7. Gangguan
Gangguan bukan merupakan bagian dari proses komunikasi akan tetapi mempunyai pengaruh dalam proses komunikasi, karena pada setiap situasi
hampir selalu ada hal yang mengganggu kita. Gangguan adalah hal yang merintangi atau menghambat komunikasi sehingga penerima salah
menafsirkan pesan yang diterimanya.
2.2.2 Pelayanan Informasi Obat PIO
Informasi obat adalah setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi mencakup farmakologi, toksikologi dan penggunaan
terapi dari obat. Informasi obat mencakup nama kimia, struktur kimia, identifikasi, indikasi diagnostik atau indikasi terapi, ketersediaan hayati, bioekivalen, toksisitas,
mekanisme kerja, waktu mulai bekerja dan durasi obat, dosis dan jadwal pemberian, dosis yang direkomendasikan, konsumsi, absorpsi, metabolisme, detoksifikasi,
ekskresi, efek samping, reaksi merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga, keuntungan, tanda, gejala, dan pengobatan toksisitas, efikasi klinik, data komparatif,
data klinik, data penggunaan obat, dan setiap informasi lain yang berguna dalam diagnosis, dan pengobatan pasien dengan obat Siregar,2004.
Menurut Santoso 1997, Informasi Obat adalah keterangan mengenai obat, terutama yang dapat mendukung tercapainya tujuan pengobatan terapi yang tepat,
rasional, efisien dan aman dalam penggunaannya. Informasi yang diperlukan oleh pasien, paling tidak mencakup dua hal yaitu : 1 Informasi mengenai jenis
penyakitnya dan pengobatannya, dan 2 Informasi mengenai obat yang diberikan
Universitas Sumatera Utara
padanya. Adapun hal-hal yang perlu diinformasikan kepada konsumen kesehatan pasien terkait penggunaan obat antara lain : a Nama obat merek dagang dan
kegunaannya, b Tujuan dan manfaat terapi, c Cara penyediaan obatnya, d Dosis, bentuk obat, rute pemberian dan lama pemberian, e Efek samping, interaksi dan aksi
obat, f Pantangan selama penggunaan obat, g Cara Penyimpanan obat, h Informasi pengulangan obat, i Interaksi dan kontraindikasi, j Cara monitoring
terapi atau keberhasilan tercapai, k Tindakan terhadap persediaan obat yang tersisa padahal sakit sudah dirasakan sembuh, l Tindakan apabila terjadi kesalahan dosis
maupun kesalahan makan obat, m Tindakan pencegahan dari jangkauan anak kecil. Menurut SK Menkes RI No. 1197MENKESSKX2004, Pelayanan
Informasi Obat PIO merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberi informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter,
apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Menurut Depkes RI 2004 kegiatan PIO meliputi : 1 Memberikan dan
menyebarkan informasi kepada pasien secara aktif dan pasif, 2 Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap
muka, dan 3 Membuat bulletin, leaflet, dan label obat. Menurut SK Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI No.
HK.01.DJ.II.093 tahun 2004 tentang Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit, tersedianya pedoman dalam rangka pelayanan informasi obat yang bermutu
dan berkesinambungan dalam rangka mendukung upaya penggunaan obat yang
Universitas Sumatera Utara
rasional di Rumah Sakit. Untuk itu diperlukan upaya penyediaan dan pemberian informasi yang meliputi :
1. Lengkap, yaitu dapat memenuhi kebutuhan semua pihak sesuai dengan
lingkungan masing-masing rumah sakit. 2.
Memiliki data cost effective obat, informasi yang diberikan terkaji dan tidak bias komersial.
3. Disediakan secara berkelanjutan oleh institusi yang melembaga.
4. Disajikan selalu baru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kefarmasian dan kesehatan. Widayati dan Zairina 1996 menyatakan Apoteker merupakan tenaga ahli
dalam memberikan informasi tentang obat, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain, dan mempunyai tanggung jawab untuk memberikan informasi
tersebut. Apoteker berkewajiban menjamin bahwa pasien memahami tujuan dari pengobatan dan ketepatan penggunaannya, untuk itu apoteker perlu mengembangkan
tampilan dalam menyampaikan informasi agar pasien dapat mematuhinya. Pengertian dan kerjasama pasien terhadap peraturan obat yang telah diresepkan merupakan
syarat penting untuk mencapai terapi yang efektif. Juliantini dan Widayati 1996 menyatakan dalam memberikan PIO,
diperlukan langkah-langkah sistematis sebagai berikut: 1. Permintaan Informasi Obat, meliputi : a mencatat data permintaan informasi, dan
b mengkategorikan permasalahan, antara lain : 1 aspek farmasetika identifikasi obat, perhitungan farmasi, stabilitas, dan toksisitas obat 2ketersediaan obat, 3
Universitas Sumatera Utara
harga obat, 4 efek samping obat, 5 dosis obat, 6 interaksi obat, 7 Farmakokinetik, 8 Farmakodinamik, 9 aspek farmakoterapi, dan 10
keracunan. 2. Mengumpulkan latar belakang masalah yang ditanyakan, meliputi : a
menanyakan lebih dalam tentang karakteristik pasien, dan b menanyakan tentang informasi yang diperoleh pasien sebelumnya.
3. Penelusuran sumber data, meliputi : a Dimulai dari rujukan umum b Disusul dengan rujukan sekunder c Bila perlu diteruskan dengan rujukan primer.
4. Formulasikan jawaban sesuai dengan permintaan, meliputi : a Jawaban harus jelas, lengkap dan benar, b Jawaban dapat dicari kembali pada rujukan asal, dan
c Tidak boleh memasukkan pendapat pribadi. 5. Pemantauan dan Tindak Lanjut, yakni menanyakan kembali kepada penanya
manfaat informasi yang telah diberikan baik lisan maupun tertulis. Langkah-langkah sistematis tersebut dapat digambarkan pada gambar 2.2 berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Alur menjawab pertanyaan dalam pelayanan informasi obat
Sumber : Juliantini dan Widayati, 1996. Penanya
PIO
Isi Formulir Klasifikasi
Penanya
Pertanyaan
Informasi latar belakang
Kumpulan data dan evaluasi data
Formulir jawaban Dokumentasi
Komunikasi Umpan
balik
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Dapat dijelaskan bahwa penanya berada di ruang PIO, petugas mengisi formulir mengenai klasifikasi, nama penanya dan pertanyaan yang
ditanyakan, setelah itu petugas menanyakan tentang informasi latar belakang penyakit mulai muncul, petugas melakukan penelusuran sumber data dengan mengumpulkan
data yang ada kemudian data dievaluasi. Formulir jawaban didokumentasikan oleh petugas lalu kemudian dikomunikasikan kepada penanya. Informasi yang
dikomunikasikan petugas kepada penanya akan menimbulkan umpan balik atau respon penanya.
Menurut Depkes RI 2004, tujuan PIO adalah : 1 menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit, 2
menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat, terutama bagi panitiaKomite Farmasi dan Terapi KFT, 3
meningkatkan profesionalisme Apoteker, dan 4 menunjang terapi obat yang rasional.
Siregar 2004 menyatakan sasaran informasi obat adalah orang, lembaga, kelompok orang, kepanitian, dan penerima informasi obat tersebut, seperti tertera di
bawah ini : 1. Dokter, dalam proses penggunaan obat, pada tahap penetapan pilihan obat serta
regimennya untuk seorang pasien tertentu, dokter memerlukan informasi dari apoteker agar ia dapat membuat keputusan yang rasional, yang bertujuan untuk :
a Menetapkan sasaran terapi dan titik akhir dari terapi obat, b Pemilihan zat aktif terapi yang paling tepat untuk terapi obat yang bergantung pada variabel
Universitas Sumatera Utara
penderita dan zat aktif, c Penulisan regimen obat yang paling tepat, d Pemantauan efek dari terapi obat didasarkan pada indeks dari efek, dan e
Pemilihan metode untuk pemberian obat. Dokter harus dibuat waspada terhadap efek samping yang mungkin timbul, sifat distribusi obat dalam tubuh, dan efek
obat pada metabolisme. Dokter juga harus diberi informasi tentang stabilitas suatu sediaan obat dan harga obat.
2. Perawat, dalam tahap penyampaian atau distribusi obat kepada perawat dalam
rangkaian proses penggunaan obat, apoteker memberikan informasi obat tentang berbagai aspek obat pasien tertentu, terutama tentang pemberian obat. Sebagai
contoh tentang kompatibilitas atau inkompatibilitas tiga obat parenteral yang perlu diberikan pada waktu yang sama kepada pasien dengan hanya satu
pembuluh pipa intravena. Perawat adalah juga profesional kesehatan yang paling banyak berhubungan dengan pasien. Oleh karena itu, perawatlah pada
umumnya yang pertama mengamati reaksi obat merugikan atau mendengar keluhan mereka. Apoteker harus siap berfungsi sebagai sumber utama informasi
obat bagi perawat. Berbagai hal yang dipertanyakan oleh perawat misalnya bahan pengencer suatu rekonstitusi sediaan obat, gejala efek samping, kecepatan
timbulnya gejala efek samping dan penanganantindakan jika terjadi efek samping.
3. Pasien, dalam tahap pemantauan efek obat serta tahap edukasi dan konseling
dalam rangkaian proses penggunaan obat, apoteker secara aktif memberikan informasi kepada pasien.
Universitas Sumatera Utara
4. Tenaga Farmasi, agar apoteker mampu menjawab pertanyaan sendiri dan
bertindak sebagai sumber utama dari informasi obat bagi professional kesehatan lain, tenaga farmasi harus mempunyai akses kepustakaan sebagai acuan yang
memadai dan pengetahuan tentang sumber alternatif dari informasi obat. 5.
Pihak lain, seperti manajemen, timkepanitiaan klinik, dan lain-lain yang berguna dalam penyusunan kebijakan – kebijakan di Rumah Sakit.
Menurut Rantucci 2007, PIO dengan berbagai macam bentuknya, membawa dampak yang positif baik bagi apoteker maupun bagi pasien yang
bersangkutan. Bagi Apoteker PIO memberi manfaat berupa : 1 legal protection, karena sudah melakukan kewajiban profesi Apoteker yang diatur oleh undang-
undang, 2 pemilihan status keprofesian, dimana keberadaan Apoteker akan lebih diakui oleh masyarakat, 3 terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap Apoteker
sehingga dapat mewujudkan hubungan yang lebih harmonis antara Apoteker dengan pasien, 4 meningkatkan pendapatan, karena tambahan pelayanan yang diberikan
berupa informasi obat, sehingga menjaga kepuasan pasien, dan 5 peningkatan kepuasan kerja job satisfaction dan mengurangi stress job stress.
Pasien juga mendapat manfaat dengan adanya PIO, yaitu : 1 mengurangi resiko terjadinya kesalahan dan ketidakpatuhan pasien terhadap aturan pemakaian
obat, 2 mengurangi resiko terjadinya efek samping obat, dan 3 menambah
keyakinan akan efektivitas dan keamanan obat yang digunakan.
Rantucci 2007 menyatakan bahwa, ada banyak faktor yang harus diperhatikan dalam memberikan pelayanan informasi kepada pasien. Faktor-faktor ini
Universitas Sumatera Utara
meliputi karakteristik pasien, jenis obat yang diresepkan atau kondisi penyakit yang sedang diobati, dan berbagai aspek yang berkaitan dengan situasi. Selain itu, ada
beberapa faktor yang berkaitan dengan apoteker sendiri. 1 Karakteristik Pasien, karakteristik pasien akan mempengaruhi penekanan yang
perlu diberikan pada aspek tertentu dalam konseling. Usia pasien dapat mempengaruhi konseling dengan berbagai cara. Pasien manula mungkin
menggunakan beberapa macam obat untuk mengatasi beberapa kondisi penyakit dan mungkin mengalami reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat sebagai
akibat dari perubahan fisiologis di usia yang semakin menua. Oleh karena itu apoteker kemungkinan harus meluangkan lebih banyak waktu untuk pasien ini
dibandingkan untuk pasien lain dalam mengidentifikasi masalah, menjelaskan petunjuk-petunjuk yang diperlukan, dan membantu pasien mengatur jadwal
dosis. Demikian juga, pasien pediatrik membutuhkan perhatian lebih dalam mengidentifikasi masalah karena anak-anak memiliki kondisi fisiologis yang
berbeda dari orang dewasa. Latar belakang budaya pasien juga dapat memengaruhi penekanan yang diberikan dalam konseling. Beberapa pasien
memiliki cacat tertentu yang memengaruhi pemilihan tempat yang tepat untuk melaksanakan konseling, materi edukasi yang digunakan, dan jenis informasi
yang mungkin dibutuhkan. Jenis pekerjaan dan gaya hidup pasien kemungkinan juga perlu diperhatikan. Bentuk sediaan, jadwal dosis, dan efek samping
kemungkinan perlu dimodifikasi dan pengaturan khusus mungkin perlu dilakukan. Sebagai contoh pengemudi truk akan mendapat kesulitan bila minum
Universitas Sumatera Utara
obat yang membuatnya mengantuk. Jenis kelamin, status pekerjaan, atau situasi sosial ekonomi pasien tidak seharusnya mengubah jenis konseling yang
diberikan; akan tetapi, faktor-faktor ini sebaiknya diperhitungkan oleh apoteker saat melaksanakan suatu diskusi agar apoteker tidak membuat pasien malu atau
melukai hati pasien. 1.
Karakteristik Obat, isi konseling bervariasi tergantung pada obat yang didapatkan oleh pasien, apakah obat resep atau obat tanpa resep. Selain itu, obat
tertentu lebih cenderung menimbulkan masalah ketaatan penggunaan obat, efek samping, atau tindakan pencegahan dibandingkan obat yang lain. Apoteker
harus memberi penekanan bila suatu obat diketahui beresiko tinggi mengalami interaksi atau menimbulkan efek merugikan. Hal lain yang perlu
dipertimbangkan sehubungan dengan obat kemungkinan adalah waktu yang diperlukan sampai pasien merasakan suatu efek, seperti pada obat
antihipertensi, dalam situasi seperti ini, hal yang penting dilakukan adalah membantu pasien menemukan cara mengenali efek obat dengan tujuan
mendorong ketaatan pasien mengikuti pengobatan misalnya, menyarankan pasien mengecek sendiri tekanan darahnya.
3. Karakteristik Kondisi, kondisi tertentu kemungkinan lebih membangkitkan emosi atau kekhawatiran pada pasien dibandingkan kondisi lain. Sebagai contoh,
diagnosis dan prognosis tekanan darah tinggi sering sulit dipahami. Demikian juga, diagnosis gangguan psikiatri dapat membuat pasien merasa malu dan
cemas akan reaksi orang lain. Khususnya, bila sakit yang diderita pasien fatal,
Universitas Sumatera Utara
misalnya kanker atau AIDS, pasien akan memiliki berbagai kekhawatiran dan emosi sehingga memerlukan perhatian khusus dari apoteker. Selain itu, sangat
penting menekankan bahwa obat bekerja untuk mengontrol atau mengurangi gejala yang muncul dan bukan menyembuhkan penyakit, serta konsekuensi bila
terlewat minum obat. Beberapa kondisi lebih memerlukan adanya perubahan gaya hidup pada pasien dibandingkan kondisi lain. Sebagai contoh, merokok,
kegemukan, atau diabetes memerlukan perubahan kebiasaan dan diet, Apoteker perlu meluangkan waktu konseling yang cukup banyak untuk mendiskusikan
isu-isu ini, membuat rujukan bantuan lebih lanjut, dan memberikan konseling lanjutan untuk terus mendukung pasien.
4. Karakteristik Situasi, situasi tertentu dapat menciptakan tantangan dan
membutuhkan penekanan yang berbeda dalam konseling. Situasi yang menyebabkan pasien marah, ketakutan, atau kecewa secara emosional dapat
membuat konseling berjalan sangat sulit bagi apoteker. Selain itu, apoteker sering dimintai konsultasi oleh pasien mengenai berbagai kekhawatiran yang
tidak berhubungan dengan terapi obat. Meskipun situasi tersebut tidak memerlukan konseling pengobatan, namun apoteker harus menanggapi situasi
tersebut karena apoteker berkedudukan sebagai sumber daya kesehatan masyarakat yang ada di komunitas dan sebagai individu yang mempedulikan
sesama manusia. 5. Karakteristik Pemberi Informasi Apoteker, dalam pemberian informasi kepada
pasien konseling, tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari
Universitas Sumatera Utara
pasien melainkan juga yang berasal dari apoteker sendiri. Tingkat pengetahuan apoteker tentang pasien kekhawatiran, situasi keluarga, kondisi, dan gejala
pasien menentukan pemahaman apoteker tentang cara mendekati pasien, jumlah informasi yang perlu diberikan, dan kenyamanan apoteker dalam
menghadapi pasien. Pengetahuan apoteker tentang kondisi dan pengobatan pasien yang dibicarakan dalam konseling juga penting karena apoteker harus
mampu mengantisipasi isu-isu yang harus dibicarakan dan memberikan informasi yang diperlukan. Kemampuan Apoteker untuk berkomunikasi dengan
pasien dan profesional kesehatan lain yang terlibat dalam pengobatan pasien juga sangat penting. Penggunaan empatilah yang terpenting dalam menghadapi
situasi yang menantang sehingga apoteker mampu menghadapi emosi pasien seperti kemarahan, rasa malu, rasa takut, dan kebingungan yang umumnya
muncul dalam situasi seperti ini. Apoteker harus memiliki toleransi, empati, dan ketertarikan pada masing-masing pasien. Hal ini akan dirasakan oleh pasien dan
akan membantu mengembangkan hubungan yang berhasil.
2.2.3 Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit PKMRS