benih-benih iman kristiani, yaitu Gereja dan Injil.

Konferensi para Uskup Amerika Latin

1. Konferensi Umum I: di Rio de Janeiro (Brasil), 25 Juli - 4 Agustus 1955. Tema: “Panggilan dan pengajaran Religius”. Atas kehendak Paus Pius XII dibentuk Konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM).

2. Konferensi Umum II: di Medellin (Kolombia), 28 Agustus – 6 September 1968. Tema: “Gereja dalam perubahan aktual Amerika Latin dalam terang Konsili Vatikan II”. Pembukaannya dihadiri Paus Paulus VI, ketika kunjungan apostolik di Amerika Latin.

3. Konferensi Umum III: di Puebla (Meksiko), 27 Januari – 13 Februari 1979. Tema: “Evangelisasi kini dan yang akan datang di Amerika Latin”. Dihadiri oleh Paus Yohanes Paulus II.

4. Konferensi Umum IV: di Santo Domingo (Republik Domenikan), 12 – 28 Oktober 1992. Tema: “Evangelisasi baru, pewartaan kemanusiaan dan kebudayaan kristiani”. Bertepatan dengan 500 tahun kehadiran Injil di Amerika Latin.

5. Konferensi Umum V: di Aparecida (Brasil), 13 – 31 Mei 2005. Tema yang diusulkan oleh Paus Benediktus XVI: “Murid dan misionaris Yesus Kristus agar dalam Dia manusia memiliki hidup. Akulah jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14: 6)”.


(16)

Sebelum kita melihat hubungan antara Gereja dan kebudayaan, akan dipaparkan secara singkat konsep atau pengertian kebudayaan itu. Menurut definisi klasik, yang diberikan oleh

Edward B. Tylor (antropolog Inggris) dalam karya tulisnya Primitive Culture (1871), kebudayaan atau peradaban adalah “segala sesuatu dalam keseluruhan yang mencakupi ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiasat, segala kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat”. Definisi ini analog dengan definisi yang diberikan oleh seorang antropolog Amerika, W. D. Wallis: “kebudayaan berarti segala sesuatu, institusi-institusi, objek-objek material, reaksi khusus terhadap situasi-situasi yang memberi karakter suatu bangsa dan membedakan dengan yang lain”.10

Di samping definisi-definisi yang mendeskripsikan kebudayaan sebagai struktur global masyarakat atau suatu bangsa (konsep antropologis), ada juga beraneka definisi esensial, yang berkonsentrasi kepada aspek atau elemen fundamental (mendasar) dari kebudayaan. Definisi itu pada umumnya mengidentifikasikan kebudayaan sebagai ethos suatu bangsa atau pandangan kosmos (Weltanschauung) dan nilai-nilainya. Di sini dapat diberi contoh, definisi dari Bernard Lonergan, yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan “makna-makna dan nilai-nilai bersama yang memperlihatkan suatu gaya hidup tertentu”.11 Juga ada definisi dari Ch. Dawson, yang mengatakan bahwa “kebudayaan adalah forma atau bentuk masyarakat. Suatu masyarakat tanpa kebudayaan adalah masyarakat tanpa bentuk, suatu tumpukan atau kumpulan individu-individu yang tinggal bersama hanya karena kebutuhan sesaat; sementara jika kebudayaan itu tampak dan kuat, dia secara lengkap akan memberi ciri khas masyarakat tertentu dan mengubah perbedaan material manusia-manusia yang ada di dalamnya”.12

Definisi esensial dari Dawson akan semakin lengkap dengan memberi sifat “spiritual” kepada “forma” (bentuk), sehingga “kebudayaan adalah forma (bentuk) spiritual dari masyarakat”. Sifat spiritual ini sangat penting, untuk membedakan forma atau bentuk dari yang lain. Meskipun semua hasil karya kultural (kebudayaan) memiliki aspek material, pada kenyataannya mereka berguna untuk menghubungkan dan menyatukan secara spiritual di antara anggota dalam suatu masyarakat. Kebudayaan sebenarnya merupakan jalinan interior, batin, spiritual dari suatu masyarakat.

Dari kebudayaan (kultur) kita menuju ke inkulturasi. Jelas bahwa inkulturasi berkaitan erat dengan konsep kebudayaan secara antropologis. Oleh karena itu, inkulturasi bisa berarti “proses suatu gerakan pemikiran, sistem filosofis dan religius yang sesuai dengan bermacam-macam komponen kebudayaan yang meliputi bahasa, adat-istiadat, peraturan, institusi, nilai-nilai dll”.13 Inkulturasi juga berarti masuknya anggota masyarakat atau suatu bangsa ke dalam kebudayaan dari masyarakat atau bangsa itu.

Selanjutnya kita akan melihat persoalan inkulturasi Gereja dan Injil, dengan memperhatikan definisi atau pengertian inkulturasi: merasuknya atau meresapnya Gereja dan Injil dalam kebudayaan, seperti yang ditegaskan oleh Ensiklik Redemptoris Missio: “inkulturasi adalah proses merasuknya Gereja ke dalam kebudayaan para bangsa” (RM 52). Persoalan inkulturasi menyangkut kata kunci, yaitu: kehadiran. Kehadiran di dalam Gereja dari dua tingkat kultural (kebudayaan): tingkat transenden atau ilahi dan tingkat imanen atau insani. Ketika kita berbicara soal inkulturasi selalu merujuk kepada paradigma inkarnasi. Misteri inkarnasi yang mengatakan

10 W. D. Wallis, Culture and Progress, New York, 1930, hlm. 32.

11 Bdk. B. Lonergan, Il Metodo in teologia, Queriniana, Brescia, 1975, hlm. 21. 12 Ch. Dawson, Religion and Culture, London, 1948, hlm. 48.

13 Bdk. Battista Mondin, “Inculturazione”, dalam Dizionario enciclopedico di filosofia, teologia e morale, Massimo, Milano, 1989, hlm. 376.


(17)

bahwa dalam Yesus hadir realitas ganda: realitas ilahi (Logos kekal) dan realitas insani (manusia diangkat dari Sabda yang lahir dari Maria).

Gereja tidak dibangun dari individu tunggal, melainkan oleh communio (persekutuan) pribadi-pribadi dan berdasarkan ikatan batin dan spiritual atau adikodrati: Yesus Kristus, sebagai Kepala, Bapa, Roh Kudus dan Rahmat. Namun harus disadari bahwa sebagai kelompok sosial insani-manusiawi, Gereja juga menerima dari suatu kultur atau kebudayaannya sendiri dan karena itulah Gereja itu bersifat teandrik. Kultur Gereja itu juga bersifat teandrik: Gereja meliputi tingkat transenden atau ilahi dan tingkat imanen atau insani.

Dalam pribadi Kristus, kita tahu bahwa unsur ilahi adalah Pribadi kedua dari Tritunggal Mahakudus, Sabda Allah, Sabda kekal dari Bapa. Karena itu, sebagai umat Allah yang baru, Gereja sangat penting menerima suatu kulturnya yang istimewa. Di dalam Gereja ada perjumpaan dalam level kultur bagian ilahi dan bagian insani. Bagi Gereja, sama seperti kelompok sosial lainnya, kebudayaan membangun jiwa Gereja, jalinan batinnya, forma spiritualnya. Tetapi ada soal: dimana meletakkan tingkat transenden ilahi dari kultur atau kebudayaan Gereja?

Guna meletakkannya atau memposisikannya perlulah memperhatikan dua hal: pertama, kita harus melihat di mana tingkat transenden dan ilahi dari kultur atau kebudayaan Israel, umat terpilih pertama yang menerima secara langsung dari Allah bagian khusus dari kebudayaannya. Kedua, selanjutnya melihat pembaharuan substansial bahwa Allah sendiri mengangkat kultur atau kebudayaan dari umat Allah yang baru, Gereja, dengan kedatangan Sang Sabda.

Jika kita kembali kepada pilar-pilar besar dalam kebudayaan, kita menemukan dengan mudah bahwa dalam kebudayaan (kultur) umat Israel pilar-pilar itu merupakan anugerah dari Allah. Yahweh yang memberi anugerah kepada Israel nukleus esensial dari pilar simbolis: iman akan satu Allah; Yahweh yang memberikan anugerah kepada umatNya nukleus fundamental pilar etis:

thora (taurat), hukum; Yahweh yang menyatakan kepada Israel nukleus pertama dari pilar aksiologis, dengan menunjukkan sebagai nilai utama kesetiaan kepada Allah dan hukum, kasih kepada sesama, kebenaran, perdamaian, pengharapan, doa dll; dan Yahweh yang memberikan sendi dari pilar politis: dengan pemberian martabat imamat, nabi dan raja.

Israel meleburkan diri sebagai bangunan besar kultural dengan acuan ilahi dan menyesuaikan atau menyelaraskan dengan kemampuan, kebiasaan, mentalitas mereka sendiri dan kemudian

berinkarnasi (menjelma) dengan tawaran kultural Allah dalam kebudayaan.

Dengan Gereja, bangunan kultural yang tetap tinggal sama secara fundamental, adalah suatu bangunan teandrik, yang memiliki tingkat ilahi dan insani. Yang ilahi masih secara sebagian (parsial) yaitu umat Allah lama; sebagian besar pilar “ilahi” Israel: iman akan Allah, bagian moral hukum, imamat, kenabian dan rajawi, nilai-nilai kesetiaan, kasih, perdamaian tetap dipelihara juga oleh umat Allah yang baru. Tetapi unsur-unsur ilahi yang baru diperkaya dalam tingkat transenden dari kultur Gereja. Kenyataan ini ditegaskan dalam Konstitusi dogmatis Lumen Gentium bahwa:

“Kepala umat mesianik itu Kristus [...]. Kedudukan umat itu ialah martabat dan kebebasan anak-anak Allah. Roh Kudus diam di hati mereka bagaikan dalam kenisah. Hukumnya perintah baru untuk mencintai, seperti Kristus sendiri telah mencintai kita (bdk. Yoh 13: 34). Tujuannya Kerajaan Allah, yang oleh Allah sendiri telah dimulai di dunia, untuk selanjutnya disebarluaskan hingga pada akhir zaman diselesaikan olehNya juga, bila Kristus, hidup kita, menampakkan diri (bdk. Kol 3: 4), [...]. Oleh karena itu, umat mesianik meskipun kenyataannya tidak merangkum semua orang dan tak jarang nampak sebagai kawanan kecil, namun bagi seluruh bangsa manusia merupakan benih kesatuan, harapan dan keselamatan yang amat kuat. Terbentuk oleh Kristus


(18)

sebagai persekutuan hidup, cinta kasih dan kebenaran, umat itu olehNya diangkat juga menjadi upaya penebusan bagi semua orang, dan diutus ke seluruh bumi sebagai cahaya dan terang dunia (bdk. Mat 5: 13-16)” (LG 9).

Katolisitas Gereja secara esensial adalah katolisitas kultural, artinya kesiapsediaannya untuk

“menginkarnasi” diri sendiri dan Injil sehingga bisa diwartakan kepada semua bangsa dalam beraneka kebudayaan. Sejarah Gereja memperlihatkan secara jelas sikap, pembawaan dan kesediaan Gereja untuk “melipatgandakan” inkarnasi kultural: “Seraya melaksanakan kegiatan misioner di antara para bangsa, Gereja berjumpa dengan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda dan terlibat dalam proses inkulturasi. Perlunya keterlibatan seperti itu telah menandai ziarah Gereja sepanjang sejarahnya, tetapi dewasa ini hal itu menjadi lebih penting lagi” (RM 52).

Sejarah inkulturasi kristianisme memperlihatkan apa yang dalam pekerjaan tidak mudah ini harus tetap dilaksanakan terus: tingkat transenden, ilahi dan apa yang dapat harus berbeda-beda: tingkat imanen atau insani. Dalam inkarnasi menjadikan tingkat transenden tidak mematikan dan juga tidak menghilangkan tingkat insani, malahan merangkumnya dan mengangkatnya; dan begitu pula sebaliknya tingkat imanen, insani, tidak mereduksi atau menyempitkan atau memandulkan tingkat atau dimensi ilahi.

Kristianisme itu akan tetap hidup karena mampu berinkarnasi dalam kebudayaan-kebudayaan; tetapi ini juga berlaku bagi kebudayaan-kebudayaan: kebudayaan-kebudayaan tersebut hidup jika mendekatkan diri dan berinkarnasi terhadap kristianisme. Kristianisme tanpa kebudayaan itu kosong, karena kebudayaan itu bagaikan rahim bagi kristianisme.

8.2.3. Dasar Teologis Inkulturasi

Paradigma inkarnasi, yang hidup terus-menerus digunakan ketika berbicara soal inkulturasi, memberi pemahaman bahwa dasar utama teologis inkulturasi adalah misteri inkarnasi. Inkulturasi adalah kebutuhan fundamental dari inkarnasi. Dengan inkarnasi, Putera Allah mengambil semua hal yang insani bagi diriNya, kecuali dosa, sehingga memasukkan diriNya dalam kultur bangsa Israel.

Dari inkarnasi Kristus mengalirlah inkarnasi Gereja. Inkarnasi kultural dalam diri Kristus,

akan mengalir menjadi suatu inkarnasi kultural yaitu Gereja, yang tidak lagi dibangun dari satu anggota, melainkan diperuntukkan untuk merangkul seluruh keluarga manusia dan bangsa. Jadi,

dasar ontologis inkulturasi ditemukan dalam misteri inkarnasi.

Kecuali itu, ada dasar teleologis dan ini diperoleh secara langsung dari misi perutusan Gereja: misi perutusan Gereja dalam mewartakan Kristus dan menginkorporasikan kepadaNya semua manusia, semua bangsa. Dan inkorporasi ini tidak menghilangkan dimensi manusiawi mereka, yang merupakan dimensi kultural atau kebudayaan mereka.

Misi perutusan Gereja adalah pergi ke seluruh dunia dan menjadikan semua bangsa murid Kristus (bdk. Mat 28: 19). Panggilan universal Gereja ini dapat menjadi suatu realitas dengan membiarkan setiap kebudayaan untuk menerima Sabda hidup Allah dalam kebebasan. Misi Gereja adalah untuk menjadi saksi Kristus dan melayani Kerajaan sebagai tanda dan sakramen yang dikehendaki Allah di dunia. Kesetiaan kepada misi perutusan ini meminta pula suatu kebebasan Gereja yang menghargai setiap kebudayaan. Karena itu Gereja tidak bisa mengidentifikasi diri dengan suatu kebudayan secara khusus.


(19)

8.2.4. Pendalaman Konsep Inkulturasi Gereja dan Injil

Inkulturasi sebagai istilah baru, untuk pertama kali dipakai oleh G. L. Barney (1973) dalam bidang misiologi dengan mengatakan bahwa: “di tanah misi nilai-nilai Injili yang adi budaya (mengatasi kultur) dan mau diwartakan kepada orang-orang setempat haruslah diinkulturasikan dalam budaya orang setempat itu sehingga dapat terbentuk satu budaya baru yang bersifat kristiani”.14 Dan kemudian secara khusus istilah ‘inkulturasi’ ini dipakai dalam bidang evangelisasi oleh Pedro Arrupe, pemimpin umum Serikat Jesus, dalam Dokumen Kongregasi Jenderal SJ ke - 32 tahun 1974-1975, yang berjudul “Pesan kepada umat Allah”. Dalam dokumen tersebut ditegaskan bahwa warta kristiani harus berakar dalam kebudayaan setempat. Inkulturasi itu terjadi kalau hidup orang beriman digerakkan oleh Roh Kudus untuk menjadi pelayan Injil dengan mewartakan serta memberi kesaksian bahwa Kristus adalah penyelamat semua orang bersama kebudayaan mereka. Arrupe memberi definisi bahwa “inkulturasi adalah inkarnasi hidup dan pesan Kristen dalam area kultural konkret, dengan cara bahwa pengalaman kekristenan tersebut tidak hanya diungkapkan melalui unsur-unsur kebudayaan tertentu (sehingga hanya merupakan penyesuaian superfisial), tetapi mentransformasi juga sehingga memberi inspirasi, dalam norma dan kekuatan yang mempersatukan, mengubah dan menciptakan kembali kebudayaan tersebut, menjadi “suatu ciptaan baru” yang orisinal”.15

Definisi yang diusulkan Achiel Peelman lebih merupakan suatu sintesis: “inkulturasi Injil tidak lain merupakan misteri perjumpaan intim Injil dengan bangsa-bangsa dan kelompok manusia yang menerimanya”.16 Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan dalam Konstitusi pastoral Gaudium et Spes, bahwa “Gereja di sepanjang zaman dalam pelbagai situasi telah memanfaatkan sumber-sumber aneka kebudayaan untuk melalui pewartaannya menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk menggali dan makin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beraneka ragam” (GS 58).

Tahun 1979, istilah inkulturasi digunakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik “Catechesi Tradendae” tentang Katekese Masa Kini, dalam konteks katekese (evangelisasi) dan inkarnasi: “Istilah ‘akkulturasi’ atau ‘inkulturasi’ barangkali suatu neologisme, tetapi dengan tepat sekali mengungkapkan satu faktor misteri agung inkarnasi” (CT 53). Sebagaimana melalui inkarnasi, Sabda Allah menjadi manusia (menjadi daging), demikian pula melalui inkulturasi, evangelisasi sebagai bentuk pewartaan Injil, mendapat ungkapan budaya (kultural). Evangelisasi harus membudaya karena menggunakan metode, sarana dan nilai-nilai dari adat kebiasaan atau cara hidup setempat untuk menjelaskan, memahami dan menghayati misteri keselamatan yang dinyatakan dalam Yesus Kristus. Menurut Paus Yohanes Paulus II, dalam Anjuran Apostoliknya itu, inkulturasi adalah inkarnasi Injil dan pesan-pesannya dalam pelbagai kebudayaan yang otonom sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja. Dengan kata lain, inkulturasi dapat didefinisikan sebagai transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya yang otentik yang diintegrasikan ke dalam kristianitas dan penanaman kristianitas ke dalam aneka kebudayaan manusia yang berbeda-beda. “Katekese,

14 Bdk. Bernardus Boli Ujan, “Inkulturasi Liturgi”, dalam Liturgi, Vol. 19, No. 6, November-Desember 2008, hlm. 4. 15 Surat 14 Mei 1978 kepada anggota Serikat, dalam Ecrits pour évangeliser, DDB, Paris, 1985, hlm. 169-180.


(20)

begitu pula pewartaan Injil (evangelisasi) pada umumnya, dipanggil untuk mengantar kekuatan Injil merasuki inti kebudayaan serta kebudayaan-kebudayaan. Untuk maksud itu katekese akan mencoba memahami kebudayaan-kebudayaan itu beserta komponen-komponennya yang pokok. Katekese akan menghormati ungkapan-ungkapannya yang relevan. Katekese akan menghormati nilai-nilai serta kekayaan khas kebudayaan-kebudayaan. Begitulah katekese akan mampu menyumbangkan kepada kebudayaan-kebudayaan itu pengertian tentang misteri yang tersembunyi, serta membantunya memperbuahkan dari tradsi-tradisinya yang hidup ungkapan-ungkapan asli bagi kehidupan, perayaan dan pemikiran Kristen” (CT 53). Karena itu, ada gerak ganda dalam inkulturasi: “melalui inkulturasi Gereja membuat Injil dan pesan-pesannya menjelma dalam aneka kebudayaan, dan sekaligus memasukkan para bangsa, bersama dengan kebudayaan mereka ke dalam persekutuan Gereja sendiri”.17

Inkulturasi secara esensial merupakan karya linguistik dan menuntut tiga unsur: subjek (Gereja yang mewartakan Injil), pesan (Injil, Sabda Allah) dan penerima atau pendengar (umat yang mendengar dan menerima pesan Injil). Struktur inkulturasi adalah komunikasi, sehingga penting suatu struktur teandris: ada yang berbicara, ada yang mendengar dan ada pesan yang dibicarakan dan didengar.

Inkulturasi akan terjadi bila Gereja mewartakan Injil dan pesan Injili diterima dan diasimilasi oleh umat (bukan oleh satu pribadi saja). Gereja misioner pada awalnya memerlukan proses inkulturasi, karena inkulturasilah yang menyebarkan Injil dan pesan-pesannya.

Struktur fundamental inkulturasi adalah komunikasi linguistik, karena unsur linguistik adalah unsur primer dari kebudayaan dan juga karena dalam evangelisasi kebudayaan sarana utama adalah Sabda itu sendiri. Lebih dari itu, karena inkulturasi adalah suatu inkarnasi, maka dalam arti tertentu, inkulturasi berarti perjumpaan antara kebudayaan transenden (ilahi) dari Gereja dan kebudayaan insani dari bangsa-bangsa.

Karena itu, inkulturasi berkaitan dengan tiga hal: pertama, inkulturasi adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus dan selalu relevan untuk setiap bangsa atau wilayah di mana iman kristiani mulai bertumbuh. Kedua, iman kristiani hanya akan ada bila telah memperoleh bentuk ekspresi kultural (budaya). Ketiga, antara iman kristiani dan kebudayaan harus ada interaksi dan asimilasi satu sama lain. Jadi, ada hubungan yang kreatif sekaligus dinamis dalam proses inkulturasi antara iman kristiani (Gereja dan Injil) dan kebudayaan.

8.2.4.1. Inkulturasi dalam Sejarah Keselamatan18

1. Israel umat Perjanjian

Perjanjian Lama merupakan kesaksian tetap pewahyuan Allah yang hidup bagi anggota umat terpilih. Dalam bentuknya yang tertulis, pewahyuan ini juga memberi jejak dari pengalaman-pengalaman kultural dan sosial di mana umat dan peradaban berjumpa dalam sejarah. Dalam Perjanjian Lama, beberapa kebudayaan, menyebar dan ditransformasi, menjadi sarana bantuan bagi pewahyuan Allah Abraham, yang hidup dalam perjanjian atau persekutuan dan ditulis dalam Kitab Suci. Ini merupakan persiapan yang unik, dalam tingkat kultural dan religius, bagi kedatangan Yesus Kristus. Dalam Perjanjian Baru, Allah Abraham, Ishak dan

17 Bdk. Bernardus Boli Ujan, Op. cit., hlm. 5.

18 Commisione Teologica Internazionale, Documenti 1969-2004: Fede e inculturazione, Edizioni Studio Domenicano, Bologna, 2006, hlm. 362-369.


(1)

“Itu semua menunjukkan bagaimana misi Yesus untuk menyelamatkan umat manusia membawa meterai yang sungguh jelas, menunjukkan kehadiran Roh: hidup, hidup yang baru. Di antara perutusan Putera dari Bapa dan perutusan Roh dari Bapa beserta Putera, ada kaitan yang dekat dan vital. Tindakan Roh dalam penciptaan dan sejarah manusiawi beroleh makna yang sama sekali baru dalam tindakanNya pada hidup dan misi Yesus. ‘Benih-benih Sabda’, yang ditaburkan oleh Roh menyiapkan seluruh alam tercipta, sejarah dan manusia bagi kematangan yang sepenuhnya dalam Kristus” (EA 16).

Dengan kata lain, sumber misi Gereja adalah ‘dari atas’ dan bukan ‘dari bawah’, sebab Gereja sendiri adalah umat Allah yang dikumpulkan dalam satu kesatuan oleh Bapa lewat perutusan Putera dan Roh Kudus (EA 24; bdk. LG 9). Gereja berakar pada pengalaman akan Allah (EA 23). Misi Gereja memancar dari sumber Trinitaris ini dan terarah kembali ke communio intim dan di dalam Trinitas (EA 12). Selanjutnya, sumber misi ini mengandung arah yang jelas. Arah dan tujuan misi Gereja – sebagaimana juga misi Yesus Kristus – adalah untuk membaharui persekutuan (restoration of communion) itu sendiri, baik persekutuan vertikal (dengan Allah) maupun persekutuan horisontal (dengan sesama).23

2. Communio (misi baru ad intra)

a. Gereja adalah suatu persekutuan/paguyuban (communio). Gereja, baik dalam tingkat lokal maupun dalam universal adalah pertama-tama ‘a communion of communities’ (EA 25) di mana kaum awam, biarawan-biarawati dan klerus saling mengakui dan menerima sebagai saudara-saudari satu sama lain dengan cita rasa persekutuan sejati. Nilai-niai yang penting dalam paguyuban (koinonia) ini adalah:

- pengalaman communio dengan Allah dan dengan umat manusia (EA 24); cita rasa ini terutama nyata dalam Ekaristi;

- pengakuan kesamaan fundamental semua anggota Gereja sebagai murid-murid Yesus, baik dalam tingkat Gereja lokal maupun Gereja universal (EA 25);

- solidaritas antar Gereja (EA 26).

b. Semua pelayanan dalam Gereja pada hakekatnya merupakan partisipasi dan kolaborasi. Ketiga pelayanan dalam Gereja – mengajar, menguduskan dan melayani – bersifat partisipatif dan kolaboratif (EA 25). Pemahaman ini membawa suatu konsekuensi yang besar, yakni suatu pembaharuan dalam struktur dan disiplin Gereja:

- Takhta Petrus memiliki keunikan pelayanan, yakni menjamin dan memajukan persatuan Gereja (bdk. LG 22);

- Pendekatan ‘satu arah’ dari Roma ke Gereja-gereja partikular diganti dengan ‘saling belajar dan mengajar, saling meneguhkan dan mengoreksi antara Gereja Roma dan Gereja-gereja lain, termasuk di antara Gereja-Gereja-gereja lokal’;

- Untuk memajukan communio dan participatio dalam Gereja, EA menggarisbawahi pentingnya nilai basic ecclesial communities (Komunitas Basis Gerejani) di mana ‘kebudayaan cinta kasih’ dapat terwujud.


(2)

c. Gereja Asia adalah Gereja inkulturatif. Isu inkulturasi berhubungan erat dengan identitas Gereja sebagai ‘Gereja Asia’ atau ‘orang-orang Kristen Asia’ (EA 5) – ‘kekristenan’ dan ‘ke-asia-an’, umat beriman kristiani yang menghidupi imannya dalam masyarakat dan budaya Asia (EA 21). Dokumen ini juga menyebutkan ranah-ranah kunci inkulturasi seperti teologi, liturgi, formatio klerus dan biarawan-biarawati, katekese dan spiritualitas (EA 22). Inkulturasi adalah bagian inti dari hidup dan peziarahan Gereja dalam sejarah, karena iman kristiani tidak dapat dibatasi dalam batas-batas pengertian dan ungkapan satu kebudayaan saja (EA 20). - dalam inkulturasi teologi secara khusus disebut bidang kristologi;

- dalam liturgi: mempertahankan nilai-nilai budaya, simbol-simbol dan ritual tradisional; - dalam formatio para misionaris, perlu penyesuaian dengan konteks kebudayaan Asia. Dalam hal ini peran awam dipandang sangat penting (EA 22), tanpa mengecualikan peran klerus dan para ahli dalam disiplin ilmu-ilmu profan dan teologi. Pelaku utama inkulturasi adalah Roh Kudus (EA 21) bersama Gereja lokal.

3. Missio (misi baru ad extra)

a. Misi pewartaan. Isi pewartaan adalah Yesus Kristus. EA menegaskan bahwa tidak mungkin ada evangelisasi yang benar bila tidak ada pewartaan eksplisit tentang Yesus sebagai Tuhan (EA 19), satu-satunya Juru Selamat (EA 10, 16), Kabar Gembira (EA 14, 19). Lantas, mengapa pewartaan ditekankan? Paus Yohanes Paulus II memberi alasan: karena setiap orang berhak untuk mendengarkan Kabar Gembira Allah yang mewahyukan dan memberikan diriNya dalam Kristus (EA 10, 20).

b. Metode pewartaan. Untuk konteks Asia, hal yang dianggap penting adalah cara pewartaan itu sendiri. Perlu dicari dan didapatkan cara yang menjawab “sensibilitas orang Asia” (EA 20). EA menggarisbawahi cara yang cocok untuk Asia adalah sikap hormat, kesaksian hidup (EA 42) dan kontak personal (EA 20, 23, 42). Mengenai sikap hormat, yang dimaksudkan adalah hormat kepada para pendengar. Pertama, dengan menghargai hak dan kebebasan hati nurani mereka yang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai hidupnya, dan kedua, hormat kepada karya Roh yang berada dan berkarya dalam diri manusia (EA 20). Erat dengan metode ini, gambaran-gambaran Yesus Kristus sebagai “Guru Kebijaksanaan, Sang Penyembuh dan Pembebas, Penuntun Rohani, Dia yang Diterangi, Sahabat yang berbelarasa bagi rakyat miskin, Orang Samaria yang baik hati, Gembala yang baik, Dia yang taat” (EA 20) menjadi sangat penting.

c. Misi dengan semangat dialogal. Cara baru menggereja dalam konteks Asia adalah hidup misioner dengan semangat dialogal dan logika inkarnasi. Tugas utama Gereja Asia – seperti juga ditegaskan oleh FABC sejak 1974 – adalah tetap pewartaan (kerygma). Cara atau bagaimana pewartaan itu dijalankan, adalah dengan jalan dialog (EA 29). Ada dialog rangkap tiga:

- dialog dengan kebudayaan-kebudayaan Asia (misalnya, dengan meneladan Rasul Paulus (EA 20): inkulturasi;

- dialog dengan agama-agama (di) Asia, yaitu ekumene dan dialog antar umat beragama (EA 30-31): ekumene;


(3)

- dialog dengan orang-orang Asia sendiri, khususnya solidaritas dengan kaum miskin, kaum migran, penduduk asli, kaum perempuan dan anak-anak; pendek kata dengan kelompok-kelompok marginal (EA 32-34).

Sejalan dengan dialog terakhir ini dan dengan logika inkarnasi (solidaritas dan pelayanan), Gereja melibatkan diri dalam perjuangan untuk mempertahankan kehidupan manusia, pelayanan kesehatan, pendidikan, keadilan, penghapusan hutang luar negeri dan perlindungan lingkungan hidup (EA 35-41).

d. Gereja yang profetis. Cara baru “menggereja-memasyarakat” di Asia adalah cara kenabian, sejalan dengan tema Injil “menjadi ragi transformasi dunia” dan “menjadi tanda yang menunjuk kepada Kerajaan yang akan datang”. Mengingat Gereja tetap (dan barangkali memang akan terus) sebagai kawanan kecil, tugas utama Gereja Asia tidak lain dari pada menjadi “tanda profetis yang dapat dipercaya” akan kedatangan Kerajaan Allah – “tempat istimewa bagi persekutuan Allah dengan manusia, “sakramen keselamatan” (EA 24). Sekali lagi, Gereja tidak boleh semata-mata disibukkan oleh interese-interese internalnya. Gereja harus berupaya memajukan pewartaan Injil lewat ketiga bentuk dialog tersebut di atas dan lewat misi kemanusiaan. Dalam hal ini, eksistensi dan peran Komunitas Basis Gerejani (KBG) menjadi sangat penting, begitu pula Komunitas Basis Manusiawi.

e. Pelaku pewartaan adalah Roh Kudus (EA 17, 43) dan seluruh umat (EA 42, 43), baik mereka yang tertahbis (Uskup, Imam) dan anggota Lembaga Hidup Bakti (EA 44), maupun kaum awam (EA 23, 45). Juga disebutkan secara khusus peran keluarga dan kaum muda

dalam tugas pewartaan ini (EA 46, 47). Artinya, pelaksanaan tugas ini diwujudkan bukan oleh orang perseorangan, melainkan oleh Gereja seluruhnya sebagai kesatuan umat beriman. Bapa Suci menegaskan peran Roh Kudus dalam hal memampukan Gereja untuk melaksanakan misi pewartaan ini.

f. Gereja bukan tujuan dalam dirinya sendiri. Kalau teologi plantatio ecclesiae menegaskan bahwa Gereja merupakan tujuan karya misi, EA menggarisbawahi bahwa Gereja ada untuk melayani Kristus dan keselamatan dunia (EA 17), in loving service to the poor and defenceles (EA 32). Karena itu, tugas pewartaan Gereja terarah bukan untuk mentobatkan orang menjadi Kristen, melainkan untuk membagikan kepada semua orang rahmat yang dianugerahkan Allah kepada Gereja. Paus Yohanes Paulus II menulis: “The vocation of every human being is to receive love and give love in return” (EA 13). Seluruh Bab VI merupakan ulasan mengenai human promotion.

Dengan kata lain, berbicara tentang cara baru “menggereja dan memasyarakat” di Asia berarti berusaha menemukan dan merumuskan kembali identitas Gereja Asia. Ada tiga unsur pokok, yakni membangun communio dan missio dalam konteks Asia. Kalau diungkapkan secara negatif, bila Gereja Asia tidak memiliki identitas, sudah barang tentu ia tidak memiliki masa depan. Karena itu, EA mendorong Gereja Asia untuk tetap maju menuju ke tahap kematangan atau kemandirian yang sesungguhnya. Kemandirian ini umumnya dicirikan oleh empat kriteria: governing (swa-praja), supporting (swa-dana), propagating (swa-kembang) dan self-theologizing (swa-teologi) within the universal communion of catholic churches.


(4)

8.2.6. Persoalan Aktual Inkulturasi24

Inkulturasi Gereja dan Injil, baik dilihat secara filosofis (natura, kultur dan rahmat) maupun secara historis dan dogma (inkulturasi dalam sejarah keselamatan), membawa pesoalan akan refleksi teologis dan tindakan pastoral. Bagaimana mengharmoniskan dengan iman ekspresi-ekspresi spontan dari religiusitas rakyat? Bagaimana sikap Gereja terhadap agama-agama bukan Kristen, dan terutama yang berkaitan erat dengan pertumbuhan kebudayaan?

1. Religiusitas rakyat. Pada umumnya religiusitas rakyat memaksudkan, dalam bangsa yang telah menerima Injil, kesatuan iman dan cinta kasih Kristen, di satu pihak dengan kebudayaan mendalam dan di lain pihak dengan bentuk-bentuk agama sebelumnya yang dianut masyarakat. Hal ini menyangkut bermacam-macam bentuk devosi dan dengan itu beberapa orang Kristen mengekspresikan perasaan religius (sensus fidei) mereka dalam bahasa yang sederhana, misalnya: dengan pesta dan ziarah atau dengan tarian dan nyanyian. Dapat dikatakan sebagai sintesis hidup menyangkut religiusitas, karena itu menyatukan “tubuh dan roh, communio eklesial dan institusi, individu dan komunitas, iman Kristen dan cinta kepada tanah air, pengetahuan dan afeksi”.25

Religiusitas rakyat kerap kali memiliki keterbatasan, karena asal-usulnya sangat sederhana, sumber dari berbagai perubahan bentuk kepercayaan-kepercayaan, juga kadang dari takhyul. Religiusitas rakyat tetap tinggal dalam level kultural (kebudayaan), bila tanpa ada upaya untuk menerima iman dan ekspresi iman dalam pelayanan bagi sesama. Bila orientasinya tidak jelas, religiusitas rakyat dapat menuntun kepada pembentukan sekte dan dengan demikian dapat membahayakan kesatuan komunitas gerejawi yang benar. Bentuk ini beresiko dimanipulasi baik oleh kekuasaan politik maupun kekuatan religius di luar iman kristiani. Dari bahaya-bahaya tersebut, mengundang Gereja untuk menjalankan katekese yang cerdik dan bijaksana, yakni dengan memanfaatkan hal-hal yang baik dari religiusitas rakyat secara otentik dan pada saat yang sama mampu memilah-milah (menimbang). Suatu liturgi yang hidup dan sesuai memiliki peran besar dalam integrasi iman yang benar dan dari bentuk-bentuk tradisional dari hidup religius masyarakat.

2. Inkulturasi iman dan agama-agama bukan Kristen. Sejak awal mula Gereja telah berjumpa, dalam berbagai tingkatan, persoalan pluralitas agama-agama. Sebagai contoh di benua Asia, yang lahir bermacam-macam agama dan kepercayaan dunia. Hinduisme, Budhisme, Islam, Konfusianisme, Taoisme, Sintoisme dan berbagai aliran kepercayaan atau kebatinan; setiap sistem religius itu secara mendalam mengakar dalam masyarakat dan hidup dalam diri para penganutnya. Hidup pribadi dan juga aktivitas sosial dan komuniter ditandai dan dipengaruhi oleh tradisi religius dan spiritual tertentu. Karena itu, Gereja di Asia memiliki persoalan penting dan mendesak menyangkut hubungan dengan agama-agama bukan Kristen. Jembatan hubungan tersebut adalah dengan dialog.

24 Commisione Teologica Internazionale, Op. cit., hlm. 369-377.

25 Konferensi Umum para Uskup Amerika Latin (Puebla 1979), Evangelisasi sekarang dan yang akan datang di Amerika Latin, Konklusi, 448.


(5)

Dialog dengan agama-agama lain merupakan bagian integral hidup kristiani: melalui pertukaran, studi dan karya secara bersama, dialog ini menyumbang dalam meningkatkan pengetahuan agama dan menumbuhkan saling pengertian dan kasih. Bagi iman kristiani, kesatuan semua dalam asal-usul mereka dan tujuan mereka, itu berarti dalam penciptaan dan persatuan dengan Allah dalam Yesus Kristus, diteguhkan dengan kehadiran dan tindakan universal Roh Kudus. Tujuan dialog adalah: pertama, menyapa semua orang dari pelbagai agama; kedua, terutama menyapa umat kristiani itu sendiri. Dialog antara penganut-penganut berbagai agama dan ideologi di dunia yang penuh perpecahan dan konflik semakin mendesak demi keselarasan dan perdamaian. Mereka yang terlibat dalam dialog tersebut ditantang dan sekaligus diperkaya oleh nilai-nilai yang mereka temukan dalam tradisi-tradisi keagamaan dan ideologi-ideologi humanistis.26 Gereja dalam dialog mendengar dan belajar – sebagaimana

ditegaskan dalam Pernyataan Nostra Aetate tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristen - : “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat dan tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang” (NA 2).

3. Iman kristiani dan modernitas. Revolusi industri juga merupakan revolusi kultural. Nilai-nilai yang dahulu dianggap pasti mulai menjadi bahan diskusi, seperti makna kerja pribadi dan komuniter, hubungan langsung antar manusia dengan alam, kehadiran harta kekayaan bagi suatu keluarga yang membutuhkan, partisipasi pada ritus, tradisi dan upacara-upacara yang memberi makna dari keberadaan seseorang. Perkembangan pesat dalam berbagai bidang kehidupan: pangan, kesehatan, transportasi, bangunan dll. juga mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Inkulturasi Injil dalam masyarakat modern akan menuntut upaya secara metodik penelitian atau pencarian dan aksi atau tindakan yang terprogram (terencana). Upaya itu diperlukan terutama bagi penanggungjawab evangelisasi: 1) sikap menerima dan membedakan (memilah-milah) secara kritis; 2) kemampuan memahami kekayaan spiritual dan aspirasi manusia dari kebudayaan-kebudayaan baru; 3) kemampuan analisa kultural agar terjadi perjumpaan efektif dengan dunia modern.

8.2.7. Sikap-sikap dalam Inkulturasi27

a. Inkulturasi merupakan tugas yang tidak mudah dan rumit. Prosesnya dapat mengalami hambatan sejak awal, oleh sikap-sikap yang kerap muncul karena merasa diri lebih unggul, seolah-olah inkulturasi itu tidak perlu. Karena kebudayaan-kebudayaan lain tidak dapat diselaraskan dengan agama kristiani atau sama sekali tidak mempunyai sumbangan apapun bagi Gereja. Ada yang beranggapan bahwa inkulturasi itu mustahil, karena membahayakan kesatuan Gereja dan akan menimbulkan pluralisme yang barangkali merugikan isi pewahyuan itu sendiri. Sikap-sikap tersebut tidak sesuai dengan makna sejati evangelisasi atau pewartaan Injil. Hambatan lain bagi inkulturasi adalah sikap tergesa-gesa ingin segera melihat hasil 26 Bdk. Dokpen KWI, Dokumen Sidang Federasi para Uskup Asia (FABC), Dialog dengan tradisi-tradisi keagamaan lain di Asia, Op. cit, hlm. 236.

27 Bdk. Dokpen KWI, Dokumen Sidang Federasi para Uskup Asia (FABC), Gereja-gereja setempat di Asia dan tugas-tugas misi: inkulturasi 11-16, Op. cit, hlm. 236.


(6)

dengan eksperimen-eksperimen yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan sikap yang tidak wajar mendesak atau memaksakan sesuatu kepada umat tanpa persiapan yang memadai. b. Agar inkulturasi berhasil, dari pihak yang melibatkan diri dalam proses itu dibutuhkan

kebebasan yang matang dalam Roh Kudus, yang ditandai dengan kesediaan untuk mendengarkan dan percaya akan bimbinganNya. Hal ini juga mencakup kesiapsediaan untuk menerima resiko-resiko dan juga keuntungan dari kekeliruan-kekeliruan, sikap terbuka bagi koreksi dan kritik serta kesediaan untuk berdialog dengan sesama secara tulus dan terbuka. Sikap terbuka itu mengandaikan kesediaan menerima kemajemukan sebagai nilai positif, karena mengakui bahwa kekayaan Kabar Gembira Injil perlu dijajagi dan diungkapkan dalam keragaman bentuk dan kebudayaan, serta membutuhkan penegasan rohani terus menerus yang dijalankan oleh segenap umat Allah.

c. Kerjasama yang tulus dan terbuka serta sikap saling menerima dalam menciptakan masa kini dan masa depan, tanpa mau membatasi kekuatan Roh, juga mencakup sikap bersedia mati untuk bangkit lagi dalam kenyataan atau dunia baru. Tentu semuanya itu memerlukan kerendahan hati, yang mengajak orang mengakui kesalahan-kesalahan dan keterbatasannya sendiri, dan membantunya bersikap memahami terhadap kekeliruan dan keterbatasan sesama.