Kehadiran Kristus dalam kebudayaan dan dalam kebudayaan-kebudayan. Merupakan Semua pelayanan dalam Gereja pada hakekatnya merupakan partisipasi dan kolaborasi.

BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA Yakub, lebih kuat dan nyata diwahyukan dan dimanifestasikan dalam kepenuhan Roh, mengundang seluruh kebudayaan untuk membiarkan diri ditransformasi oleh hidup, pengajaran, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. 2. Yesus Kristus Tuhan dan Penyelamat Dunia a. Transendensi Yesus dalam hubungan dengan setiap kebudayaan. Pewartaan Yesus: dalam diriNya, dalam SabdaNya dan dalam pribadiNya, Allah nyata tergenapi. Yesus adalah cahaya kekal dan kebijaksanaan sejati bagi semua bangsa dan bagi semua kebudayaan bdk. Mat 11: 19; Luk 7: 35. Dia menunjukkan, dalam karyaNya sendiri, bahwa Allah Abraham, telah dikenal oleh Israel sebagai pencipta dan Tuhan, bersedia untuk merajai seluruh orang yang percaya kepada Injil, dan dalam Yesus, Allah telah meraja.

b. Kehadiran Kristus dalam kebudayaan dan dalam kebudayaan-kebudayan. Merupakan

peristiwa yang integral dan konkret, inkarnasi Putera Allah merupakan inkarnas kultural: “Untuk dapat menyajikan kepada semua orang misteri keselamatan serta kehidupan yang disediakan oleh Allah, Gereja harus memasuki golongan-golongan itu dengan gerak yang sama seperti Kristus sendiri, ketika Ia dalam penjelmaanNya inkarnasi mengikatkan diri kepada keadaan-keadaan sosial dan budaya tertentu, pada situasi orang-orang yang sehari- harian dijumpaiNya” AG 10. Putera Allah telah menghendaki untuk menjadi seorang Yahudi di Nazareth, wilayah Galilea, dan berbicara dalam bahasa Aram, dibawah tuntunan orang tua di Israel, yang menemaniNya pergi ke Bait Allah di Yerusalem, di mana Dia “duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan- pertanyaan kepada mereka” Luk 2: 46. 3. Gereja para Rasul dan Roh Kudus a. Dari Yerusalem ke seluruh bangsa: inkulturasi iman awali. Pada hari Pentekosta, turunnya Roh Kudus menyatakan hubungan iman Kristen dan kebudayaan-kebudayaan sebagai saat kegenapan dan kepenuhan: janji keselamatan, dilaksanakan oleh Kristus yang bangkit, memenuhi hati orang beriman dengan pencurahan Roh Kudus sendiri. “Perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” akan dinyatakan kepada seluruh umat manusia, dari setiap bahasa dan kebudayaan. 19 Sementara umat manusia hidup dalam tanda keterpisahan Babel, karunia Roh Kudus itu nyata sebagai rahmat, yang transenden dan mempersatukan hati. Communio ilahi koinonia menciptakan kembali suatu komunitas di antara manusia, merasuk tanpa mengacaukan, dalam tanda keterpisahan mereka, yaitu bahasa-bahasa.

b. Tradisi para Rasul: inkulturasi iman dan keselamatan kebudayaan. Kristus yang bangkit,

diteguhkan dalam peristiwa Pentekosta, masuk dalam sejarah manusia: mulai saat itu makna sejarah dan juga kebudayaan itu ditandai atau “dimeterai” bdk. Why 5: 1-5 dan Roh Kudus menyatakan dan mengkomunikasikan dirinya kepada semua orang. Setiap Gereja lokal atau partikular mempunyai panggilan untuk menjadi, dalam Roh Kudus, sakramen yang menampakkan Kristus, yang disalibkan, wafat dan bangkit, dalam daging meraga, menjelma dalam suatu kebudayaan partikular: 19 Bdk. Kis 2: 11 184 BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA - Kebudayaan Gereja lokal, baik yang muda maupun tua, berpartisipasi kepada dinamisme kebudayaan-kebudayaan dan kepada kehidupan mereka. - Kebaharuan kristiani melahirkan dalam Gereja-gereja lokal ekspresi-ekspresi partikular khusus yang dicirikan kebudayaan forma ajaran, simbol liturgi, kekudusan. Namun demikian, communio persekutuan antara Gereja-gereja meminta terus menerus bahwa “daging” kultural dari setiap orang tidak membuat selubung atau mengaburkan pengenalan akan iman apostolik dan kepada solidaritas dalam cinta kasih. - Setiap Gereja diundang kepada bangsa-bangsa untuk memberi kesaksian akan Tuhan. Inkulturasi iman adalah salah satu ekspresi dari Tradisi para Rasul.

8.2.4.2. Peristiwa Inkulturasi

Sebagaimana digarisbawahi oleh Ensiklik Redemptoris Missio, inkulturasi merupakan proses yang panjang dan tidak mudah: “Proses merasuknya Gereja ke dalam kebudayaan para bangsa adalah suatu proses yang panjang. Proses ini bukan sekedar soal adaptasi luaran semata-mata, sebab inkulturasi berarti ‘suatu transformasi nilai-nilai kebudayaan otentik secara mendalam melalu proses integrasi mereka ke dalam kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan umat manusia’. Maka proses ini adalah suatu proses yang mendalam dan menyeluruh, yang mencakup pesan Kristen dan juga refleksi serta praktek Gereja. Tetapi pada saat yang sama proses ini merupakan proses yang sulit, oleh karena ia harus sama sekali tidak boleh membahayakan kekhususan dan keutuhan iman Kristen”. RM 52. Juga pertobatan pribadi adalah satu proses yang panjang dan tidak mudah, tetapi kesulitan akan lebih besar dan memerlukan waktu yang lebih panjang lagi bila tidak hanya soal pertobatan pribadi melainkan menyangkut transformasi mendalam suatu masyarakat atau bangsa keseluruhan, di mana guna menerima Injil memerlukan penyesuaian kebudayaan. Dalam proses inkulturasi dapat dibedakan tiga tahap, baik dari pihak yang diinkulturasi maupun pihak yang menginkulturasi: Tiga tahap menyangkut pihak yang diinkulturasi: 1 secara positif: kesediaan atau kesanggupan untuk menerima dan membuka diri terhadap Gereja dan Injil; 2 secara negatif: otokritik dan pembersihan bila kebudayaannya sendiri memiliki ketidaksempurnaan dan penyimpangan; 3 secara sublimatif: pengangkatan kebudayaannya sendiri melalui rahmat dan penerimaan Roh. Tiga tahap menyangkut pihak yang menginkulturasi: 1 sikap positif terhadap pihak yang diinkulturasi dan penghargaan tehadap nilai-nilai positif kebudayaan mereka; 2 mampu menilai secara kritis dan tepat terhadap keterbatasan, kesalahan atau ketidaksempurnaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat dan kebudayaannya; 3 penyucian atau pembersihan pihak yang diinkulturasi melalui sakramen-sakramen Kristus dan anugerah Roh Kudus. Tahap rangkap tiga tersebut dalam Dokumen Santo Domingo dihubungkan dengan tiga misteri kekristenan terbesar: Misteri Natal, Misteri Paskah dan Misteri Pentekosta: “Sangat penting menginkulturasi Injil dalam terang tiga misteri agung penyelamatan: Natal, yang memperlihatkan perjalanan inkarnasi dan membawa Dia yang mewartakan menginjili dan memberikan hidupNya sendiri kepada mereka yang diinjili; Paskah yang membawa, melalui penderitaan, kepada penyucian para pendosa, agar mereka diampuni; dan Pentekosta yang melalui daya Roh 185 BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA Kudus memungkinkan semua orang mampu mengerti dalam bahasa mereka sendiri keajaiban Allah” Santo Domingo, no. 230. Dari pihak Gereja dan tentu pihak pembawa pesan-pesannya, diperlukan sikap cinta kasih, penghormatan dan perhatian kepada semua orang yang menerima pewartaan Injil, melalui kebudayaan mereka. Kasih, penghormatan dan perhatian ini didasari akan keyakinan bahwa semua orang dalam semua bangsa, berkat tindakan Roh Kudus sebenarnya telah memiliki benih-benih Sabda logos spermaticos. Karena itu, tugas pertama dan utama pembawa Injil adalah menghimpun cahaya-cahaya Roh dan benih-benih Sabda Allah tersebut. Tetapi di sini, diperlukan sikap kritis dan bijaksana guna membedakan benih yang baik dari yang buruk dan membedakan karya Roh dengan perbuatan si jahat. Yesus menjadi manusia guna keselamatan semua orang, tetapi pada kenyataannya hanya diterima atau diikuti oleh sedikit orang. Gereja adalah tubuh Kristus yang melanjutkan karya Yesus, karena itu, Gereja harus terus bekerja guna mewartakan keselamatan ini bagi sebanyak mungkin orang.

8.2.4.3. Strategi Inkulturasi

Inkulturasi tidak bisa dicampuradukkan dengan pertobatan. Pertobatan merupakan perubahan hidup secara radikal: manusia lama ditinggalkan secara total untuk menjadi manusia baru. Kecuali itu, pertobatan terutama menyangkut pribadi atau individu, di mana secara radikal mengubah sikapnya dalam hubungan dengan Allah, Yesus Kristus dan Gereja. Inkulturasi, pertama-tama tidak menyangkut pribadi individu melainkan suatu masyarakat atau suatu bangsa, dan memiliki tempat di sana di mana beberapa pribadi telah bertobat dan beriman kepada Yesus Kristus. Terhadap pribadi-pribadi yang telah membentuk suatu Gereja baru, komunitas baru kristiani tidak bermaksud untuk mempengaruhi kebudayaan di lain komunitas, atau di lain masyarakat dan bangsa; sebaliknya memperkembangkan dalam konteks kebudayaan mereka, sambil tetap memelihara apa yang baik, yang merupakan buah dari karya Roh dan benih- benih Sabda. Sekularisasi jelas bukan merupakan strategi yang baik bagi inkulturasi. Sekitar tahun 1960 – an sangat hangat didiskusikan mengenai istilah sekularisasi Injil dan kristianisme. Pada saat itu dibicarakan mengenai “makna sekular dari Injil” P. van Buren, kemudian muncul teori “kristianisme tanpa Allah” T. Altizer. Pada saat itu, orang begitu yakin bahwa strategi yang baik untuk pergi berjumpa dengan dunia modern dan kepada manusia modern, manusia dan dunia yang telah tersekularisasi, adalah dengan cara Gereja dan Injil disekularkan. Jelas bahwa strategi ini sangat bertolak belakang dengan pesan Injil itu sendiri. Pembebasan merupakan tema yang dominan pada tahun 1980 – an; tema ini juga masuk dalam strategi inkulturasi. Bagaimanapun juga pembebasan tidak menyelesaikan semua tugas inkulturasi, dia hanya mencakup satu fase penting: fase negatif dan kritis, yaitu perjuangan melawan: “struktur dosa” yang hadir dalam suatu kebudayaan tertentu dan melawan setiap bentuk penindasan dan pengasingan. Dengan menyadari perbedaan besar dan perubahan pesat dari kebudayaan-kebudayaan, inkulturasi terealisasi secara penting dengan suatu aneka strategi yang istimewa. Bukan menjadi pusat dari Gereja universal, melainkan komunitas lokal yang memiliki tanggung jawab pertama memasukkan Gereja dan Injil ke dalam lingkungan kultural. Apa yang ditulis Paus Paulus VI 186 BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA kepada Kardinal Maurice Roy Presiden Dewan Kaum Awam dan Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian mengenai Ajaran Sosial Gereja kiranya berlaku juga bagi inkulturasi dalam pengertian yang kompleks: “Berhadapan dengan situasi-situasi yang begitu beragam, tidaklah mudah mengeluarkan suatu pesan yang sama dan seragam serta mengajukan suatu pemecahan yang bisa berlaku secara universal. Menjadi tugas komunitas-komunitas kristiani untuk menganalisa secara objektif situasi yang cocok dengan negaranya sendiri, menyinarinya dengan terang kata-kata Injil yang tidak pernah berubah dan menyusun prinsip-prinsip renungan, norma-norma pertimbangan serta pedoman-pedoman bertindak...”OA 4. 20 Secara singkat dapat dikatakan bahwa strategi fundamental inkulturasi adalah mendengar dengan penuh perhatian dan kesabaran, dialog terbuka, tulus dan penuh kepercayaan, pengosongan diri kenosis yang bijaksana dan cerdik, anugerah rahmat, penerimaan sukarela dan asimilasi yang mendalam. Setiap Gereja partikular diundang untuk mengenal dan membaca tanda-tanda zaman partikular dalam lingkungannya, sambil mendengar penuh perhatian nilai-nilai kebudayaannya. Inkulturasi Gereja dan Injil “terealisasi melalui kesaksian personal dan kehadiran aktif orang- orang Kristen dalam lingkungan mereka. Komunitas kristiani sebagai tubuh sosial harus memberi pandangan atau visi yang jelas tentang tempat dan tindakannya sendiri dalam dunia yang pluralistik ini”. 21

8.2.4.4. Inkulturasi sebagai Karya Agape Kasih

Gereja merupakan pancaran cinta kasih Allah di antara manusia. InjilNya adalah Injil cinta kasih. Membawa Injil artinya membawa Kristus sendiri: yang adalah Kasih Allah, yang menjadi daging, artinya menjadi manusia seperti kita. Allah yang adalah kasih Deus caritas est telah mengasihi manusia sampai mengutus PuteraNya yang tunggal dan mengurbankan hidupNya bagi kita. Komunitas agape cinta kasih, yaitu Gereja lahir dari kasih dan terinkorporasi secara tidak terpisahkan dalam kasih ilahi di bumi. Aksi penginjilan Gereja bukan merupakan karya penaklukan atau perebutan, melainkan suatu gerak kasih. Evangelisasi merupakan anugerah Kristus, anugerah Roh Kudus, sehingga juga merupakan anugerah Bapa. Gereja itu “turun” dari misteri triniter, yang secara esensial merupakan misteri cinta kasih. Manusia baru yang tampil secara definitif dalam diri Yesus membawa tanda nyata dari Allah triniter ini. Manusia baru ini mempersembahkan kepada kita suatu model eksistensi unik: dalam realisasi eksistensi kita, melalui eksistensi kita dengan dan bagi yang lain. Seperti di dalam Allah: Bapa tidak ada jika tidak untuk Putera dan Putera tidak ada jika tidak untuk Bapa, dari cinta kasih universalitas total ini membangun realitas ketiga yaitu Roh – Roh Bapa dan Putera – yang juga merupakan anugerah yang diberikan kepada Gereja dan disebarkan kepada semua orang. Dengan inkulturasi Injil, Gereja mencari untuk menanamkan cinta kasih dalam seluruh struktur societas masyarakat dan dalam seluruh ekspresi kebudayaan: mengusahakan peresapan cinta kasih ke dalam hukum-hukum, institusi-institusi dan nilai-nilai; memberi makna “ilahi” atau religius dalam seni, sastra, ilmu pengetahuan dan tentu agama itu sendiri. Dalam karya ini 20 Paulus VI, Octogesima Adveniens Surat Apostolik kepada Kardinal Maurice Roy dalam kesempatan ulang tahun ke - 80 Rerum Novarum, art. 4. 21 Bdk. A. Peelman, Op. cit., hlm. 89. 187 BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA sungguh diperlukan kesabaran yang tabah dan cinta kasih yang tulus, kalau benih-benih Sabda Injil dalam kebudayaan-kebudayaan yang lain mau dikenali dengan sungguh-sungguh dan kalau diinginkan agar karya evangelisasi sungguh berhasil. Oleh karena itu, keberanian kenabian dan semangat merasul harus diiringi dengan kebijaksanaan dalam Roh Kudus. 22

8.2.5. Gereja di Asia menurut “Ecclesia in Asia”

Anjuran Apostolik Pasca Sinode “Ecclesia in Asia” New Delhi, 6 November 1999, sarat dengan tema-tema misiologis dan pastoral, tanpa melemahkan tema-tema dogmatik dan teologisnya. Misalnya, tema-tema: pewartaan, evangelisasi, misi, communio, sharing, dialog, inkulturasi, kesaksian, pertobatan dan penanaman Gereja EA 23. Anjuran ini membahas 7 tema pokok: 1 Konteks real Asia; 2 Yesus Kristus Juru Selamat; 3 Roh Kudus, Tuhan dan Pemberi Hidup; 4 Pewartaan mengenai Yesus di Asia dengan fokus pada inkulturasi; 5 Komunio dan dialog dengan fokus pada dialog ekumenis dan dialog antar agama; 6 Pelayanan kemanusiaan; 7 Orang-orang Kristen menjadi saksi-saksi Injil. Paus Yohanes Paulus II bersama para Bapa Sinode, mengundang semua orang Kristen di benua ini untuk membangun suatu “komitmen baru” bagi misi Gereja dalam milenium ketiga ini EA 4. Tema tersebut tetap sejalan dengan Surat Apostolik Tertio Millennio Adveniente 1994 yang antara lain mencanangkan program menyambut milenum ketiga dengan tantangan-tantangan bagi evangelisasi baru EA 2. Kata kunci dalam seluruh Anjuran Apostolik ini adalah pewartaan Yesus Kristus di Asia bdk. EN 27; RM 44 – kristosentris.

8.2.5.1. Ikhtisar isi “Ecclesia in Asia”

Pengantar 01. Keajaiban karya Allah di Asia 02. Latarbelakang sidang istimewa 03. Perayaan sidang istimewa 04. Sharing buah-buah dari sidang istimewa Bab I: Konteks Asia 05. Asia, tempat kelahiran Yesus dan Gereja 06. Kenyataan-kenyataan religius dan kultural 07. Kenyataan-kenyataan ekonomi dan sosial 08. Kenyataan-kenyataan politis 09. Gereja di Asia: masa lampau dan sekarang Bab II: Yesus Penyelamat, hadiah untuk Asia 10. Hadiah iman 11. Yesus Kristus, Manusia Allah yang menyelamatkan 12. Pribadi dan misi Anak Allah 13. Yesus Kristus, kebenaran kemanusiaan 22 Bdk. Dokpen KWI, Dokumen Sidang Federasi para Uskup Asia FABC, Gereja-gereja setempat di Asia dan tugas-tugas misi: inkulturasi, Mardi Yuwana, Bogor, 1995, hlm. 230. 188 BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA 14. keunikan dan universalitas keselamatan dalam Yesus Bab III: Roh Kudus, Tuhan dan pemberi hidup 15. Roh Allah dalam ciptaan dan sejarah 16. Roh Kudus dan inkarnasi Sang Sabda 17. Roh Kudus dan Tubuh Kristus 18. Roh Kudus dan misi Gereja di Asia Bab IV: Yesus Juru Selamat, mewartakan anugerah 19. Prioritas pewartaan 20. Mewartakan Yesus Kristus di Asia 21. Tantangan inkulturasi 22. Wilayah-wilayah kunci inkulturasi 23. Kehidupan kristiani sebagai pewartaan Injil Bab V: Komunio dan dialog untuk misi 24. Komunio dan misi perutusan berjalan bersama 25. Komunio di dalam Gereja 26. Solidaritas antar Gereja 27. Gereja-gereja Katolik Timur 28. Sharing pengharapan dan penderitaan 29. Misi dialog 30. Dialog ekumenis 31. Dialog antar agama Bab VI: Pelayanan kemanusiaan 32. Ajaran Sosial Gereja 33. Martabat pribadi manusia 34. Mendahulukan kasih orang miskin 35. Injil kehidupan 36. PerawatanReksa kesehatan 37. Pendidikan 38. Menciptakan perdamaian 39. Globalisasi 40. Utang luar negeri 41. Lingkungan hidup Bab VII: Kesaksian-kesaksian Injil 42. Gereja yang bersaksi 43. Para Gembala 44. Hidup bakti dan tarekat-tarekat misioner 45. Kaum Awam 46. Keluarga 47. Kaum muda 189 BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA 48. Komunikasi sosial 49. Para martir Kesimpulan 51. Ucapan terima kasih dan dorongan untuk maju 51. Doa kepada Bunda Kristus

8.2.5.2. Beberapa Penekanan 1. Konteks Asia

Gereja Asia diajak untuk mencari kembali jati dirinya. Untuk maksud itu, dokumen ini pertama- tama bertolak dari konteks konkret Asia berteologi ‘dari bawah’. Dua hal pokok yang dibicarakan atau didialogkan: 1 identitas Gereja; dan 2 konteks Asia. Identitas Gereja berarti ‘cara baru’ Gereja memahami dirinya dan melaksanakan misinya, yakni menggereja dan memasyarakat dalam milenium ketiga ini. Cara baru ini ditentukan bukan hanya oleh doktrin- doktrin tradisional melainkan pertama-tama oleh ‘konteks Asia’ sendiri yang pada kenyataannya merupakan suatu realitas yang kompleks menyangkut pluralitas dan diversitasnya bdk. EA 6-9. Paus Yohanes Paulus II mengapresiasi banyak nilai positif dalam kebudayaan-kebudayaan Asia, di samping menunjukkan kenyataan yang sebaliknya kemiskinan, kekerasan, marginalisasi kelompok-kelompok tertentu dll.. Dalam kondisi seperti itu, pertanyaan mendasar adalah bagaimana membangun Gereja yang kontekstual, Gereja yang berwajah Asia? EA memberikan pengakuan publik akan perlunya dan keabsahan ‘ke-asia-an Gereja-gereja Asia’ the asianness of the churches of Asia. Artinya, nilai-nilai kultural dan religius Asia yang menjadi ciri ‘jiwa Asia’ atau being Asian diakui sebagai absah dan perlu menjadi bagian integral dari Gereja. Lebih tegasnya, adalah kewajiban bagi ‘Gereja di Asia’ untuk menjadi ‘Gereja Asia’. Anjuran Apostolik EA mencatat nilai-nilai positif Asia yang dimaksudkan itu, seperti “cinta keheningan dan kontemplasi, kesederhanaan, keselarasan, sikap ikhlas-rela, tanpa kekerasan, semangat bekerja keras, tata-tertib, hidup yang subur, kehausan akan belajar dan penelitian falsafi” EA 6. Akan tetapi, di banyak tempat di Asia, meskipun tidak di semua tempat, Gereja tetap saja dianggap asing EA 21 dan dalam pikiran orang-orang Asia, Gereja diasosiasikan dengan kekuasaan-kekuasaan kolonial EA 9. Secara historis, Gereja mempunyai sejarah yang panjang – Gereja di Asia Barat dan Selatan misalnya, bisa ditelusuri sampai pada zaman para Rasul. Inilah paradoks Gereja di Asia, juga paradoks sejarah: Yesus sebagai orang Asia EA 1 namun tetap kurang dikenal oleh orang-orang dari benua ini EAA 2, bahkan dianggap asing untuk Asia EA 20. 2. Yesus Kristus, Juru Selamat Dokumen menggarisbawahi pentingnya tugas pewartaan. Isi pewartaan itu sendiri adalah mengenai Yesus Kristus, Juru Selamat. Dengan kata lain, Anjuran ini pada dasarnya berpusat pada “pewartaan mengenai Yesus Kristus di Asia dalam milenium ketiga”. Secara historis, Yesus adalah orang Asia, namun Ia “sering dianggap seolah-olah asing bagi Asia. Nampak paradoks, 190 BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA bahwa kebanyakan orang Asia cenderung menganggap Yesus – padahal lahir di daerah Asia – seorang Barat lebih dari pada seorang tokoh Asia” EA 20. Mengapa? Yohanes Paulus II menegaskan: karena Yesus memang tidak pernah diwartakan secara tepat. Cara dan metode bagaimanakah yang tepat? Dalam EA 4, Bapa Suci Yohanes Paulus II memberikan apresiasi yang tinggi terhadap tradisi-tradisi religius dan peradaban kuno, filsafat- filsafat dan kebijaksanaan Asia yang telah membentuk Asia seperti dewasa ini dan dalam tradisi besar inilah Gereja harus mewartakan Yesus secara baru dan benar. Dengan kata lain, inilah persoalan inkulturasi, artinya “menggunakan gambaran-gambaran tentang Yesus, yang kiranya dapat dimengerti bagi cita rasa dan kebudayaan-kebudayaan Asia, sekaligus juga tetap setia terhadap Kitab Suci dan Tradisi” EA 20 3. Kehadiran dan Karya Roh Kudus Paus menggarisbawahi juga kehadiran dan karya Roh Kudus di luar batas-batas Gereja yang kelihatan. Tema ini sejalan dengan Konsili Vatikan II yang menyatakan bahwa Gereja menghormati nilai-nilai baik, suci dan luhur dalam kebudayaan dan agama-agama lain yang pasti menunjuk kepada kebenaran yang sejati itu bdk. NA 2. Seluruh bab III dari Anjuran Apostolik ini dipersembahkan untuk membahas peran Roh Kudus dalam penciptaan, penebusan dunia dan misi Gereja bdk. RM bab III. Roh Kuduslah pelaku utama dialog antara Gereja dengan orang- orang, kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama Asia EA 15, Dia pelaku utama inkulturasi EA 17, 20 dan Dia pulalah pelaku tugas pewartaan yang diemban oleh Gereja EA 17, 43. 4. Tema Kerajaan Allah Titik pusat kehidupan kristiani bukanlah Gereja eklesiosentris, melainkan Kerajaan Allah regnosentris. Misi Gereja bukanlah plantatio ecclesiae, melainkan menjadikan dirinya sebagai tanda dan sarana yang efektif untuk menegakkan Kerajaan Allah – Kerajaan keadilan, perdamaian dan kasih – di tengah struktur masyarakat yang dirasuki oleh dosa – mentalitas materialistis, konsumeristis, hedonistis, persaingan yang keras, keserakahan dan cinta diri dalam banyak bidang sebagai dampak negatif era globalisasi ini. Sebagai benih Kerajaan, Gereja sendiri mendapat tugas untuk menjadi saksi Injil yang mengabdi kepada Kristus dan memperjuangkan keselamatan dunia EA 17.

8.2.5.3. Cara Baru Menggereja – Memasyarakat di Asia

Ditinjau dari perspektif eklesiologis misioner ada beberapa pokok pikiran mendasar dari Anjuran Apostolik ini tentang cara baru “menggereja dan memasyarakat” di Asia. 1. Sumber dan Tujuan Misi Gereja Sumber dan tujuan misi Gereja adalah Allah Tritunggal EA 12; bdk. AG 2-4. Misi Yesus Kristus adalah mengungkapkan dan memenuhi rencana Bapa untuk menyelamatkan dunia dan seluruh umat manusia. Dalam pembicaraan tentang Trinitas, Paus Yohanes Paulus II mengutip atau menunjuk kepada ketiga Ensikliknya terdahulu: Redemptor Hominis 1979, Dives in Misericordia 1980 dan Dominum et Vivificantem 1986. 191 BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA “Itu semua menunjukkan bagaimana misi Yesus untuk menyelamatkan umat manusia membawa meterai yang sungguh jelas, menunjukkan kehadiran Roh: hidup, hidup yang baru. Di antara perutusan Putera dari Bapa dan perutusan Roh dari Bapa beserta Putera, ada kaitan yang dekat dan vital. Tindakan Roh dalam penciptaan dan sejarah manusiawi beroleh makna yang sama sekali baru dalam tindakanNya pada hidup dan misi Yesus. ‘Benih-benih Sabda’, yang ditaburkan oleh Roh menyiapkan seluruh alam tercipta, sejarah dan manusia bagi kematangan yang sepenuhnya dalam Kristus” EA 16. Dengan kata lain, sumber misi Gereja adalah ‘dari atas’ dan bukan ‘dari bawah’, sebab Gereja sendiri adalah umat Allah yang dikumpulkan dalam satu kesatuan oleh Bapa lewat perutusan Putera dan Roh Kudus EA 24; bdk. LG 9. Gereja berakar pada pengalaman akan Allah EA 23. Misi Gereja memancar dari sumber Trinitaris ini dan terarah kembali ke communio intim dan di dalam Trinitas EA 12. Selanjutnya, sumber misi ini mengandung arah yang jelas. Arah dan tujuan misi Gereja – sebagaimana juga misi Yesus Kristus – adalah untuk membaharui persekutuan restoration of communion itu sendiri, baik persekutuan vertikal dengan Allah maupun persekutuan horisontal dengan sesama. 23 2. Communio misi baru ad intra a. Gereja adalah suatu persekutuanpaguyuban communio. Gereja, baik dalam tingkat lokal maupun dalam universal adalah pertama-tama ‘a communion of communities’ EA 25 di mana kaum awam, biarawan-biarawati dan klerus saling mengakui dan menerima sebagai saudara-saudari satu sama lain dengan cita rasa persekutuan sejati. Nilai-niai yang penting dalam paguyuban koinonia ini adalah: - pengalaman communio dengan Allah dan dengan umat manusia EA 24; cita rasa ini terutama nyata dalam Ekaristi; - pengakuan kesamaan fundamental semua anggota Gereja sebagai murid-murid Yesus, baik dalam tingkat Gereja lokal maupun Gereja universal EA 25; - solidaritas antar Gereja EA 26.

b. Semua pelayanan dalam Gereja pada hakekatnya merupakan partisipasi dan kolaborasi.

Ketiga pelayanan dalam Gereja – mengajar, menguduskan dan melayani – bersifat partisipatif dan kolaboratif EA 25. Pemahaman ini membawa suatu konsekuensi yang besar, yakni suatu pembaharuan dalam struktur dan disiplin Gereja: - Takhta Petrus memiliki keunikan pelayanan, yakni menjamin dan memajukan persatuan Gereja bdk. LG 22; - Pendekatan ‘satu arah’ dari Roma ke Gereja-gereja partikular diganti dengan ‘saling belajar dan mengajar, saling meneguhkan dan mengoreksi antara Gereja Roma dan Gereja- gereja lain, termasuk di antara Gereja-gereja lokal’; - Untuk memajukan communio dan participatio dalam Gereja, EA menggarisbawahi pentingnya nilai basic ecclesial communities Komunitas Basis Gerejani di mana ‘kebudayaan cinta kasih’ dapat terwujud. 23 Bdk. Realitas konflik Asia; EA 24. 192 BAB VIII TANTANGAN DAN TUGAS GEREJA

c. Gereja Asia adalah Gereja inkulturatif. Isu inkulturasi berhubungan erat dengan identitas