BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA
semua struktur societas masyarakat, tetapi terutama bersentuhan dengan nilai-nilai: “merupakan proses yang mendorong pengenalan kembali nilai-nilai Injili” dari satu pihak
dan “pengenalan kembali nilai-nilai baru yang sesuai dengan pesan Kristus”, di pihak lain. “Melalui inkulturasi tersebut diharapkan masyarakat menemukan karakter Kristen dari nilai-
nilai tersebut, dan dengan demikian menghargai dan memeliharanya”. Agar evangelisasi itu efektif, maka perlu berinkulturasi baik dalam cara berada maupun dalam cara hidup
kebudayaan-kebudayaan kita, dengan memperhatikan keunikan atau kekhasan suatu kebudayaan. Dengan demikian, evangelisasi baru akan terus berjalan dalam garis inkarnasi
Sabda no. 30.
Dengan memahami evangelisasi dalam kerangka inkulturasi dan juga kerangka pembebasan seperti yang telah dibahas dalam Konferensi Umum para Uskup Amerika Latin sebelumnya
Medellin dan Puebla, Konferensi di Santo Domingo menekankan evangelisasi secara lebih luas dan mendalam. Tentu saja tetap aktual tugas-tugas sebelumnya, yakni pembebasan dan
option for the poor pilihan kepada kaum miskin, namun sekarang cakrawala diperluas, karena lingkungan kebudayaan tentu lebih luas dan kompleks dari pada dunia politik dan
kemiskinan. Kebudayaan itu selalu berkaitan dengan kemanusiaan; dan semua hal yang merupakan buah dari inisiatif dan karya manusia, baik sebagai individu maupun kelompok
sosial. Kebudayaan itu “universal”, karena alasan itu, maka dapat merupakan tanah atau lahan subur dan ideal untuk penyebaran benih-benih iman kristiani, yaitu Gereja dan Injil.
Konferensi para Uskup Amerika Latin 1. Konferensi Umum I: di Rio de Janeiro Brasil, 25 Juli - 4 Agustus 1955. Tema: “Panggilan
dan pengajaran Religius”. Atas kehendak Paus Pius XII dibentuk Konferensi para Uskup Amerika Latin CELAM.
2. Konferensi Umum II: di Medellin Kolombia, 28 Agustus – 6 September 1968. Tema:
“Gereja dalam perubahan aktual Amerika Latin dalam terang Konsili Vatikan II”. Pembukaannya dihadiri Paus Paulus VI, ketika kunjungan apostolik di Amerika Latin.
3. Konferensi Umum III: di Puebla Meksiko, 27 Januari – 13 Februari 1979. Tema:
“Evangelisasi kini dan yang akan datang di Amerika Latin”. Dihadiri oleh Paus Yohanes Paulus II.
4. Konferensi Umum IV: di Santo Domingo Republik Domenikan, 12 – 28 Oktober 1992.
Tema: “Evangelisasi baru, pewartaan kemanusiaan dan kebudayaan kristiani”. Bertepatan dengan 500 tahun kehadiran Injil di Amerika Latin.
5. Konferensi Umum V: di Aparecida Brasil, 13 – 31 Mei 2005. Tema yang diusulkan oleh
Paus Benediktus XVI: “Murid dan misionaris Yesus Kristus agar dalam Dia manusia memiliki hidup. Akulah jalan, kebenaran dan hidup Yoh 14: 6”.
8.2.2. Gereja dan Kebudayaan
178
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA
Sebelum kita melihat hubungan antara Gereja dan kebudayaan, akan dipaparkan secara singkat konsep atau pengertian kebudayaan itu. Menurut definisi klasik, yang diberikan oleh
Edward B. Tylor antropolog Inggris dalam karya tulisnya Primitive Culture 1871, kebudayaan atau peradaban adalah “segala sesuatu dalam keseluruhan yang mencakupi ilmu pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiasat, segala kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat”. Definisi ini analog dengan definisi yang
diberikan oleh seorang antropolog Amerika, W. D. Wallis: “kebudayaan berarti segala sesuatu, institusi-institusi, objek-objek material, reaksi khusus terhadap situasi-situasi yang memberi
karakter suatu bangsa dan membedakan dengan yang lain”.
10
Di samping definisi-definisi yang mendeskripsikan kebudayaan sebagai struktur global masyarakat atau suatu bangsa konsep antropologis, ada juga beraneka definisi esensial, yang
berkonsentrasi kepada aspek atau elemen fundamental mendasar dari kebudayaan. Definisi itu pada umumnya mengidentifikasikan kebudayaan sebagai ethos suatu bangsa atau pandangan
kosmos Weltanschauung dan nilai-nilainya. Di sini dapat diberi contoh, definisi dari Bernard Lonergan, yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan “makna-makna dan nilai-nilai
bersama yang memperlihatkan suatu gaya hidup tertentu”.
11
Juga ada definisi dari Ch. Dawson,
yang mengatakan bahwa “kebudayaan adalah forma atau bentuk masyarakat. Suatu masyarakat tanpa kebudayaan adalah masyarakat tanpa bentuk, suatu tumpukan atau kumpulan individu-
individu yang tinggal bersama hanya karena kebutuhan sesaat; sementara jika kebudayaan itu tampak dan kuat, dia secara lengkap akan memberi ciri khas masyarakat tertentu dan mengubah
perbedaan material manusia-manusia yang ada di dalamnya”.
12
Definisi esensial dari Dawson akan semakin lengkap dengan memberi sifat “spiritual” kepada “forma” bentuk, sehingga “kebudayaan adalah forma bentuk spiritual dari masyarakat”. Sifat
spiritual ini sangat penting, untuk membedakan forma atau bentuk dari yang lain. Meskipun semua hasil karya kultural kebudayaan memiliki aspek material, pada kenyataannya mereka berguna
untuk menghubungkan dan menyatukan secara spiritual di antara anggota dalam suatu masyarakat. Kebudayaan sebenarnya merupakan jalinan interior, batin, spiritual dari suatu masyarakat.
Dari kebudayaan kultur kita menuju ke inkulturasi. Jelas bahwa inkulturasi berkaitan erat dengan konsep kebudayaan secara antropologis. Oleh karena itu, inkulturasi bisa berarti “proses
suatu gerakan pemikiran, sistem filosofis dan religius yang sesuai dengan bermacam-macam komponen kebudayaan yang meliputi bahasa, adat-istiadat, peraturan, institusi, nilai-nilai dll”.
13
Inkulturasi juga berarti masuknya anggota masyarakat atau suatu bangsa ke dalam kebudayaan dari masyarakat atau bangsa itu.
Selanjutnya kita akan melihat persoalan inkulturasi Gereja dan Injil, dengan memperhatikan definisi atau pengertian inkulturasi: merasuknya atau meresapnya Gereja dan Injil dalam
kebudayaan, seperti yang ditegaskan oleh Ensiklik Redemptoris Missio: “inkulturasi adalah proses merasuknya Gereja ke dalam kebudayaan para bangsa” RM 52. Persoalan inkulturasi
menyangkut kata kunci, yaitu: kehadiran. Kehadiran di dalam Gereja dari dua tingkat kultural kebudayaan: tingkat transenden atau ilahi dan tingkat imanen atau insani. Ketika kita berbicara
soal inkulturasi selalu merujuk kepada paradigma inkarnasi. Misteri inkarnasi yang mengatakan
10 W. D. Wallis, Culture and Progress, New York, 1930, hlm. 32. 11 Bdk. B. Lonergan, Il Metodo in teologia, Queriniana, Brescia, 1975, hlm. 21.
12 Ch. Dawson, Religion and Culture, London, 1948, hlm. 48. 13 Bdk. Battista Mondin, “Inculturazione”, dalam Dizionario enciclopedico di filosofia, teologia e morale, Massimo,
Milano, 1989, hlm. 376.
179
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA
bahwa dalam Yesus hadir realitas ganda: realitas ilahi Logos kekal dan realitas insani manusia diangkat dari Sabda yang lahir dari Maria.
Gereja tidak dibangun dari individu tunggal, melainkan oleh communio persekutuan pribadi- pribadi dan berdasarkan ikatan batin dan spiritual atau adikodrati: Yesus Kristus, sebagai Kepala,
Bapa, Roh Kudus dan Rahmat. Namun harus disadari bahwa sebagai kelompok sosial insani- manusiawi, Gereja juga menerima dari suatu kultur atau kebudayaannya sendiri dan karena itulah
Gereja itu bersifat teandrik. Kultur Gereja itu juga bersifat teandrik: Gereja meliputi tingkat transenden atau ilahi dan tingkat imanen atau insani.
Dalam pribadi Kristus, kita tahu bahwa unsur ilahi adalah Pribadi kedua dari Tritunggal Mahakudus, Sabda Allah, Sabda kekal dari Bapa. Karena itu, sebagai umat Allah yang baru,
Gereja sangat penting menerima suatu kulturnya yang istimewa. Di dalam Gereja ada perjumpaan dalam level kultur bagian ilahi dan bagian insani. Bagi Gereja, sama seperti kelompok sosial
lainnya, kebudayaan membangun jiwa Gereja, jalinan batinnya, forma spiritualnya. Tetapi ada soal: dimana meletakkan tingkat transenden ilahi dari kultur atau kebudayaan Gereja?
Guna meletakkannya atau memposisikannya perlulah memperhatikan dua hal: pertama, kita harus melihat di mana tingkat transenden dan ilahi dari kultur atau kebudayaan Israel, umat
terpilih pertama yang menerima secara langsung dari Allah bagian khusus dari kebudayaannya. Kedua, selanjutnya melihat pembaharuan substansial bahwa Allah sendiri mengangkat kultur atau
kebudayaan dari umat Allah yang baru, Gereja, dengan kedatangan Sang Sabda.
Jika kita kembali kepada pilar-pilar besar dalam kebudayaan, kita menemukan dengan mudah bahwa dalam kebudayaan kultur umat Israel pilar-pilar itu merupakan anugerah dari Allah.
Yahweh yang memberi anugerah kepada Israel nukleus esensial dari pilar simbolis: iman akan satu Allah; Yahweh yang memberikan anugerah kepada umatNya nukleus fundamental pilar etis:
thora taurat, hukum; Yahweh yang menyatakan kepada Israel nukleus pertama dari pilar aksiologis, dengan menunjukkan sebagai nilai utama kesetiaan kepada Allah dan hukum, kasih
kepada sesama, kebenaran, perdamaian, pengharapan, doa dll; dan Yahweh yang memberikan sendi dari pilar politis: dengan pemberian martabat imamat, nabi dan raja.
Israel meleburkan diri sebagai bangunan besar kultural dengan acuan ilahi dan menyesuaikan
atau menyelaraskan dengan kemampuan, kebiasaan, mentalitas mereka sendiri dan kemudian berinkarnasi menjelma dengan tawaran kultural Allah dalam kebudayaan.
Dengan Gereja, bangunan kultural yang tetap tinggal sama secara fundamental, adalah suatu bangunan teandrik, yang memiliki tingkat ilahi dan insani. Yang ilahi masih secara sebagian
parsial yaitu umat Allah lama; sebagian besar pilar “ilahi” Israel: iman akan Allah, bagian moral hukum, imamat, kenabian dan rajawi, nilai-nilai kesetiaan, kasih, perdamaian tetap dipelihara juga
oleh umat Allah yang baru. Tetapi unsur-unsur ilahi yang baru diperkaya dalam tingkat transenden dari kultur Gereja. Kenyataan ini ditegaskan dalam Konstitusi dogmatis Lumen Gentium bahwa:
“Kepala umat mesianik itu Kristus [...]. Kedudukan umat itu ialah martabat dan kebebasan anak- anak Allah. Roh Kudus diam di hati mereka bagaikan dalam kenisah. Hukumnya perintah baru
untuk mencintai, seperti Kristus sendiri telah mencintai kita bdk. Yoh 13: 34. Tujuannya Kerajaan Allah, yang oleh Allah sendiri telah dimulai di dunia, untuk selanjutnya disebarluaskan
hingga pada akhir zaman diselesaikan olehNya juga, bila Kristus, hidup kita, menampakkan diri bdk. Kol 3: 4, [...]. Oleh karena itu, umat mesianik meskipun kenyataannya tidak merangkum
semua orang dan tak jarang nampak sebagai kawanan kecil, namun bagi seluruh bangsa manusia merupakan benih kesatuan, harapan dan keselamatan yang amat kuat. Terbentuk oleh Kristus
180
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA
sebagai persekutuan hidup, cinta kasih dan kebenaran, umat itu olehNya diangkat juga menjadi upaya penebusan bagi semua orang, dan diutus ke seluruh bumi sebagai cahaya dan terang dunia
bdk. Mat 5: 13-16” LG 9.
Katolisitas Gereja secara esensial adalah katolisitas kultural, artinya kesiapsediaannya untuk “menginkarnasi” diri sendiri dan Injil sehingga bisa diwartakan kepada semua bangsa dalam
beraneka kebudayaan. Sejarah Gereja memperlihatkan secara jelas sikap, pembawaan dan kesediaan Gereja untuk “melipatgandakan” inkarnasi kultural: “Seraya melaksanakan kegiatan
misioner di antara para bangsa, Gereja berjumpa dengan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda dan terlibat dalam proses inkulturasi. Perlunya keterlibatan seperti itu telah
menandai ziarah Gereja sepanjang sejarahnya, tetapi dewasa ini hal itu menjadi lebih penting lagi” RM 52.
Sejarah inkulturasi kristianisme memperlihatkan apa yang dalam pekerjaan tidak mudah ini harus tetap dilaksanakan terus: tingkat transenden, ilahi dan apa yang dapat harus berbeda-beda:
tingkat imanen atau insani. Dalam inkarnasi menjadikan tingkat transenden tidak mematikan dan juga tidak menghilangkan tingkat insani, malahan merangkumnya dan mengangkatnya; dan begitu
pula sebaliknya tingkat imanen, insani, tidak mereduksi atau menyempitkan atau memandulkan tingkat atau dimensi ilahi.
Kristianisme itu akan tetap hidup karena mampu berinkarnasi dalam kebudayaan-kebudayaan; tetapi ini juga berlaku bagi kebudayaan-kebudayaan: kebudayaan-kebudayaan tersebut hidup jika
mendekatkan diri dan berinkarnasi terhadap kristianisme. Kristianisme tanpa kebudayaan itu kosong, karena kebudayaan itu bagaikan rahim bagi kristianisme.
8.2.3. Dasar Teologis Inkulturasi