27 ketulusan dalam berkarya, serta kerja keras akan menentukan keberhasilan dan
berkembangnya misi di Jawa.
2. Masalah Doa Bapa Kami
Pertentangan yang terjadi antara F. van Lith S.J. dengan P. Hovenaars S.J. tidak hanya sebatas pada pertentangan mengenai metode saja. Keduanya juga
memperdebatkan mengenai siapa yang paling benar dalam menterjemahkan doa Bapa Kami ke dalam Bahasa Jawa. Doa Bapa Kami dalam Bahasa Jawa
sebenarnya sudah ada sejak Gereja Kristen mulai berkembang di Indonesia. Dalam hal ini P. Hovenaars S.J. maupun F. van Lith S.J. sependapat bahwa doa
Bapa Kami yang sudah ada tersebut sudah tidak layak lagi untuk dipakai pada kegiatan misi mereka.
Dengan alasan tersebut, F. van Lith S.J. dan P. Hovenaars S.J. masing- masing mencoba menterjemahkan kembali doa Bapa Kami ke dalam Bahasa
Jawa. Kedua misionaris tersebut menganggap bahwa terjemahan merekalah yang paling benar. Pertentangan kemudian muncul antara Muntilan dan Mendut karena
perbedaan terjemahan doa Bapa Kami. Superior misi segera mengetahui akan berita pertentangan tersebut. Superior misi tidak menginginkan adanya dua versi
doa Bapa Kami di Mendut dan Muntilan. Menurut pendapat Superior Misi, perbedaan ajaran yang terjadi di Muntilan dan Mendut akan menimbulkan
kebingungan bagi para pengikutnya. Untuk itu, karya misi haruslah dimulai dengan persatuan dan hal tersebut harus diawali di antara para misionaris itu
sendiri.
28 Perbedaan versi itu langsung tampak dalam pilihan kata tetapi pada sudut
pandang yang berbeda tentang penterjemahan itu sendiri. Tidak banyak manfaatnya banyak menganalisa teks karena keduanya berpendapat bahwa
terjemahan mereka belum definitif dan baku. Di dalam alasan-alasan itulah tercermin visi kedua belah pihak mengenai karya misi mereka. Visi karya misi
inilah yang paling penting untuk dibahas dan dipahami. Melalui visi dan misi yang dipaparkan oleh P. Hovenaars S.J. maupun F. van Lith S.J. akan terlihat
bahwa F. van Lith S.J. lebih mengenal dan lebih memperjuangkan hak-hak kaum pribumi.
Dalam menterjemahkan doa Bapa Kami dan doa-doa lain, F. van Lith S.J. mempelajari berbagai kamus, paramasastra, terjemahan Kitab Suci, buku ngelmu
dan sebagainya. Beliau juga selalu belajar dengan orang-orang biasa maupun pamong praja. Lebih dari 30 kali beliau pergi ke Solo dan Yogyakarta untuk
bertemu dengan beberapa pangeran untuk memperdalam pemahamannya tentang tata cara orang Jawa dalam berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa. Dalam hal
ini P. Hovenaars S.J. berpendapat lain mengenai penggunaan Bahasa krama inggil dalam doa Bapa Kami. Beliau berpendapat bahwa menggunakan kata-kata krama
dalam doa adalah semangat budak-belian. F. van Lith S.J. mencapai kesimpulan bahwa penulisan dalam Bahasa Jawa krama inggil sama sekali tidak mentiadakan
hubungan cinta kasih dan kepercayaan di antara ayah dan anak. Menurutnya doa Bapa Kami yang diterjemahkannya telah dicocokkan atau didasarkan pada konsep
dan perasaan orang Jawa. Menurutnya ketika masyarakat Jawa membaca doa
29 tersebut tidak sebatas hanya di mulut saja tetapi haruslah sampai merasuk ke
dalam perasaannya. Terjemahan “Bapa Kami” yang dibuat F. van Lith S.J. dengan ejaan jaman
itu dan sesuai dengan konsep ungkapan perasaan orang Jawa tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Kandjeng Rama ing swargo. Soemonggo angloehoraken asmo dalem. Soemonggo andjomenengaken kraton dalem. Soemonggo sakarso dalem kaleksana ing donja kados
ing swarga. Abdi dalem njadong paring dalem redjeki kangge sapoenika. Sakatahing dosa kawoela njowoen pangaksama dalem. Dene abdi dalem sampoen angapoenten lepatipoen
sesami. Abdi dalem soepados lepat saking panggoda. Saha mardika saking pihawon. Amin.
”
22
Sementara itu, argumentasi P. Hovenaars S.J. mengenai terjemahan doa
Bapa Kami dan doa lainnya berpatokan pada praktek paling biasa di dalam Gereja Katolik, yaitu selalu menterjemahkan doa-doa secara harafiah. Menterjemahkan
doa secara harafiah juga layak dilakukan oleh Gereja Protestan. Setia pada tradisi tersebut P. Hovenaars S.J. juga menterjemahkan secara harafiah doa Bapa Kami
dari Bahasa Belanda. Beliau tetap berpedoman kepada tradisi tersebut. Perbedaan pendapat ini secara langsung menghancurkan kerjasama antara P. Hovenaars S.J.
dengan F. van Lith S.J.
23
Masalah mengenai perbedaan pendapat ini juga nantinya akan terselesaikan dan pendapat F. van Lith S.J. dibenarkan oleh Provinsial dan
Superior misi. Dalam hal ini pemimpin misi melihat dari sudut pandang lain yaitu lewat argumentasi-argumentasi yang dikirimkan oleh kedua misionaris yang
berselisih paham. P. Hovenaars S.J. selalu menyudutkan dan ingin menunjukan kebenaran atas apa yang telah beliau lakukan. Superior misi terkadang
22
TIM K.A.S, Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang, Semarang, Keuskupan Agung Semarang, 1991, hlm. 24-25.
23
Fl. Hasto Rosarianto, op. cit., hlm. 129.
30 menganggap bahwa apa yang diungkap oleh P. Hovenaars S.J. merupakan sikap
kasar yang sudah di luar batas kewajaran. Dalam menyikapi masalah ini F. van Lith S.J. selalu bersikap legowo,
kesatria dan sabar untuk menanggapi kritik yang tidak berdasar dari sesama rekan kerjanya. F. van Lith S.J. tidak pernah membalas dengan menjelek-jelekan P.
Hovenaars S.J. akan tetapi beliau lebih banyak menjelaskan bagaimana penerapan metodenya. Secara tidak langsung sikap kasar yang diperlihatkan oleh P.
Hovenaars S.J. tersebut justru semakin menjauhkan kepercayaaan pemimpin misi kepadanya. Justru dengan sikap kesatria yang ditunjukan oleh F. van Lith S.J.
akan membawanya pada rasa hormat dan penghargaan dari sesama misionaris dan para pemimpin misi. Keberhasilan karya misionernya di Jawa juga menjadi buah
manis atas usaha dan kerja kerasnya.
24
Metode semacam ini ditentang oleh P. Hovenaars S.J. karena tidak mungkin mendirikan sebuah sekolah di Muntilan. Alasan kenapa beliau
berpendapat bahwa di Muntilan tidak cocok adalah karena di sana sudah ada sekolah negeri dan di sana berdekatan dengan pesantren. Beliau khawatir jika
dengan adanya sekolah Katolik di Muntilan justru akan menghambat perkembangan misi karena bersinggungan dengan masyarakat pribumi yang
berkeyakinan lain. Ketakutan akan terulang kembalinya kejadian seperti ketika Pangeran Diponegoro menentang kekuasaan Belanda. Selain itu, beliau juga
meyakini bahwa sekolah dengan asrama terkesan semacam pemborosan anggaran untuk kegiatan misi dan hanya menghabiskan dana untuk karya misi karena harus
24
Ibid., hlm. 133.
31 digunakan untuk membangun gedung sekolah dan asrama serta kebutuhan
pengajaran lainya.
3. Masalah Jumlah Baptisan