26
dalam mengusahakan dan memperjuangkan kesetiaan diantara mereka. St. Paulus menegaskan hal itu ketika ia memberikan nasihat kepada jemaat di Efesus:
Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Karena itu
sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana
Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya Ef 5, 22-26a.
St. Paulus memberi nasehat kepada pasangan suami istri dengan berbicara mengenai kesetiaan istri terhadap suami dan sebaliknya, namun nasihat yang
diberikannya kepada jemaat di Efesus seperti dikutip di atas kiranya dapat ditempatkan juga dalam konteks kesetiaan. Dengan menggunakan dua kata
berbeda yakni tunduk dan kasih St. Paulus mengajak para suami-istri untuk hidup dalam relasi yang harmonis satu sama lain sehingga akan tercipta sebuah keluarga
kristiani, keluarga yang hidupnya didasari dan ditopang oleh kasih dan cinta yang solid dari suami-istri.
Tanpa adanya kesetiaan maka akan menjadi sangat sulit atau mungkin mustahil mencipatakan keluarga kristiani seperti itu. Pola atau rujukan yang
dipakai oleh St. Paulus adalah kasih Kristus. Sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan menyerahkan diri-Nya baginya demikianlah seharusnya sikap suami-
istri terhadap pasangannya. Sebagaimana Kristus telah setia mencintai jemaat-Nya dengan cinta yang tidak terbagi demikianlah hendaknya cinta suami istri terhadap
pasangannya masing-masing. Suami-istri pun dituntut untuk saling mencintai dalam kesetiaan satu sama
lain dengan cinta yang tidak terbagi. Sebagaimana pengorbanan Kristus bagi jemaat-Nya mendatangkan keselamatan demikian juga halnya pengorbanan
27
suami-istri bagi pasangannya akan membawa keselamatan, kebahagiaan dan suka duka dalam hidup perkawinan mereka. Cinta dan kesetiaan Allah kepada umat-
Nya dalam Perjanjian Lama serta cinta dan kesetiaan Kristus pada jemaat-Nya dalam Perjanjian Baru harus menjadi rujukan atau pola bagi suami istri dalam
mengusahakan dan memperjuangkan kesetiaan dalam hidup perkawinan mereka.
b. Kesetiaan Suami-Istri Diperkuat Oleh Rahmat Sakramen
Kesetiaan dalam perkawinan harus diusahakan dan diperjuangkan oleh masing-masing pasangan suami istri. Pasangan suami-istri tetap harus menyadari
bahwa dengan kekuatan sendiri saja tidak akan mampu untuk mempertahankan kesetiaan karena kelak mereka akan menghadapi begitu banyak tantangan dan
godaan yang kurang mendukung tumbuhnya nilai-nilai kesetiaan. Dalam masyarakat yang semakin individualis dimana ego pribadi semakin dikedepankan
sehingga apa yang dinilai penting adalah hal-hal yang menguntungkan atau menyenangkan diri sendiri, maka menjadi kian sulit untuk menumbuhkan nilai-
nilai kesetiaan yang jelas menuntut pengorbanan diri demi orang lain. Rahmat sakramen perkawinan yang secara khusus diberikan oleh Kristus
kepada mempelai akan memampukan mereka untuk hidup dalam kesetiaan. Berkaitan dengan hal ini adalah penting bagi pasangan suami-istri untuk
mengembangkan kehidupan doa. Dengan kehidupan doa yang baik, dimana relasi pribadi dengan Allah terjalin dengan baik dan erat dapat diharapkan suami istri
akan dimampukan untuk dapat menghayati janji kesetiaan dalam hidup perkawinan. Dalam perkawinan Katolik, kesetiaan merupakan persyaratan yang
tidak bisa ditawar agar perkawinan dapat berjalan sesuai yang diharapkan.
28
Dr. James C. Dobson dalam bukunya Cinta Kasih Seumur Hidup, 2007, menyatakan bahwa:
keyakinan akan perkawinan pada hakekatnya sama dengan iman: “Penyangkalan komunikasi dalam keluarga atas janji perkawinan sama
dengan penyangkalan atas janji pembaptisan atau penyangkalan lain sepanjang menyangkut iman”. Lewat waktu kesetiaan suami-istri senantiasa diuji. Kesetiaan
mereka justru ditantang pada masa-masa krisis seperti sakit parah, ekonomi bangkrut dan impian tidak menjadi kenyataan. Apalagi dalam dunia dewasa ini
dimana komunikasi antara laki-laki dan perempuan kian terbuka dimana saja dan kapan saja dengan didukung oleh teknologi komunikasi yang kian canggih
kesempatan untuk tidak setia pada pasangan kian terbuka pula. Inilah tantangan real yang dihadapi oleh suami-istri. Akhirnya, harus dikatakan bahwa tidak ada
obat mujarab yang langsung dapat membuat suami-istri setia pada janji perkawinannya. Yang perlu diusahakan dan dikembangkan terus-menerus oleh
setiap pasangan suami istri adalah kesadaran akan kehendak Allah yang telah memanggil mereka menjadi suami-istri.
3. Pengembangan Komunikasi
Pengembangan komunikasi menurut Brayat Minulyo dalam buku Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga
, 2006 meliputi: komunikasi badan, komunikasi pikiran, komunikasi hati, komunikasi hubungan seks, komunikasi sakramen dan
komunikasi dengan Tuhan. Pengembangan komunikasi ini diharapkan mampu membantu pasangan suami istri dalam upaya membangun keluarganya menjadi
keluarga yang bahagia, harmonis dan sejahtera sesuai dengan apa yang menjadi harapan dari gereja dan mereka pasangan suami istri.
29
a. Komunikasi Badan
Komunikasi ini merupakan komunikasi dalam hal mengungkapkan cinta, perhatian dan kasih sayang satu sama lain misalnya pandangan mata, senyuman,
belaian, gandengan tangan, rangkulan, dekapan, ciuman. Komunikasi ini penting untuk menciptakan suasana akrab dan mesra tetapi dimaksud bukan untuk
rangsangan seksual, sehingga dapat dilakukan oleh orang tua di depan mata anak- anaknya. Belaian dan sentuhan lembut dirasakan sebagai sesuatu yang berarti
untuk mengungkapkan rasa cinta dan mendekatkan hati. Sebagai tanda kasih sayang yang mencerminkan hubungan yang akrab, suami istri dianjurkan untuk
membiasakan diri menggunakan komunikasi badan ini sesering mungkin karena komunikasi badan ini adalah ungkapan dan tanda kemesraan, tanpa maksud atau
tujuan yang mengarah kehubungan seks. Tetapi bila pasangan suami istri ingin melakukan hubungan seks maka komunikasi badan ini dapat mewakili.
b. Komunikasi Pikiran
Komunikasi pikiran ini seperti omongan mulai dari basa basi tukar informasi, sampai dengan tukar pikiran, tukar pendapat dan pandangan.
Komunikasi pikiran ini juga dapat disebut sebagai komunikasi berjenis diskusi, namun jenis komunikasi seperti ini dapat menimbulkan pertengkaran, perbedaan
pendapat, pikiran dan pandangan yang terjadi di antara suami istri namun hal ini diangap wajar karena tidak sampai berlanjut menjadi perdebatan. Yang perlu
untuk dihindarkan adalah uangkapan atau kata-kata yang mempersalahkan, menuduh, menggurui dan mencari menang sendiri. Dalam melakukan komunikasi
jenis ini kita harus pandai-pandai mendengarkan dengan baik dan mampu
30
menangkap maksud dibalik kata-kata pasangan, sehingga perbedaan pendapat dapat menghasilkan kesepakatan atau kesimpulan yang dapat diterima satu sama
lain sebagai suatu solusi dari persoalan yang ada.
c. Komunikasi Hati
Komunikasi dari hati ke hati adalah jenis komunikasi yang mengutarakan isi hati dan perasaan. Komunikasi ini sering disebut sebagai komunikasi berjenis
dialog. melalui dialog apa yang menjadi ungkapan dalam hati dan perasaan atas dasar saling percaya dan menerima dapat disampaikan karena yang diungkapkan
adalah isi hati dan perasaan yang muncul secara spontan dari lubuk hati, maka tak boleh didebat ataupun dibantah. Perasaan hanya dapat diterima dan tak dapat
dipersalahkan. Bagi kebanyakan orang mengungkapkan perasaan bukanlah hal mudah.
Perasaan yang sulit untuk diungkapkan misalnya: sedih, kecewa, sakit hati, dendam atau perasaan yang kurang menyenangkan misalanya: takut, malu,
minder, kuatir dan sebagainya tetapi perasaan itu merupakan bagian dalam hidup masing-masing manusia. Jika perasaan itu hanya dipendam saja akan menjadi
beban dan lama kelamaan pada suatu saat dapat meledak menjadi bentuk kemarahan, kata-kata pedas, kasar yang menyakitkan. Oleh karena itu, perasaan
itu perlu untuk diungkapkan, karena pada dasarnya perasaan itu bersifat netral dan tidak mempunyai nilai moral baik atau jelek. Perasaan merupakan ungkapan
jati diri dari setiap orang yang sebenarnya, maka perlu untuk dikomunikasikan dan dibicarakan. Karena melalui komunikasi dari hati ke hati orang dapat
memperkenalkan dirinya secara lebih mendalam.
31
d. Komunikasi Hubungan Seks
Hubungan seks merupakan komunikasi yang paling intim dan puncak dalam relasi suami istri sebagai perwujudan nyata kesatupaduan jiwa dan raga.
Hubungan seks bukan pertama-tama untuk mencari kepuasan biologis melainkan merupakan bahasa komunikasi suami-istri yang mempersatukannya dalam kasih
mesra. Hubungan seks bukan hanya aktivitas biologis melainkan juga psikologis, emosional dan spiritual dengan kata lain hubungan seks melibatkan seluruh
pribadi manusia dan relasi yang terjadi antara suami-istri.
Maka perlu dipahami bahwa umumnya pria lebih fokus pada seks dalam arti sempit biologis dan punya pola dasar gerak cepat sedang wanita lebih
mengutamakan kasih sayang, kehangatan, kemesraan, rasa aman dan punya pola dasar lambat yang memerlukan waktu lebih lama untuk bisa terangsang secara
seksual dan mencapai kepuasannya. Memang bagi pria seks merupakan kegiatan sesaat sedang bagi wanita merupakan kegiatan sehari. Perbedaan ini bila tidak
cukup diperhatikan akan mengakibatkan hubungan seks menjadi kurang memuaskan dan menjadi sumber kekecewaan yang membuat buruknya relasi
suami istri.
e. Komunikasi Sakramen
Komunikasi antara suami dan istri yang telah dibaptis mempunyai ciri khusus dan disempurnakan menjadi Sakramen atau dimensi sakramental
komunikasi. Komunikasi mereka merupakan tanda kehadiran Allah. Dalam lembaga perkawinan Gereja membentuk ikatan atau relasi suami-istri itu menjadi
ikatan atau relasi yang tak terputuskan. Dengan kata lain, meskipun suami istri
32
yang mewujudkan perkawinan namun sebagai sakramen, perkawinan merupakan tindakan atau karya Kristus sendiri. Kristuslah yang membuat perkawinan suami
istri menjadi tanda yang menghadirkan peristiwa penyelamatan. Kristus pula yang membuat relasi dinamis antara suami istri menjadi tanda yang memperlihatkan
relasi dinamis yang terus berlangsung antara Kristus dan Gereja-Nya. Dimensi sakramental ini perlu dipahami agar suami istri menghayati hidup perkawinan
dalam relasi dan komunikasi yang akrab dan membawa kegembiraan dan kebahagiaan yang menjadi wujud keselamatan yang dicari setiap orang.
f. Komunikasi Dengan Tuhan
Kebahagiaan bersama Tuhan tidak perlu menunggu sampai saatnya dipanggil Tuhan dan masuk surga. Sudah sejak sekarang dapat dimulai bersama
keluarga. caranya adalah dengan mengadakan komunikasi yang baik dengan Tuhan. mensyukuri dan menikmati semua kebaikan dan semua anugerah-Nya.
Serah diri secara total akan kehendak Allah dan mentaati peraturan serta perintah- perintah-Nya. Kebahagiaan hidup bersama Tuhan sudah dapat dialami dan
rasakan sejak masih hidup didunia ini asalkan mampu mengusahakannya. caranya dapat dilakukan lewat doa bersama keluarga. Doa bersama ini bukan saja
berkomunikasi dengan Tuhan tetapi juga membina komunikasi yang akrab dengan anggota keluarga dan membiasakan diri membawa persoalan-persoalan keluarga
kehadapan Tuhan. Karena itu berdoa bersama keluarga hendaknya tidak hanya dilakukan pada saat tertentu saja tetapi hendaknya dilakukan secara rutin doa
kiranya dapat menjadi bagian dari kehidupan keluarga sehingga suasana religius sungguh mewarnai hari-hari hidup keluarga. Saling mendoakan sebagai pasangan
33
suami istri yang saling mengasihi sudah selayaknya dilakukan agar bisa saling menguatkan dan meneguhkan dalam menjalani hidup berkeluarga dengan suka
dukanya.
4. Kebiasaan Hidup Beriman
Menurut Konferensi Waligereja Indonesia dalam buku Pedoman Pastoral Keluarga
, 2001 dinyatakan bahwa: Kebiasaan hidup beriman menjadi dasar dalam keluarga kristiani karena melalui kebiasaan doa pribadi dan bersama keluarga
secara otomatis dapat berkomunikasi dengan Tuhan, tidak hanya melalui doa keluarga juga mendapatkan kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam perayaan
Ekaristi, membaca dan merenungkan Kitab Suci melalui pembacaan Kitab Suci itu keluarga terutama anak-anak menemukan dasar iman, yaitu ajaran-ajaran
Tuhan Yesus Kristus dan menimba inspirasi untuk hidup iman mereka melalui teladan hidup-Nya dan tokok-tokoh iman dalam Kitab Suci, aktif dalam kelompok
pembinaan iman karena pembinaan iman tidak hanya didapatkan dari orang tua saja tapi bisa juga didapatkan melalui pembinaan iman kelompok serta mengikuti
berbagai bentuk kegiatan yang dapat mendukung dan menumbuh kembangkan perkembangan hidup beriman melalui rekoleksi, retret dan ziarah.
a. Doa Pribadi dan Doa Bersama
Keluarga kristiani mempunyai kebiasaan mengajak serta seluruh anggota keluarganya untuk berdoa bersama maupun pribadi. Karena melalui berdoa
komunikasi dengan Tuhan bisa terwujud. Keluarga diajak untuk memperkembangkan iman dan pemahaman akan Tuhan Yesus Kristus melalui
34
kehidupan doa yang dilaksanakan dengan sunguh-sunguh. Selain itu, keluarga juga mengunakan secara tepat benda-benda rohani seperti salib, patung, gambar,
rosario dan sebagainya.
b. Mengikuti Perayaan Liturgi
Keluarga kritiani sudah terbiasa mengambil bagian aktif dalam perayaan liturgi, terutama Ekaristi. Dengan demikian iman mereka akan Tuhan Yesus
Kristus semakin besar. Keluarga kristiani sejak dini diharapkan mengajak anak- anaknya mengambil bagian dalam setiap perayaan Ekaristi, karena perayaan
Ekaristi membantu mereka untuk terlibat di dalamnya, bila mereka sudah mampu memahami, orang tua sebaiknya menjelaskan makna perayaan Ekaristi yaitu
perjamuan kasih Tuhan. Dalam perjamuan itu Tuhan memberikan diri-Nya. Maka menyambut Tubuh Kristus dalam komuni berarti bersatu dengan Tuhan dan
Gereja yang adalah Tubuh Mistik Kristus.
c. Membaca Dan Merenungkan Kitab Suci
Keluarga kristiani mempunyai kebiasaan membaca dan berpegang teguh dengan Kitab Suci. Karena, Kitab Suci memuat kekayaan iman yang sangat baik
dan efektif untuk mengembangkan iman keluarga. Melalui pembacaan Kitab Suci, keluarga terutama anak-anak dapat mengenal Allah yang menyelamatkan umat-
Nya dalam sejarah keselamatan terutama dalam diri Yesus Kristus. Dengan membaca dan mendengarkan serta merenungkan Kitab Suci, hati, fikiran dan jiwa
mereka semakin diarahkan kepada Allah yang hadir melalui sabda-Nya kepada seluruh umat yang berdoa kepada-Nya baik itu orang tua maupun anak-anak.
35
d. Ikut Aktif Dalam Kelompok Pembinaan Iman
Untuk membantu keluarga dalam memberikan pendidikan iman dan menumbuhkan sikap mengereja dalam diri keluarga kristiani yang baru dibangun.
Keluarga kristiani yang baru dibangun diharapakan untuk senantiasi mendorong seluruh keluarganya baik terutama anak-anaknya untuk aktif dalam kelompok
pembinaan iman anak dan pembinaan iman remaja, karena dalam pertemuan seperti itu anak-anak dibantu untuk memperkembangkan iman dan dilatih untuk
menghayati kebersamaan sebagai Gereja.
e. Ikut Ambil Bagian Dalam Rekoleksi, Retret, Ziarah
Rekoleksi, retret, ziarah sudah dikembangkan cukup lama dalam Gereja dan menghasilkan buah-buah yang baik. Keluarga kristiani hendaknya mendorong
dan mendukung seluruh anggota keluarganya untuk mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan tersebut demi pengembangan hidup beriman mereka.
5. Relasi Yang Mendalam
Relasi menjadi dasar keluarga kristiani karena relasi merupakan bagian terpenting dalam membangun keluarga kristiani. Tanpa adanya relasi antara suami
istri, orangtua dan anak, keluarga dan masyarakat, keluarga dengan Tuhan sebuah keluarga pasti tidak akan dapat dibangun dengan baik. Oleh karena itu, relasi
menjadi dasar pokok dalam membangun sebuah keluarga kritstiani seperti yang dinyatakan oleh Brayat Munulyo dalam buku Kursus Persiapan Hidup
Berkeluarga , 2006 mengenai: relasi antar suami-istri, relasi antar orang tua dan
anak, relasi antar keluarga dan masyarakat serta relasi antar keluarga dan Tuhan.
36
a. Relasi Antar Suami-Istri
Relasi suami dan istri merupakan relasi terpenting dalam keluarga. Mutu relasi itu punya pengaruh yang sanggat besar terhadap mutu seluruh hidup
keluarga. Maka pantaslah kalau para pendamping keluarga memperhatikan hal ini. Relasi suami dan istri itu memuat beberapa segi. Segi pertama adalah relasi pada
tingkat perasaan apakah mereka merasa dekat satu sama lain, apakah mereka merasa bahagia bila sedang berbicara, bepergian bersama, atau makan minum
berdua atau sebaliknya, mereka justru merasa jauh satu sama lain dan merasa tidak senang bila sedang berdekatan.
Segi kedua adalah relasi pada tingkat pikiran atau pandangan, apakah mereka dapat bertukar pikiran dengan tenang, dengan argumentasi yang masuk
akal, apakah sebaliknya, mereka tidak pernah bertukar pikiran karena keduanya serba berbeda dalam pandangan mereka. Segi ketiga adalah relasi pada tingkat
kehendak atau kemauan, apakah mereka dapat memadukan kehendak mereka, sehingga mereka dapat merencanakan dan melaksanakan kehendak bersama.
apakah sebaliknya, kehendak mereka selalu berbeda sehingga tidak pernah dapat dipersatukan.
Segi keempat adalah relasi seksual, baik yang terungkap melalui persetubuhan maupun yang terungkap melalui bentuk-bentuk kemesraan fisik
lainnya, apakah mereka dapat saling membahagiakan melalui kemesraan seksual itu, karena masing-masing selalu peka dan peduli terhadap kebutuhan
pasangannya, ataukah sebaliknya, setiap persetubuhan maupun kemesraan fisik lainnya hanyalah menyenangkan satu pihak saja dan menyebabkan penderitaan
pada pasangannya.
37
b. Relasi Antar Orang Tua Dan Anak
Meskipun relasi suami dan istri pada umumnya baik, keduanya karena sulit mencapai kebahagiaan bila relasi mereka dengan anak-anak terganggu.
Maka, demi utuhnya kebahagiaan mereka, suami dan istri membutuhkan relasi yang baik dengan anak-anak mereka. Seperti halnya pada relasi antara suami dan
istri, relasi antara orangtua dan anak-anak juga memuat beberapa segi, yakni segi perasaan, segi pikiran, dan segi kehendak atau kemauan.
Segi pertama adalah relasi pada tingkat perasaan. Tidaklah cukup bahwa anak-anak diberi makanan, minuman, dan pakaian yang memadai, mereka ingin
merasa dekat dengan orang tua, mereka ingin merasakan dilindungi dan disayangi oleh bapak-ibu mereka. Sebaliknya, orang tua pun ingin dihargai dan dipercaya
oleh anak-anak mereka. Segi kedua adalah relasi pada tingkat pikiran, hal ini terutama penting bila anak-anak sudah mulai mampu berpikir, mereka hendaknya
sering diajak bertukar pikiran. Janganlah mereka itu diperlakukan seolah-olah mereka tidak mampu berpikir. Maka, bila ada perbedaan pandangan antara anak-
anak dan orang tua, semua pihak hendaknya bersikap rasional, tidak hanya mencari kemenangan. Segi ketiga adalah relasi pada tingkat kehendak atau
kemauan. Tidak jarang terjadi bahwa orang tua memaksakan kehendak pada anak- anak mereka, karena merasa lebih tua dan lebih berpengalaman. Hal itu dapat
terjadi karena orang tua kurang memahami kebutuhan dan keinginan anak-anak muda. Padahal, sebagai pribadi yang berkehendak bebas, setiap anak punya
kehendak dan kemauan sendiri, dan dia tidak berbahagia bila orang lain memaksakan kehendaknya atas dirinya.
38
c. Relasi Antar Keluarga Dan Masyarakat
Tidak ada keluarga yang berbahagia bila anggotanya hanya hidup dan bergaul dengan orang-orang serumah. Sejak kecil orang membutuhkan sosialitas,
membutuhkan dunia pergaulan yang luas. Maka, demi kebahagiaan masing- masing anggota keluarga, mereka harus memiliki relasi yang baik dengan
masyarakat luas. Relasi itu mempunyai berbagai bentuk. Relasi-relasi yang paling biasa ialah relasi dalam hal kerja, bertetangga, berorganisasi, dan beragama. Bila
relasi-relasi itu berjalan lancar, anggota keluarga dapat mengalami kebahagiaan. Sebaliknya, bila terjadi banyak kegagalan dalam relasi-relasi itu, kebahagiaan
hanyalah merupakan impian belaka.
Dalam hal ini para pendamping keluarga dapat memberikan bantuan, yakni dengan menolong keluarga-keluarga katolik dalam usaha meningkatkan mutu
relasi antara anggota-anggota mereka dengan masyarakat luas. Lebih bagus lagi kalau para pendamping keluarga dapat menciptakan sarana-sarana penunjangnya,
d. Relasi Antar Keluarga Dan Tuhan
Salah satu dari tujuan utama pendampingan keluarga adalah berkembangnya iman. Oleh karena itu, tidak boleh dilupakan pentingnya relasi
antara keluarga dan Tuhan. Relasi itu dapat dipelihara melalui tiga sarana utama sebagai berikut:
Doa pribadi yang teratur oleh masing-masing anggota keluarga, terutama sebelum dan sesudah tidur, sebelum dan sesudah makan
39
Doa bersama di rumah, oleh seluruh keluarga, terutama pada saat ada anggota keluarga yang sedang merayakan hari ulang tahun, sedang bersedih, atau
sedang menghadapi suatu tugas penting; Partisipasi anggota keluarga dalam ibadat di lingkungan maupun di paroki,
terutama dalam perayaan Ekaristi pada hari minggu dan hari-hari raya penting, seperti Natal dan Paskah. Sejak kecil anak-anak sebaiknya didorong untuk
terlibat dalam kegiatan jemaat katolik setempat, sesuai dengan tingkat usia dan minat serta bakat mereka masing-masing. Semua anggota keluarga diharap
menerima Sakramen Tobat secara teratur.
C. UPAYA MEMBANGUN KELUARGA KRISTIANI MELALUI
PENDAMPINGAN KELUARGA 1.
Pengertian Pendampingan Keluarga Kristiani
Konsili Vatikan II, terjemahan. R. Hardawiryana, SJ Jakarta: Dokpen KWI, 1991, art. 15 menyatakan bahwa: “Umat kristiani sejak semula harus
diberikan suatu pendampingan yaitu berupa pendampingan keluarga sehingga sedapat mungkin mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dalam hidup
berkeluarga”. Umat kristinai dapat berkembang melalui suatu pendampingan yang disebut sebagai pendampingan keluarga, pendampingan yang timbul dari
umat beriman itu sendiri. Pendampingan keluarga merupakan hak dan kewajiban semua umat kristiani. Dalam hubungan ini para Bapa Konsili mengatakan:
kemungkinan-kemingkinan pendampingan keluarga hendaknya dianjurkan kepada umat kristiani, teristimewa kepada keluarga-keluarga yang mengalami berbagai
masalah dalam kehidupan rumah tangganya. Para Bapa Konsili menegaskan
40
bahwa pendampingan keluarga di tunjukan kepada keluarga dengan menggunakan sarana-sarana yang cocok untuk pendampingan tersebut.
Pendampingan keluarga yang dimaksud ialah bimbingan pastoral artinya pendampingan keluarga merupakan perwujudan nyata keperihatinan Gereja
terhadap umat untuk memekarkan pribadi mereka sebagai manusia. Pemekaran tersebut meliputi dua dimensi yaitu vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal
adalah menyangkut hubungan manusia dengan ilahi dimensi horizontal adalah menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya.
Pendampingan keluarga sebagai suatu proses dan usaha dewan paroki untuk membantu pasangan suami istri agar semakin menghayati hidup
perkawinannya dan mampu membangun keluarganya dengan baik. Pendampingan keluarga menjadi suatu keprihatian aktif yang menyatakan dalam tindakan yang
menyadarkan dan membebaskan, memekarkan potensi dan iman kristiani, menjawab dan menanggapi kebutuhan setiap keluarga yang didamping,
memampukan setiap keluarga yang didampingi untuk dapat bertanggungjawab dan berperan sosial-aktif. Dalam pendampingan memungkinkan keluarga yang
didampingi menjadi subjek dan pusat bina. Dengan demikian keluarga yang didampingi dapat memutuskan dan
menentukan sendiri langkah seperti apa yang hendak mereka ambil dalam menyelesaikan setiap kesulitan-kesulitan yang ada. Dalam proses pendampingan
keluarga seorang pendamping hendaknya berjalan seiring dengan keluarga yang didampingi. Dengan pendampingan itulah setiap keluarga dapat bertanya dan
mendengarkan dengan penuh keprihatinan dan kesabaran apa yang menjadi solusi
41
atas kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, mereka juga dapat menjelaskan dan membuka pikiran pada saat yang tepat, dan akhirnya mempertemukan mereka
dengan pribadi Kristus sendiri.
2. Tujuan Pendampingan Keluarga Kristiani
Menurut Al. Purwa Hadiwardoyo MSF dalam bukunya yang berjudul Pendampingan Keluarga Di Paroki Kita
, 2007 adalah untuk: “Tercapainya kebahagiaan, berkembangnya iman dalam keluarga yang di damping, mendidik
anak-anak mereka secara kristiani dan membantu keluarga yang dalam masalah- masalah khusus”.
a. Tercapainya Kebahagiaan.
Kiranya jelas bahwa yang paling berkepentingan dalam perkawinan adalah semangat pasangan suami istri itu sendiri. Oleh daya dorong cinta yang tumbuh
mekar dalam hati mereka berdua, mereka dibawa untuk bersatu saling membahagiakan dan bersama-sama mengejar kebahagian dalam hidup mereka.
Sifat khas kristiani adalah cinta kasih dengan demikian pasangan suami istri dalam hidup perkawinan perlu mengembangkan cinta kasih terhadap
pasangannya, unsur pokok dalam perkawinan adalah kesetiaan akan pasangan dalam segala situasi dan tetap bertanggungjawab bila mengalami untung dan
malang. Kesetiaan dalam hidup perkawinannya itu bersifat total artinya setia pada pribadi pasangannya secara utuh dengan segala sifat yang ada pada pasangannya,
entah itu baik atau buruk. Pemberiaan diri secara tulus dalam konteks persekutuan perkawinaan mewujudkan tercapainya sebuah kesejahteraan suami istri.
42
b. Berkembangnya Iman Dalam Keluarga Yang Didampingi.
Dalam sebuah perkawinan perkembangan iman dalam keluarga menjadi hal pokok penting yang harus diperhatikan. Dalam proses pendampingan,
perkembangan iman keluarga yang didampingi haruslah dilihat karena tujuan dari mendampingi keluarga adalah dengan memperhatikan dan mendukung usaha
pasangan suami istri dalam memperkembangkan iman dalam keluarganya. dengan iman, keluarga yang didampingi dapat mencapai keluarga yang sejahtera,
harmonis dan bahagia karena iman adalah jawaban pribadi atas prakarsa Allah yang dikenal dalam Firman-Nya dan dalam campur tangan Allah demi
keselamatan dan perkembangan iman keluarga. Berkembangnya iman dalam keluarga dapat membantu pasangan suami istri dalam usaha membangun keluarga
yang kristiani.
c. Mendidik Anak-anak Mereka Secara Kristiani
Meskipun dalam perkawinan yang paling berkepentingan ialah suami istri namun karena kodratnya persekutuan itu sendiri menyangkut pihak ketiga yaitu
anak, maka anakpun harus dipertimbangkan dalam hidup perkawinan. Lahirnya anak dalam keluarga membaga tugas kewajiban orang tua untuk mendidik anak
mereka menjadi dewasa. Kewajiban itu ditegaskan dalam Gaudium et Spes, art. 52 menyatakan bahwa:
Anak-anak harus dididik sedemikian rupa sehingga setelah mereka dewasa dapat mengikuti dengan penuh rasa tanggungjawab panggilan mereka
termaksud juga panggilan suci dan memilih status hidup; bila mereka milih status hidup perkawinan, semoga mereka dapat membangun keluarganya
sendiri dalam situasi moral, sosial dan ekonomi yang menguntungkan mereka.
43
Mendidik anak merupakan pekerjaan yang terpenting serta tanggung jawab orang tua demi masa depan anak. Tugas utama dan mulia membentuk watak sebagian
besar terletak di tangan orang tua. Yang termaksud tanggungjawab orang tua ialah memenuhi kebutuhan si anak baik jasmani maupun rohani. Hal ini ditegaskan
dalam Kitab Hukum Kanonik Kan. 1136: “Orang tua mempunyai kewajiban yang sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan
akan baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius”.
d. Membantu Keluarga Yang Mengalami Masalah Khusus
Gereja dengan teladan Kristus Sang Gembala baik, memberi perhatian dan pendampingan khusus kepada keluarga-keluarga yang karena beraneka ragam
persoalan, menghadapi dan mengalami situasi sulit seperti: keluarga dalam perkawinan yang belum sah, keluarga cerai sipil, keluarga yang sedang pisah,
keluarga berharta pisah, keluarga yang tidak memperoleh anak, keluarga dalam konflik berat dan keluarga yang mempunyai anak berkebutuahan khusus.
Keluarga yang mengalami masalah khusus seperti ini amat sangat membutuhkan pendampingan yang kiranya dapat menolong mereka dalam mengatasi kesulitan
dan masalah tersebut sehingga mereka dapat membangun keluarganya menjadi keluarga yang kristiani.
3. Bentuk Pendampingan Keluarga Kristiani
Setelah menikah pasangan suami istri diharapkan untuk ikut serta dalam
berbagai bentuk pendampingan keluarga. karena pasangan suami istri biasanya banyak mengalami berbagai macam kesulitan-kesulitan dalam membangun iman
dalam keluarganya. Pendampingan keluarga ini bertujuan untuk mendampingi
44
para pasangan suami istri muda untuk semakin beriman agar keluarga kristiani yang mereka harapkan dapat terbentuk dengan baik. Bentuk pendampingan
keluarga dalam Gereja menurut A. M. Mangunhardjana dalam buku yang berjudul Membimbing Rekoleksi
, 1985 meliputi: retret keluarga, rekoleksi keluarga, katekese keluarga, kunjungan keluarga.
a. Retret Keluarga
Kata retret berarti pengunduran diri, menyendiri sehari-hari, meninggalkan dunia ramai. Berdasarkan pengertian inilah maka retret mempunyai arti sebagai
usaha mengundurkan diri dari dunia ramai yang bersifat duniawi untuk meninjau karya Allah cara kerja dan bimbingan Allah dalan jemaat itu sendiri serta
tanggapan karya Allah. Tujuan retret keluarga ini merupakan kegiatan gerejani yang mempunyai
tujuan membina pasangan suami istri untuk mengadakan kegiatan rohani. Retret keluarga merupakan kegiatan rohani maka biasanya dilakukan doa, pemeriksaan
batin dan renungan untuk lebih mendalami dan menghayati hidup rohani. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan retret keluarga adalah membina jemaat
kristiani khususnya pasangan suami istri untuk merubah sikap hidup dari dalam dengan pertolongan Allah sendiri.
Retret keluarga bertujuan untuk merubah sikap dari dalam dengan pertolongan rahmat Allah, materi retret umumnya meninjau karya-karya Allah
dan tanggapan peserta terhadap karya-karya Allah tersebut atas dasar pesan-pesan Kitab Suci, peserta pada umumnya bersifat homogen dan harus mendaftarkan diri,
waktu retret kurang lebih tiga hari bahkan ada yang sampai satu bulan, dalam