Kendala Interaksi Dinamika Proses dan Strategi Akulturasi

khusus turnamen sepakbola juga menjadi ajang untuk berinteraksi dan berkenalan dengan etnis lain dikarenakan turnamen sepakbola diadakan dengan mengundang tim sepakbola etnis lain untuk terlibat. Bagi subyek terutama saat mereka baru datang, keberadaan perkumpulan KBNY dengan peran para senior menjadi masa orientasi yang memudahkan mereka untuk lebih mengenal kondisi Yogyakarta dan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Perkumpulan juga menjadi ajang untuk lebih mengenal teman satu daerahnya terutama ketika mempersiapkan acara rutin perkumpulan dalam kepanitian yang dibentuk.

c. Kendala Interaksi

Dalam berinteraksi muncul beberapa kendala yang dihadapi subyek. Kendala yang dialami subyek didominasi oleh kendala akibat perbedaan-perbedaan subyek dengan orang yang dijumpainya. Kendala- kendala yang dihadapi subyek antara lain kendala bahasa, kendala terkait perbedaan sifat dan kebiasaan serta stereotip terhadap subyek sebagai mahasiswa Indonesia Timur MIT. Kendala bahasa dirasakan seluruh subyek. Kendala ini dialami terutama ketika berkomunikasi dengan orang Jawa sebagai orang dari kelompok budaya dominan. Ketidakpahaman akan bahasa Jawa menjadi kendala utama dalam berkomunikasi dengan orang Jawa. Kendala ini dirasakan benar oleh subyek FA. Saat magang, dikarenakan komunikasi di tempat kerja sering menggunakan bahasa Jawa, FA mengalami kebingungan ketika ingin menyampaikan apa yang ingin disampaikannya. Ia juga merasa tidak paham dengan apa yang disampaikan rekan kerjanya saat mereka berkomunikasi. Akhirnya ia pun berinisiatif untuk bertanya ketika tidak mengerti apa yang dikomunikasikan rekan kerjanya. “Soalnya kalau orang Jawa kan sesama Jawa kan mereka sering kalau ngomongnya pasti..pake, ada Jawanya kan… kalau bicara sama mereka mikir lagi mau bicara banyak sama mereka kan masih bingung-bingung gitu…Biasanya saya langsung tanya ke mereka atau bilang aja bilang kurang paham bahasa Jawanya. Jadi biasanya mereka langsung bicaranya langsung pakai bahasa Indonesia.” FA Kendala ini diikuti oleh kritikan atas cara bicara atau dialek yang khas dari subyek. Perbedaan cara bicara membuat pemaknaan orang lain berbeda dengan maksud isi pembicaraan. Hal ini dialami subyek DN. Cara bicara dengan suara yang keras dianggap sebagai ekspresi marah. Saat berargumen dalam diskusi, ia berargumen dengan suara yang keras dengan maksud mendapatkan atensi akan pikirannya namun hal itu dianggap kasar. Pemasalahan yang sama dialami subyek BT. Cara bicaranya yang cepat dikritik oleh teman kampusnya. Bahkan dialek subyek dianggap ganjil, sampai ditertawakan. “...ketika misalnya saya berbicara dengan orang Jawa suara saya besar, suara besar gitu maksudnya sebetulnya saya tidak marah… Saya melihat mereka penilain bahwa Dn ini marah. Padahal sebenarnya tidak…Di kampus ketika ada berdiskusi gitu kan banyak teman dari etnis-etnis yang lain, jadi saat berargumen itu kan karena kita bersuara keras. Untuk meyakinkan kita punya pikiran ini kita punya pendapat itu kan dengan suara yang keras. Lalu itu dinilai kasar” DN “Di kampus itu teman saya bilang „Ber, kamu itu ngomongnya cepat ba nget‟ Kalau dalam bahasa itu kan dia bilang ‟Ber, kalau ngomong pelan dikit, cepat sekali‟ Saya bilang „Ini saya punya ngomong sudah pelan ini‟ Kalau soal pemahaman saya rasa mereka bisa memahami apa yang kita bicarakan. Cuman kan ada sedikit perbedaan dialek yang mereka rasa ganjil, kadang- kadang tertawa kan kalau kita omong.” BT Subyek juga berusaha untuk menyesuaikan diri menghadapi perbedaan yang mereka temui. Dalam menyesuaikan diri terkait perbedaan bahasa misalnya mereka belajar kosakata bahasa Jawa dan terkadang mencoba menggunakan bahasa Jawa. Hal ini dilakukan terutama dengan orang Jawa yang sering mereka jumpai seperti pemilik warung makan langganan mereka atau pemilik koskontrakan. Subyek juga berusaha bersikap halus lemah lembut ketika berhadapan dengan orang Jawa. Menghadapi kendala tersebut, subyek pun berusaha untuk menyesuaikan cara bicaranya ketika berkomunikasi. Walaupun merasa sulit, subyek DN bahkan mencoba menggunakan dialek Jawa saat berkomunikasi dengan orang Jawa. “Berinteraksi dengan orang Jawa khususnya itu paling tidak saya sesuaikan dialeg saya dengan dialeg sini kan, misalnya dengan bilang e enggak atau pokoknya ada dialeg-dialeg Jawa lah mungkin menurut saya agak susah” DN Selain masalah bahasa, masalah interaksi terkait perbedaan kecenderungan sikap menjadi kendala lain subyek dalam berinteraksi. Sikap etnis lain yang dirasa subyek tidak cocok dengan mereka menjadi hambatan saat berinteraksi. Masalah sifat ketidakterbukaan dirasa subyek FA membuat dirinya tidak suka dengan salah satu penghuni kos dari etnis Jawa ketika masih tinggal di kos. Saat itu penghuni kos asal Jawa itu tidak suka dengan kebiasaan subyek dan teman-temannya yang ribut, mengobrol sampai larut malam. Rasa tidak suka itu tidak diungkapkan secara langsung kepada mereka tapi disampaikan melalui penjaga kos, hal itulah yang tidak disukai subyek. “Cuma pergaulan anak-anak di kost pertama kemarin sama yang di bawah memang minim ya. Mereka dengan kebiasannya sendiri terus kita kadang kala ada gesekan sih. Banyakkan kalau kita di atas kan orang Timur aja kan ribut sampai tengah malam. Terus mereka itu lapornya itu ke penjaga kost. Kaminya terus dimarah-marahi penjaga kost sering terjadi gesekan- gesekan seperti itu… palingan kalau kami ya tinggal memakluminya saja kan. Tapi kayak yang nggak enaknya kan mereka nggak langsung beri tau… Harus lewat penjaga kost.” FA Kendala ini juga dirasakan oleh subyek DN. Ia sulit memahami sifat orang Jawa yang dianggapnya tertutup. Ia mencoba membandingkan sifat orang Ngada yang cenderung terbuka dengan sifat tertutup orang Jawa yang dianggapnya sebagai sikap yang sedikit munafik. Sebagai orang Ngada ia mengidentifikasi diri memiliki sifat yang terbuka, jika tidak suka dengan seseorang akan mengatakan tidak suka demikian pula sebaliknya. Sedangkan orang Jawa dianggap tidak terbuka dalam mengungkapkan perasaan dan pikirannya. “Pandangan saya orang Jawa itu mungkin artinya ada sedikit sedikit apa munafik…munafik dalam arti tidak dalam arti yang ekstrim, artinya mereka mungkin karena lebih penilaian saya itu lebih karena sifat tertutupnya… saya kurang bisa mengerti memahami mereka karena sifat tertutupnya… beda dengan orang kita kan terbuka. Blak-blakan, saya tidak suka kau, saya tidak suka kau, saya ngomong wait sorry teman saya tidak suka kau, itu orang kita. Sementara kalau orang Jawa kita tidak pernah tau apa yang apa yang dia rasakan tentang saya, itu yang menurut saya yang kesulitan juga. ” DN Subyek BT juga mengungkapkan ketidakcocokkannya terhadap orang yang memiliki sifat tertutup. “Tapi kalau saya tidak ada rasa nyambung, artinya tidak ada ketersambungan misalnya dia itu terlalu santun, terlalu pendiam saya kan kalau dengan orang yang terlalu santun kan kadang-kadang saya kaku sendiri… yang penting intinya saya merasa interaksi dengan dia itu nyaman, nyambung. Kalau dia nyambung artinya sesuai.” BT Penilaian bahwa orang Jawa tertutup berdampak pada keenganan berinteraksi lebih dekat dengan orang Jawa. Subyek DV menduga sifat tertutup orang Jawa sebagai sikap menghindar orang Jawa terhadap dirinya. Oleh karena itu, subyek menjadi sungkan untuk berkenalan lebih dekat dengan orang Jawa. Perasaan dihindari membuat subyek membatasi diri untuk berinteraksi dengan etnis lain terutama dengan etnis Jawa. Subyek DN pun merasa tidak mudah bergaul dekat dengan orang Jawa. “Merasa sekali dihindari orang Jawa. Orang Jawa, ada beberapa yang minder, bukan dia yang minder, tapi kita yang minder, terlalu diam atau apa jadi orangnya agak tertutup, jadi kita mau dekat juga, tidak ada berani, itu kita rasa sekali.” DV “Secara pribadi ya itu itu alasan saya karena saya tidak bisa bergaul dengan orang Jawa, jujur karena mungkin secara pribadi saya kan orangnya terbuka. Jadi jelas saya tidak rasa nyaman ketika saya berhadapan dengan orang yang tertutup dengan saya.” DN Kendala lain yang muncul saat berinteraksi dengan etnis lain yaitu adanya stereotip yang mengarah pada sikap prasangka dan diskriminasi dari etnis lain. Sikap tersebut muncul terkait dengan kasus- kasus kekerasan seperti perkelahian. Selama hidup di Yogyakarta, diakui subyek pada umumnya masalah perkelahiankekerasan terjadi antara mahasiswa etnis timur dengan etnis mahasiswa timur lainnya. Biasanya permasalahan perkelahian melibatkan mahasiswa yang baru datang maba. Beberapa kasus perkelahian yang melibatkan mahasiswa Ngada seperti juga MIT lebih sering muncul saat pertandingan sepakbola dan acara pesta. Walaupun tidak terlibat secara langsung, diakui subyek permasalahan perkelahian yang melibatkan teman Ngada yang lain juga menjadi masalah mereka. Menurut subyek BT, rasa persaudaraan yang tinggilah yang membuat mahasiswa Ngada ikut melibatkan diri membela teman yang terlibat masalah. Ada rasa tidak terima jika teman dipukul atau dihina oleh orang lain. Subyek DN pun mengamini hal tersebut. Menurutnya, keterlibatan teman lain dalam kasus kekerasan dikarenakan adanya rasa solidaritas yang tinggi dari teman yang lain. “Sebenarnya kan karakter, orang NTT kan pada umumnya kan apa ya, jiwa sosialnya tinggi, jiwa sosialnya tinggi, persaudaraannya tinggi…Termasuk Ngada…kenapa tadi teman-teman dari masalah bola, masalah individu ni ya dari orang perorangan meluas jadi masalah etnis. Itu karena istilahnya ada rasa empati dari teman-temannya, masak teman saya dipukul, masak teman saya dihina…” BT “Buat kita ada teman kita yang disakiti itu kau menyakiti semua kami. Tidak peduli siapa yang salah dan siapa yang benar. Kalau kau sampai menyakiti, kalau kau sampai pukul dia, dia sampai sengsara berarti kau juga harus sengsara. Artinya kalau kau menyakiti dia kau menyakiti kami semua” DN Masalah perkelahiankekerasan akhirnya diselesaikan dengan melibatkan seniorsesepuh. Seluruh subyek mengakui peran senior sangat penting terutama dalam penyelesaian konflik perkelahiankekerasan. Jika sampai berurusan dengan polisi, biasanya seniorsesepuh pun diundang dalam penyelesaiannya. Subyek DN menuturkan bahwa mahasiswa Ngada tertutama maba biasanya akan menurut dengan senior, senior menjadi sosok yang dihormati. “Kalau menurut saya senior itu buat kita orang timur itu penting sekali. Artinya yang bisa kendalikan adik-adiknya itu hanya seniornya . E di Jawa sini saya alami bahwa bahkan mungkin aparat keamanan juga susah buat kendalikan anak-anak itu. Susah, susah sekali tapi kalau senior yang datang anak-anak dengar. Makanya mungkin itu juga yang dipegang oleh aparat di sini khususnya kepolisian mungkin karena ketika sudah ada beberapa kali ada konflik itu yang selalu yang menyelesaikan itu sesepuhnya diundang…Polisinya ya yang mediasi.” DN Kasus kekerasan yang terjadi antara MIT turut memberi dampak bagi mahasiswa Ngada. Selama hidup di Yogyakarta subyek merasa muncul stereotip terhadap mereka sebagai bagian dari orang Indonesia Timur. Diakui subyek, walaupun kasus kekerasan yang terjadi antara MIT jarang melibatkan mahasiswa Ngada, stereotip yang muncul terkait adanya kasus kekerasan juga dirasakan oleh mereka. Stereotip yang muncul yaitu orang Timur dianggap keras, sering membuat kekacauan perkelahian, sering mabuk, punya sifat yang kasar dan keras kepala. Subyek merasa adanya stereotip ini mengarah pada sikap prasangka dan perilaku diskriminasi terhadap mereka. Subyek BT menggambarkan bentuk diskriminasi dengan adanya ungkapan “wong ireng”. Etnis mulai dari Ambon, Flores, Maluku, Papua, itu kan kadang-kadang, yang udah mirip-mirip warna kulit, rambutnya, bentuk rahangnya, kadang-kadang kan sama. Ha, sebenarnya yang membikin suatu permasalahan itu kan mungkin etnis yang lain. Kadang-kadang walaupun anak-anak Ngada sebenarnya tenang, pandangannya kan jatuh ke anak- anak Ngada yang ada disekitar orang-orang Jawa itu, orang Jawa kan biasanya „Wa, wong ireng ki lho..wong ireng ki..‟ gini-gini kan. Kadang kan tidak semua wong ireng begitu. Ya, anak-anak Ngada kan tidak semua begitu. Memang ada juga yang reseh, tapi tidak sereseh yang lainlah. Etnis-etnis yang lain kan kadang-kadang resehnya sembarang itu. BT Pengalaman diskriminasi menghambat mereka untuk bisa bergaul secara terbuka dengan etnis lain. Subyek DN menggambarkan pengalamannya yang tidak menyenangkan ketika ikut klub sepakbola. Ia diposisikan di posisi bertahan back walaupun sebenarnya sering bermain menjadi pemain penyerang karena pelatihnya beranggapan orang Timur cocok bermain menjadi back, posisi yang mengandalkan keberanian bermain keras. Akibatnya, subyek merasa tidak nyaman, kesulitan menyesuaikan diri serta tidak membuka diri dengan teman- teman klub sepakbolanya, padahal menurutnya orang Ngada termasuk terbuka. “Ketika baru datang di club itu diperkenalkan oleh orang yang bawa saya ke situ terus ditanya sama pelatihnya kebetulan pelatihnya orang Jawa „Kamu ini orang mana?‟ „Saya dari Flores pak‟ „Ohh kamu orang timur ya kamu di belakang‟ persepsi mereka tentang orang timur itu keras… dibola kan orang yang keras itu posisinya di belakang. Di back, yang berani tekel segala macamnya, yang berani bermain keras. persepsinya mungkin secara umum menurut saya orang memandang seperti itu saya harus menerima itu. Keputusan pelatih sambil beradaptasi dengan situasi di situ. Adaptasi yang menurut saya susah. Hampir dua minggu itu saya tidak berkomunikasi dengan teman-teman yang lain. Kebetulan ada satu yang dari Ngada juga. Jadi kita hanya berdua saja ngobrol. Kalau dia tidak datang saya juga diam, artinya saya juga diam artinya kita ketemu hanya senyum.” DN Menurut subyek, pandangan yang melihat bahwa orang timur keras adalah tidak tepat. Subyek mengakui bahwa orang Timur termasuk orang Ngada pada umumnya memiliki ciri-ciri identik keras mulai dari ciri-ciri fisik serta cara bicara yang tegas, blak-blakan dan keras. Subyek menambahkan latar belakang kehidupan di daerah asal pun menggambarkan bahwa orang Timur terbiasa hidup dengan pola dan kondisi yang keras. Dalam konteks keluarga misalnya jika anak salah maka akan ditegur secara keras sampai memarahi anak. Akan tetapi, subyek melihat orang pada umumnya mengidentikkan ciri-ciri keras tersebut dengan kasar. Cara bicara dengan suara yang keras misalnya dialami subyek DN dan BT disalahartikan sebagai ekspresi sedang marah atau mengintimidasi.

d. Strategi Akulturasi