2.1.6 Teori Belajar yang Mendasari Pembelajaran
Salah satu landasan teoritik pembelajaran problem based learning PBL dengan media audiovisual adalah teori pembelajaran kognitif dan konstruktivisme.
Pendekatan ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses
belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada teacher centered. Sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada
aktivitas siswa.
2.1.6.1 Teori Belajar Kognitif Piaget dalam Slavin, 1994: 34 membagi perkembangan kognitif anak-
anak dan remaja menjadi empat tahap: sensorimotor, praoperasional, operasional konkrit, dan operasional formal. Ia percaya bahwa semua anak melewati tahap ini
dalam urutan, dan bahwa tidak ada anak dapat melewati suatu tahap, meskipun anak-anak yang berbeda melewati tahap pada tingkat yang agak berbeda. Tahap-
tahap piaget yaitu: 1 Tahap sensorimotor 0
– 2 tahun Pada tahap ini bayi menyusun pemahaman indera dan gerakan motorik
mereka. Bayi hanya memperlihatkan pola reflektif untuk beradaptasi dengan dunia dan menjelang akhir tahap ini bayi menunjukkan pola sensorimotorik
yang lebih kompleks. 2 Tahap praoperasional 2
– 7 tahun
Tahap pemikiran ini lebih bersifat simbolis, egoisentris dan intuitif sehingga tidak melibatkan pemikiran operasional. Bayi pada tahap praoperasional
mulai meningkatkan kosa kata. 3 Tahap operasional konkret 7
– 11 tahun Pada tahap ini anak mampu mengoperasionalkan berbagai logika namun
masih dalam bentuk benda konkrit. Penalaran logika menggantikan penalaran intuitif, namun hanya pada situasi konkrit dan menggunakan cara berpikir
operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda namun belum bisa memecahkan masalah abstrak.
4 Tahap operasional formal 11 tahun sampai dewasa Pada tahap ini anak sudah mampu mempergunakan pemikiran tingkat yang
lebih tinggi yang terbentuk pada tahap sebelumnya. Pemikiran operasional formal tampak lebih jelas dalam pemecahan problem verbal, anak sudah
mampu membentuk hipotesis, melakukan penyelidikan atau penelitian terkontrol, dan dapat menghubungkan bukti dan teori.
Pada anak usia sekolah dasar termasuk dalam kriteria tahap operasional konkret. Tahap ini menunjukkan adanya sikap keingintahuan cukup tinggi
mengenai lingkungannya. Dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan sains maka pada anak sekolah dasar siswa harus diberikan pengalaman serta kesempatan
untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bersikap terhadap alam, sehingga dapat mengetahui rahasia dan gejala-gejala alam.
2.1.6.2 Teori Belajar Konstruktivisme Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme pengetahuan memang berasal dari luar akan tetapi dikonstruksi
oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan
subjek untuk menginterpretasi objek tersebut. Dengan demikian, pengetahuan itu tidak bersifat statis tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan
mengkonstruksinya Sanjaya, 2011:264. Setiap anak sudah memiliki skemata yang terbentuk semenjak bayi
ditambah dengan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Skemata anak- anak merupakan campuran pengertian-pengertian yang benar dan yang salah. Satu
atau beberapa konsep biasanya membentuk suatu skemata. Jika salah satu pengertian atau konsep pembentuk skema salah maka informasi seputar konsep
tersebutpun salah dan aplikasinya salah. Dan sulitnya anak-anak berpegang teguh pada konsep tersebut.
Pada anak usia SD biasanya sering mengalami miskonsepsi dalam IPA sebagai contoh miskonsepsi dalam fotosintesis. Sejak kecil anak melihat
tumbuhan hijau mendapat makanan dari air, tanah dan pupuk. Hal ini merupakan konsep yang salah karena tumbuhan hijau mampu membuat makanan sendiri
dengan berfotosintesis. Oleh karena itu teori belajar Konstruktivisme dapat membantu guru dalam membangun pengetahuan baru dalam struktur konsepsi
pengalaman siswa.
2.1.7 Penggunaan Model Problem Based Learning PBL dengan Media Audiovisual