To`o Penga To`o, Rejo Penga Rejo dan akulturasi mahasiswa Ngada.
i
TO’O PENGA TO’O, REJO PENGA REJO
DAN AKULTURASI MAHASISWA NGADA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Timotius Aditya Lodo Ratu NIM : 069114083
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(2)
(3)
(4)
iv
“Pendidikan seharusnya dilihat sebagai hadiah berharga bukan kewajiban yang membebani”
-Albert Einstein-
“Ojo Dumeh, Eling lan Waspada”
Karya ini saya persembahkan kepada mereka yang menyukai keunikan, mencintai keberagaman dan berusaha mempraktekkan filosofi agung bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”
(5)
v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 23 Mei 2013
(6)
vi
TO’O PENGA TO’O, REJO PENGA REJO
DAN AKULTURASI MAHASISWA NGADA
Timotius Aditya Lodo Ratu
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan studi deskriptif mengenai kehidupan mahasiswa asal Ngada (NTT) selama hidup di Yogyakarta. Pengalaman kehidupan mahasiswa Ngada di Yogyakarta kemudian dibingkai menurut teori akulturasi. Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses akulturasi dan strategi akulturasi mahasiswa Ngada di Yogyakarta. Dalam kehidupannya, mahasiswa Ngada sebagai bagian dari Mahasiswa Indonesia Timur (MIT) dipandang sebagai orang yang berwatak keras, berperangai kasar dan identik dengan perilaku kekerasan. Selain itu, mahasiswa Ngada juga dipandang sebagai mahasiswa yang eksklusif. Hal tersebut menjadi ketertarikan tersendiri untuk mengetahui bagaimana proses dan strategi akulturasi mahasiswa Ngada. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa Ngada menggunakan strategi akulturasi separasi selama proses akulturasinya di Yogyakarta. Mahasiswa Ngada membawa dan melestarikan prinsip solidaritas orang Ngada yang dikenal dengan istilah To‟o penga to‟o, Rejo penga rejo selama hidup akulturasinya di Yogyakarta.
(7)
vii
TO’O PENGA TO’O, REJO PENGA REJO
AND NGADA’S STUDENT ACCULTURATION
Timotius Aditya Lodo Ratu
ABSTRACT
This research is a descriptive study of the lives of students from Ngada (NTT) who live in Yogyakarta. The experience of Ngada student in Yogyakarta was framed in to the theory of acculturation. This study aims to describe the process of acculturation and acculturation strategies Ngada students in Yogyakarta. Ngada students as part of the East Indonesian Students (MIT) is seen as a person who rampart, identical to behave rude and violent behavior. In addition, students Ngada also seen as an exclusive student. It became interesting to know how the process and strategies of acculturation of Ngada student. The method used in this research is descriptive qualitative. Data collection techniques used were interviews. The results showed that during the process of acculturation in Yogyakarta, separation strategies is used by Ngada students. Ngada students carry and preserve the principle of solidarity Ngada known as To 'o penga to'o, rejo penga rejo during acculturation in Yogyakarta. This principle is manifested by a strong sense of brotherhood among fellow students Ngada.
Kata kunci: Acculturation, Separation strategies, Ngada student, To‟ o penga to‟o, Rejo penga rejo.
(8)
viii
LEMBAR PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
NAMA : TIMOTIUS ADITYA LODO RATU
NIM : 069114083
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
To’o Penga To’o, Rejo Penga Rejo dan Akulturasi Mahasiswa Ngada di Yogyakarta
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 23 Mei 2013 Yang menyatakan,
(9)
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia dan kasihNya atas terselesaikannya karya tulis ini. Segala penyertaanNya sungguh penulis rasakan dan memberikan kekuatan selama proses penyelesaian karya tulis ini.
Segala keterbatasan penulis dalam mengerjakan karya tulis ini dapat penulis atasi lewat dukungan dari semua pihak yang telah mencurahkan kritik yang membangun, saran, dan semangat kepada penulis. Semua itu membangkitkan semangat dan memunculkan inspirasi penulis. Dalam kesempatan yang baik ini, penulis memberikan penghargaan bagi semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu selama proses penelitian ini. Terima kasih penulis haturkan kepada :
1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku pembimbing yang dalam setiap kesempatan yang ada bersedia memberikan tenaga, pikiran dan kesabarannya. Terima kasih untuk segala proses pembelajaran yang bisa saya peroleh selama ini.
2. Bapak Minto Istono dan Ibu A. Tanti Arini selaku dosen pembimbing akademik.
3. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas ilmu dan petuah yang sungguh berarti bagi penulis. Terima kasih untuk pelayanannya.
(10)
x
4. Staf Fakultas Psikologi; Bu Nanik, Mas Doni, Mas Gandung, Mas Muji dan Pak Giyono untuk bantuan dan pelayanannya.
5. Bapak Drs. Mikha Ratu dan Ibu Dra. L Ermintarsih, serta saudara-saudariku Mas David Hermantya Lomi Ratu, Sarlotha Widiatri Anita Ratu dan Eunike Merlinda Kusuma Ratu untuk segala doa, dukungan dan kasih sayang yang tak henti-hentinya dicurahkan kepada penulis. 6. Semua pihak yang memberikan data dalam penelitian ini; para subyek,
signifanct others.
7. Felicita Noviani Tyas Utami untuk waktu dan pengalaman yang bermakna yang telah dibagikan.
8. Teman-teman seperjuangan dan sepenanggungan ; Arya Primaditya, Maria Eliza, Guntur Prabawanto, Yohanes De Deo Yustiananta (Komeng), Yosephin Harsentya, Laurensia Wulan, Yohanes Dody. 9. Teman-teman ITJAS (Ikatan Tjatjat Asmara) ; Adhitya Hari Saputra,
Albertus Harimurti, Arga Yudha, Bayu Mahendra, Budi Setiyana, Dyan Martikatama, Galih Pambudi, Setya Dharma, Setyo Adi Sejati, Wahyu Kristianto, Wahyu Setia Jati.
10. Teman-teman UKF Sepakbola Psikologi Sanata Dharma, Kineta, Ska Phobia, Red Pavlov.
11. Serta semua pihak yang dalam keberadaannya turut membantu.
Yogyakarta, 23 Mei 2013 Timotius Aditya Lodo Ratu
(11)
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
A. Akulturasi ... 9
1. Pengertian ... 9
(12)
xii
3. Sikap terhadap Akulturasi ... 13
4. Strategi Akulturasi ... 13
B. Ngada ... 15
C. Mahasiswa Ngada di Yogyakarta ... 18
D. Akulturasi Mahasiswa Ngada di Yogyakarta ... 20
E. Batasan Konseptual ... 21
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 23
A. Pendekatan Penelitian ... 23
B. Prosedur Penelitian ... 24
1. Tahap Pra-lapangan ... 24
2. Tahap Pekerjaan Lapangan ... 24
3. Analisis Data ... 24
C. Subyek Penelitian ... 25
D. Batasan Penelitian ... 26
E. Teknik Pengumpulan Data ... 26
F. Kredibilitas Penelitian ... 28
BAB IV. PENYAJIAN HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 30
A. Proses Penelitian ... 30
B. Hasil Penelitian ... 32
1. Data Demografi Subyek ... 32
2. Dinamika Psikologis Subyek ... 33
(13)
xiii
C. Pembahasan ... 61
1. Proses Akulturasi ... 62
2. Strategi Akulturasi ... 69
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Saran ... 75
1. Bagi peneliti yang menaruh perhatian pada tema penelitian yang serupa ... 75
2. Bagi mahasiswa dan calon mahasiswa Indonesia Timur pada umumnya dan mahasiswa dan calon mahasiswa Ngada pada khususnya yang telah maupun akan melanjutkan studi. ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 78
(14)
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pedoman Wawancara ... 27
Tabel 2. Data Demografi Subyek ... 32
Tabel 3. Alasan Merantau ke Yogyakarta ... 43
Tabel 4. Pemahaman Awal Tentang Yogyakarta ... 44
Tabel 5. Harapan Kuliah di Yogyakarta ... 46
Tabel 6. Interaksi dengan Masyarakat Yogyakarta ... 47
(15)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Yogyakarta merupakan salah satu destinasi pendidikan bagi orang Indonesia timur. Tidak heran apabila dalam perjalanan intelektualnya mahasiswa Indonesia Timur (MIT) kemudian melanjutkan kuliah di UPN Veteran, UAJY, USD, STTNAS, INSTIPER, dan UNRIYO. Kebanyakan dari mereka kemudian menetap di kawasan Tambak Bayan, Yogyakarta dengan alasan jarak tempuh yang cenderung dekat dengan perguruan tinggi.
Dengan hidup di Yogyakarta, MIT menghadapi tantangan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi sosial budaya yang baru, yang berbeda dengan kondisi sosial budaya yang dihidupi di tempat asal. Situasi di mana individu berhadapan dengan konteks budaya yang baru dan berinteraksi secara langsung dengan individu atau kelompok budaya yang berbeda ini dikenal dengan istilah akulturasi (Berry, Poortiga, Segal, & Dasen, 1999). Dengan demikian, akulturasi adalah sebuah proses. Proses ini dapat mencapai hasil tertentu dari „bagaimana mereka berinteraksi‟ dalam konteks budaya yang baru. Dalam hal ini „bagaimana mereka berinteraksi‟ merupakan suatu deskripsi yang menuntut seseorang mengatasi keadaan. Dan untuk mengatasi keadaan, seseorang membutuhkan suatu strategi. Demikian pula selama proses akulturasi, seseorang menciptakan suatu strategi akulturasibegitu juga para MIT.
(16)
Menurut beberapa tokoh adat Indonesia Timur, dalam kehidupan MIT masih dijumpai kesan eksklusif dan tertutup di lingkungan kampus maupun di lingkungan tempat tinggal (wawancara lapangan, 20 Mei 2011). Eksklusivitas ini dapat dijumpai maupun mewujud dalam pemilihan jenis kegiatan (cenderung mengikuti organisasi yang primordialistis), pemilihan indekos (mayoritas penghuni kos adalah MIT), dan intensitas pergaulan dengan etnis lain (sebatas urusan kuliah atau akademis belaka).
Padahal, dari wawancara terdahulu terhadap para partisipan, keinginan untuk membuka diri seluas-luasnya di lingkungan rantau menjadi motif yang cukup kuat. Tentu saja keterbukaan diri dalam wujud interaksi sosial adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan akulturasi seseorang (Sullivan, 2008). Dalam penelitian Sullivan mengenai akulturasi Mahasiswa Taiwan di Australia, ditemukan bahwa interaksi sosial yang luas dan kesediaan untuk belajar serta memperoleh pengetahuan tentang budaya setempat secara positif berhubungan dengan kualitas hidup mahasiswa perantau dalam kehidupan akulturasinya. Kualitas hidup tersebut, menurut Johnson (dalam Dayaksini & Yuniardi, 2008), akan membuat individu mengembangkan diri, mendapatkan banyak wacana baru, dan menambah lebih banyak relasi.
Kualitas hidup yang dicapai individu yang berakulturasi juga menjadi fokus penelitian Olivas, dan Li (2006). Olivas, dan Li, dalam penelitiannya mengenai kehidupan akulturasi mahasiswa asal Asia timur yang kuliah di Amerika Serikat, menemukan bahwa dengan membuka diri, yaitu
(17)
dengan mengembangkan hubungan dengan mahasiswa lokal, dapat mengurangi tingkat kecemasan dan keterasingan individu serta secara positif dapat mempengaruhi kesuksesan akademik mahasiswa perantau.
Kurangnya interaksi sosial antara mahasiswa perantau dengan mahasiswa dari etnis lain terutama dengan mahasiswa lokal kemudian berimplikasi pada hadirnya kesulitan-kesulitan dalam kehidupan akulturasinya. Ketidakmampuan menghadapi kesulitan yang muncul tersebut kemudian dapat membuat individu mengalami stres psikologis seperti kesepian, homesick, ketidakberdayaan dan depresi (Poyrazli dan Grahame 2006).
Lebih lanjut, Volet dan Ang (1998) dalam penelitiannya mengenai interaksi antara kelompok budaya menemukan bahwa stres yang muncul oleh karena kontak antar budaya, jaringan sosial dan pertemanan secara positif mempengaruhi akulturasi secara umum. Keadaan diri dan penyesuaian psikologis individu yang merantau kemudian menjadi hal yang vital untuk dikaji dalam dinamika hubungan/interaksi sosial dalam kontak antar budaya.
Dayaksini & Yuniardi (2008) menggambarkan bahwa sikap tidak membuka diri dan hanya bergaul dengan orang dalam kelompoknya sendiri merupakan wujud dari sikap menghindari konflik. Sikap ini ditunjukkan dengan jalan menghindari pertemuan dengan individu dari latar belakang budaya berbeda dan hanya berdiam dalam kelompoknya. Dengan hanya bergaul dalam kelompoknya, rasa aman akan diperoleh individu. Pemerolehan rasa aman ini akan menjauhkan individu dari kesulitan adaptasi
(18)
karena sudah adanya kesamaan identitas dan lepas dari kemungkinan konflik karena tidak ada perbedaan kebiasaan. Namun, dengan mengembangkan hidup hanya pada satu kelompok berarti membedakan diri dan menjadikan orang lain semakin berbeda. Fatalnya, hal tersebut pada dasarnya justru menciptakan kerentanan terhadap konflik.
Rentannya konflik terlukis dalam wawancara lapangan terhadap kapolsek Depok Barat pada tanggal 12 April 2011. Ditengarai, yang menjadi pematik konflik adalah salah paham antar individu. Salah paham antar individu ini terkadang sampai merembet menjadi masalah kelompok. Rasa kesukuan yang tinggi (etnosentrisme) juga ditengarai menjadi penyebab konflik. Rasa kesukuan ini terejawantahkan dalam paham kedaerahan yang sempit dan menganggap kelompok suku sendiri paling baik. Anggapan bahwa “suku saya yang terbaik” ini berimplikasi pada reaktivitas terhadap pandangan rendah dari kelompok lain. Tidak kalah penting dari yang telah disebutkan, kebiasaan mengkonsumsi alkohol juga dianggap menjadi pemicu konflik (mengkonsumsi alkohol secara berlebihan). Tentu saja, konflik bernuansa kekerasan ini menimbulkan ketidaknyamanan masyarakat sekitar konflik. Selain ketidaknyamanan, kerugian material seperti kerusakan bagian rumah juga dialami masyarakat sekitar (catatan lapangan Kanit Serse Polsek Depok, 19 April 2011).
Selain dampak negatif yang dialami masyarakat, kasus kekerasan yang terjadi juga membawa dampak tersendiri bagi MIT di tengah kehidupan akulturasinya di Yogyakarta. Akibat berbagai kasus ini, MIT dipandang
(19)
sebagai orang yang berwatak keras, berperangai kasar dan identik dengan perilaku kekerasan (catatan lapangan 12 April 2011).
Tidak menutup kemungkinan pandangan ini bisa saja meluas menjadi prasangka yang sifatnya merugikan MIT secara keseluruhan. Liliweri (2002) mengklaim bahwa prasangka bisa meluas sehingga terarah pada sebuah kelompok secara keseluruhan atau kepada individu hanya karena orang itu adalah anggota kelompok. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan tidak semua MIT terlibat dalam aksi kekerasan. Akibat lebih jauhnya adalah potensi munculnya sikap “menghindari” maupun “mengucilkan” atau diskriminasi terhadap MIT oleh masyarakat.
Diskriminasi merupakan salah satu stresor akulturasi yang potensial dialami mahasiswa perantau (Smith, Rachel & Khawaja, Nigar 2011). JJ. Lee dan Rice (dalam Smith, Rachel & Khawaja, Nigar, 2011) mengungkapkan diskriminasi yang signifikan dialami mahasiswa perantau berkisar pada perasaan inferioritas, penghinaan langsung secara lisan, diskriminasi dalam mencari pekerjaan dan penyerangan fisik. Perilaku diskriminasi di lingkungan kampus terhadap mahasiswa perantau pun bergerak dari samar-samar menjadi
semakin jelas. Poyrazli dan Grahame‟s (2006) dalam penelitiannya
menemukan bahwa pengalaman dan perasaan didiskriminasi yang dialami mahasiswa perantau pun dapat berdampak negatif terhadap proses penyesuaian diri dalam kehidupan akulturasinya dan dihubungkan juga dengan rapuhnya kondisi psikologis serta depresi.
(20)
Salah satu etnis MIT yang merasa mengalami diskriminasi adalah etnis Ngada. Satu hal menarik dari kelompok ini adalah bahwa secara kuantitatif mahasiswa asal Ngada jarang terlibat dalam aksi kekerasan. Walaupun begitu, pengucilan dengan mudah dapat saja terjadi terhadap mahasiswa Ngada melihat kecenderungan mahasiswa Ngada seperti MIT lainya yang tertutup dalam pergaulan dan keterlibatannya dalam beberapa kasus kekerasan. Ketertutupan dan keterlibatan Mahasiswa Ngada dalam beberapa kasus kekerasan serta keresahan warga masyarakat sekitar mengindikasikan adanya permasalahan dalam proses akulturasi mahasiswa Ngada. Bahkan dalam mahasiswa yang cenderung dinilai baik oleh tokoh dari Indonesia Timur ini juga mengalami permasalahan dalam interaksi sosialnya.
Berdasarkan uraian di atas, urgensi penelitian ini adalah untuk memahami dinamika kehidupan akulturasi mahasiswa Ngada dengan melihat proses akulturasi individual mahasiswa Ngada. Selain itu, strategi akulturasi yang dipilih mahasiswa Ngada menjadi hal penting untuk dipahami sebagai upaya melihat bagaimana mahasiswa Ngada menyesuaikan diri dalam menghadapi kendala yang muncul selama proses akulturasi. Proses dan strategi akulturasi individual MIT Ngada ini akan menjadi cerminan proses dan strategi akulturasi individual MIT lain. Oleh karena itu, jawaban atas proses dan strategi akulturasi individual ini akan membawa pada pemahaman terhadap MIT secara individual yang menerapkannya dalam kehidupan komunal.
(21)
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana proses dan strategi akulturasi mahasiswa Ngada yang hidup di Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan proses dan strategi akulturasi mahasiswa Ngada yang hidup di Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian adalah :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur mengenai Etnis Ngada, terutama etnis Ngada di perantauan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada masyarakat mengenai mahasiswa Indonesia timur khususnya mahasiswa Ngada.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pengetahuan lembaga terkait dalam menangani penyelesaian masalah yang melibatkan mahasiswa Indonesia timur khususnya mahasiswa Ngada. 4. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan
tersendiri bagi calon mahasiswa Ngada yang akan menjalani pendidikan di Yogyakarta. Informasi seputar kehidupan para seniornya diharapkan dapat menjadi modal persiapan serta pembelajaran supaya calon mahasiswa
(22)
nantinya dapat menyiasati diri untuk tidak terlibat dalam masalah yang sifatnya destruktif.
(23)
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Akulturasi
1. Pengertian
Redfield, Linton, & Herkovits (dalam Berry, Poortiga, Segal, & Dasen, 1999) memahami akulturasi sebagai fenomena yang akan terjadi ketika kelompok-kelompok individu yang memiliki budaya berbeda terlibat dalam kontak yang terjadi secara langsung. Pada definisi ini, akulturasi dipandang terjadi sebagai akibat dari kontak antar budaya. Akulturasi terjadi ketika kelompok individu berinteraksi dengan kelompok budaya lain, dan sebaliknya. Interaksi tersebut melibatkan posisi individu secara personal (melibatkan elemen psikologis seperti sikap dan persepsi) maupun dengan atribut yang melekat (misalnya; identitas etnis).
Definisi lain menyebutkan bahwa akulturasi merupakan perubahan budaya dan psikologis karena perjumpaan dengan orang dari budaya lain yang memperlihatkan budaya yang berbeda (Berry dkk, 1999). Pada definisi ini, perubahan perilaku dan psikologis dalam pengalaman individu dipandang sebagai hasil dari kontak dengan budaya lain. Menurut Social Sience Research Council (dalam Berry dkk, 1999) perubahan budaya diawali dengan perkenalan dua atau lebih sistem budaya yang ada. Perubahan dalam akulturasi bisa saja
(24)
terjadi sebagai konsekuensi dari kontak budaya secara langsung. Perubahan bisa saja tidak berasal atauberbentuk budaya (tradisi atau ritual) misalnya perubahan lingkungan atau demografi sebagai akibat dari suatu pergeseran budaya. Perubahan bisa saja tertunda, tergantung dari penyesuaian diri dan penerimaan terhadap bentuk atau sifat dari pengaruh asing, bisa juga terjadi begitu saja lewat adaptasi dalam kehidupan sehari-hari.
Fleksibilitas dalam proses akulturasi ini menjadi sebuah proses yang dinamis dan melibatkan elemen psikologis seperti sikap dan persepsi serta elemen-elemen kebudayaan dari tiap budaya yang bertemu. Proses akulturasi ini terjadi pada dua ranah yaitu ranah individu dan ranah kelompok.
Berry dkk (1999) mengungkapkan pentingnya membedakan akulturasi kelompok dan individual. Graves (dalam Berry dkk, 1999) mengungkapkan istilah akulturasi psikologis untuk menunjuk perubahan yang dialami individu akibat kontak dengan budaya lain dan akibat keikutsertaannya dalam proses akulturasi yang memungkinkan budaya dan kelompok etniknya menyesuaikan diri. Pada ranah kelompok perubahan kadang terjadi dalam struktur sosial, landasan ekonomi dan organisasi politik. Sementara pada ranah individu, perubahan-perubahan terjadi dalam jati diri, nilai dan sikap. Selain itu, tidak setiap individu yang berakulturasi berpartisipasi dalam
(25)
perubahan-perubahan kolektif yang sedang berlangsung dalam banyak hal ataupun dalam cara yang sama.
Dari definisi dan penjelasan di atas, akulturasi dapat dipahami sebagai proses dinamis yang terjadi terus menerus akibat adanya interaksi dengan individu atau kelompok budaya yang berbeda di konteks lingkungan budaya yang baru. Dampak dari interaksi bagi individu dalam akulturasi dapat memunculkan perubahan psikologis dan perubahan budaya. Guna memahami proses dinamis yang terjadi dalam akulturasi, maka uraian di bawah ini akan membantu pemahaman kita mengenai akulturasi.
2. Proses Akulturasi
Berry dkk (1999) menguraikan tahapan yang dilewati oleh individu atau kelompok budaya dalam proses akulturasi. Proses tersebut adalah:
a. Pra Kontak
Tahap pra kontak merupakan tahap awal sebelum perjumpaan individu atau kelompok dengan konteks budaya lain. Tahap ini menggambarkan pengetahuan individu atau kelompok individu mengenai kondisi sosial dan budaya lain.
(26)
b. Kontak
Tahap kontak menggambarkan bahwa individu atau kelompok budaya telah terlibat langsung dalam kontak/interaksi dengan budaya lain.
c. Konflik
Dalam tahap ini individu atau kelompok budaya menghadapi kendala-kendala yang muncul dari perbedaan kebudayaan, perlakuan, kondisi lingkungan, kondisi sosial, serta permasalahan lain yang muncul selama berinteraksi dengan individu atau kelompok budaya lain.
d. Krisis
Merupakan tahap individu atau kelompok yang berakulturasi mengalami masa krisis baik secara individu maupun kelompok.
e. Adaptasi
Dalam tahap ini kendala-kendala yang muncul dihadapi individu atau kelompok budaya dengan menerapkan alternatif atau strategi akulturasi.
(27)
3. Sikap terhadap Akulturasi
Sikap individu yang berakulturasi terhadap masyarakat dominan memiliki beberapa kaitan dengan cara individu masuk dalam proses akulturasi (Berry dkk, 1999). Jika sikap-sikap kelompok sendiri sangat positif dan sikap kelompok luar sangat negatif maka pengaruh akulturasi mungkin sudah tersaring, tertahan, tertolak atau dapat dikatakan kurang efektif. Disisi lain, jika pola sikap yang berlawanan cocok diantara individu-individu yang mengalami akulturasi maka pengaruh-pengaruh akulturatif mungkin lebih dapat ditertima. Sikap terhadap akulturasi terkait erat dengan perbedaan keinginan individu untuk berinteraksi dan bagaimana individu mempertahankan nilai budayanya. Sikap inilah yang kemudian menentukan strategi akulturasi yang dipilih individu.
4. Strategi Akulturasi
Strategi akulturasi dipahami sebagai cara individu atau kelompok budaya yang sedang berakulturasi dalam interaksi atau kontak dengan individu atau kelompok dari budaya lain (Berry dkk, 1999). Ada dua dimensi fundamental yang nantinya akan berpengaruh terhadap strategi akulturasi yang dipilih individu atau kelompok yang sedang berakulturasi. Dua dimensi itu adalah menjaga identitas budaya aslinya dan menjaga hubungan dengan kelompok budaya lain (Berry dalam Ward dan Deuba, 1999). Strategi akulturasi dapat dibedakan
(28)
ketika respon evaluatif terhadap dua dimensi tersebut bersifat dikotomi. “Ya atau tidak” untuk menjaga budaya aslinya dan “ya atau tidak” untuk mengadopsi budaya lain.
Ada 4 strategi yang disodorkan Berry dkk (1999), strategi itu antara lain:
a. Integrasi
Individu yang dalam berhubungan dengan individu atau kelompok budaya setempat menjaga dan mempertahankan budayanya dan mengadopsi nilai budaya setempat.
b. Separasi
Individu yang dalam berhubungan dengan individu atau kelompok lain menjaga dan mempertahankan nilai budayanya sendiri, namun relatif tidak peduli dengan nilai budaya lain.
c. Asimilasi
Individu yang dalam berhubungan dengan individu atau kelompok lain mau menerima nilai budaya lain, namun secara relatif tidak memperdulikan/melestarikan nilai budayanya sendiri.
(29)
d. Marjinalisasi
Individu yang dalam berhubungan dengan individu atau kelompok lain tidak memperdulikan nilai budayanya sendiri maupun nilai budaya yang lain. Individu mengalami perasaan ambivalen dan terasing dari nilai budayanya sendiri maupun nilai budaya yang lain.
B. Ngada
Kabupaten Ngada terletak diantara 8-9‟ lintang selatan dan 120‟45 -121‟-50‟ bujur timur. Bagian utara berbatasan dengan laut Flores, bagian selatan berbatasan dengan laut Sawu, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Nagekeo dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai.
Ada dua kelompok budaya yang hidup di kabupaten Ngada. Pembagian ini didasari pada kelompok etnis yaitu etnis Riung dan etnis Bajawa/Ngada (kemudian akan disebut Ngada dalam penelitian ini). Kedua kelompok budaya tersebut memiliki beberapa kesamaan dan kemiripan, tetapi dalam beberapa hal nampak berbeda (Bolong, 2005). Jenis budaya yang sama antara lain seperti Para/paras yaitu suatu upacara adat pamancangan Ngadu (batu bulat atau persegi panjang) dan Nambe (batu besar berbentuk bulat ceper) di tengah kampung disertai pembunuhan hewan kurban berupa kerbau sebagai simbol identitas, kepenuhan, kebesaran dan keselamatan suku. Sedangkan praktek budaya
(30)
yang berbeda antara lain upacara adat reba di etnis Ngada dan larik (caci) di etnis Riung.
Etnis Ngada mengenal adanya kelas sosial atau starata sosial atau kasta, dalam bahasa setempat disebut Rang (Bolong, 2005). Kelas sosial ini sangat mempengaruhi status sosial dalam kehidupan masyarakat. Status kemudian berpengaruh dalam relasi sosial dan dalam penguasaan tanah. Struktur kekuasaan adat dalam masyarakat adat Ngada juga berlaku menurut kelas sosial. Tugas dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pengaturan adat istiadat dalam masyarakat dijalankan sesuai dengan strata sosial yang ada.
Selain itu, Orang Ngada memiliki kebudayaan unik terkait dengan kekerasan. Masyarakat suku Ngada memiliki satu ritual atraksi tinju tradisional yang dinamakan Caci. Bukan hanya di Ngada, tapi beberapa suku disekitar Ngada juga mengenal ritual ini. Tinju adat ini dilangsungkan ketika menyambut musim panen dan diadakan setiap setahun sekali yang diikuti oleh kaum lelaki dewasa. Jika ada petinju yang berdarah, dipercayai menandakan hasil panen akan melimpah. Bagi banyak orang, tinju merupakan olahraga keras, namun orang Ngada dan suku lain disekitarnya menjadikan Caci sebagai tarian, olahraga dan hiburan (Alo Liliweri, 2002).
Orang Ngada memiliki beberapa prinsip hidup dalam keterkaitannya dengan adat istiadatnya. Dasnan (dalam Bolong, 2005) secara ringkas mengungkap 3 prinsip orang Ngada. Pertama, prinsip
(31)
solidaritas (To‟o Penga To‟o, Rejo Penga Rejo). Dalam prinsip ini ada kepercayaan orang Ngada bahwa ketika seseorang tidak sanggup melaksanakan tugas pengabdian dengan baik, maka ia sudah memiliki keyakinan untuk percaya kepada bantuan yang diatur dari sesamanya. Sebaliknya, jika ada anggota masyarakat lain dikala membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan akan kesejahteraannya, akan diadakan kumpul bersama (Utu Bhou) untuk membahas apa saja yang bisa dilakukan secara bersama untuk membantu anggota masyarakatnya yang membutuhkan bantuan tersebut.
Kedua, prinsip toleransi (Modhe Ne‟e Hoga Woe, Meku Ne‟e Doa Delu). Toleransi dipahami sebagai sikap pribadi atau kelompok dalam menghargai keberadaan pribadi atau kelompok lain yang memiliki ciri-ciri yang berbeda agar dapat selalu hidup rukun antar sesama. Orang Ngada percaya bahwa pemaksaan kehendak bukanlah cara yang dipakai ketika terjadi masalah terkait adanya perbedaan pribadi atau kelompok. Ungkapan adat setempat mengatakan “Ma‟e beke meze kasa kapa” atau jangan membusungkan dada untuk melakukan pemaksaan kehendak, akan tetapi berusaha menghapi masalah dengan kumpul bersama (musyawarah). Sebagai contoh jika terjadi konflik tanah antara masyarakat adat selalu diselesaikan secara musyawarah bersama. Pendekatan kekeluargaan dalam menyelesaikan konflik ini biasanya melalui ketua suku atau tokoh masyarakat setempat. Masyarakat Ngada juga memiliki sifat saling menghargai dan saling menghormati yang tinggi. Dalam kehidupan
(32)
beragama, hidup antara umat beragama sangat rukun. Dalam sejarah Ngada sampai sekarang, belum pernah terjadi konflik yang disebabkan oleh fanatisme sempit terhadap ajaran agama. Antara umat beragama selalu saling membantu dan menghargai satu sama lain.
Ketiga, prinsip tertib budi pekerti (Sui Uwi) Masyarakat adat Ngada mengenal budi pekerti sebagai norma-norma yang bersumber pada ajaran kehidupan para leluhur sebagaimana diwariskan secara turun temurun dan masih dipatuhi oleh masyarakat adat dalam kehidupan sehari-hari. Norma-norma yang bersumber pada ajaran kehidupan para leluhur tersebut tidak tertulis dan terus berkembang sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, inkulturasi ajaran agama serta hukum tertulis pemerintah.
C. Mahasiswa Ngada di Yogyakarta
Mahasiswa Ngada terkesan eksklusif baik di lingkungan kampus maupun di lingkungan tempat tinggal (wawancara lapangan, 20 Mei 2011). Ketika berada di lingkungan kampus, mahasiswa Ngada cenderung hanya bergaul dengan mahasiswa kelompok etnisnya (etnis Ngada) dan beberapa mahasiswa yang berasal dari wilayah yang sama (Flores/NTT). Pergaulan dengan etnis lain hanya sebatas urusan kuliah, tidak kemudian akrab dengan mahasiswa dari etnis lain. Mahasiswa Ngada pun dikenal sangat jarang terlibat dalam organisasi kampus. Mereka lebih memilih terlibat dalam organisasi komunitas mahasiswa etnis Ngada atau Flores
(33)
yang ada di Yogyakarta seperti KBNY (Keluarga Besar Ngada Yogyakarta).
Kesan ekslusif dan tertutup juga dijumpai di lingkungan tempat tinggal. Mahasiswa Ngada cenderung memilih untuk tinggal bersama dengan sesama mahasiswa Ngada atau mahasiswa dari wilayah yang sama (Flores/NTT). Dalam pemilihan tempat kos, mahasiswa Ngada akan membicarakannya terlebih dahulu dengan mahasiswa Ngada yang lain kemudian bersama-sama mencari kos yang sesuai. Kriteria pemilihan kos yang sesuai tidak hanya mengenai fasilitas kos yang ada, tetapi juga mengenai penghuni kos yang sudah ada, apakah mayoritas penghuni kos berasal dari etnis Ngada atau Flores/NTT ataukah dari etnis lain. Pada akhirnya mahasiswa Ngada akan cenderung memilih kos yang mayoritas penghuninya berasal dari wilyah yang sama atau daerah yang sama. Jika kemudian akhirnya memilih kos yang heterogen dimana penghuninya terdiri dari beberapa etnis, kecenderungan yang muncul adalah mereka kurang membuka diri untuk bergaul dan hanya bergaul dengan sesama orang Ngada saja.
Oleh karena sikap dan perilaku keeksklusifan mahasiswa Ngada itu, solidaritas kelompok/etnis menjadi kuat. Salah satu bentuk solidaritas itu dapat dilihat ketika salah satu mahasiswa Ngada terlibat konflik dengan etnis lain. Mahasiswa Ngada yang lain akan ikut membantu menyelesaikan konflik yang terjadi bahkan dengan cara kekerasan. Solidaritas yang kuat ini menjadi kekhasan tersendiri bagi mahasiswa Ngada.
(34)
D. Akulturasi Mahasiswa Ngada di Yogyakarta
Secara singkat, kehidupan akulturasi mahasiswa Ngada akan dijelaskan berdasarkan proses akulturasi dimulai dari latar belakang kedatangan mahasiswa Ngada ke Yogyakarta dan bagaimana interaksi dan kendala yang dihadapi mahasiswa Ngada di Yogyakarta.
Alasan utama kedatangan mahasiswa Ngada ke Yogyakarta adalah melanjutkan pendidikan. Sebelum sampai di Yogyakarta kebanyakan mahasiswa Ngada mengenal Yogyakarta sebagai tempat yang unggul dalam pendidikan. Oleh karena keunggulan Yogyakartalah mahasiswa Ngada kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Alasan lain yang mendorong kedatangan mereka ke Yogyakarta berbeda antara individu yang satu dan yang lain.
Sikap yang ditunjukkan mahasiswa Ngada terhadap mahasiswa lain dalam interaksinya pun berbeda, sikap terhadap mahasiswa yang berasal dari suatu wilayah/etnis yang satu dengan mahasiswa dari wilayah etnis yang lain (wawancara lapangan, 20 Mei 2011). Mahasiswa Ngada lebih sering berinteraksi dengan sesama mahasiswa Ngada lainnya. Selain itu, mahasiswa Ngada juga lebih sering berinteraksi dengan mahasiswa yang berasal dari kawasan yang sama seperti etnis-etnis yang ada di NTT, Maluku atau Papua. Interaksi yang dilakukan antara lain saat kegiatan kuliah, kegiatan olahraga, kegiatan di tampat tinggal, acara keagamaan maupun pertemuan rutin komunitas antar mahasiswa Ngada (KBNY).
(35)
Interaksi mahasiswa Ngada dengan masyarakat Yogyakarta sendiri lebih banyak terjadi dalam urusan bisnis seperti tempat tinggal (kos atau kontrakan), makan (warung makan), laundry, ataupun kebutuhan jasa lainnya seperti rental komputer.
Sedangkan kendala yang dihadapi mahasiswa Ngada dalam kehidupan akulturasinya di Yogyakarta justru lebih terlihat ketika mereka berinteraksi dengan mahasiswa etnis lain yang berasal dari wilayah yang sama (Indonesia Timur). Berbagai konflik antara mahasiswa Indonesia timur justru terjadi ketika mereka saling berinteraksi. Konflik muncul misalya ketika pertandingan sepakbola atau saat pesta syukuran (kelulusan mahasiswa, acara keagamaan) yang diadakan oleh mereka. Konflik tersebut biasanya berujung pada kekerasan seperti perkelahian ataupun tawuran antara kelompok mahasiswa Indonesia Timur.
E. Batasan Konseptual
Dalam penelitian ini batasan pemahaman mengenai akulturasi adalah akulturasi yang terjadi pada tingkat individu atau akulturasi psikologis. Guna memahami pola dan proses akulturasi individu mahasiswa Ngada, gambaran mengenai tahap-tahap akulturasi serta strategi akulturasi yang dipilih oleh informan menjadi bagian penting yang akan diungkap untuk melihat kehidupan akulturasi mereka.
Proses akulturasi dan strategi akulturasi mahasiswa Ngada dengan masyarakat di Yogyakarta akan menjadi fokus utama penelitian ini.
(36)
Masyarakat Yogyakarta yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat yang mendiami Yogyakarta terutama dari etnis Jawa sebagai etnis dominan serta mahasiswa dari etnis lain yang dijumpai mahasiswa Ngada.
(37)
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti mempelajari isu atau tema tertentu secara mendalam dan komprehensif. Penelitian ini melihat suatu gejala sebagai sesuatu yang dinamis dan berkembang, dengan mendeskripsikan dan memahami proses dinamis yang terjadi berkenaan dengan gejala yang diteliti (Poerwandari, 1998).
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk menggambarkan proses dan strategi akulturasi dari pengalaman-pengalaman yang dihidupi oleh subyek baik perilaku, persepsi,motivasi, tindakan dll, secara holistik dan dengan cara diskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa (Moleong, 2009). Penelitian ini bertujuan mengungkap secara mendalam bagaimana dinamika kehidupan subyek dalam interaksinya dengan individu atau kelompok yang berbeda budaya di tengah lingkungan baru berdasarkan pengalaman subyek dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini dilakukan agar dapat menggambarkan proses dan strategi akulturasi dari subyek sebagai fokus dalam penelitian ini.
(38)
B. Prosedur Penelitian
Prosedur dalam penelitian ini mengaju pada tahapan penelitian kualitatif menurut Moleong (2009). Tahapan tersebut antara lain :
1. Tahap Pra-lapangan
Pada tahap ini, peneliti menyusun rancangan penelitian sebelum turun ke lapangan. Selain itu, peneliti melakukan penjajakan/orientasi lapangan melalui kepustakaan atau melalui orang dalam (significant others). Orientasi lapangan dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum tentang berbagai hal terkait konteks penelitian. Pada tahap ini, peneliti juga perlu melakukan pendekatan awal secara terbuka kepada subyek penelitian.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
Pada tahap ini, peneliti mulai mengumpulkan data. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data yang sudah dirancang sebelumnya.
3. Analisis Data
Data yang didapat kemudian diolah dengan tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Smith (dalam Poerwandari, 1998). Tahapan tersebut antara lain :
a. Membaca transkip berulang-ulang untuk mendapatkan pemahaman tentang kasus atau masalah. Pada tahap ini, peneliti dapat menuliskan kesimpulan sementara, suatu hal yang tiba-tiba muncul dalam pikiran, interpretasi sementara atau apapun.
(39)
b. Peneliti kemudian menuliskan tema-tema yang muncul maupun kata-kata kunci yang dapat menangkap esensi data dari teks yang dibaca. c. Mendaftar tema-tema yang muncul kemudian mencoba memikirkan
hubungan-hubungan antara tema.
d. Setelah peneliti melakukan proses diatas pada tiap-tiap transkip, peneliti kemudian dapat menyusun „master‟ berisikan daftar tema -tema dan kategori-kategori yang telah disusun sehingga menampilkan pola hubungan antara katagori.
C. Subyek Penelitian
Subyek penelitian dalam penelitian ini yaitu mahasiswa di Yogyakarta yang berasal dari Ngada (NTT). Teknik sampling yang digunakan yaitu teknik purposive sampling. Subyek penelitian dipilih sesuai dengan tujuan penelitian, dengan kriteria yang telah disusun oleh peneliti. Kriteria tersebut antara lain :
1. Mahasiswa yang berasal dari Ngada di Yogyakarta yang telah tinggal selama lebih dari 3 tahun. Mahasiswa yang telah tinggal selama lebih dari 3 tahun dianggap telah cukup banyak memiliki pengalaman berinteraksi dengan individu di sekitarnya.
2. Ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial, baik di kampus maupun kegiatan diluar kampus. Dengan berpartisipasi dalam kegiatan sosial berarti semakin sering subyek berkesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang baru, baik dari etnisnya, maupun dari etnis lain.
(40)
Dari kriteria yang telah ditentukan, peneliti kemudian memilih subyek penelitian yang representatif. Peneliti memilih subyek yang tergabung dalam komunitas mahasiswa Ngada atau KBNY (Keluarga Besar Ngada Yogyakarta)
D. Batasan Penelitian
Batasan penelitian bertujuan untuk lebih memfokuskan penelitian pada tujuan penelitian. Batasan penelitian dalam penelitian ini adalah pada proses akulturasi mahasiswa Ngada dalam ranah individual dan strategi akulturasinya. Dari tiap subyek, diungkap bagaimana proses akulturasi yang dialami subyek mulai dari pra kontak, kontak, konflik, krisis dan adaptasi. Sedangkan strategi akulturasi diungkap dari dinamika cara tiap subyek dalam menghadapi kendala selama kontak. Varietas strategi akulturasi terdiri dari Asimilasi, Integrasi, Separasi dan Marginalisasi.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu wawancara. Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) dengan orang yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut (Moleong, 2005). Wawancara dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subyektif yang dipahami subyek terkait topik penelitian (Poerwandari, 1998). Dalam
(41)
penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan topik penelitian dalam pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan. Pedoman wawancara dalam penelitian ini disesuaikan dengan tahapan dalam proses akulturasi mulai dari pra kontak sampai pemilihan strategi akulturasi sebagai tahapan terakhir dari akulturasi.
Tabel 1.
Pedoman Wawancara
NO Poin Yang Dituju Pokok Pertanyaan
Pertanyaan 1. Pra Kontak Proses
Merantau ke Yogyakarta
1. Bagaimana anda bisa sampai di Yogyakarta?
2. Apa yang menjadi motivasi anda keluar dari daerah, datang ke Yogyakarta?
3. Apakah sebelum pergi ke Yogyakarta anda sudah mengetahui tentang kondisi budaya dan kondisi sosial di Yogyakarta?
2. Kontak Bentuk dan Proses interaksi dengan etnis lain di Yogyakarta
4. Bagaimana bentuk interaksi anda dengan etnis lain dan seberapa sering anda bergaul dengan mereka?
a. Di lingkungan kampus b. Di lingkungan tempat tinggal 5. Bagaimana proses interaksi
anda dengan etnis lain? a. Di lingkungan kampus b. Di lingkungan tempat tinggal 3 Konflik, krisis
dan strategi akulturasi Permasalaha n yang dihadapi ketika berinteraksi dan bagaimana
6. Apa saja yang menjadi kendala ketika berinteraksi dengan etnis lain?
7. Permasalahan apa saja yang anda alami ketika berinteraksi dengan etnis lain?
(42)
F. Kredibilas Penelitian
Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendiskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 1998). Kredibilitas penelitian ini dicapai dengan mengacu pada konsep Poerwandari (1998) tentang cara pencapaian kredibilitas yaitu validitas komunikatif, validitas argumentatif dan validitas ekologis.
Validitas komunikatif dicapai melalui dikonfirmasikannya kembali data dan analisisnya pada subyek penelitian. Dalam penelitian ini, langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai validitas komunikatif adalah sebagai berikut. Pertama, oleh karena logat yang dipakai subyek menghasilkan verbatim yang tidak mudah dipahami, peneliti melakukan pembakuan bahasa. Pembakuan bahasa terutama dilakukan terhadap struktur bahasa subyek, struktur bahasa yang tidak sesuai dalam verbatim kemudian disesuaikan dengan struktur bahasa Indonesia. Verbatim yang telah dibakukan tersebut kemudian diserahkan kepada masing-masing subyek untuk diperiksa. Dalam pemeriksaan ini, muncul beberapa koreksi dan masukan dari subyek. Kedua, peneliti menunjukkan hasil data yang telah disintesakan dalam tema-tema dan meminta penilaian dan konfirmasi dari subyek.
Validitas argumentatif tercapai saat presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan penjelasan rasional serta dapat dibuktikan dengan melihat
penyelesaian nya
ketika menghadapi
permasalahan dengan etnis lain ketika berinteraksi?
(43)
kembali data mentah. Dalam penelitian ini, analisis data dibangun dengan kerangka berpikir berdasarkan pernyataan-pernyataan subyek. Peneliti menyertakan pula pernyataan-pernyataan subyek dalam setiap tema yang dianalisis sebagai bukti dan penguat analisis data.
Sedangkan validitas ekologis dicapai karena penelitian dilakukan pada kondisi alamiah dari subyek yang diteliti. Kondisi yang sesungguhnya dari kehidupan sehari-hari subyek menjadi konteks penting penelitian. Kondisi alamiah yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kondisi di tempat tinggal subyek. Peneliti mengambil data di tempat tinggal masing-masing subyek, salah satunya merupakan kontrakan yang seluruh penghuninya berasal dari Ngada.
(44)
30
BAB IV
PENYAJIAN HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penelitian
Penelitian dilakukan di Yogyakarta dengan mengambil subyek mahasiswa tingkat akhir asal Ngada, NTT. Pada tahap awal penelitian, peneliti melakukan wawancara lapangan untuk mendapatkan informasi awal terkait subyek penelitian. Hal ini juga dilakukan dengan alasan minimnya sumber literatur terkait latar belakang kehidupan sosial mahasiswa asal Ngada ataupun Indonesia Timur secara umum. Wawancara awal dilakukan terhadap beberapa significant others yang penulis anggap mengenal dan mengetahui informasi terkait subyek penelitian. Wawancara dilakukan terhadap Pastor dan seorang pengacara asal Ngada yang merupakan pembina KBNY (Keluarga Besar Ngada Yogyakarta) dan tokoh adat Ngada di Yogyakarta. Wawancara awal ini penulis lakukan dengan maksud untuk menelaah dan mengenal permasalahan untuk dirumuskan dalam latar belakang penelitian.
Selain itu, wawancara awal juga dilakukan terhadap pihak kepolisian Sektor Depok Barat terkait tugasnya sebagai penanggung jawab keamanan wilayah Depok Barat yang merupakan kantong terbesar mahasiswa NTT khususnya mahasiswa Ngada berada. Minimnya data kuantitatif terkait keterlibatan mahasiswa Ngada dan mahasiswa Indonesia Timur dalam kasus kekerasan yang merupakan indikasi adanya permasalahan dalam interaksi menjadi alasan dilakukannya wawancara terhadap pihak kepolisian.
(45)
Sumber dari media massa pun, seperti koran lokal yang ada di Yogyakarta sangat minim merilis berita tentang kehidupan sosial ataupun kasus kekerasan yang melibatkan mahasiswa asal Ngada ataupun Indonesia Timur pada umumnya. Jika merilis berita terkait kasus yang terjadi, media tidak spesifik menyebutkan etnis/suku mana yang terlibat, hanya menuliskan mahasiswa luar pulau Jawa dengan alasan masalah etnisitas ataupun kesukuan sifatnya sangat sensitif sehingga tidak berani dituliskan secara spesifik. Informasi ini penulis dapatkan ketika mewawancarai salah satu wartawan koran lokal Yogyakarta yang juga sebagai significant others.
Peneliti melibatkan contact person dalam pendekatan terhadap subyek. Contact person kemudian memediasi dan mengenalkan peneliti dengan subyek penelitian dalam komunitasnya. Setelah itu peneliti melakukan pendekatan terhadap subyek penelitian dengan berbincang-bincang santai sambil mengobservasi kehidupan subyek penelitian. Pendekatan awal terhadap subyek penelitian kemudian berlanjut secara personal antara peneliti dengan masing-masing subyek penelitian. Pendekatan ini peneliti lakukan agar terjalin komunikasi yang baik dan terbangunnya relasi yang positif antara penulis dan subyek penelitian. Dalam kesempatan ini, penulis kemudian mengutarakan maksud dari penelitian yang akan dilakukan terhadap subyek dan harapan-harapan akan proses penelitian selanjutnya.
Pengambilan data kemudian dilakukan berdasarkan kesepakatan waktu antara peneliti dengan subyek penelitian. Pengambilan data dilakukan di tempat tinggal masing-masing subyek penelitian. Pada kesempatan itu, peneliti
(46)
juga melakukan observasi seperlunya tentang kehidupan subyek di tempat tinggalnya.
B. Hasil Penelitian
1. Data Demografi Subyek
Berikut ini disajikan keseluruhan data demografi subyek :
Tabel 2.
Data Demografi Subyek
Keterangan Subyek 1 Subyek 2 Subyek 3 Subyek 4 Inisial DV DN BT FA
Asal Golewa, Ngada Bajawa, Ngada Bajawa, Ngada Golewa, Ngada Tiba di Yogyakarta
2007 2008 2008 2007
Lama tinggal di Yogyakarta
4 tahun 3 tahun 3 tahun 4 tahun
Tempat Kuliah STT Nasional Yogyakarta UPN Veteran Yogyakarta UPN Veteran Yogyakarta STT Nasional Yogyakarta Tempat tinggal di Yogyakarta
Kledokan Pugeran, Maguwohar jo Tambak Bayan, Babarsari Tambak Bayan, Babarsari
Keseluruhan subyek penelitian merupakan mahasiswa yang telah mendiami Yogyakarta selama lebih dari 3 tahun. Selain itu, subyek yang dipilih merupakan mahasiswa yang kuliah di daerah Depok Barat, daerah dimana mahasiswa terbesar asal NTT dan Ngada pada khususnya kuliah dan bertempat tinggal. Hal tersebut diatas menandakan bahwa ketentuan pemilihan subyek telah terpenuhi.
(47)
2. Dinamika Psikologis Subyek
Secara keseluruhan, tujuan utama subyek datang ke Yogyakarta
adalah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan dengan melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Subyek berharap dapat menyerap ilmu sebaik-baiknya serta mendapatkan pengalaman yang dibutuhkan untuk pada akhirnya kembali ke daerah untuk membangun daerah.
Berhadapan dengan konteks budaya yang berbeda memberikan pengaruh tersendiri terkait tujuan utama subyek datang ke Yogyakarta. Bertemu dan berdinamika dalam semua lingkup hidup yang baru dengan orang-orang dengan latar belakang yang berbeda harus dihadapi subyek selama hidup di Yogyakarta. Setiap subyek mengalaminya sebagai proses akulturasi dan berlangsung secara unik dalam setiap personal subyek. Untuk lebih memahami bagaimana proses akulturasi pada subyek secara keseluruhan berikut ini akan digambarkan dinamika psikologis masing-masing subyek.
a. Subyek DV
Bagi subyek, Yogyakarta menjadi tempat yang menarik sebagai tempat kuliah. Sejak SMA subyek sudah bercita-cita kuliah di Yogyakarta. Ketertarikan itu muncul dari informasi orang tua dan kakak senior subyek yang pernah kuliah di Yogyakarta, mereka mengatakan bahwa Yogyakarta merupakan kota yang bagus untuk kuliah, biaya hidup murah serta dikenal sebagai kota pelajar. Selain
(48)
itu, waktu kecil subyek pernah mengunjungi Yogyakarta dan mengetahui bahwa Yogyakarta tidak seperti kota besar yang lain yang pernah dikunjunginya, Yogyakarta termasuk kota yang aman dan nyaman.
Sebelum berangkat ke Yogyakarta orang tua dan para senior menasehatkan subyek untuk berhati-hati dalam bersikap dengan orang Yogyakarta/Jawa. Subyek diberitahu bahwa orang Jawa/Yogyakarta itu halus dan cepat tersinggung. Mereka akan menjauh jika bersikap kasar, terutama dalam berbicara sebaiknya dipikirkan terlebih dahulu apa yang ingin dibicarakan jangan sebaliknya. Demikian juga saat ada masalah agar berhati-hati dalam mengambil sikap, jangan langsung mengambil tindakan kekerasan. Hal-hal tersebut yang kemudian menjadi pegangan subyek selama hidup di Yogyakarta.
Ketika hidup di Yogyakarta, ia mengaku bergaul dengan berbagai etnis. Subyek menemui dan berinteraksi dengan berbagai etnis baik di lingkungan tempat tinggal (kos) maupun di tempat kuliah (kampus). Akan tetapi, baik di kos maupun di kampus subyek mengakui lebih banyak bergaul dengan teman-teman yang berasal dari kawasan Indonesia Timur. Subyek sekarang indekos di kos yang 75% penghuninya orang NTT. Akhirnya subyek merasa mau tidak mau bergaul dengan mereka, sehari-hari subyek lebih banyak bergaul dengan mereka. Penghuni kos yang berasal dari etnis lain seperti Jawa dan Kalimantan hanya sedikit dan menurut subyek mereka jarang
(49)
bergabung karena rasa sungkan mereka terhadap penghuni kos yang lain. Demikian juga di kos sebelumnya subyek juga merasa ada jarak yang memisahkan dalam bergaul dengan teman di luar etnis Timur. Sebenarnya subyek ingin juga mendekati dan bergaul dengan penghuni dari luar NTT seperti etnis Jawa atau Kalimantan tetapi mereka seakan menutup diri dan cenderung bergaul dengan etnis mereka sendiri. Subyek menyayangkan hal itu, tinggal satu atap tapi tidak saling kenal.
Demikian juga di kampus, subyek lebih banyak bergaul dengan orang Indonesia timur. Subyek kuliah di Universitas yang mayoritas mahasiswanya berasal dari Indonesia timur . Menurut subyek, dirinya lebih terbuka dengan teman-teman satu daerah terutama ketika menghadapi masalah. Masalahnya dari sekedar masalah di kampus, masalah cewek, banyak hal yang pasti diceritakan. Akan tetapi subyek juga bergaul dengan beberapa teman etnis lain di kampus dan memiliki satu teman dekat asal etnis Jawa. Bagi subyek teman-teman kampus sudah dianggap sebagai saudara sendiri.
Selama hidup dan berinteraksi di Yogyakarta subyek kemudian memiliki pandangan-pandangan tentang orang Jawa khususnya temannya orang Jawa. Menurutnya bergaul dengan orang Jawa harus berhati-hati karena sifat orang Jawa pada umumnya halus dan mudah tersinggung. Sifat itu pun ditambah dengan adanya sifat agak tertutup.
(50)
Oleh karena itu, subyek menjadi sungkan untuk mendekati teman-teman dari Jawa. Dari sikap dan sifat yang tertutup itu, ia merasa seakan dihindari oleh teman etnis Jawa. Oleh karena itu, subyek tidak berani untuk mendekati teman etnis Jawa apalagi karena mereka cenderung untuk bergaul dengan sesama teman mereka sendiri dan cenderung tidak mau berbaur dengan etnis yang lain.
b. Subyek DN
Awal ketertarikan subyek untuk kuliah di Yogyakarta adalah karena kesan positif subyek saat mengunjungi Yogyakarta. Waktu itu subyek langsung merasa kerasan , nyaman dan cocok dengan keadaan di Yogyakarta. Ditambah dengan fasilitas pendidikan dan hiburan yang menurutnya lengkap dibandingkan dengan di daerah asal semakin membuat subyek tertarik dan memutuskan kuliah di Yogyakarta.
Dalam berinteraksi, subyek mengaku berinteraksi dengan semua etnis yang ditemuinya di Yogyakarta. Ia mengaku bergaul dengan orang-orang di sekitar tempat tinggalnya seperti orang Ambon, Papua maupun Jawa. Demikian juga di kampus, subyek bergaul dengan teman-teman dari berbagai etnis, baik dalam kegiatan perkuliahan maupun dalam kegiatan non akademis di kampus seperti kegiatan UKM yang diikutinya. Subyek juga kadang menyempatkan bermain ke teman dari Jawa di waktu senggangnya. Akan tetapi,
(51)
secara intensitas subyek mengaku lebih banyak menghabiskan waktu dan berinteraksi dengan teman satu daerah. Ia merasa lebih nyaman tinggal dan bergaul dengan teman satu daerah.
Keputusan dengan memilih lebih banyak bergaul dengan sesama teman satu daerah dirasa sebagai alternatif yang paling tepat dalam hidup bersosialnya. Ia menemukan kenyamanan yang tinggi dan rasa persaudaraan yang semakin kuat bersama teman satu daerah. Jika mengalami suatu masalah misalnya, teman satu daerah pasti ikut membantu demikian juga sebaliknya.
Intensitas yang rendah dalam bergaul dengan teman etnis lain dikarenakan ia sadar bahwa teman etnis lain memiliki kesibukan sendiri-sendiri sehingga ia merasa takut jika menganggu kesibukan/aktifitas mereka. Selain itu, ia merasa memiliki kesibukan/aktifitas sendiri dan memilih untuk lebih banyak bergaul dengan teman satu daerah. Bukannya tidak mau bergaul karena ada masalah tertentu dengan teman dari etnis lain tetapi menurutnya ia merasa lebih nyaman, lebih merasakan perasaan sebagai teman bahkan saudara saat bergaul dengan temannya yang satu daerah. Hal tersebut bagi subyek merupakan hal yang sangat wajar.
Namun, subyek menyadari bahwa hal itu merupakan kelemahan/kekurangannya. Menurutnya dengan kecenderungan tidak bergaul dengan etnis yang lain berarti menutup pintu untuk mendapat/menerima hal yang baru.
(52)
Selama hidup di Yogyakarta, beberapa kendala dihadapinya. Saat di kos yang pertama subyek merasa terkekang dan tidak bebas karena tidak dapat melakukan beberapa kebiasaannya di daerah asal. Pada akhirnya subyek memilih untuk berpindah tempat tinggal dan mengontrak rumah bersama teman satu daerahnya. Dengan mengontrak rumah, ia merasa lebih bebas dalam melakukan sesuatu.
Masalah bahasa juga merupakan masalah yang cukup menganggu saat bertemu dengan etnis lain terutama etnis Jawa. Pembicaraannya dengan orang Jawa kadang tidak nyambung. Ia kesulitan memahami bahasa dan dialek orang Jawa, bahkan ketika mereka menggunakan bahasa Indonesia. Demikian juga ia menyadari orang Jawa kesulitan menangkap maksud yang dikatakannya karena dialek atau cara bicaranya dirasa terlalu cepat. Pada akhirnya subyek berusaha menyesuaikan cara bicaranya dengan lebih pelan.
Selain itu, ia mendengar dan mengalami langsung bahwa orang Timur termasuk dirinya pada umumnya dipandang sebagai orang yang keras. Image keras ini dianggap wajar olehnya, karena orang Timur rata-rata memang hidup dengan pola yang keras, hidup dalam kondisi yang keras. Namun, menurutnya keras tidak sama dengan kasar. Pernah suatu kali di kampus, saat beradu argument dalam diskusi subyek dianggap kasar karena cara bicaranya, cara bicara dengan suara yang keras/tinggi dianggap kasar oleh beberapa teman kampus. Pun saat mengobrol, cara bicara dengan suara yang keras/tinggi
(53)
dianggap teman kuliah sebagai ekspresi marah. Persepsi ini menurut subyek keliru.
c. Subyek BT
Keputusan kuliah di Yogyakarta merupakan keputusan yang dibuat subyek karena terpengaruh dengan apa yang dikatakan guru SMAnya tentang keunggulan Yogyakarta sebagai kota pelajar. Ia kemudian sangat ingin untuk melihat dan merasakan kehidupan di Yogyakarta. Selain itu, keinginan kuliah di Yogyakarta dikarenakan keinginannya untuk keluar dari daerah, keluar dari kondisi yang menurutnya tidak berubah. Sempat ada keraguan untuk kuliah di Yogyakarta karena keadaan ekonomi orang tua yang pas-pasan serta rasa berat/tidak rela dari orang tua karena ia merupakan anak pertama, anak yang memiliki hubungan yang dekat dengan orang tua.
Selama hidup di Yogyakarta, subyek mengaku bergaul dengan teman dari berbagai etnis. Ia tidak pilih-pilih dalam berteman. Ia memiliki banyak teman di kampus, bergaul akrab dengan mereka dan karena itu subyek merasa nyaman saat di kampus. Perasaan nyaman karena banyak teman itu diakuinya berpengaruh terhadap prestasinya yang dirasa semakin baik. Ia juga berusaha megembangkan diri dengan mengikuti beberapa kegiatan non akademik di kampus.
Sikap terbuka juga dilakukan di kos. Ia bergaul secara terbuka, bahkan mengenal latar belakang teman kos yang lain dengan baik.
(54)
Pergaulannya tidak sebatas dengan penghuni kos saja, ia juga bergaul baik dengan pemilik kos. Ia suka dengan pemilik kos yang dinilainya berjiwa muda dan bersikap terbuka, terkadang ia menghabiskan waktu dengan mengobrol dengan bapak kosnya tersebut. Saat diadakan acara di rumah pemilik kos, subyek pun ikut membantu entah sebagai sinoman ataupun membantu ibu kos mencuci piring. Ia juga bergaul dengan warga sekitar kos, beberapa kali ia mengikuti ronda malam yang diadakan oleh warga.
Namun, subyek lebih banyak bergaul dengan teman satu daerah. Ia sering menghabiskan waktu bersama-sama teman Ngada. Menurutnya, teman Ngada sudah seperti saudara/keluarga sendiri. Diantara mereka sudah saling memahami karakter masing-masing dan ia mengaku lebih terbuka dengan teman dari Ngada.
d. Subyek FA
Sebelum subyek memutuskan kuliah di Yogyakarta, ia tidak terlalu tahu tentang Yogyakarta. Ia mengetahui informasi tentang Yogyakarta setelah kakak senior yang pernah kuliah di Yogyakarta bercerita tentang Yogyakarta kepadanya. Para seniornyalah yang akhirnya berperan besar dengan memberikan masukan-masukan sampai ia memutuskan untuk kuliah di Yogyakarta.
Sampai di Yogyakarta, subyek merasakan betul apa yang dikatakan oleh seniornya. Ia akhirnya merasakan bahwa pendidikan di
(55)
Yogyakarta termasuk baik, fasilitas umum yang menunjang dan biaya hidup yang terjangkau. Ia pun temotivasi untuk menambah pengalaman selama di Yogyakarta.
Subyek kuliah di kampus yang mayoritas mahasiswanya berasal dari Indonesia Timur. Akhirnya ia memiliki banyak teman dari Indonesia timur dan lebih banyak bergaul dengan mereka. Demikian juga di kos, subyek saat ini indekos di kos yang semua penghuninya orang Flores. Ia juga mengakui lebih banyak bergaul dengan teman dari Ngada. Ia sering mengunjungi rumah kontrakan teman Ngada, bahkan hal ini diakuinya dilakukannya hampir setiap hari saat masih sering kuliah.
Akan tetapi ia juga mengaku bergaul dengan orang dari etnis lain. Hal ini dilakukan saat subyek magang di sebuah perusahaan investasi emas dimana rekan kerjanya terdiri dari orang-orang dari berbagai kultur budaya. Ia bisa mengenal orang dengan budayanya masing-masing. Ia pun berusaha menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya dengan beberapa kali bermain di mess tempat rekan kerjanya tinggal. Pengalaman bisa mengenal orang dari latar belakang budaya yang berbeda disadarinya merupakan pengalaman yang bagus untuk dirinya.
Dalam berinteraksi dengan etnis lain terutama etnis Jawa ia mengalami kendala dalam bahasa. Misalnya terkait rekan kerjanya, karena rekan kerjanya kebanyakan berasal dari Jawa sering kali
(56)
diantara mereka dalam berkomunikasi di tempat kerja menggunakan bahasa Jawa yang tidak dimengerti olehnya. Ketidakpahaman bahasa Jawa tersebut diatasinya dengan langsung mengungkapkan ketidakpahamanya tersebut kepada rekan kerjanya, akhirnya rekan kerjanya menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan subyek.
3. Dinamika Proses dan Strategi Akulturasi
Penelitian ini berusaha mengembangkan pemahaman mengenai
proses akulturasi yang dilakoni mahasiswa asal Ngada sampai pada pemilihan strategi akulturasi sebagai tahapan akhir namun tak terputus dari proses akulturasi. Sesuai dengan batasan konseptual penelitian, analisis data akan dilakukan terhadap kedua tema besar tersebut. Akan tetapi, gambaran tema tersebut akan disesuaikan dengan tema-tema yang muncul dari data. Berdasarkan pemaparan pengalaman subyek, tema-tema yang muncul akan diikat kedalam 4 kategori tema. Kategori tersebut antara lain keputusan merantau ke Yogyakarta, interaksi, kendala interaksi dan strategi akulturasi.
a. Keputusan Merantau ke Yogyakarta
Keputusan merantau ke Yogyakarta dilatarbelakangi oleh alasan-alasan dan harapan subyek untuk merantau. Tabel berikut menggambarkan alasan subyek merantau ke Yogyakarta.
(57)
Tabel 3.
Alasan Merantau ke Yogyakarta
Subyek DV Subyek 2 DN Subyek 3 BT Subyek 4 FA
Dari SMA bercita-cita kuliah di Jogja Tempat bagus untuk kuliah, biaya hidup murah
Pernah ke Jogja sebelumnya, merasa kerasan, nyaman dan cocok
Suasana Jogja lebih baik untuk kuliah Motivasi ke
Jogja karena kata orang fasilitas pendidikan dan lainnya lebih baik dibanding daerah asal. Terpengaruh oleh guru yang mengatakan Jogja adalah tempat yang bagus untuk kuliah Keinginan untuk keluar daerah, keluar dari situasi daerah yang tidak berubah Mengikuti masukan dari senior Pendidikan
di Jogja lebih bagus dari pendidikan di daerah asal Teknologi dan kebutuhan hidup terjangkau
Tabel diatas memperlihatkan bahwa pendidikan menjadi tujuan utama subyek merantau dari daerah asal ke Yogyakarta. Ada keinginan untuk keluar dari situasi daerah yang dianggap tidak berubah. Kualitas pendidikan di Yogyakarta yang unggul dibanding dengan kualitas pendidikan di daerah asal pun menjadi alasan yang kuat bagi subyek untuk menempuh pendidikan lebih tinggi di Yogyakarta. Fasilitas penunjang hidup yang lengkap, teknologi dan biaya hidup yang terjangkau di Yogyakarta menarik minat subyek. Subyek DV mengungkapkan dirinya sudah memiliki keinginan untuk kuliah di Yogyakarta sejak SMA. Informasi mengenai keunggulan Yogyakarta
(58)
yang dikenal sebagai kota pelajar di Indonesia memunculkan keinginannya untuk melanjutkan studi di Yogyakarta.
“Ya awalnya dari SMA dulu,cita-citanya ya harus kuliah di Jogja. Jadi, setahu saya, teman-teman semua, banyak bilang kalau Jogja kota pelajar,bagus. Trus, biaya hidupnya murah. Jadi kita pilih di Jogja.” (DV)
Sebelum sampai di Yogyakarta, secara umum subyek tidak mengetahui atau hanya sedikit mengetahui tentang Yogyakarta. Informasi tentang Yogyakarta diperoleh dari significant other yang pernah menikmati pendidikan di Yogyakarta atau yang lebih mengetahui tentang Yogyakarta. FA mengungkapkan bahwa dirinya tidak terlalu tahu mengenai Yogyakarta, ia hanya mengetahui Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar.
“Kebetulan punya kakak di sini yang kuliah juga. Dia menceritakan
tentang Jogja tapi untuk dalamnya belum paham betul…dengar dari cerita
mereka kan Jogja itu kota pelajar begitu, sebatas-sebatas itu sih” (FA)
Tabel 4.
Pemahaman Awal Tentang Yogyakarta
Subyek DV Subyek DN Subyek BT Subyek FA
Waktu kecil pernah ke Jogja, hanya sedikit mengetahui tentang Jogja Jogja tidak
seperti kota-kota besar yang lain, Jogja itu aman, nyaman. Kalau tentang yang lain belum tahu. Setelah
Jogja identik dengan Jawa, orangnya halus,
tertutup, tidak transparan. Dari segi
budaya, adat istiadat dan kebiasan-kebiasaannya beda sekali antara orang Ngada dan orang-orang Mengetahui informasi dari orang lain bahwa Jogja adalah kota pendidikan, kota seni,kota yang nyaman Sudah terlanjur jatuh cinta dengan Jogja Belum terlalu tahu tentang Jogja, hanya tahu informasi tentang Jogja dari senior bahwa Jogja adalah kota pelajar
(59)
sampai di Jogja baru tahu Orangnya halus, cepat tersinggung, berbicara dengan mereka harus hati-hati, kalau kasar mereka pasti menjauh disini. Dari sisi
sosial dan agama berbeda dengan di daerah asal Tidak mudah
hidup di Jawa
walaupun belum tahu Jogja seperti apa
Sedikit informasi yang diperoleh tentang Yogyakarta malahan menjadi motivasi tersendiri untuk kuliah di Yogyakarta. Seluruh subyek pada akhirnya memutuskan untuk merantau dan melanjutkan pendidikan di Yogyakarta karena pengaruh asupan informasi yang di dapat dari orang-orang di sekitarnya. Subyek BT mengatakan bahwa keputusan memilih kuliah di Yogyakarta sangat dipengaruhi anjuran dari guru SMA-nya. Gurunya memberikan informasi tentang keunggulan Yogyakarta sebagai kota pelajar di bandingkan kota-kota lain di Indonesia sehingga ia sangat ingin untuk merasakan pendidikan di Yogyakarta.
“Saya tertarik ke Jogja itu sebenarnya bukan dorongan dari orang tua atau teman-teman karena terpengaruh, ada guru sejarah saya tho, guru dekat dengan saya juga. Dia bilang, “BT kamu mau lanjut kuliah dimana nanti?” “Waduh ga tau ni bu”. Trus ibunya bilang “Kamu kalo mau kuliah mending di Jogja aja, Jogja tu nyaman, trus dia tu kota pendidikan, kota budaya”. Akhirnya kan saya mulai terhipnotis dengan dia
punya…mulai tertarik kan…keinginan saya harus di Jogja” (BT)
Muncul pula harapan-harapan yang menguatkan tujuan utama merantau subyek ke Yogyakarta. Dengan hidup di Yogyakarta subyek
(60)
berharap untuk mengembangkan wawasan seluas-luasnya dan memperoleh pengalaman yang kelak itu semua dapat berguna ketika kembali ke daerah asal. Tabel berikut menggambarkan harapan-harapan subyek.
Tabel 5.
Harapan Kuliah di Yogyakarta
Subyek DV Subyek 2 DN Subyek 3 BT Subyek 4 FA
Belajar mandiri dan disiplin serta menambah wawasan Berharap untuk membangun daerah asal saat kembali Keinginan untuk cari kerja di Jogja, menjadi orang berhasil, mendapat pengalaman di Jogja sebelum kembali ke daerah. Jika keluar
daerah akan lebih berpengalaman Keinginan untuk melihat dan merasakan kehidupan di Jogja Supaya kuliah kemudian pulang dapat pekerjaan Ingin menambah pengalaman Motivasi muncul karena informasi tentang keunggulan Jogja
Harapan tinggi untuk sukses sebagai putera daerah yang merantau untuk menempuh pendidikan lanjut memunculkan keinginan untuk membangun daerah selepas menyelesaikan studi. Tidak itu saja, mencari pengalaman baru dengan bekerja sembari kuliah juga dilakukan subyek. Subyek DN mengungkapkan tidak ada hal yang didapat jika selepas menyelesaikan studi di Yogyakarta kemudian buru-buru kembali ke daerah asal. Hal yang kurang jika tidak memiliki pengalaman lebih.
(61)
“Saya selesaikan sekolah di Jogja. Setelah itu mungkin langsung cari kerja di sini. Pengennya, mungkin pengennya bisa jadi orang yang berhasil di sini dulu. Sebelum kembali ke daerah sendiri...karena saya pikir kalau terus cepat-cepat pulang juga e tidak ada hal yang kita dapat to misalnya kita hanya sekolah lalu pulang pengalamannya hanya situasi sekolah tanpa ada pengalaman kerja menurut saya itu masih ada yang minuslah.” (DN)
b. Interaksi
Interaksi atau perjumpaan subyek dengan individu ataupun kelompok dalam budaya yang baru di Yogyakarta merupakan bagian penting dari proses akulturasi yang dialami subyek. Sebagai mahasiswa, lingkup interaksi subyek dengan etnis lain lebih banyak terjadi di tempat kuliah dan tempat tinggal. Tabel berikut menggambarkan interaksi subyek.
Tabel 6.
Interaksi dengan Masyarakat Yogyakarta
Subyek DV Subyek DN Subyek BT Subyek FA
Bergaul dengan teman-teman dari beragam latar belakang Kebanyakan teman kampus berasal dari Indonesia Timur Merasa teman kampus seperti saudara Berinteraksi dengan semua etnis yang ada di Jogja tetapi intensitasnya lebih banyak dengan orang-orang Timur terutama dengan teman satu daerah Jarang bergaul dengan etnis lain,
Tidak pilih-pilih dalam berteman Kalau di
kampus berinteraksi dengan banyak teman dan akrab dengan mereka Selain organisasi, diskusi bentuk interaksi Berinteraksi dengan hampir semua orang Indonesia Lebih banyak
bergaul dengan teman orang timur karena di kampus dominan orang timur
Saat masih bekerja mainnya di mess dengan teman-teman
(62)
sendiri darimanapun asalnya Karena penghuni kos didominasi oleh orang NTT, lebih banyak bergaul dengan mereka Dengan teman kos etnis di luar NTT masih mengambil jarak dalam bergaul Berteman dekat dengan seorang teman orang Jawa hubungan tidak dekat Lebih sering
bergaul dengan teman satu kelas saat di kampus Interaksi di
kegiatan kampus, perkuliahan dan beberapa UKM subyek di kampus adalah futsal. Terkadang bergaul dengan warga sekitar Ikut membantu pemilik kos jika ada acara yang kebanyakan orang Jawa.
Interaksi di tempat kuliah tentunya didominasi oleh kepentingan akademik seperti interaksi di kelas ataupun dalam mengerjakan tugas. Selain itu, interaksi juga terjadi dalam aktifitas non akademik seperti kegiatan organisasi (BEM, Himpunan), kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) maupun waktu senggang sebelum maupun setelah kuliah.
Subyek DV dan FA kuliah di Universitas yang didominasi mahasiswa asal Indonesia timur. Pergaulan di kampus pun akhirnya lebih banyak dengan teman dari Indonesia Timur. Akan tetapi, mereka tidak menutup diri hanya bergaul dengan teman dari Indonesia Timur
(1)
menyakiti, sebelum mengambil jalan damai
Korban konflik bisa sampai luka parah, tidak ada yang sampai meninggal dunia Konflik/tawuran terjadi antara sesama orang Indonesia Timur sering membuat masalah tetapi kadang-kadang mereka yang terlibat masalah Kerterlibatan mahasiswa baru dalam masalah karena empati dan rasa
persaudaraan/solida riras kelompok yang tinggi
terima teman satu daerahnya dipukul walaupun sudah damai Perilaku meresahkan orang timur memunculkan pandangan negatif orang Jawa terhadap orang Timur
Pemilik kontrakan tidak menyukai tingkah laku subyek dan teman-teman kontrakannya Pandangan/res pon terhadap kendala Berusaha menggunakan bahasa Jawa supaya lebih dekat dan mengantisipasi sifat tersinggung dan halus orang Jawa
Bersikap pasif dalam bergaul dengan orang Jawa
Saling
menyesuaikan diri dalam pergaulan di kos
Hanya berinteraksi dengan sedikit orang Jawa
Bersikap positif terhadap respon teman yang cuek ketika disapa
Saat
kumpul-kumpul di kos lama, ada teman yang lewat diajak untuk ikut bergabung
Selalu jaga-jaga, antisipasi terhadap potensi konflik
Saat tersinggung atau curiga dengan
Mengamini pandangan rekan kerja yang
mengatakan subyek cenderung bergaul dengan etnis sendiri karena
mengalaminya, demikian juga dengan teman yang lain
Memandang keras itu tidak identik dengan kasar
Memandang cara bicara keras itu khas orang Timur
Orang Timur identik dengan keras
dipengaruhi oleh pola hidup dan lingkungan
Keras menjadi karakter orang Timur
Mencoba menerima sambil beradaptasi keputusan pelatih
Vakum di klub sepakbola karena merasa tidak nyaman
Senang bergaul dengan siapa saja, menyesuaikan diri dengan teman etnis lain itu dimulai dari kesadaran
Merasa tidak terlalu sulit untuk bergaul dengan teman etnis lain
Perilaku mencari rasa aman dengan menciptakan cerita bohong yang meneror
Menolak tawaran minuman keras dan ganja
Mengakui tidak paham dengan bahasa Jawa
Sedikit belajar dan sedikit paham bahasa Jawa
Jarang minum minuman beralkohol
Belum pernah ikut ribut karena mabuk alkohol
Menjelaskan masalah dan meminta maaf jika terjadi masalah dengan pemilik kontrakan
(2)
160
orang Jawa langsung mengutarakan
dan sulit/belum mampu beradaptasi dengan situasi klub
Memilih tidak bergaul dengan orang Jawa karena ketidaknyamanan berhadapan dengan orang yang tertutup
Tidak
menggeneralisaikan sifat negatif orang Jawa
Memilih untuk tidak terlalu jauh bergaul dengan orang Jawa
Beradaptasi dengan berusaha bersikap halus, berbicara halus dengan rekan kerja
Merasa cukup berhasil bergaul dengan rekan kerja
Jarang berinteraksi dengan orang selain teman satu daerah tapi merasa mampu menyesuaikan diri dengan yang lain
Memilah dan memposisikan diri ketika terjadi konflik
Melihat karakter diri sendiri dan orang lain saat bermain sepak bola Prinsip dalam
berinteraksi
Jika ada teman yang konflik pasti
membantu, tidak lepas tangan
Prinsip orang Ngada bahwa mencari teman itu sulit
Paling tidak suka berkelahi apalagi dengan orang yang sudah dikenal
Merasa berkelahi
Prinsip bahwa konflik harusnya diselesaikan oleh pelaku konflik
Tidak mengangap suku yang satu lebih tinggi dari yang lain
Membedakan antara urusan pribadi dan kelompok
Rasa persaudaraan yang tinggi bisa
Kalau terbuka orang lain menjadi tidak sungkan
Benar atau salah harus berada dibelakang (mendukung) teman
Tidak terima ketika ada teman yang diperlakukan kasar atau dihina
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(3)
tidak ada gunanya menjadi bumerang yang justru
menciptakan konflik
orang lain
Tidak respek dengan teman yang angkuh
Persepsi tentang
minuman keras
Sering terjadi singgungan saat pesta, lebih karena pengaruh minuman beralkohol
Alkohol menjadi penyemarak dalam pesta
Minuman keras menjadi sarana penyelesaian konflik
Pengaruh alkohol bisa menjadikan teman menjadi lawan
Minum minuman beralkohol merupakan
kebiasaan adat/asal
Minuman beralkohol diartikan sebagai minuman
persaudaraan
Minuman beralkohol aman jika
dikonsumsi sesuai porsinya
Jarang minum minuman beralkohol saat di Jogja karena alasan ekonomi
Kalau sudah mabuk karena alkohol tidak ada kontrol diri lagi
Sering terjadi konflik saat pesta karena terpengaruh minuman beralkohol
Konflik karena alkohol lebih sering terjadi saat semua teman Ngada berkumpul
Minuman keras (moke) dipandang sebagai minuman adat, tidak terlintas konotasi negatif tentang moke
Moke dipandang sebagai minuman pelengkap
kebersamaan
Tidak pernah minum minuman keras sampai mabuk dan membuat reseh
Merasa heran dengan orang yang minum minuman keras kemudian reseh Memandang minuman keras untuk santai, pelengkap kebersamaan
Saat acara pesta sering rusuh, mungkin karena pengaruh alkohol
Minum minuman beralkohol cenderung merugikan, rugi uang dan setelah minum pasti ada masalah
Minuman
beralkohol menjadi permicu konflik, ada yang memanas-manasi, tidak mikir lagi pasti ingin langsung perang/ribut
Di daerah asal minuman
beralkohol sudah menjadi minuman adat, diminum saat kegiatan adat
Beda dengan di daerah asal, disini orang minum minuman
beralkohol efeknya selalu negatif
Saat di Ngada sering minum, untuk senang-senang saja
Berhenti minum karena sadar kalau minum itu tidak ada untungnya Peran
senior/sesepuh
Senior terlibat dalam konflik dalam rangka membela junior
Kebanyakan konflik didamaikan antara
Masalah diselesaikan oleh sesepuh (senior)
Senior bisa mengendalikan juniornya dan menjadi mediator
Senior menjadi penengah dalam konflik
Proses damai konflik melibatkan Romo dan senior
(4)
162
senior dengan senior
Mediasi konflik oleh senior, jika buntu ke polisi
jika terjadi konflik
Konflik terselesaikan setelah polisi
melibatkan senior Alasan
memilih tempat tinggal
Pertimbangan dalam memilih kos yaitu harga murah dan bebas
Tidak
mementingkan asal etnis penghuni kos asalkan aman
Alasan memilih kos yang pertama karena dekat dengan
kampus
Salah satu alasan pindah kos karena ada kakak senior dari satu daerah
Pindah lagi setelah satu tahun karena harga sewa kos yang mahal.
Merasa lebih nyaman tinggal di kontrakan, tidak ada yang mengatur
Suasana nyaman, tenang menjadi hal yang sangat penting dalam memilih tempat tinggal
Pertimbangan memilih kos karena murah, dekat dengan kampus, interaksi dengan pemilik kos baik
Asal daerah
penghuni kos tidak menjadi
pertimbangan
Pertimbangan memilih kos karena dekat dengan senior, agar bisa dipantau senior
Pertimbangan pertama memilih tempat tinggal karena letaknya yang strategis, kedua karena teman kontrakan sudah saling mengenal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(5)
vi
TO’O PENGA TO’O, REJO PENGA REJO DAN AKULTURASI MAHASISWA NGADA
Timotius Aditya Lodo Ratu ABSTRAK
Penelitian ini merupakan studi deskriptif mengenai kehidupan mahasiswa asal Ngada (NTT) selama hidup di Yogyakarta. Pengalaman kehidupan mahasiswa Ngada di Yogyakarta kemudian dibingkai menurut teori akulturasi. Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses akulturasi dan strategi akulturasi mahasiswa Ngada di Yogyakarta. Dalam kehidupannya, mahasiswa Ngada sebagai bagian dari Mahasiswa Indonesia Timur (MIT) dipandang sebagai orang yang berwatak keras, berperangai kasar dan identik dengan perilaku kekerasan. Selain itu, mahasiswa Ngada juga dipandang sebagai mahasiswa yang eksklusif. Hal tersebut menjadi ketertarikan tersendiri untuk mengetahui bagaimana proses dan strategi akulturasi mahasiswa Ngada. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa Ngada menggunakan strategi akulturasi separasi selama proses akulturasinya di Yogyakarta. Mahasiswa Ngada membawa dan melestarikan prinsip solidaritas orang Ngada yang dikenal dengan istilah To‟o penga to‟o, Rejo penga rejo selama hidup akulturasinya di Yogyakarta.
(6)
vii
TO’O PENGA TO’O, REJO PENGA REJO AND NGADA’S STUDENT ACCULTURATION
Timotius Aditya Lodo Ratu ABSTRACT
This research is a descriptive study of the lives of students from Ngada (NTT) who live in Yogyakarta. The experience of Ngada student in Yogyakarta was framed in to the theory of acculturation. This study aims to describe the process of acculturation and acculturation strategies Ngada students in Yogyakarta. Ngada students as part of the East Indonesian Students (MIT) is seen as a person who rampart, identical to behave rude and violent behavior. In addition, students Ngada also seen as an exclusive student. It became interesting to know how the process and strategies of acculturation of Ngada student. The method used in this research is descriptive qualitative. Data collection techniques used were interviews. The results showed that during the process of acculturation in Yogyakarta, separation strategies is used by Ngada students. Ngada students carry and preserve the principle of solidarity Ngada known as To 'o penga to'o, rejo penga rejo during acculturation in Yogyakarta. This principle is manifested by a strong sense of brotherhood among fellow students Ngada.
Kata kunci: Acculturation, Separation strategies, Ngada student, To‟ o penga to‟o, Rejo penga rejo.