Karakter Manusia Dewasa Ini Modern dan Post-Modern

BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

8.1.1. Umat Kristiani dalam Misi

Hal pertama yang harus dilakukan, untuk memberi jalan kepada evangelisasi baru adalah menyadari bahwa secara tradisional ada beberapa tempat yang telah memiliki dasar kristiani, praktisnya seluruh Eropa dan Amerika Latin. Tetapi harus disadari pula bahwa di benua lain, terutama di Asia maupun di Afrika masih tetap merupakan tanah atau zona misi. Tetapi sekarang banyak tempat yang disebut Kristen hanya tinggal nama: dalam mayoritas besar penduduknya iman dalam Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan Penyelamat, dan dalam Gereja sebagai satu- satunya sarana keselamatan, secara tragis menghilang. Perlahan-lahan tetapi pasti, budaya yang mendominasi bukanlah budaya Kristen melainkan budaya “kekafiran” atau pagan. Dari kenyataan ini, Gereja perlu mencari tahu secara serius sebab-sebab mengapa iman akan Kristus, yang telah berabad-abad mengakar dan meragi di setiap aktivitas pribadi dan sosial lambat laun memudar. Penyebabnya tentu saja sangat kompleks dan secara substansial erat berhubungan dengan mentalitas atau paham-paham tertentu, misalnya ateisme, di mana telah dikatakan secara gamblang oleh Konsili Vatikan II, terutama dalam Konstitusi pastoral Gaudium et Spes tentang Gereja dalam Dunia Modern art. 19-20: “Mereka yang dengan sengaja berusaha menjauhkan Allah dari hatinya serta menghindari soal-soal keagamaan, tidak mengikuti suara hati nurani, maka bukannya tanpa kesalahan. Akan tetapi kaum beriman sendiri pun sering memikul tanggung jawab atas kenyataan itu. Sebab ateisme, dipandang secara keseluruhan, bukanlah sesuatu yang asali, melainkan lebih tepat dikatakan timbul karena pelbagai sebab, antara lain juga karena reaksi kritis terhadap agama-agama, itu pun diberbagai daerah terutama terhadap agama kristiani. Oleh karena itu dalam timbulnya ateisme itu umat beriman dapat juga tidak kecil peran sertanya, yakni sejauh mereka – dengan melalaikan pembinaan iman atau dengan cara memaparkan ajaran sesat atau juga karena cacat cela mereka dalam kehidupan keagamaan, moral dan kemasyarakatan – harus dikatakan lebih menyelubungi dari pada menyingkap wajah Allah yang sejati maupun wajah agama yang sesungguhnya” GS 19. Kecuali karena sebab-sebab pendangkalan iman dalam komunitas Kristen tersebut yang sudah terjadi, maka perlu diperhatikan agar upaya evangelisasi baru melihat kembali mengenai kondisi spiritual, moral dan kultural, “religiusitas” manusia pada zaman kita dewasa ini. Siapa manusia itu, yang meskipun dikelilingi oleh aneka bentuk budaya dan sejarah, oleh banyak monumen seni dan tulisan-tuisan sastra yang membicarakan Kristus dan Injil, tetap tidak memahami lagi makna, nilai, penting dan kebenarannya? Dapat dikatakan bahwa manusia-manusia ini telah mengalami de-kristianisasi, tidak mau tahu acuh tak acuh dan tidak jarang menjadi seteru pesan Injil. Apa saja keyakinan dan keraguan mereka, penantian dan frustasi mereka, pengharapan dan kegelisahan atau kekecewaan mereka yang menjadikan jauh dari Kristus. Para misionaris ad gentes kepada para bangsa sebelum memulai kerja mereka di tanah-tanah misi harus mengerti bahasa, adat istiadat, kebudayaan, nilai-nilai, harus mengenal budaya dan kepercayaan religiusitas masyarakat yang hendak diinjilinya.

8.1.2. Karakter Manusia Dewasa Ini Modern dan Post-Modern

166 BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA Kita kiranya dapat menyebut beberapa ciri atau karakter manusia dan masyarakat modern atau post-modern sebagai berikut: a. Manusia sekular. Dunia sekarang telah diresapi udara sekularisasi: udara yang tidak mengecualikan siapa saja, yang meracuni kesadaran, dengan tidak hanya menghapus iman akan Kristus, tetapi juga jejak atau benih-benih Allah: semboyan paham sekularisasi adalah: menghilangkan segala hipotesis adanya Allah dan seandainya ada Allah tidak akan memberi sesuatu; ini adalah semboyan yang selalu menginspirasi manusia post-modern. Proses “sekularisasi ini, yaitu pembuangan setiap motivasi dan finalitas religius dari setiap tindakan hidup manusia, berlangsung secara cepat”. 2 Dalam majalah Teologi, yakni Concilium, yang terbit 1980, ada suatu studi tentang pengaruh sekularisasi bagi hidup religius di Eropa, terutama di Prancis. Seorang sosiolog Prancis, J. Audinet menulis demikian: “Prancis adalah negara di mana agama bukan merupakan kewajiban bagi penduduknya. Institusi, identitas individu atau tindakan sosial, setiap referensi religius dikecualikan dari hidup kolektif. Dunia politik, usaha atau pendidikan tertutup dari setiap intervensi religius keagamaan. Orang beriman senang dianggap sebagai anggota suatu masyarakat non- religius awam. Demikianlah, agama tidak mempunyai tempat dalam setiap keputusan dan dalam inisiatif kolektif”. 3 Setiap agama, termasuk kristianisme telah dipinggirkan oleh societas masyarakat dan dari kebudayaannya dan telah menjadi suatu hal yang melulu privat, personal, urusan masing- masing pribadi. Kita dapat mendaftar pilar-pilar penting yang mendukung pembentukan budaya bagi suatu masyarakat, yakni: simbol-simbol, struktur-struktur, adat-istiadat, nilai- nilai, institusi. Dan lantas kita dapat mengamati nilai-nilai kekristenan apa, yang masih tinggal dalam pilar-pilar masyarakat sekular seperti yang kita hidupi. Dalam dimensi simbolis, yaitu bahasa filsafat, sastra, puisi dll, kristianisme telah hilang. Bahasa masyarakat kita, baik resmi maupun umum, tidak lagi bahasa kekristenan, yang mengungkapkan konsep-konsep dan hukum-hukum atau nilai-nilai kekristenan. Terutama dalam sarana-sarana komunikasi massa, yang mengontrol dimensi simbolis, kehadiran kekristenan sangat minim. Kristianisme juga lenyap dari institusi-institusi politik, ekonomi, yuridis dan pendidikan. Dasar perundang-undangan yang mengatur perilaku dan menuntun kebiasaan-kebiasaan masyarakat sipil tidak lagi mandatum novum Kristus: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”Mrk 12: 30-31. Sehingga manusia tidak lagi menjaga perintah dasar dari setiap etika: “Jangan membunuh”. Misalnya, semakin maraknya aborsi, eutanasia, pembunuhan dll. Terutama kristianisme telah lenyap dari dimensi axiology, dimensi akan nilai, yang menunjukkan jiwa dari suatu masyarakat. Nilai-nilai khas kristiani: cinta kasih, kepercayaan, 2 Yohanes Paulus II, “Pidato kepada para Uskup di Emilia Romagna”, dalam Obsservatore Romano, 2 Maret 1991, hlm. 5. 3 J. Audinet, “Francia: una cultura senza religione”, dalam Concilium 6, 1980, hlm. 76. 167 BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA pengharapan, doa, kerendahan hati, pengampunan, penghargaan terhadap martabat pribadi dan hidup, bukan lagi menjadi sumber inspirasi dan tuntunan manusia post-modern sekarang ini. Nilai-nilai yang dikejar-kejar dengan berbagai jalan dan sarana oleh masyarakat kita, sekarang ini adalah kesehatan, kesenangan, uang, kekuasaan, ilmu pengetahuan, efisiensi, kecantikan, perkembangan dll. Tentu saja itu bukan merupakan nilai-nilai yang buruk dari dirinya sendiri, dapat juga merupakan nilai-nilai yang baik, tetapi akan menjadi jauh dari nilai kekristenan dan dengan sendirinya buruk jika diyakini sebagai nilai-nilai yang absolut mutlak. Para Uskup Amerika Latin dalam Dokumen Puebla 1979 mengatakan bahwa penyebab utama kejahatan yang meracuni masyarakat modern dan post-modern, adalah pemutarbalikan nilai-nilai, artinya manusia mengganti nilai-nilai spiritual dan moral dengan nilai-nilai material-duniawi, terutama materialisme, konsumerisme, hedonisme, individualisme, indiferentisme dan relativisme. “Materialisme individualistis telah menjadi nilai tertinggi bagi sebagian besar masyarakat sekarang ini, yang mengancam communio dan partisipasi sehingga menghilangkan solidaritas; dan materialisme kolektivistis yang membawahkan atau menurunkan persona pribadi manusia kepada kekuasan negara. Konsumerisme, dengan keinginannya untuk selalu memiliki lebih dan lebih lagi, sedang menggerogoti manusia modern dan post-modern sehingga dengan sendirinya menutup nilai-nilai Injili keugaharian dan kesederhanaan. Hilangnya makna kejujuran publik dan privat, frustrasi dan hedonisme telah mengakibatkan perilaku-perilaku buruk tertentu, misalnya penyalahgunaan obat-obat terlarang, korupsi, penyimpangan seksual dll”. 4 Ciri atau karakter manusia modern dan post-modern, kurang lebih bersangkut paut secara langsung dengan sekularisasi.

b. Manusia tanpa prinsip; mempunyai prinsip tetapi tidak jelas. Manusia modern dan post-