Pengaruh Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Diabetes Mellitus Rawat Jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

(1)

PENGARUH KOMUNIKASI PETUGAS PELAYANAN INFORMASI OBAT TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN DIABETES MELITUS

RAWAT JALAN DI RSUD. dr. H. KUMPULAN PANE KOTA TEBING TINGGI

T E S I S

Oleh

HERITA AMALIA SARI ASIH NIM. 097032013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF COMMUNICATION OF THE MEDICAL INFORMATION SERVICE STAFF ON THE MEDICATION

COMPLIANCE BY THE OUT-PATIENT OF DIABETES MELLITUS PATIENTS AT dr. H. KUMPULAN PANE

GENERAL HOSPITAL TEBING TINGGI

T H E S I S

By

HERITA AMALIA SARI ASIH 097032013/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE PROGRAM STUDY FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH KOMUNIKASI PETUGAS PELAYANAN INFORMASI OBAT TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN DIABETES MELITUS

RAWAT JALAN DI RSUD. Dr. H. KUMPULAN PANE KOTA TEBING TINGGI

T E S I S

Diajukan sebagai Salah satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HERITA AMALIA SARI ASIH 097032013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH KOMUNIKASI PETUGAS PELAYANAN INFORMASI OBAT

TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN DIABETES MELLITUS RAWAT JALAN DI RSUD. dr. H. KUMPULAN PANE KOTA TEBING TINGGI

Nama Mahasiswa : Herita Amalia Sari Asih Nomor Induk Mahasiswa : 097032013

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Aznan Lelo, Ph.D., Sp. FK)

Ketua Anggota

(Dra. LinaTarigan, M.S., Apt)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si)

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada tanggal : 18 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Aznan Lelo, Ph.D., Sp.FK Anggota : 1. Dra. Lina Tarigan, MS., Apt

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M 3. dr. Fauzi, S.K.M


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH KOMUNIKASI PETUGAS PELAYANAN INFORMASI OBAT TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN DIABETES MELLITUS

RAWAT JALAN DI RSUD. dr. H. KUMPULAN PANE KOTA TEBING TINGGI

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2011


(7)

ABSTRAK

Pelayanan Informasi Obat adalah kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker Rumah Sakit dalam memberikan informasi penggunaan obat yang benar kepada sejawat kesehatan dan pasien. Namun kenyataannya masih banyak pasien belum patuh dalam penggunaan obat.

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan jumlah sampel 46 pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi. Data diperoleh melalui wawancara langsung dengan pasien menggunakan kuesioner terstruktur. Analisis data dilakukan melalui uji multivariat dengan uji

regresi logistik.

Hasil penelitian menunjukkan secara statistik komunikasi petugas pelayanan informasi obat mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepatuhan minum obat dengan nilai p < 0,05, yaitu variabel isi informasi dengan nilai p = 0,032, metode informasi dengan nilai p = 0,014, dan peran petugas dengan nilai p = 0,001. Peran petugas memiliki pengaruh dominan terhadap kepatuhan minum obat

Disarankan pada pihak terkait agar menggalakkan peran petugas informasi obat sebagai salah satu bentuk program Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS).


(8)

ABSTRACT

Medical Information Service is an activity have been done by Hospital Pharmacists in providing information the use of medicine to their health colleagues and patients. Unfortunately,, there are still many patients whose uncompliance to take their medicine.

This research was cross-sectional study conducted with 46 patients suffering from diabetes mellitus as sample at dr. H. Kumpulan Pane General Hospital, Tebing Tinggi The data obtained from the interview with the patients by using the structured questioner. The data obtained was analyzed by multivariate analysis by using multiple logistic regression tests.

The result showed statistically that the communication of medical information service staff gave a significant influenced on the compliance to take drugs with p < 0.05, namely, variables of drug information with p = 0.032, information method with p = 0.014, and the role of medical information service staff with p = 0.001. The role of medical information service staff was the dominant variable influencing the compliance to take drugs.

The stakeholders is suggested to support the role of medical information service staff as one of Hospital Society Health Promotion Program (PKMRS).


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul ” Pengaruh Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Diabetes Mellitus Rawat Jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc.(CTM)., Sp. A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

4. Prof. Dr. dr. Aznan Lelo, Ph.D., Sp. F(K) selaku komisi pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan selama proses pelaksanaan tesis ini


(10)

5. Dra. Lina Tarigan, M.S., Apt selaku komisi pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan selama proses pelaksanaan tesis ini

6. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan dr. Fauzi, S.K.M selaku penguji tesis yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini

7. Suamiku tercinta dan tersayang Mhd. Ismail Lubis, S.T serta buah hatiku Farhan Abiyyu Syafiq Lubis dan Faiz Rhayzan Thabrani Lubis, Ayahanda dan Ibunda tercinta H. Hasdar Amir Saragih dan Hj. Aminah serta Ayahanda dan Ibunda Mertua tercinta H. Mhd. Isya Lubis dan Hj. Farida Hanum Nasution, serta kakanda dan abangda tersayang, yang penuh pengertian, kesabaran, motivasi dan doa dalam memberikan dukungan moril agar dapat menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

8. Dr. Nanang Fitra Aulia, Sp.PK selaku Direktur RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi dan seluruh staf yang telah mendukung penulis dalam proses pendidikan ini.

9. Para Dosen dan Staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

10.Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2009, khususnya Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan atas dukungan dan kebersamaan yang diberikan selama ini.

11.Rekan-rekan sekerja di Instalasi Farmasi RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi atas pengertian dan dukungannya selama proses pendidikan ini.


(11)

12.Rekan-rekan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kota Tebing Tinggi atas motivasi dan doa dalam memberikan dukungan moril agar dapat menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.

Hanya Allah SWT yang dapat memberikan balasan atas kebaikan yang telah diperbuat. Penulis menyadari atas segala keterbatasan tesis ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnya.

Medan, September 2011 Penulis

097032013 Herita Amalia Sari Asih


(12)

RIWAYAT HIDUP

Herita Amalia Sari Asih lahir di Tebing Tinggi pada tanggal 20 Maret 1976, merupakan anak keempat dari 4 bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Hasdar Amir Saragih dan Ibunda Hj. Aminah, saat ini bertempat tinggal di Jalan Ahmad Yani Lingk. IV kel. Durian kec. Bajenis Kota Tebing Tinggi.

Menamatkan pendidikan formal dimulai dari Pendidikan Sekolah Dasar Negeri No. 164326 Tebing Tinggi tahun 1988, Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Tebing Tinggi tahun 1991, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tebing Tinggi tahun 1994, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Farmasi Universitas Sumatera Utara tahun 1999, Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Sumatera Utara tahun 2000. Tahun 2009 penulis mengikuti pendidikan lanjut S2 di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis menikah pada tanggal 04 Maret 2005 dengan Muhammad Ismail Lubis, S.T dan sampai saat ini telah dikaruniai 2 orang putra yang bernama Farhan Abiyyu Syafiq Lubis dan Faiz Rhayzan Thabrani Lubis.

Saat ini penulis bekerja sebagai Kepala Instalasi Farmasi RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi sejak tahun 2007.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Hipotesis ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Diabetes Melitus ... 10

2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus ... 10

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Mellitus ... 11

2.1.3 Patofisiologi dan Riwayat Alamiah Diabetes Mellitus Tipe 2 ... 16

2.2 Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat (PIO) ... 17

2.2.1 Definisi Komunikasi ... 17

2.2.2 Pelayanan Informasi Obat ... 22

2.2.3 Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) ... 35

2.3 Kepatuhan Pasien ... 38

2.4 Landasan Teori ... 44

2.5 Kerangka Konsep Penelitian ... 48

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 49

3.1 Jenis Penelitian ... 49

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

3.3 Populasi dan Sampel ... 50

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 51


(14)

3.6 Metode Pengukuran ... 54

3.6.1. Variabel Bebas (Variabel Independen) ... 55

3.6.2. Variabel Terikat (Variabel Dependen) ... 56

3.7 Metode Analisis Data ... 56

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 57

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 57

4.2 Analisa Univariat ... 66

4.2.1 Karakteristik Responden ... 66

4.2.2 Variabel Independen ... 69

4.2.3 Variabel Dependen ... 70

4.3 Analisis Bivariat ... 71

4.3.1 Hubungan Isi Informasi dengan Kepatuhan Pasien DM ... 71

4.3.2 Hubungan Metode Informasi dengan Kepatuhan Pasien DM ... 72

4.3.3 Hubungan Peran Petugas PIO dengan Kepatuhan Pasien DM ... 73

4.4 Analisis Multivariat ... 74

BAB 5. PEMBAHASAN ... 76

5.1 Pengaruh Isi Informasi dengan Kepatuhan Minum Obat ... 76

5.2 Pengaruh Metode Informasi dengan Kepatuhan Minum Obat ... 80

5.3 Pengaruh Peran Petugas PIO dengan Kepatuhan Minum Obat ... 83

5.4 Pengaruh Komunikasi Petugas PIO terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien DM Rawat Jalan ... 86

5.5 Keterbatasan Penelitian ... 89

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

6.1 Kesimpulan ... 90

6.2 Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92

LAMPIRAN ... 96


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1 Jumlah Ketenagaan RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

berdasarkan Jenis Pendidikan Tahun 2011... 64 4.2 Gambaran Sepuluh Penyakit Terbesar Rawat Jalan RSUD.

dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi Tahun 2010 ... 65 4.3 Gambaran Jumlah Kunjungan Pasien DM RSUD. dr. H. Kumpulan

Pane Kota Tebing Tinggi ... 66 4.4 Distribusi Karakteristik Responden di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane

Kota Tebing Tinggi ... 67 4.5 Distribusi Frekuensi berdasarkan Isi Informasi yang diperoleh

responden Pada PIO di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota

Tebing Tinggi ... 69 4.6 Distribusi Frekuensi berdasarkan Metode Informasi yang dilaksanakan

pada PIO RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ... 69 4.7 Distribusi Frekuensi berdasarkan Peran Petugas PIO di RSUD.

dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ... 70 4.8 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Responden di RSUD. dr. H. Kumpulan

Pane Kota Tebing Tinggi ... 70 4.9 Hubungan Isi Informasi dengan Kepatuhan Pasien DM Rawat Jalan di

RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ... 71 4.10 Hubungan Metode Informasi dengan Kepatuhan Pasien DM Rawat

Jalan di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ... 72 4.11 Hubungan Peran Petugas PIO dengan Kepatuhan Pasien DM Rawat

Jalan di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ... 73 4.12 Hasil Uji Regresi Logistik Pengaruh Komunikasi Petugas PIO

terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien DM RawatJalan di RSUD.


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Proses Komunikasi... 19 2.2 Alur Menjawab Pertanyaan dalam Pelayanan Informasi Obat... 27 2.3 Kerangka Konsep Penelitian ... 48


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 95

2. Kuesioner Penelitian ... 96

3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... .... 100

4. Hasil Univariat dari Variabel Independen dan Dependen ... . 105

5. Hasil Bivariat dengan Uji Chi-Square ... 108

6. Analisis Multivariat dengan Uji Regresi Logistik ... 117

7. Master Data Penelitian ... 120


(18)

ABSTRAK

Pelayanan Informasi Obat adalah kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker Rumah Sakit dalam memberikan informasi penggunaan obat yang benar kepada sejawat kesehatan dan pasien. Namun kenyataannya masih banyak pasien belum patuh dalam penggunaan obat.

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan jumlah sampel 46 pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi. Data diperoleh melalui wawancara langsung dengan pasien menggunakan kuesioner terstruktur. Analisis data dilakukan melalui uji multivariat dengan uji

regresi logistik.

Hasil penelitian menunjukkan secara statistik komunikasi petugas pelayanan informasi obat mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepatuhan minum obat dengan nilai p < 0,05, yaitu variabel isi informasi dengan nilai p = 0,032, metode informasi dengan nilai p = 0,014, dan peran petugas dengan nilai p = 0,001. Peran petugas memiliki pengaruh dominan terhadap kepatuhan minum obat

Disarankan pada pihak terkait agar menggalakkan peran petugas informasi obat sebagai salah satu bentuk program Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS).


(19)

ABSTRACT

Medical Information Service is an activity have been done by Hospital Pharmacists in providing information the use of medicine to their health colleagues and patients. Unfortunately,, there are still many patients whose uncompliance to take their medicine.

This research was cross-sectional study conducted with 46 patients suffering from diabetes mellitus as sample at dr. H. Kumpulan Pane General Hospital, Tebing Tinggi The data obtained from the interview with the patients by using the structured questioner. The data obtained was analyzed by multivariate analysis by using multiple logistic regression tests.

The result showed statistically that the communication of medical information service staff gave a significant influenced on the compliance to take drugs with p < 0.05, namely, variables of drug information with p = 0.032, information method with p = 0.014, and the role of medical information service staff with p = 0.001. The role of medical information service staff was the dominant variable influencing the compliance to take drugs.

The stakeholders is suggested to support the role of medical information service staff as one of Hospital Society Health Promotion Program (PKMRS).


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang banyak diderita oleh penduduk dunia dan hingga saat ini belum ditemukan pengobatan yang efektif untuk menyembuhkannya. (Depkes RI, 2006).

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2003) dalam Soegondo (2004), DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Penyakit DM sering disebut The Great Imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan bermacam keluhan. Gejala sangat bervariasi dan secara perlahan-lahan sehingga penderita tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum menjadi lebih banyak, buang air kecil menjadi lebih sering ataupun berat badan yang menurun (Basuki, 2003).

Penderita DM dapat mengalami cacat seumur hidup, dan berisiko terhadap terjadinya penyakit lain yaitu 24 kali berisiko terjadi penyakit jantung, 25 kali berisiko terjadi kebutaan, 17 kali terjadi gagal ginjal, 5 kali terjadi gangren dan 2 kali terjadi gangguan pembuluh darah otak. Dampak lain dari penyakit DM adalah terjadinya gangguan secara psikologis akibat rendahnya penerimaan penderita di masyarakat. Hal ini terjadi karena masih ada stigma masyarakat yang menganggap penyakit DM merupakan penyakit menular (Soegondo, 2004).


(21)

Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2004, bahwa dari 14 juta orang menderita DM, 50% diantaranya sadar telah mengidapnya (30% diantaranya yang mau berobat teratur dan 70% lainnya belum mengikuti pengobatan secara teratur), selain itu masih ada 50% lainnya yang tidak menyadari dirinya menderita DM. Keadaan ini mencerminkan bahwa pemahaman masyarakat tentang penyakit DM dan upaya pencegahannya masih rendah.

Berdasarkan laporan Centers for Disease and Prevention (CDP) Tahun 2007, bahwa prevalensi DM mencapai 4% diseluruh dunia yang diprediksi mencapai 5,4% pada tahun 2025. Jumlah penderita DM di Cina dan India mencapai 50 juta orang. Sedangkan di Amerika Serikat merupakan jenis penyakit peringkat ke-enam penyebab kematian. Selanjutnya dinyatakan bahwa 10% jenis DM tipe 1 dan 90% jenis DM tipe 2 dapat menyerang semua kelompok umur, biasanya menyertai penyakit-penyakit lainnya seperti jantung koroner, infeksi pankreas, dan jenis penyakit degeneratif lainnya.

Angka kesakitan dan kematian akibat DM di Indonesia cenderung berfluktuasi setiap tahunnya sejalan dengan perubahan gaya hidup masyarakat. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah penderita DM di Indonesia lebih dari 5 juta penderita dan di dunia 239,9 juta penderita (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan laporan pola penyakit RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi pada tahun 2010, diketahui penyakit DM menempati urutan nomor 1 dari 10 kunjungan penyakit degeneratif. Jumlah kunjungan penderita DM selama kurun waktu satu tahun terakhir sebanyak 5100 kunjungan, yang terdiri dari 394


(22)

kasus DM ( 7,73%) rawat inap dan 4706 kasus DM ( 92,3%) rawat jalan dengan 461 kasus baru. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa penyakit DM merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian serius untuk ditanggulangi.

Kepatuhan yaitu tingkat/derajat dimana penderita DM mampu melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh petugas kesehatan (Smet, 1994). Shilinger (1983) yang dikutip Travis (1997) menyatakan bahwa kepatuhan mengacu pada proses dimana penderita DM mampu mengasumsikan dan melaksanakan beberapa tugas yang merupakan bagian dari sebuah regimen terapeutik. Trekas (1984) dalam Ratanasuwan, dkk (2005), kemampuan penderita DM untuk mengontrol kehidupannya dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan. Seseorang yang berorientasi pada kesehatan cenderung mengadopsi semua kebiasaan yang dapat meningkatkan kesehatan dan menerima regimen yang akan memulihkan kesehatannya.

Upaya yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan dalam meningkatkan kepatuhan penderita DM dalam menjalani pengobatan adalah dengan menciptakan komunikasi yang terbuka dengan penderita DM dan memberikan suatu perhatian dalam komunikasi tersebut. Tenaga kesehatan sangat diperlukan dalam memonitor perkembangan kepatuhan penderita DM dan juga harus terfokus pada perkembangan motivasi penderita DM dan berupaya mengintegrasikan penyakit kedalam konsep diri penderita DM untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang, serta membantu penderita DM melakukan perubahan gaya hidup yang sesuai dengan anjuran kesehatan (Rowley, 1999).


(23)

Konseling dapat mengatasi ketidakpatuhan penderita DM. Edukasi yang baik dan tepat akan menggugah kesadaran penderita untuk mau melaksanakan anjuran kesehatan. Nicolucci et al (1996) dalam Day (2002) melaporkan bahwa penderita DM yang tidak mendapatkan edukasi memiliki risiko 4 kali lebih tinggi terkena komplikasi dibandingkan yang mendapatkan edukasi.

Penerapan komunikasi dalam pelayanan kesehatan mempunyai peran yang sangat besar terhadap kemajuan kesehatan pasien. Komunikasi meningkatkan hubungan interpersonal dengan pasien sehingga akan tercipta suasana yang kondusif dimana pasien dapat mengungkapkan perasaan dan harapan-harapannya (Sundberg, 1989). Kondisi saling percaya yang telah dibangun antara petugas kesehatan dan pasien tersebut akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan (Stuart G.W.,et al, 1998). Komunikasi yang baik dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam hal pengobatan dan perawatan penyakitnya (Anggraini,2009).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Palestin (2000) pada pasien di poliklinik penyakit dalam RSU.dr.Sardjito Yogyakarta menyatakan bahwa secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terhadap kepatuhan dalam pengobatan pada pasien diabetes mellitus. (Palestin, 2002).

Berdasarkan ketentuan Depkes (2004) Pelayanan Informasi Obat (PIO) oleh Farmasi Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk komunikasi yang dilakukan oleh apoteker rumah sakit dalam memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini baik kepada dokter, perawat, profesi kesehatan lainnya dan terutama kepada


(24)

pasien. PIO terhadap pasien DM bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai penggunaan obat dan pengobatan kepada pasien, meliputi: (1) nama obat, (2) tujuan pengobatan, (3) jadwal pengobatan, (4) cara menggunakan obat, (5) lama penggunaan obat, (6) efek samping obat, (7) tanda-tanda toksisitas, (8) cara penyimpanan obat, dan (9) penggunaan obat lain-lain, serta upaya meningkatkan kepatuhan pasien terhadap perintah pengobatannya.

Tingkat kepatuhan pasien DM dalam penggunaan obat dan pengobatan, diharapkan dapat mencapai output PIO berupa penggunaan obat yang tepat dan benar serta melaksanakan anjuran petugas terhadap tindakan pengobatan yang dijalani oleh pasien.

Khususnya Pasien DM Rawat Jalan sangat membutuhkan informasi yang lengkap tentang obatnya, karena informasi tersebut menentukan keberhasilan terapi yang dilakukannya sendiri di rumah. Ketidaksepahaman (non corcondance) dan ketidakpatuhan (non compliance) pasien dalam menjalankan terapi merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi. Hal ini sering disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman pasien tentang obat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan obat untuk terapinya (Rantucci, 2007).

Menurut Siregar (2004) PIO pada pasien rawat jalan sangat diperlukan mengingat pasien rawat jalan tidak berada dalam lingkungan yang terkendali seperti halnya pasien rawat inap. Pasien rawat jalan harus bertanggung jawab untuk perawatan kesehatannya sendiri. Selain obat yang diresepkan oleh dokter, pasien dapat menggunakan obat bebas yang diperolehnya dari luar Instalasi Farmasi Rumah


(25)

Sakit (IFRS). Oleh sebab itu IFRS harus berperan aktif dalam penggunaan obat yang tepat oleh pasien. Petugas IFRS merupakan anggota terakhir dari tim pelayanan kesehatan yang bertemu dengan pasien rawat jalan sebelum menggunakan obatnya tanpa pengawasan medik langsung. Petugas IFRS juga bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat yang aman dan tepat serta memberikan informasi yang tepat terhadap penggunaan obat oleh pasien rawat jalan.

Menurut Rantucci (2007), lebih dari 200 penelitian tentang penggunaan obat oleh pasien yang tidak dirawat inap menunjukkan bahwa 50% pasien akan menggunakan obat secara tidak benar. Menurut laporan Department of Health and Human Services (DHS) tahun 2004, 48% dari seluruh penduduk Amerika Serikat, dan 55% manula, gagal mengikuti regimen pengobatan. Selain itu, sebuah penelitian menunjukkan bahwa 32% pasien yang mendapat perintah pengulangan resep dari dokter tidak mengulangi pembelian resep tersebut.

Ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat dapat memperlama masa sakit atau meningkatkan keparahan penyakit. Selain itu ketidakpatuhan dapat membuat dokter berasumsi bahwa diagnosis penyakit salah akibat buruknya respon terhadap obat yang dianjurkan. Hal ini juga dapat mengakibatkan dokter melakukan lebih banyak tes dan memberikan tambahan obat baru.

Berdasarkan survei awal di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi (April, 2010), dengan mewawancarai 38 orang pasien rawat jalan, diperoleh informasi tentang beberapa hal yang menjadi keluhan pasien berkenaan dengan penggunaan obat yang dianjurkan, diantaranya adalah: (1) 76 % menyatakan bahwa


(26)

dokter, perawat, dan petugas farmasi/apotek sangat kurang dalam memberikan informasi tentang khasiat/manfaat, efek samping, dan berbagai hal yang berkaitan dengan obat yang tertulis dalam resep dokter; (2) 48 % menyatakan tidak mengetahui adanya Pelayanan Informasi Obat (PIO) yang diselenggarakan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit; (3) 56 % menyatakan tidak mengetahui haknya untuk memperoleh informasi yang lengkap tentang penggunaan obat secara tepat dan benar.

Selain itu PIO yang diselenggarakan oleh IFRS merupakan kegiatan yang dilakukan hanya berdasarkan minat dan kesempatan yang dimiliki oleh IFRS guna memenuhi Standar Pelayanan Minimal Farmasi Rumah Sakit (SPM-FRS), hal ini disebabkan karena belum adanya kebijakan manajemen RS yang mengatur tentang kegiatan pelayanan informasi di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi seperti yang diamanatkan oleh Depkes RI (1999) tentang Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa kajian atas keterkaitan komunikasi petugas pelayanan informasi obat terhadap kepatuhan minum obat pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi menjadi sangat penting dilakukan.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan penelitian adalah sebagai berikut : bagaimanakah pengaruh komunikasi petugas


(27)

pelayanan informasi obat terhadap kepatuhan minum obat pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.

1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis Pengaruh Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Diabetes Mellitus Rawat Jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.

1.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh komunikasi petugas pelayanan informasi obat terhadap kepatuhan minum obat pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.

1.5 Manfaat Penelitian 1. Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.

2. Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi mengenai pentingnya pelayanan informasi terhadap pasien khususnya pelayanan informasi obat sebagai salah satu upaya Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit


(28)

(PKMRS) dan diharapkan dapat menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan rumah sakit yang terfokus pada pelayanan informasi kepada konsumen.

3. Petugas PIO

Sebagai bahan pembelajaran dan sumber informasi dalam mengkaji Pelayanan Informasi Obat untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2003) dalam Soegondo (2004), diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai oleh adanya hiperglikemia dan berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Istilah diabetes mellitus sebenarnya mencakup 4 kategori yaitu tipe 1 (insulin dependent diabetes mellitus atau IDDM), tipe 2 (non insulin dependent diabetes mellitus atau NIDDM), diabetes mellitus sekunder dan diabetes mellitus yang berhubungan dengan nutrisi. Selain itu terdapat dua kategori lain tentang abnormalitas metabolisme glukosa yaitu kerusakan toleransi glukosa (KTG) dan diabetes mellitus gestasional (DMG) (Waspadji, 2007).

Diabetes mellitus tipe 1 mempunyai latar belakang kelainan berupa kurangnya insulin secara absolut akibat proses autoimun, sedangkan diabetes mellitus tipe 2 mempunyai latar belakang resistensi insulin. Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan diabetes klinis. Sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi,


(30)

sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau sedikit meningkat, selanjutnya terjadi kelelahan sel beta pankreas, baru terjadi diabetes tipe 2 yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (Waspadji, 2007).

Penderita diabetes mellitus tipe 2 mengalami penurunan sensitivitas terhadap kadar glukosa, yang berakibat pada pembentukan kadar glukosa yang tinggi. Keadaan ini disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk meningkatkan ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan meningkatnya resistensi insulin perifer (Perkeni, 2003).

Gejala klasik diabetes mellitus tipe 2 adalah adanya rasa haus yang berlebihan, sering buang air kecil terutama di malam hari, dan berat badan turun cepat, kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun dan luka sukar sembuh (Waspadji, 2007).

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus tipe 2 meliputi lebih dari 90% dari semua populasi diabetes. Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang dewasa.

Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 dilaporkan lebih dari 40% adalah dewasa dengan umur lebih dari 40 tahun, rata-rata prevalensi di Amerika Latin antara 15-41% orang dewasa dengan umur lebih dari 45 tahun dengan gaya hidup barat dan sebesar 3% yang menderita diabetes mellitus tipe 2 dengan gaya hidup setempat. Prevalensi umur 30-64 tahun di Pasific Island of Kiribati dan Samoa barat 11-16%, dan


(31)

Melanesians Papua New Guinea 37% (The Diabetes Preventation Program Research Group, 2003).

Prevalensi diabetes mellitus di Indonesia dilaporkan sebesar 6,15% di Manado, Jakarta sebesar 12,8%, Jawa Barat sebesar 1,1%, dan Makasar sebesar 2,9% (Soegondo, 2004).

Diabetes mellitus tipe 2 sangat sulit untuk ditanggulangi karena penyebab terjadinya diabetes mellitus tipe 2 belum diketahui secara pasti, namun dari beberapa penelitian diketahui beberapa faktor risiko yang meningkatkan kejadian diabetes mellitus tipe 2 misalnya umur, riwayat keluarga, pola makan, obesitas, aktifitas fisik, hiperlipidemia dan hipertensi (Rimbawan, 2004).

a. Agent (Bibit Penyakit)

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit yang tidak disebabkan oleh masuknya agent tertentu dari luar tubuh penderita, melainkan karena disebabkan oleh faktor individu itu sendiri. Beberapa teori tentang penyebab diabetes mellitus tipe 2 telah diajukan tetapi belum ditemukan hasil yang memuaskan. b. Host (Penjamu)

Beberapa pendapat menyebutkan adanya hubungan faktor individu yang berpengaruh terhadap terjadinya diabetes mellitus tipe 2, antara lain umur, hipertensi, obesitas, riwayat keluarga (Turtle, 1999).

1. Umur

Penelitian yang dilakukan CDC(Centre Disease Control and Preventation) di Atlanta dari suatu survey epidemiologi bahwa prevalensi penderita diabetes


(32)

mellitus diderita dewasa berumur 18 tahun sebesar 20% jika ada faktor riwayat keluarga. Prevalensi diabetes mellitus pada umur 40 tahun meningkat menjadi 40%. Berdasarkan Perkeni (2003) DM diderita usia lebih dari 45 tahun, dan semakin tingginya usia harapan hidup maka kemungkinan akan menderita diabetes.

2. Hipertensi

Penelitian di Hongkong China (1997) oleh Chan, dilaporkan bahwa prevalensi hipertensi meningkat dari kurang 5% pada orang normal menjadi 15-25% dengan intoleransi glukosa. Hipertensi menyebabkan resistensi insulin, dislipidemia, meningkatnya albuminuria dan pencatatan tekanan darah selama 24 jam dengan orang yang menderita diabetes mellitus.

3. Obesitas

Obesitas adalah faktor risiko utama untuk diabetes mellitus. Berat badan yang lebih dapat membuat dan menggunakan hormon insulin dengan baik. Diabetes Program Prevention (DPP) menunjukkan bahwa berkurangnya berat badan dapat membantu mengurangi risiko peningkatan diabetes mellitus karena hal itu akan membantu hormon insulin yang digunakan oleh tubuh lebih efektif. Orang-orang yang berat badannya turun antara 5-7% akan mengurangi risiko terkena diabetes mellitus sebesar 58%.

Moore, et.al (2003) menunjukkan bahwa penurunan berat badan 3,7 – 6,8 kg pada individu yang berusia 30-50 tahun mengurangi risiko diabetes mellitus sebesar 33% dibandingkan dengan berat badan yang tetap gemuk. Hal ini


(33)

menunjukkan faktor risiko obesitas merupakan faktor utama untuk terjadinya penyakit diabetes mellitus.

4. Riwayat Keluarga

Pada banyak keluarga dan studi kembar, komponen yang besar dari faktor genetik pada etiologi diabetes mellitus. Rata-rata penderita diabetes mellitus dengan kembar monozygot sebesar 70-80%, kembar dizygot sebesar 10-20%.

Hal yang menarik tentang diabetes mellitus dari beberapa studi menunjukkan bahwa ibu kandung yang menderita diabetes mellitus lebih menurunkan kepada anak dari pada bapaknya yang menderita diabetes mellitus (The Diabetes preventation Research Group, 2003).

c. Environment (Lingkungan)

Faktor lingkungan merupakan salah satu pemicu timbulnya diabetes mellitus. Faktor lingkungan yang mempengaruhi adalah gaya hidup (lifestyle) yang terdiri dari pola makan dan aktifitas fisik. Kedua faktor ini sangat berperan menyebabkan tingginya kasus diabetes mellitus.

1. Pola Makan

Diet merupakan salah satu determinan penting penyebab obesitas dan banyak hal penting dalam perkembangan diabetes mellitus. Suatu studi

historical menunjukkan diabetes mellitus diantara orang-orang yang terpapar dengan makanan yang kurang dan makanan yang lebih pada populasi yang banyak di Nauruans, dengan masukan kalori yang tinggi dan tingkat obesitas


(34)

yang tinggi, mendukung hubungan yang signifikan untuk terjadinya diabetes mellitus.

Heather, et.al., (2001) menunjukkan bahwa karbohidrat yang berbeda akan memberikan efek berbeda pada kadar glukosa darah dan respon insulin, walaupun diberikan dalam jumlah sama. Jumlah karbohidrat bukan dasar yang cukup untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Hasil penelitian bahwa pangan dengan Index Glicemi rendah dapat memperbaiki pengendalian metabolik pada penderita diabetes mellitus (Rimbawan, 2004).

2. Aktifitas Fisik

Penelitian yang dilakukan di USA pada 21.217 dokter selama lima tahun menemukan bahwa kasus diabetes mellitus lebih tinggi pada kelompok yang melakukan latihan jasmani kurang dari satu kali perminggu dibandingkan dengan kelompok yang melakukan latihan jasmani lima kali perminggu. Penelitian lain yang dilakukan selama delapan tahun pada 87.353 perawat wanita yang melakukan latihan jasmani ditemukan penurunan risiko diabetes mellitus (The Diabetes preventation Research Group, 2003).

2.1.3 Patofisiologi dan Riwayat Alamiah Diabetes Mellitus Tipe 2

Glukosa yang diserap dari usus ke pembuluh darah dan diedarkan keseluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ dalam tubuh sebagai bahan bakar, supaya dapat berfungsi glukosa harus masuk kedalam sel untuk di metabolisme yang menghasilkan energi. Dalam proses metabolisme insulin memegang peranan sangat


(35)

penting untuk memasukkan glukosa kedalam sel. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas.

Pada diabetes mellitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah bisa lebih dari normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel berkurang. Glukosa yang masuk kedalam sel sedikit, maka sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Berbeda dengan diabetes mellitus tipe 1, pada awalnya diabetes mellitus tipe 2 disamping kadar glukosa darah tinggi, juga kadar insulin tinggi atau normal, hal ini disebut dengan resistensi insulin. Penyebab resistensi insulin tidak begitu jelas, tetapi ada faktor-faktor yang berperan seperti obesitas, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kurang aktifitas fisik dan faktor keturunan.

Secara alamiah diabetes mellitus tipe 2 berawal dari beberapa kombinasi

herediter dan faktor lingkungan menuju ke keadaan diabetes mellitus tipe 2 yang menetap. Munculnya diabetes mellitus tipe 2 biasanya terjadi pada awal usia 18 tahun atau lebih (Soegondo, 2004).

2.2 Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat (PIO) 2.2.1 Defenisi Komunikasi

Komunikasi berasal dari bahasa latin Communicare atau Communis yang berarti sama atau menjadikan milik bersama. Kalau kita berkomunikasi dengan orang lain, berarti kita berusaha agar apa yang disampaikan kepada orang lain tersebut menjadi miliknya.


(36)

Secara terminologis, menurut Nueman (2000) komunikasi diartikan sebagai pemberitahuan sesuatu (pesan) dari satu pihak ke pihak lain dengan menggunakan suatu media. Sebagai makhluk sosial, manusia sering berkomunikasi satu sama lain. Dalam kehidupan nyata mungkin ada yang menyampaikan pesan/ide; ada yang menerima atau mendengarkan pesan; ada pesan itu sendiri; ada media dan tentu ada respon berupa tanggapan terhadap pesan. Secara ideal, tujuan komunikasi bisa menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama terhadap ide atau pesan yang disampaikan.

Menurut William (2004) dalam Yudistira (2009) manfaat yang dapat diperoleh dengan berkomunikasi secara baik dan efektif diantaranya adalah :

1. Tersampaikannya gagasan atau pemikiran kepada orang lain dengan jelas sesuai dengan yang dimaksudkan.

2. Adanya kesepahaman antara komunikator dan komunikan dalam suatu permasalahan, sehingga terhindar dari salah persepsi.

3. Menjaga hubungan baik dan silaturahmi dalam suatu persahabatan atau komunitas.

Adapun unsur-unsur dalam komunikasi menurut Green (2000) antara lain : 1. Komunikator : pengirim (sender) yang mengirim pesan kepada komunikan

dengan menggunakan media tertentu. Unsur yang sangat berpengaruh dalam komunikasi karena merupakan awal (sumber) terjadinya suatu komunikasi 2. Komunikan : penerima (receiver) yang menerima pesan dari komunikator,


(37)

3. Media : saluran (chanel) yang digunakan untuk menyampaikan pesan sebagai sarana berkomunikasi. Berupa bahasa verbal maupun non verbal, wujudnya berupa ucapan, tulisan, gambar, bahasa tubuh, bahasa mesin, sandi dan lain sebagainya.

4. Pesan : isi komunikasi berupa pesan (message) yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Kejelasan pengiriman dan penerimaan pesan sangat berpengaruh terhadap kesinambungan komunikasi

5. Tanggapan : merupakan dampak (effect) komunikasi sebagai respon atas penerimaan pesan. Diimplementasikan dalam bentuk umpan balik (feed back) atau tindakan sesuai pesan yang diterima.

Hewitt (2001) dalam Liliweri (2007), menjabarkan proses komunikasi secara spesifik yaitu :

1. Mempelajari atau mengajarkan sesuatu 2. Mempengaruhi perilaku seseorang 3. Mengungkapkan perasaan

4. Menjelaskan perilaku sendiri atau perilaku orang lain 5. Berhubungan dengan orang lain

6. Menyelesaikan sebuah masalah 7. Mencapai sebuah tujuan

8. Menurunkan ketegangan dan menyelesaikan konflik 9. Menstimulasi minat pada diri sendiri atau orang lain


(38)

Berikut ini diagram proses komunikasi menurut Liliweri (2007), terlihat pada Gambar 2.1 :

Gangguan Gangguan

Simbol/Isyarat

Diagram 1 : Proses Komunikasi (Liliweri, 2007) 1. Pengirim pesan (sender) dan isi pesan/materi

Pengirim pesan adalah orang yang mempunyai ide untuk disampaikan kepada seseorang dengan harapan dapat dipahami oleh orang yang menerima pesan sesuai dengan yang dimaksudkannya. Pesan adalah informasi yang akan disampaikan atau diekspresikan oleh pengirim pesan. Pesan dapat verbal (dilakukan secara langsung melalui tanya jawab, wawancara, sharing) atau non verbal (melalui media poster, gambar, leaflet dan lainnya) dan pesan akan lebih efektif (dapat lebih mudah diserap oleh penerima pesan) bila diorganisir secara baik dan jelas melalui teknik dan metode yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi audience (lingkungan tempat si penerima pesan berada).

Materi pesan dapat berupa : Pengirim

pesan

Balikan

Penerima pesan

Media (Saluran) Mengartikan


(39)

a. Informasi b. Ajakan c. Rencana kerja

d. Pertanyaan dan sebagainya. 2. Simbol/isyarat

Pada tahap ini pengirim pesan membuat kode atau simbol sehingga pesannya dapat dipahami oleh orang lain. Biasanya pengirim pesan menyampaikan pesan dalam bentuk kata-kata, gerakan anggota badan (tangan,kepala,mata, dan bagian muka lainnya). Tujuan penyampaian pesan adalah untuk mengajak, membujuk, mengubah sikap, perilaku atau menunjukkan arah tertentu.

3. Media/penghubung

Adalah alat untuk penyampaian pesan seperti : TV, radio, surat kabar, papan pengumuman, telepon dan lainnya. Pemilihan media ini dapat dipengaruhi oleh isi pesan yang akan disampaikan, jumlah penerima pesan, situasi dsb. 4. Mengartikan kode/isyarat

Setelah pesan diterima melalui indera (telinga, mata dan seterusnya) maka sipenerima pesan harus dapat mengartikan simbol/kode dari pesan tersebut, sehingga dapat dimengerti/dipahaminya.


(40)

5. Penerima pesan

Penerima pesan adalah orang yang dapat memahami pesan dari sipengirim meskipun dalam bentuk kode/isyarat tanpa mengurangi arti pesan yang dimaksud oleh pengirim

6. Balikan (feedback)

Balikan adalah isyarat atau tanggapan yang berisi kesan dari sipenerima pesan dalam bentuk verbal maupun non verbal. Tanpa balikan seorang pengirim pesan tidak akan tahu dampak pesannya terhadap si penerima pesan. Hal ini penting bagi pengirim pesan untuk mengetahui apakah pesan sudah diterima dengan pemahaman yang benar dan tepat. Balikan dapat disampaikan oleh penerima pesan atau orang lain yang bukan penerima pesan. Balikan yang disampaikan oleh penerima pesan pada umumnya merupakan balikan langsung yang mengandung pemahaman atas pesan tersebut dan sekaligus merupakan apakah pesan itu akan dilaksanakan atau tidak balikan yang diberikan oleh orang lain didapat dari pengamatan pemberi balikan terhadap perilaku maupun ucapan penerima pesan. Pemberi balikan menggambarkan perilaku penerima pesan sebagai reaksi dari pesan yang diterimanya. Balikan bermanfaat untuk memberikan informasi, saran yang dapat menjadi bahan pertimbangan dan membant menumbuhkan kepercayaan serta keterbukaan diantara komunikan, juga balikan dapat memperjelas persepsi.


(41)

7. Gangguan

Gangguan bukan merupakan bagian dari proses komunikasi akan tetapi mempunyai pengaruh dalam proses komunikasi, karena pada setiap situasi hampir selalu ada hal yang mengganggu kita. Gangguan adalah hal yang merintangi atau menghambat komunikasi sehingga penerima salah menafsirkan pesan yang diterimanya.

2.2.2 Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Informasi obat adalah setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi mencakup farmakologi, toksikologi dan penggunaan terapi dari obat. Informasi obat mencakup nama kimia, struktur kimia, identifikasi, indikasi diagnostik atau indikasi terapi, ketersediaan hayati, bioekivalen, toksisitas, mekanisme kerja, waktu mulai bekerja dan durasi obat, dosis dan jadwal pemberian, dosis yang direkomendasikan, konsumsi, absorpsi, metabolisme, detoksifikasi, ekskresi, efek samping, reaksi merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga, keuntungan, tanda, gejala, dan pengobatan toksisitas, efikasi klinik, data komparatif, data klinik, data penggunaan obat, dan setiap informasi lain yang berguna dalam diagnosis, dan pengobatan pasien dengan obat (Siregar,2004).

Menurut Santoso (1997), Informasi Obat adalah keterangan mengenai obat, terutama yang dapat mendukung tercapainya tujuan pengobatan (terapi) yang tepat, rasional, efisien dan aman dalam penggunaannya. Informasi yang diperlukan oleh pasien, paling tidak mencakup dua hal yaitu : (1) Informasi mengenai jenis penyakitnya dan pengobatannya, dan (2) Informasi mengenai obat yang diberikan


(42)

padanya. Adapun hal-hal yang perlu diinformasikan kepada konsumen kesehatan (pasien) terkait penggunaan obat antara lain : (a) Nama obat ( merek dagang ) dan kegunaannya, (b) Tujuan dan manfaat terapi, (c) Cara penyediaan obatnya, (d) Dosis, bentuk obat, rute pemberian dan lama pemberian, (e) Efek samping, interaksi dan aksi obat, (f) Pantangan selama penggunaan obat, (g) Cara Penyimpanan obat, (h) Informasi pengulangan obat, (i) Interaksi dan kontraindikasi, (j) Cara monitoring terapi atau keberhasilan tercapai, (k) Tindakan terhadap persediaan obat yang tersisa padahal sakit sudah dirasakan sembuh, (l) Tindakan apabila terjadi kesalahan dosis maupun kesalahan makan obat, (m) Tindakan pencegahan dari jangkauan anak kecil. Menurut SK Menkes RI No. 1197/MENKES/SK/X/2004, Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberi informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.

Menurut Depkes RI (2004) kegiatan PIO meliputi : (1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada pasien secara aktif dan pasif, (2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap muka, dan (3) Membuat bulletin, leaflet, dan label obat.

Menurut SK Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI No. HK.01.DJ.II.093 tahun 2004 tentang Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit, tersedianya pedoman dalam rangka pelayanan informasi obat yang bermutu dan berkesinambungan dalam rangka mendukung upaya penggunaan obat yang


(43)

rasional di Rumah Sakit. Untuk itu diperlukan upaya penyediaan dan pemberian informasi yang meliputi :

1. Lengkap, yaitu dapat memenuhi kebutuhan semua pihak sesuai dengan lingkungan masing-masing rumah sakit.

2. Memiliki data cost effective obat, informasi yang diberikan terkaji dan tidak bias komersial.

3. Disediakan secara berkelanjutan oleh institusi yang melembaga.

4. Disajikan selalu baru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian dan kesehatan.

Widayati dan Zairina (1996) menyatakan Apoteker merupakan tenaga ahli dalam memberikan informasi tentang obat, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain, dan mempunyai tanggung jawab untuk memberikan informasi tersebut. Apoteker berkewajiban menjamin bahwa pasien memahami tujuan dari pengobatan dan ketepatan penggunaannya, untuk itu apoteker perlu mengembangkan tampilan dalam menyampaikan informasi agar pasien dapat mematuhinya. Pengertian dan kerjasama pasien terhadap peraturan obat yang telah diresepkan merupakan syarat penting untuk mencapai terapi yang efektif.

Juliantini dan Widayati (1996) menyatakan dalam memberikan PIO, diperlukan langkah-langkah sistematis sebagai berikut:

1. Permintaan Informasi Obat, meliputi : (a) mencatat data permintaan informasi, dan (b) mengkategorikan permasalahan, antara lain : (1) aspek farmasetika (identifikasi obat, perhitungan farmasi, stabilitas, dan toksisitas obat) (2)ketersediaan obat, (3)


(44)

harga obat, (4) efek samping obat, (5) dosis obat, (6) interaksi obat, (7) Farmakokinetik, (8) Farmakodinamik, (9) aspek farmakoterapi, dan (10) keracunan.

2. Mengumpulkan latar belakang masalah yang ditanyakan, meliputi : (a) menanyakan lebih dalam tentang karakteristik pasien, dan (b) menanyakan tentang informasi yang diperoleh pasien sebelumnya.

3. Penelusuran sumber data, meliputi : (a) Dimulai dari rujukan umum (b) Disusul dengan rujukan sekunder (c) Bila perlu diteruskan dengan rujukan primer.

4. Formulasikan jawaban sesuai dengan permintaan, meliputi : (a) Jawaban harus jelas, lengkap dan benar, (b) Jawaban dapat dicari kembali pada rujukan asal, dan (c) Tidak boleh memasukkan pendapat pribadi.

5. Pemantauan dan Tindak Lanjut, yakni menanyakan kembali kepada penanya manfaat informasi yang telah diberikan baik lisan maupun tertulis.


(45)

Gambar 2.2. Alur menjawab pertanyaan dalam pelayanan informasi obat

Sumber : Juliantini dan Widayati, 1996.

Penanya

PIO

Isi Formulir Klasifikasi

Penanya Pertanyaan

Informasi latar belakang

Kumpulan data dan evaluasi data

Formulir jawaban Dokumentasi

Komunikasi

Umpan balik


(46)

Gambar 2.2. Dapat dijelaskan bahwa penanya berada di ruang PIO, petugas mengisi formulir mengenai klasifikasi, nama penanya dan pertanyaan yang ditanyakan, setelah itu petugas menanyakan tentang informasi latar belakang penyakit mulai muncul, petugas melakukan penelusuran sumber data dengan mengumpulkan data yang ada kemudian data dievaluasi. Formulir jawaban didokumentasikan oleh petugas lalu kemudian dikomunikasikan kepada penanya. Informasi yang dikomunikasikan petugas kepada penanya akan menimbulkan umpan balik atau respon penanya.

Menurut Depkes RI (2004), tujuan PIO adalah : (1) menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit, (2) menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat, terutama bagi panitia/Komite Farmasi dan Terapi (KFT), (3) meningkatkan profesionalisme Apoteker, dan (4) menunjang terapi obat yang rasional.

Siregar (2004) menyatakan sasaran informasi obat adalah orang, lembaga, kelompok orang, kepanitian, dan penerima informasi obat tersebut, seperti tertera di bawah ini :

1. Dokter, dalam proses penggunaan obat, pada tahap penetapan pilihan obat serta regimennya untuk seorang pasien tertentu, dokter memerlukan informasi dari apoteker agar ia dapat membuat keputusan yang rasional, yang bertujuan untuk : (a) Menetapkan sasaran terapi dan titik akhir dari terapi obat, (b) Pemilihan zat aktif terapi yang paling tepat untuk terapi obat yang bergantung pada variabel


(47)

penderita dan zat aktif, (c) Penulisan regimen obat yang paling tepat, (d) Pemantauan efek dari terapi obat didasarkan pada indeks dari efek, dan (e) Pemilihan metode untuk pemberian obat. Dokter harus dibuat waspada terhadap efek samping yang mungkin timbul, sifat distribusi obat dalam tubuh, dan efek obat pada metabolisme. Dokter juga harus diberi informasi tentang stabilitas suatu sediaan obat dan harga obat.

2. Perawat, dalam tahap penyampaian atau distribusi obat kepada perawat dalam rangkaian proses penggunaan obat, apoteker memberikan informasi obat tentang berbagai aspek obat pasien tertentu, terutama tentang pemberian obat. Sebagai contoh tentang kompatibilitas atau inkompatibilitas tiga obat parenteral yang perlu diberikan pada waktu yang sama kepada pasien dengan hanya satu pembuluh (pipa) intravena. Perawat adalah juga profesional kesehatan yang paling banyak berhubungan dengan pasien. Oleh karena itu, perawatlah pada umumnya yang pertama mengamati reaksi obat merugikan atau mendengar keluhan mereka. Apoteker harus siap berfungsi sebagai sumber utama informasi obat bagi perawat. Berbagai hal yang dipertanyakan oleh perawat misalnya bahan pengencer suatu rekonstitusi sediaan obat, gejala efek samping, kecepatan timbulnya gejala efek samping dan penanganan/tindakan jika terjadi efek samping.

3. Pasien, dalam tahap pemantauan efek obat serta tahap edukasi dan konseling dalam rangkaian proses penggunaan obat, apoteker secara aktif memberikan informasi kepada pasien.


(48)

4. Tenaga Farmasi, agar apoteker mampu menjawab pertanyaan sendiri dan bertindak sebagai sumber utama dari informasi obat bagi professional kesehatan lain, tenaga farmasi harus mempunyai akses kepustakaan sebagai acuan yang memadai dan pengetahuan tentang sumber alternatif dari informasi obat.

5. Pihak lain, seperti manajemen, tim/kepanitiaan klinik, dan lain-lain yang berguna dalam penyusunan kebijakan – kebijakan di Rumah Sakit.

Menurut Rantucci (2007), PIO dengan berbagai macam bentuknya, membawa dampak yang positif baik bagi apoteker maupun bagi pasien yang bersangkutan. Bagi Apoteker PIO memberi manfaat berupa : (1) legal protection, karena sudah melakukan kewajiban profesi Apoteker yang diatur oleh undang-undang, (2) pemilihan status keprofesian, dimana keberadaan Apoteker akan lebih diakui oleh masyarakat, (3) terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap Apoteker sehingga dapat mewujudkan hubungan yang lebih harmonis antara Apoteker dengan pasien, (4) meningkatkan pendapatan, karena tambahan pelayanan yang diberikan berupa informasi obat, sehingga menjaga kepuasan pasien, dan (5) peningkatan kepuasan kerja (job satisfaction) dan mengurangi stress (job stress).

Pasien juga mendapat manfaat dengan adanya PIO, yaitu : (1) mengurangi resiko terjadinya kesalahan dan ketidakpatuhan pasien terhadap aturan pemakaian obat, (2) mengurangi resiko terjadinya efek samping obat, dan (3) menambah keyakinan akan efektivitas dan keamanan obat yang digunakan.

Rantucci (2007) menyatakan bahwa, ada banyak faktor yang harus diperhatikan dalam memberikan pelayanan informasi kepada pasien. Faktor-faktor ini


(49)

meliputi karakteristik pasien, jenis obat yang diresepkan atau kondisi penyakit yang sedang diobati, dan berbagai aspek yang berkaitan dengan situasi. Selain itu, ada beberapa faktor yang berkaitan dengan apoteker sendiri.

(1) Karakteristik Pasien, karakteristik pasien akan mempengaruhi penekanan yang perlu diberikan pada aspek tertentu dalam konseling. Usia pasien dapat mempengaruhi konseling dengan berbagai cara. Pasien manula mungkin menggunakan beberapa macam obat untuk mengatasi beberapa kondisi penyakit dan mungkin mengalami reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat sebagai akibat dari perubahan fisiologis di usia yang semakin menua. Oleh karena itu apoteker kemungkinan harus meluangkan lebih banyak waktu untuk pasien ini dibandingkan untuk pasien lain dalam mengidentifikasi masalah, menjelaskan petunjuk-petunjuk yang diperlukan, dan membantu pasien mengatur jadwal dosis. Demikian juga, pasien pediatrik membutuhkan perhatian lebih dalam mengidentifikasi masalah karena anak-anak memiliki kondisi fisiologis yang berbeda dari orang dewasa. Latar belakang budaya pasien juga dapat memengaruhi penekanan yang diberikan dalam konseling. Beberapa pasien memiliki cacat tertentu yang memengaruhi pemilihan tempat yang tepat untuk melaksanakan konseling, materi edukasi yang digunakan, dan jenis informasi yang mungkin dibutuhkan. Jenis pekerjaan dan gaya hidup pasien kemungkinan juga perlu diperhatikan. Bentuk sediaan, jadwal dosis, dan efek samping kemungkinan perlu dimodifikasi dan pengaturan khusus mungkin perlu dilakukan. Sebagai contoh pengemudi truk akan mendapat kesulitan bila minum


(50)

obat yang membuatnya mengantuk. Jenis kelamin, status pekerjaan, atau situasi sosial ekonomi pasien tidak seharusnya mengubah jenis konseling yang diberikan; akan tetapi, faktor-faktor ini sebaiknya diperhitungkan oleh apoteker saat melaksanakan suatu diskusi agar apoteker tidak membuat pasien malu atau melukai hati pasien.

1. Karakteristik Obat, isi konseling bervariasi tergantung pada obat yang didapatkan oleh pasien, apakah obat resep atau obat tanpa resep. Selain itu, obat tertentu lebih cenderung menimbulkan masalah ketaatan penggunaan obat, efek samping, atau tindakan pencegahan dibandingkan obat yang lain. Apoteker harus memberi penekanan bila suatu obat diketahui beresiko tinggi mengalami interaksi atau menimbulkan efek merugikan. Hal lain yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan obat kemungkinan adalah waktu yang diperlukan sampai pasien merasakan suatu efek, seperti pada obat antihipertensi, dalam situasi seperti ini, hal yang penting dilakukan adalah membantu pasien menemukan cara mengenali efek obat dengan tujuan mendorong ketaatan pasien mengikuti pengobatan (misalnya, menyarankan pasien mengecek sendiri tekanan darahnya).

3. Karakteristik Kondisi, kondisi tertentu kemungkinan lebih membangkitkan emosi atau kekhawatiran pada pasien dibandingkan kondisi lain. Sebagai contoh, diagnosis dan prognosis tekanan darah tinggi sering sulit dipahami. Demikian juga, diagnosis gangguan psikiatri dapat membuat pasien merasa malu dan cemas akan reaksi orang lain. Khususnya, bila sakit yang diderita pasien fatal,


(51)

misalnya kanker atau AIDS, pasien akan memiliki berbagai kekhawatiran dan emosi sehingga memerlukan perhatian khusus dari apoteker. Selain itu, sangat penting menekankan bahwa obat bekerja untuk mengontrol atau mengurangi gejala yang muncul dan bukan menyembuhkan penyakit, serta konsekuensi bila terlewat minum obat. Beberapa kondisi lebih memerlukan adanya perubahan gaya hidup pada pasien dibandingkan kondisi lain. Sebagai contoh, merokok, kegemukan, atau diabetes memerlukan perubahan kebiasaan dan diet, Apoteker perlu meluangkan waktu konseling yang cukup banyak untuk mendiskusikan isu-isu ini, membuat rujukan bantuan lebih lanjut, dan memberikan konseling lanjutan untuk terus mendukung pasien.

4. Karakteristik Situasi, situasi tertentu dapat menciptakan tantangan dan membutuhkan penekanan yang berbeda dalam konseling. Situasi yang menyebabkan pasien marah, ketakutan, atau kecewa secara emosional dapat membuat konseling berjalan sangat sulit bagi apoteker. Selain itu, apoteker sering dimintai konsultasi oleh pasien mengenai berbagai kekhawatiran yang tidak berhubungan dengan terapi obat. Meskipun situasi tersebut tidak memerlukan konseling pengobatan, namun apoteker harus menanggapi situasi tersebut karena apoteker berkedudukan sebagai sumber daya kesehatan masyarakat yang ada di komunitas dan sebagai individu yang mempedulikan sesama manusia.

5. Karakteristik Pemberi Informasi (Apoteker), dalam pemberian informasi kepada pasien (konseling), tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari


(52)

pasien melainkan juga yang berasal dari apoteker sendiri. Tingkat pengetahuan apoteker tentang pasien (kekhawatiran, situasi keluarga, kondisi, dan gejala pasien) menentukan pemahaman apoteker tentang cara mendekati pasien, jumlah informasi yang perlu diberikan, dan kenyamanan apoteker dalam menghadapi pasien. Pengetahuan apoteker tentang kondisi dan pengobatan pasien yang dibicarakan dalam konseling juga penting karena apoteker harus mampu mengantisipasi isu-isu yang harus dibicarakan dan memberikan informasi yang diperlukan. Kemampuan Apoteker untuk berkomunikasi dengan pasien dan profesional kesehatan lain yang terlibat dalam pengobatan pasien juga sangat penting. Penggunaan empatilah yang terpenting dalam menghadapi situasi yang menantang sehingga apoteker mampu menghadapi emosi pasien seperti kemarahan, rasa malu, rasa takut, dan kebingungan yang umumnya muncul dalam situasi seperti ini. Apoteker harus memiliki toleransi, empati, dan ketertarikan pada masing-masing pasien. Hal ini akan dirasakan oleh pasien dan akan membantu mengembangkan hubungan yang berhasil.

2.2.3 Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS)

PKMRS adalah upaya penyuluhan kesehatan yang dilaksanakan di rumah sakit, yang bertujuan untuk mengembangkan pemahaman pasien dan keluarganya tentang penyakit yang diderita pasien, serta hal-hal yang perlu dan dapat dilakukan oleh keluarga, untuk membantu penyembuhan dan mencegah terulangnya kembali penyakit yang diderita. Dalam hal ini PKMRS berusaha menggungah kesadaran serta minat pasien dan keluarganya untuk berperan secara positif dalam penyembuhan dan


(53)

pencegahan penyakit. Oleh karena itu penyuluhan kesehatan harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pelayanan kesehatan di RS, karena dengan PKMRS upaya penyembuhan pasien akan lebih berhasil (Depkes RI, 1999).

Rumah Sakit mempunyai peran yang besar untuk menyebarkan informasi kesehatan, pengembangan sikap dan perubahan perilaku kepada pasien, keluarga pasien, masyarakat dilingkungan rumah sakit, dan juga kepada petugasnya.

A. Visi PKMRS

Mewujudkan ”rumah sehat” yang para warganya hidup dengan perilaku yang bersih dan sehat, serta dalam lingkungan yang sehat pula.

B. MISI

1. Mengupayakan adanya kebijakan rumah sakit yang Bersih dan Sehat baik warga, tampilan fisik rumah sakit, maupun lingkungan sekitarnya.

2. Mengembangkan iklim atau suasana kondusif bagi terselenggaranya kegiatan penyuluhan di rumah sakit.

3. Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk berperilaku hidup bersih dan sehat bagi warga dan lingkungan rumah sakit.

C. KEBIJAKAN PKMRS

1. PKMRS difokuskan pada upaya pemberdayaan masyarakat di rumah sakit untuk hidup sehat dan mengembangkan lingkungan yang sehat.

2. PKMRS merupakan bagian dari program rumah sakit secara keseluruhan, untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit.


(54)

3. PKMRS dilakukan secara edukatif-persuasif, dan praktis-pragmatis, dengan membuka jalur komunikasi, menyediakan informasi dan melakukan edukasi (proses pembelajaran).

4. PKMRS dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat di rumah sakit secara kemitraan dan berkesinambungan.

5. PKMRS dilakukan sesuai dengan perkembangan jaman, serta sesuai dengan budaya dan kondisi setempat.

Adapun pesan atau materi PKMRS disesuaikan dengan masalah kesehatan yang sedang diderita pasien atau penyakit terbanyak yang ditemukan di rumah sakit (masalah lokal/SMF), atau masalah penyakit yang bersifat nasional (yang cenderung meningkat secara nasional seperti : penyakit jantung, tekanan darah tinggi, TBC, kanker, dsb) dengan aspek pencegahannya.

Secara garis besar, isi penyuluhan dapat dibagi menjadi 3 hal, yaitu :

1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan individu maupun kelompok. 2. Mencegah terserang suatu penyakit atau penyakit yang diderita kambuh

kembali. Juga mencegah penularan penyakit kepada atau dari orang lain. 3. Membantu proses penyembuhan dan pemulihan.

Metode penyuluhan yang dapat dikembangkan dalam PKMRS dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Penyuluhan langsung adalah penyuluhan/komunikasi tanpa menggunakan alat perantara, dimana penyuluh berbicara langsung kepada seseorang/sekelompok orang di hadapan penyuluh seperti: tanya jawab perorangan, ceramah pada kelompok, dan konseling. Penyuluhan tidak


(55)

langsung adalah penyuluhan/komunikasi melalui alat bantu atau media perantara seperti : radio kaset, video kaset, flipchart, poster, booklet, leaflet, dan pameran. Indikator keberhasilan PKMRS di lihat dari :

1. Adanya Tim pengelola PKMRS

2. Adanya kegiatan PKMRS yang berkesinambungan dan didukung oleh sumber dana yang memadai

3. Adanya sarana dan media PKMRS yang memadai

4. Adanya peningkatan penampilan RS yang bersih dan sehat

5. Adanya peningkatan Perilaku Bersih dan Sehat dari petugas, pasien/pengunjung.

2.3 Kepatuhan Pasien

Kepatuhan berasal dari kata “patuh” yang berarti taat, suka menuruti, disiplin. Kepatuhan menurut Trostle dalam Niven (2002), adalah tingkat prilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

Menurut Sacket (Niven, 2002) kepatuhan pasien adalah sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

Menurut Sarafino (Bart, 1994) secara umum, ketidaktaatan meningkatkan resiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk


(56)

kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan kearah penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor penderita yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota keluarga.

Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian yaitu :

1. Pemahaman Tentang Informasi

Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Niven, 2002) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien.

Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh DiNicola dan DiMatteo (Niven, 2002) yaitu :


(57)

b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain.

c. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat, maka akan ada efek “keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis.

d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal yang perlu ditekankan.

2. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi professional kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

3. Isolasi Sosial dan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

4. Keyakinan, Sikap dan Kepribadian

Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal.


(58)

Orang-orang yang tidak patuh adalah Orang-orang-Orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Blumenthal et al (Niven, 2002) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang disebutkan diatas tersebut menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh dari program pengobatan.

Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, dimana jika faktor ini lebih besar daripada hambatannya maka kepatuhan harus mengikuti. Kelima faktor tersebut yaitu :

1. Pendidikan

Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

2. Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat memengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi sesuatu, harus diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan cara meyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan. 3. Modifikasi Faktor Lingkungan dan Sosial

Hal ini berarti membangun dukungan social dari keluarga dan teman-teman. Kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap


(59)

program-program pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti merokok, dan menurunkan konsumsi alkohol.

4. Perubahan model terapi

Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks.

5. Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan dengan Pasien

Adalah suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Konsultasi dapat membantu meningkatkan kepatuhan.

Menurut Schwart dan Griffin (Bart, 1994), faktor yang berhubungan dengan ketidaktaatan pasien didasarkan atas pandangan mengenai pasien sebagai penerima nasihat dokter yang pasif dan patuh. Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai, dan masalahnya dianggap sebagai masalah kontrol. Riset berusaha untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas sosio ekonomi, pendidikan, umur, dan jenis kelamin. Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seorang dapat menjadi tidak taat kalau situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional


(60)

dan pasien sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku ketaatan sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya, bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan resiko mengenai kesehatannya.

Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan : 1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan

Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, dan perilaku yang tidak pantas.

Menurut Sarafino (Bart, 1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar 78%, untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang tingkat tersebut menurun sampai 54%.

2. Komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan petugas kesehatan memengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan petugas kesehatan, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan (Bart,1994).


(61)

Hubungan antara dukungan sosial dengan ketaatan telah dipelajari. Secara umum, orang-orang yang merasa mereka menerima penghiburan, perhatian, dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasihat medis, daripada pasien yang kurang mendapat dukungan sosial. Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pengelolaan medis. Misalnya, penggunaan pengaruh normatif pada pasien, yang mungkin mengakibatkan efek yang memudahkan atau menghambat perilaku ketaatan.

4. Ciri-ciri individual

Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan. Sebagai contoh : di Amerika Serikat, kaum wanita, kaum kulit putih, dan orang tua cenderung mengikuti anjuran dokter (Bart,1994).

2.4 Landasan Teori

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang banyak diderita oleh penduduk dunia dan hingga saat ini belum ditemukan pengobatan yang efektif untuk menyembuhkannya. (Depkes RI, 2006).

Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2004, bahwa dari 14 juta orang menderita DM, 50% diantaranya sadar telah mengidapnya (30% diantaranya yang mau berobat teratur dan 70% lainnya belum mengikuti pengobatan secara teratur), selain itu masih ada 50% lainnya yang tidak menyadari


(62)

dirinya menderita DM. Keadaan ini mencerminkan bahwa pemahaman masyarakat tentang penyakit DM dan upaya pencegahannya masih rendah.

Kepatuhan yaitu tingkat/derajat dimana penderita DM mampu melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh petugas kesehatan (Smet, 1994). Shilinger (1983) yang dikutip Travis (1997) menyatakan bahwa kepatuhan mengacu pada proses dimana penderita DM mampu mengasumsikan dan melaksanakan beberapa tugas yang merupakan bagian dari sebuah regimen terapeutik. Trekas (1984) dalam Ratanasuwan, dkk (2005), kemampuan penderita DM untuk mengontrol kehidupannya dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan. Seseorang yang berorientasi pada kesehatan cenderung mengadopsi semua kebiasaan yang dapat meningkatkan kesehatan dan menerima regimen yang akan memulihkan kesehatannya.

Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, yaitu pendidikan, akomodasi, modifikasi faktor lingkungan dan sosial, perubahan model terapi dan meningkatnya interaksi professional kesehatan dengan pasien.

Konseling dapat mengatasi ketidakpatuhan penderita DM. Edukasi yang baik dan tepat akan menggugah kesadaran penderita untuk mau melaksanakan anjuran kesehatan. Nicolucci et al (1996) dalam Day (2002) melaporkan bahwa penderita DM yang tidak mendapatkan edukasi memiliki risiko 4 kali lebih tinggi terkena komplikasi dibandingkan yang mendapatkan edukasi.


(63)

Meningkatnya interaksi tenaga kesehatan melalui komunikasi dengan pasien, adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Informasi yang diperoleh pasien dapat membantu pasien untuk lebih memahami kondisi mereka dan tindakan pengobatan yang sedang mereka jalani, dalam hal ini cara penggunaan obat yang benar. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang terjalin baik oleh tenaga kesehatan. Dengan komunikasi, seorang tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pemahaman pasien dalam setiap instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi (Niven, 2002).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Palestin (2000) pada pasien di poliklinik penyakit dalam RSU.dr.Sardjito Yogyakarta menyatakan bahwa secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terhadap kepatuhan dalam pengobatan pada pasien diabetes mellitus. ( Palestin, 2002 ).

Pritchard (1989) menyatakan hubungan komunikasi dengan kepatuhan merupakan variabel intermediet dari mengerti, kepuasan, dan memori. Membangun suatu kepatuhan tergantung pada dua faktor disengaja atau tidak disengaja dan biasanya didasari informasi yang benar harus selalu diberikan pada pasien yang tidak patuh pada pelayanan medis yang mungkin secara langsung membantu mengingatkan kembali. Sejak dia dipercaya dan patuh dengan nasehat, dia akan mengikuti


(64)

pengalaman kesehatan masa lampau oleh karena perubahan perilaku memerlukan banyak teknik persuasif (Palestin, 2002).

Menurut Smet (1994), salah satu strategi untuk meningkatkan kepatuhan adalah pemberian informasi, pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya. Dalam hal ini pemberian informasi yang jelas tentang penggunaan obat secara benar, sehingga pasien dapat paham dan akhirnya patuh terhadap anjuran pengobatan.

Ley dan Spelman (Niven, 2002) menemukan bahwa lebih dari 60% pasien yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien.

Merujuk pada teori dan penelitian diatas dan berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti terkait dengan kepatuhan pasien dalam konsumsi obat, maka kajian komunikasi petugas informasi obat terhadap kepatuhan minum obat pasien diabetes mellitus menjadi sangat penting untuk dilakukan.


(65)

2.5 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori tersebut di atas maka sebagai kerangka konsep dalam penelitian ini dapat kita lihat dalam bagan dibawah ini :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Kepatuhan Minum Obat Komunikasi Petugas Pelayanan

Informasi Obat 1. Isi informasi 2. Metode informasi 3. Peran petugas


(66)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei analitik (explanatory research) yaitu penelitian yang dirancang untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun, 1989), yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh komunikasi petugas pelayanan informasi obat terhadap kepatuhan minum obat pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr. H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi, dengan pertimbangan : (1) adanya keluhan pasien rawat jalan atas kurangnya informasi yang diberikan petugas dalam penggunaan obat, (2) tingginya angka ketidakpatuhan pasien diabetes mellitus terhadap pengobatannya, dan (3) kurangnya pemanfaatan IFRS sebagai sarana pelayanan informasi obat kepada pasien.

Waktu penelitian dimulai dengan penelusuran pustaka, survei pendahuluan, konsultasi, penyusunan proposal, kolokium dan dilanjutkan dengan penelitian lapangan, pengumpulan data, analisa data serta penyusunan laporan penelitian atau seminar hasil. Penelitian ini berlangsung selama 7 bulan yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan Juli 2011.


(1)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh komunikasi petugas PIO terhadap kepatuhan pasien DM rawat jalan di RSUD.dr.H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi, maka dapat diketahui bahwa :

1. Isi informasi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan minum obat, dimana nilai p = 0,032 < 0,05.

2. Metode informasi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan minum obat, dimana nilai p = 0,014 < 0,05.

3. Peran petugas mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan minum obat, dimana nilai p = 0,001 < 0,05.

4. Meskipun isi informasi, metode informasi dan peran petugas memengaruhi kepatuhan minum obat, ternyata dengan analisis regresi logistik diketahui bahwa variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat yaitu peran petugas PIO dengan nilai p = 0,003 dimana nilai p value tersebut lebih kecil dari variabel lainnya.


(2)

6.2 SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, peneliti mengemukakan beberapa saran antara lain :

1. Pimpinan RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi hendaknya mempunyai komitmen untuk menjalankan pelayanan informasi di rumah sakit dan melakukan langkah-langkah dalam menyusun sistem, prosedur, dan alur pasien dalam memperoleh informasi di rumah sakit.

2. Manajemen RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi hendaknya menjalankan program PKMRS, sehingga dapat memberikan pelayanan prima dan efektif dalam mendukung pelayanan kesehatan di RS.

3. Kepada Petugas agar meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi agar dapat memberikan pelayanan informasi yang bermanfaat dalam mendukung kesembuhan dan pemeliharaan kesehatan konsumen dengan simpatik dan penuh empati. Isi informasi dan metode informasi hendaknya disesuaikan dengan kemampuan konsumen dalam memahami pesan yang disampaikan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, dkk., 2003. Penatalaksanaan Pasien Diabetes Mellitus di Poliklinik RS. Sanglah Denpasar, Jurnal Penyakit Dalam Nomor 7, September 2006.

Anggraini, F., 2008. Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Tindakan Keperawatan dengan Tingkat Kepuasan Klien di Ruang rawat Inap RSUD. Wates Kulonprogo Kota Yogyakarta. http ://skripsistikes.wordpress.com/. Diakses 19 April 2010

Anief, Moh., 2008. Manajemen Farmasi, cetakan kelima, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Arikunto, S., 2000. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta : Rineka Cipta.

Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia., 2001. Pedoman Pelayanan Farmasi Rumah Sakit. Jakarta: Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.

Bart, Smet., 1994. Psikologi Kesehatan, PT.Grasindo, Jakarta.

Basuki., 2000. Penyuluhan Diabetes Mellitus, Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Nasional RSCM, Jakarta.

Centers Disease Control and Preventation., 2004. Primary preventation of Type 2 Diabetes Mellitus by Lifestyle Intervension : Implication For Health Policy.

Chan, C., 1997. Obesity Albuminuria and Hypertension among Hongkong Chinese with Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Prosgrad Med Journal. China.

Daris,Azwar.,2008. Himpunan Peraturan dan Perundang-undangan Kefarmasian, cetakan pertama, Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.

Day, John L.et.al., 2002. Living With Diabetes. John Wiley and Sons, Ltd.

Depkes RI., 2004. Standar Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Rumah Sakit Umum dan Pendidikan.


(4)

--- ., 2005. Standar Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Rumah Sakit Umum dan Pendidikan.

---., 2009. Media Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta.

Ester, Monica., 2000. Psikologi Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Foster,M.G.,1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta : UI Press.

Green,L., 2000., Communication and Human Behaviour, Prentice Hall, New Jersey. Heilbronn, L.K.Noakes, M.Clifton, P.M (2002). The effect of high and low glycemic

index energy restricted diet on plasma lipid and glucose profile in type 2 diabetic subject with varying glycemic control, Journal of the American College of Nutrition, (21):2.

Juliantini dan Widayati., 1996. Laporan Penelitian Kualitas Pelayanan informasi Obat Instalasi Farmasi Rumah sakit Daerah Dr. Moewardi Surakarta.

Liliweri., 2007, Komunikasi dan perubahan Perilaku, Gramedia, Jakarta. Niven, N., 2002. Psikologi Kesehatan. Jakarta : Penerbit EGC.

Notoatmodjo,S., 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. ---.,2003. Pendidikan dan Prilaku Kesehatan, cetakan kedua, Jakarta:

Rineka Cipta.

Neuman,S., & Yoshida, T., 2002. Theories of Human Communication, Belmont, California : Wadsworth Publishing Company.

Palestin, B; Ermawan; Donsu, J.D.T; Hendarsih; dan Bakri, M.H., 2002. Penerapan Komunikasi Teurapetik untuk mengoreksi Perilaku Klien Rawat Jalan dengan Diabetes Mellitus, http ://annagustinazblogspot.com/. Diakses 19 April 2010.

Parkeni., 2003. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Type 2, Jakarta.

Rantucci,J., 2007. Komunikasi Apoteker – Pasien. Panduan Konseling Pasien, edisi kedua, Jakarta: EGC.


(5)

Ratanusawan, dkk., 2005. Health Belief Model about Diabetes Mellitus in Thailand: The Culture Consensus Analysis. Journal Medical Association of Thailand Vol.88.

Rimbawan., Albiner Siagian., 2004. Indeks Glikemik Pangan. Cetakan-1. Jakarta : Penebar Swadaya.

Rowley.C., 1999. Factors Influence Patient Adherence in Diabetes. University of Clargary.

Sabri,L dan Hastono,S.P., 1999. Biostatistik dan Statistika Kesehatan, Jakarta: FKM-UI Press.

Santoso., 1997. Laporan Penelitian Pelayanan Informasi Obat Instalasi Farmasi Rumah Sakit Islam Jakarta Timur.

Siregar, C.J.P., 2004. Farmasi Rumah Sakit. Teori dan Penerapan, Jakarta: EGC. Soegondo. P. Soewondo., 2004. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, Pusat

Diabetes dan Lipid RSUP Nasional RSCM, Jakarta.

Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Republik Indonesia Nomor. HK.01.DJ.11.093 Tahun 2004, Tentang Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor. 1197/Menkes/SK/X/2004, Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Stuart, G.W. and Sundeen, S.J., 1998. Principle and Practice of Psyciatric Nursing. Ed ke-6. St.Louis, Mosby Year Book.

Sunberg, C.M., 1989. Fundamentals of Nursing with Clinical Procedures. Boston:Jones and Bartlett Publishers.

The Diabetes Prevention Program Research Group., 2003. Cost Associated With the Primary Prevention of Type 2 Diabetes Mellitus in the Diabetes Mellitus Program.www.preventiveservice.ahrg.go/arsip/diabetes.html. Diakses 19 April 2010.


(6)

Turtle, J., et al., 1999. Diabetes in the New Millenium. Sydney: Endocrinology and Diabetes Research Foundation.

Waspadji. S., 2007. Pedoman Diet Diabetes Mellitus, FK-UI Depok.

Widayati dan Zairina., 1996. Laporan Penelitian Kualitas Pelayanan Informasi Obat Instalasi Farmasi Rumah Sakit Orthopedi Prof.Dr.R.Soeharso Surakarta. Yudistira, 2009., Human Communication (Komunikasi antar Manusia), terjemahan


Dokumen yang terkait

PENGARUH PENGGUNAAN TELEMEDICINE TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

2 14 109

EVALUASI KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIPSIKOTIK ORAL PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT JALAN Evaluasi Kepatuhan Minum Obat Antipsikotik Oral Pasien Skizofrenia Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah X.

7 19 15

EVALUASI KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIPSIKOTIK ORAL PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT Evaluasi Kepatuhan Minum Obat Antipsikotik Oral Pasien Skizofrenia Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah X.

0 2 13

HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT DAN KEBERHASILAN TERAPI PADA PASIEN DIABETES Hubungan Antara Kepatuhan Penggunaan Obat Dan Keberhasilan Terapi Pada Pasien Diabetes Mellitus Instalasi Rawat Jalan Di Rsud Dr. Moewardi Surakarta.

0 2 12

HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT DAN KEBERHASILAN TERAPI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS INSTALASI RAWAT JALAN DI RS X Hubungan Antara Kepatuhan Penggunaan Obat Dan Keberhasilan Terapi Pada Pasien Diabetes Mellitus Instalasi Rawat Jalan Di Rsud Dr

0 1 15

ANALISIS PENGGUNAAN OBAT HERBAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI INSTALASI RAWAT JALAN ANALISIS PENGGUNAAN OBAT HERBAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA.

0 2 15

EKSPLORASI KEBUTUHAN PASIEN RAWAT JALAN PADA PELAYANAN INFORMASI OBAT DI RUMAH Eksplorasi Kebutuhan Pasien Rawat Jalan Pada Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Kota Malang.

0 6 16

EVALUASI TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI INSTALASI Evaluasi Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Kabupaten Sukoharjo.

1 4 14

EVALUASI TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI INSTALASI Evaluasi Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Kabupaten Sukoharjo.

0 2 17

View of HUBUNGAN PELAYANAN INFORMASI OBAT TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN HIPERTENSI DI RSUD PENAJAM PASER UTARA

0 0 7