BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA
Paham agnostisisme dan pemikiran dangkal sejak lama telah membawa korban orang-orang beriman. Hal ini telah diingatkan oleh Paus Paulus VI: “Sekarang ini, - tulis Paulus VI dalam
suatu pidato di depan anggota Komisi Teologi Internasional 1974, - semakin banyak orang menolak prinsip-prinsip aturan moral objektif. Keadaan demikian datang dari manusia
modern yang selalu mengalami kegelisahan. Mereka tidak tahu lagi mana yang baik dan mana yang jahat, dan kriteria mana untuk membedakannya; sebagian umat Kristen
mengalami keraguan, telah kehilangan kepercayaan terhadap konsep moral natural, baik dalam ajaran-ajaran positif Revelasi Wahyu maupun Magisterium”.
5
c. Manusia yang mementingkan nilai-nilai penunjang dari pada nilai-nilai utama. Manusia
cenderung semakin menjauhkan diri dari Allah. Mereduksi realitas manusiawi sendiri kepada melulu dimensi somatis ketubuhan dengan menerima tesis Nietzsche yang menurutnya
manusia hanya tubuh dan tidak ada lain lagi selain tubuh. Manusia post-modern selalu melekat dan terjerat kepada harta duniawi dan kepada sesuatu yang dapat membantu untuk
memiliki segala sesuatu. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia post-modern sebagian besar adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mereka terus percaya teguh kepada hal-hal
penunjang itu, juga ketika hasilnya tidak selalu menguntungkan manusia. Misalnya, perkembangan teknologi komunikasi dan persenjataan. Manusia cenderung mempercayakan
secara eksklusif kepada hal-hal yang material, “kebudayaan dan ilmu pengetahuan tidak selalu beriorientasi kepada pencarian kebenaran, tetapi cenderung memberi dasar otonomi,
sampai berpendapat bahwa secara moral itu sah atau baik segala sesuatu yang secara teknik mungkin: pemikiran terutama tertuju kepada eksperimen embrio manusia dan manipulasi
genetis”.
6
d. Manusia yang semakin sadar dan peka akan hak-hak asasi manusia. Meskipun ada
kekeringan atau padang gurun spiritual yang dialami oleh manusia post-modern, kita masih dapat bertemu dalam jiwa mereka jejak-jejak kristianisme. Antara lain kesadaran atau
sensibilitas akan hak-hak asasi manusia dan solidaritas bagi sesamanya. Kepekaan akan hak- hak asasi manusia membawa manusia untuk dengan berani ikut terlibat melindungi mereka
yang ditindas. Di antara hak-hak asasi manusia tempat pertama adalah kebebasan dan otonomi.
Cakrawala solidaritas terus meluas secara positif: manusia post-modern mengerti bahwa sesama orang lain bukan hanya anggota keluarganya, saudara-saudara sedaerah, sebangsa,
satu ras atau suku, melainkan semua keturunan Adam, artinya seluruh penduduk planet bumi ini tanpa kecuali. Kita dapat melihat, bagaimana sikap solidaritas negara-negara lain,
ketika wilayah atau negara tertentu mengalami bencana alam, gempa bumi, kelaparan, tekanan politik, penindasan dll. Juga kesadaran akan persoalan ekologi, yang merupakan
ungkapan dalam mencintai alam, dapat diinterpretasikan secara positif sebagai jejak-jejak atau benih-benih kristianisme, meskipun kadang sikap tersebut dibarengi tujuan atau kepentingan
tertentu, tanpa didasari sama sekali motif religius, kristiani, dan adikodrati. Sensibilitas
5 Bdk. L’Osservatore Romano, 18 Desember 1974, hlm. 2. 6 Yohanes Paulus II, “Pidato kepada para Uskup di Emilia Romagna”, dalam L’Osservatore Romano, 2 Maret 1991,
hlm. 5.
169
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA
terhadap nilai-nilai tertentu yang berakar dari kekristenan dan dapat dipandang sebagi suatu orientasi religius membangun batu loncatan positif bagi karya evangelisasi baru.
8.1.3. Tema-tema dan Bahasa Evangelisasi Baru
Secara substansial, evangelisasi baru tidak berbeda dengan evangelisasi ad gentes kepada para bangsa. Seperti diungkapkan dalam Ensiklik Redemptoris Missio tentang Amanat Misioner
Gereja: “Di lain pihak, batas-batas antara reksa pastoral kaum beriman, evangelisasi yang baru dan kegiatan misioner yang khusus tidak dapat dipisah-pisahkan secara jelas, dan tidak masuk
akallah untuk menciptakan tembok-tembok pemisah di antara mereka ataupun untuk menempatkan mereka dalam kotak-kotak yang mutlak saling tersekat” RM 34. Kecuali itu, hal
yang dikatakan oleh Redemptoris Missio berkaitan dengan misi atau perutusan ad gentes kepada para bangsa, berlaku juga bagi evangelisasi baru.
Meskipun sama kadar kemendesakannya maupun tujuannya, penerapan evangelisasi baru tidak bisa sejalan secara penuh dengan apa yang ada dalam misi atau tugas perutusan ad gentes.
Sebenarnya, “situasi-situasi tidaklah sama di mana-mana. Sembari mengakui bahwa pernyataan- pernyataan tentang tanggung jawab misioner Gereja tidaklah dapat dipercaya, jikalau mereka
tidak didukung oleh suatu komitmen yang serius terhadap evangelisasi baru di negara-negara secara tradisional Kristen, tampaklah tidak dapat dibenarkan menyamakan situasi dari orang
yang tidak pernah mengenal Yesus Kristus dengan situasi orang yang telah mengenal Dia, menerima Dia dan yang kemudian menolak Dia, sementara terus tinggal dalam suatau
kebudayaan yang sebagian besarnya telah diresapi oleh asas-asas dan nilai-nilai Injil. Dari sudut iman, ini adalah dua situasi yang berbeda secara mendasar” RM 37.
Tujuan dari evangelisasi baru – seperti yang ditegaskan dalam Ensiklik tersebut – bukan hanya ditemukan dalam “daerah-daerah yang memiliki akar-akar Kristen lama dan kadang-
kadang di Gereja-gereja lebih muda juga, di mana seluruh kelompok yang dibaptis telah kehilangan makna iman dalam kehidupan, atau bahwa tidak lagi memandang diri mereka sendiri
sebagai anggota Gereja, serta mengarungi suatu kehidupan yang jauh menyimpang dari Kristus dan InjilNya. Dalam hal ini apa yang diperlukan adalah suatu ‘evangelisasi yang baru’ atau
‘proses penginjilan kembali re-evangelisasi’” RM 33.
Kadar atau tingkat evangelisasi baru identik atau sama dengan misi tugas perutusan ad gentes, yaitu mengikuti Kristus. “Efektivitas hanya dapat ditemukan dalam Kristus, yakni
sebagai batu yang kokoh di mana dibangun atau didirikan hidup dan seluruh masyarakat, menjadikan kaum beriman supaya tidak takut dari segala bentuk kesulitan dan hambatan. Rumah
itu tidak akan roboh di bawah terpaan hujan, banjir yang menerjang dan angin kencang penuh ancaman, ketika didirikan di atas batu yang kokoh itu”.
7
Tetapi kepada kadar atau tingkat itu mengikuti Kristus hanya dapat dicapai setelah manusia menjalani tahap-tahap penting dan tahap-tahap itu adalah: pembangunan kembali
manusia dan pertobatan.
a. Proto-evangelisasi: pembangunan kembali manusia. Dengan mempelajari kondisi spiritual
manusia dewasa ini post-modern tampak bahwa mereka ada dalam situasi kurang memiliki prinsip atau dasar yang kokoh. Pada akhirnya setelah lama berada dalam proses sekularisasi
7 Yohanes Paulus II, “Pidato kepada para Uskup di Lombardia”, dalam L’Osservatore Romano, 2 Februari 1991.
170
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA
manusia tidak hanya “membunuh Allah”, tetapi juga menyebabkan kematian dirinya sendiri: telah membunuh roh, jiwa dan nilai-nilai absolut. “Dalam dunia modern – tulis Ensiklik
Redemptoris Missio – ada kecenderungan untuk mereduksikan menyempitkan manusia dalam dimensi horisontalnya semata-mata. Tetapi tanpa suatu keterbukaan kepada Yang
Mutlak, apakah jadinya dengan manusia itu? Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan di dalam sejarah umat manusia, suatu sejarah yang penuh dengan darah yang tertumpah atas
nama ideologi-ideologi atau pun karena rezim-rezim politis yang telah berikhtiar membangun suatu ‘kemanusiaan yang baru’ tanpa Allah” RM 8.
Tugas pertama evangelisasi baru adalah membangun kembali manusia, artinya sebelum mewartakan Kabar Gembira Kristus, perlu memproklamasikan kebenaran penuh manusia.
Perlu kembali kepada manusia, kepada manusia integral; di mana proyek kemanusiaan penuh yang sudah ada dalam kebijaksanaan purba Plato, Aristoteles, Plotino telah dilukiskan
kepada suatu model ilahi. Evangelisasi baru harus merupakan evangelisasi fundamental, yang artinya tertuju kepada dasar-dasar, akar-akar, pembangunan kembali prinsip-prinsip yang telah
dilemahkan atau diancam oleh agnostisisme, nihilisme dan pemikiran dangkal. Harus merupakan suatu evangelisasi manusiawi, meliputi manusia dalam seluruh dimensi: fisik,
kultural, spiritual dan religius. Harus merupakan evangelisasi akal budi rasio di samping kesadaran: evangelisasi yang menggarisbawahi hak-hak dan kewajiban akal budi, yaitu
kebenaran. Karena akal budi diberikan kepada manusia untuk menyadari akan kebenaran, setiap kebenaran, tetapi terutama kebenaran manusia.
Evangelisasi baru itu harus memperjuangkan sungguh-sungguh melawan pelemahan akal budi. Evangelisasi baru harus membela dengan sungguh-sungguh martabat pribadi manusia,
nilai mutlak dan tidak terbatas, yang selalu meminta perhatian yang besar dan penghormatan yang pantas. Keberanian dan kekonsistenan Yohanes Paulus II dalam membela hidup dapat
menjadi suatu contoh bentuk proto-evangelisasi: “Sangat mendesak suatu aksi pastoral yang mencakupi akar-akar paling dalam dari pilihan-pilihan personal dan sosial dan mengantar
kepada pengembalian nilai religius dan sosial akan kehidupan. Di sinilah letak kunci dari semua: dalam makna dan dalam nilai yang menentukan hidup”.
8
Evangelisasi baru harus menyuarakan dengan lantang “kebenaran proyek atau rencana ilahi akan hidup dan akan
pemeliharaan hidup. Tentang tema ini, sekali lagi Gereja dipanggil untuk menjadi garam yang memberi rasa dan yang melindungi dari kerusakan. Evangelisasi baru harus
menyampaikan pewartaan kabar baik ini: Allah, Pencipta hidup, mempunyai proyek atau rencana istimewa demi kebahagiaan dan keabadian bagi setiap orang. Dia hanya meminta
supaya manusia tersangkut akan proyek atau rencana ini, untuk mempercayakan diri kepada kasihNya, mengarahkan diri kepadaNya, seluruh hidup pribadi dan sosial, dengan menerima
untuk mengenalNya, mencintaiNya dan melayaniNya”.
9
Evangelisasi baru harus menekankan
terus menerus mengenai nilai-nilai mendasar fundamental, yang merupakan nilai-nilai yang menuntun dan membentuk manusia, nilai yang mempersatukan dan tidak memecahbelah
dan nilai yang langgeng dan tidak sementara. Nilai-nilai itu adalah kebenaran, kehendak baik, kemurahan hati, kasih, keadilan, perdamaian, solidaritas dll.
8 Ibid. 9 Ibid.
171
BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA
Bagian dari proto-evangelisasi di atas secara langsung merupakan pembangunan kembali manusia individu atau menyangkut pribadi manusia. Ada bagian lain yang secara khusus
merujuk beberapa aspek dari kelompok manusia, yaitu societas atau masyarakat. Di sini perlu disadari fakta bahwa hubungan masyarakat sekarang ini telah berkembang dan meluas
melewati batas-batas: umat manusia telah menjadi bagaikan satu keluarga. Sekarang ini, Gereja harus menjadi promotor dan pendukung suatu proyek kultural yang berdimensi global
atau mendunia. Masih menyangkut proto-evangelisasi masyarakat societas, Gereja harus menjadi penggerak dan pembela konsep pembangunan yang baru, didasarkan atas kebenaran
dan keadilan sehingga dapat menyumbangkan kebaikan bagi semua anggota masyarakat secara merata. Ensiklik Redemptoris Missio 59 menegaskan bahwa “melalui pesan Injil,
Gereja memberikan suatu daya kekuatan untuk pembebasan yang mendorong memajukan pembangunan justru karena dia mengarah menuju pertobatan hati dan pertobatan cara
berpikir, membantu memajukan pengakuan akan martabat setiap orang, mendorong kesetiakawanan, komitmen dan pelayanan akan sesamanya, dan memberikan tempat kepada
setiap orang dalam rencana Allah, yaitu membangun Kerajaan perdamaian dan keadilan, yang telah dimulai dalam kehidupan ini. [...]. Pembangunan manusia berasal dari Allah,
berasal dari model Yesus Kristus – Allah dan manusia – dan mesti kembali lagi kepada Allah” RM 59. Kemudian Ensiklik juga menambahkan bahwa “sumbangan Gereja dan
evangelisasi kepada pembangunan manusia tidak saja menyangkut perjuangan melawan kemiskinan material dan keterbelakangan di dunia Selatan belaka, melainkan juga mencakup
dunia Utara, yang cenderung terperangkap ke dalam kemiskinan moral dan kemiskinan spiritual, yang disebabkan oleh ‘kemajuan yang berlebih-lebihan’. Sebuah jalan pikiran
tertentu, yang tidak dipengaruhi oleh suatu pandangan keagamaan dan yang tersebar luas di beberapa bagian dari dunia dewasa ini, didasarkan pada gagasan bahwa meningkatnya
kekayaan dan kemajuan ekonomi dan pertumbuhan teknik adalah cukup bagi manusia untuk dapat berkembang pada tataran manusiawi. Namun suatu pembangunan yang tanpa jiwa
semacam itu tidak dapat memuaskan umat manusia dan suatu kemewahan yang berlebih- lebihan adalah sama berbahayanya seperti kemiskinan yang berlebih-lebihan” RM 59.
b. Pertobatan. Sementara kita mengupayakan pembangunan manusia dan masyarakat,