Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Yogyakarta merupakan salah satu destinasi pendidikan bagi orang Indonesia timur. Tidak heran apabila dalam perjalanan intelektualnya mahasiswa Indonesia Timur MIT kemudian melanjutkan kuliah di UPN Veteran, UAJY, USD, STTNAS, INSTIPER, dan UNRIYO. Kebanyakan dari mereka kemudian menetap di kawasan Tambak Bayan, Yogyakarta dengan alasan jarak tempuh yang cenderung dekat dengan perguruan tinggi. Dengan hidup di Yogyakarta, MIT menghadapi tantangan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi sosial budaya yang baru, yang berbeda dengan kondisi sosial budaya yang dihidupi di tempat asal. Situasi di mana individu berhadapan dengan konteks budaya yang baru dan berinteraksi secara langsung dengan individu atau kelompok budaya yang berbeda ini dikenal dengan istilah akulturasi Berry, Poortiga, Segal, Dasen, 1999. Dengan demikian, akulturasi adalah sebuah proses. Proses ini dapat mencapai hasil tertentu dari „bagaimana mereka berinteraksi‟ dalam konteks budaya yang baru. Dalam hal ini „bagaimana mereka berinteraksi‟ merupakan suatu deskripsi yang menuntut seseorang mengatasi keadaan. Dan untuk mengatasi keadaan, seseorang membutuhkan suatu strategi. Demikian pula selama proses akulturasi, seseorang menciptakan suatu strategi akulturasi begitu juga para MIT. Menurut beberapa tokoh adat Indonesia Timur, dalam kehidupan MIT masih dijumpai kesan eksklusif dan tertutup di lingkungan kampus maupun di lingkungan tempat tinggal wawancara lapangan, 20 Mei 2011. Eksklusivitas ini dapat dijumpai maupun mewujud dalam pemilihan jenis kegiatan cenderung mengikuti organisasi yang primordialistis, pemilihan indekos mayoritas penghuni kos adalah MIT, dan intensitas pergaulan dengan etnis lain sebatas urusan kuliah atau akademis belaka. Padahal, dari wawancara terdahulu terhadap para partisipan, keinginan untuk membuka diri seluas-luasnya di lingkungan rantau menjadi motif yang cukup kuat. Tentu saja keterbukaan diri dalam wujud interaksi sosial adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan akulturasi seseorang Sullivan, 2008. Dalam penelitian Sullivan mengenai akulturasi Mahasiswa Taiwan di Australia, ditemukan bahwa interaksi sosial yang luas dan kesediaan untuk belajar serta memperoleh pengetahuan tentang budaya setempat secara positif berhubungan dengan kualitas hidup mahasiswa perantau dalam kehidupan akulturasinya. Kualitas hidup tersebut, menurut Johnson dalam Dayaksini Yuniardi, 2008, akan membuat individu mengembangkan diri, mendapatkan banyak wacana baru, dan menambah lebih banyak relasi. Kualitas hidup yang dicapai individu yang berakulturasi juga menjadi fokus penelitian Olivas, dan Li 2006. Olivas, dan Li, dalam penelitiannya mengenai kehidupan akulturasi mahasiswa asal Asia timur yang kuliah di Amerika Serikat, menemukan bahwa dengan membuka diri, yaitu dengan mengembangkan hubungan dengan mahasiswa lokal, dapat mengurangi tingkat kecemasan dan keterasingan individu serta secara positif dapat mempengaruhi kesuksesan akademik mahasiswa perantau. Kurangnya interaksi sosial antara mahasiswa perantau dengan mahasiswa dari etnis lain terutama dengan mahasiswa lokal kemudian berimplikasi pada hadirnya kesulitan-kesulitan dalam kehidupan akulturasinya. Ketidakmampuan menghadapi kesulitan yang muncul tersebut kemudian dapat membuat individu mengalami stres psikologis seperti kesepian, homesick, ketidakberdayaan dan depresi Poyrazli dan Grahame 2006. Lebih lanjut, Volet dan Ang 1998 dalam penelitiannya mengenai interaksi antara kelompok budaya menemukan bahwa stres yang muncul oleh karena kontak antar budaya, jaringan sosial dan pertemanan secara positif mempengaruhi akulturasi secara umum. Keadaan diri dan penyesuaian psikologis individu yang merantau kemudian menjadi hal yang vital untuk dikaji dalam dinamika hubunganinteraksi sosial dalam kontak antar budaya. Dayaksini Yuniardi 2008 menggambarkan bahwa sikap tidak membuka diri dan hanya bergaul dengan orang dalam kelompoknya sendiri merupakan wujud dari sikap menghindari konflik. Sikap ini ditunjukkan dengan jalan menghindari pertemuan dengan individu dari latar belakang budaya berbeda dan hanya berdiam dalam kelompoknya. Dengan hanya bergaul dalam kelompoknya, rasa aman akan diperoleh individu. Pemerolehan rasa aman ini akan menjauhkan individu dari kesulitan adaptasi karena sudah adanya kesamaan identitas dan lepas dari kemungkinan konflik karena tidak ada perbedaan kebiasaan. Namun, dengan mengembangkan hidup hanya pada satu kelompok berarti membedakan diri dan menjadikan orang lain semakin berbeda. Fatalnya, hal tersebut pada dasarnya justru menciptakan kerentanan terhadap konflik. Rentannya konflik terlukis dalam wawancara lapangan terhadap kapolsek Depok Barat pada tanggal 12 April 2011. Ditengarai, yang menjadi pematik konflik adalah salah paham antar individu. Salah paham antar individu ini terkadang sampai merembet menjadi masalah kelompok. Rasa kesukuan yang tinggi etnosentrisme juga ditengarai menjadi penyebab konflik. Rasa kesukuan ini terejawantahkan dalam paham kedaerahan yang sempit dan menganggap kelompok suku sendiri paling baik. Anggapan bahwa “suku saya yang terbaik” ini berimplikasi pada reaktivitas terhadap pandangan rendah dari kelompok lain. Tidak kalah penting dari yang telah disebutkan, kebiasaan mengkonsumsi alkohol juga dianggap menjadi pemicu konflik mengkonsumsi alkohol secara berlebihan. Tentu saja, konflik bernuansa kekerasan ini menimbulkan ketidaknyamanan masyarakat sekitar konflik. Selain ketidaknyamanan, kerugian material seperti kerusakan bagian rumah juga dialami masyarakat sekitar catatan lapangan Kanit Serse Polsek Depok, 19 April 2011. Selain dampak negatif yang dialami masyarakat, kasus kekerasan yang terjadi juga membawa dampak tersendiri bagi MIT di tengah kehidupan akulturasinya di Yogyakarta. Akibat berbagai kasus ini, MIT dipandang sebagai orang yang berwatak keras, berperangai kasar dan identik dengan perilaku kekerasan catatan lapangan 12 April 2011. Tidak menutup kemungkinan pandangan ini bisa saja meluas menjadi prasangka yang sifatnya merugikan MIT secara keseluruhan. Liliweri 2002 mengklaim bahwa prasangka bisa meluas sehingga terarah pada sebuah kelompok secara keseluruhan atau kepada individu hanya karena orang itu adalah anggota kelompok. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan tidak semua MIT terlibat dalam aksi kekerasan. Akibat lebih jauhnya adalah potensi munculnya sikap “menghindari” maupun “mengucilkan” atau diskriminasi terhadap MIT oleh masyarakat. Diskriminasi merupakan salah satu stresor akulturasi yang potensial dialami mahasiswa perantau Smith, Rachel Khawaja, Nigar 2011. JJ. Lee dan Rice dalam Smith, Rachel Khawaja, Nigar, 2011 mengungkapkan diskriminasi yang signifikan dialami mahasiswa perantau berkisar pada perasaan inferioritas, penghinaan langsung secara lisan, diskriminasi dalam mencari pekerjaan dan penyerangan fisik. Perilaku diskriminasi di lingkungan kampus terhadap mahasiswa perantau pun bergerak dari samar-samar menjadi semakin jelas. Poyrazli dan Grahame‟s 2006 dalam penelitiannya menemukan bahwa pengalaman dan perasaan didiskriminasi yang dialami mahasiswa perantau pun dapat berdampak negatif terhadap proses penyesuaian diri dalam kehidupan akulturasinya dan dihubungkan juga dengan rapuhnya kondisi psikologis serta depresi. Salah satu etnis MIT yang merasa mengalami diskriminasi adalah etnis Ngada. Satu hal menarik dari kelompok ini adalah bahwa secara kuantitatif mahasiswa asal Ngada jarang terlibat dalam aksi kekerasan. Walaupun begitu, pengucilan dengan mudah dapat saja terjadi terhadap mahasiswa Ngada melihat kecenderungan mahasiswa Ngada seperti MIT lainya yang tertutup dalam pergaulan dan keterlibatannya dalam beberapa kasus kekerasan. Ketertutupan dan keterlibatan Mahasiswa Ngada dalam beberapa kasus kekerasan serta keresahan warga masyarakat sekitar mengindikasikan adanya permasalahan dalam proses akulturasi mahasiswa Ngada. Bahkan dalam mahasiswa yang cenderung dinilai baik oleh tokoh dari Indonesia Timur ini juga mengalami permasalahan dalam interaksi sosialnya. Berdasarkan uraian di atas, urgensi penelitian ini adalah untuk memahami dinamika kehidupan akulturasi mahasiswa Ngada dengan melihat proses akulturasi individual mahasiswa Ngada. Selain itu, strategi akulturasi yang dipilih mahasiswa Ngada menjadi hal penting untuk dipahami sebagai upaya melihat bagaimana mahasiswa Ngada menyesuaikan diri dalam menghadapi kendala yang muncul selama proses akulturasi. Proses dan strategi akulturasi individual MIT Ngada ini akan menjadi cerminan proses dan strategi akulturasi individual MIT lain. Oleh karena itu, jawaban atas proses dan strategi akulturasi individual ini akan membawa pada pemahaman terhadap MIT secara individual yang menerapkannya dalam kehidupan komunal.

B. Rumusan Masalah