31 digunakan untuk membangun gedung sekolah dan asrama serta kebutuhan
pengajaran lainya.
3. Masalah Jumlah Baptisan
Setelah mengalami kontak langsung dengan masyarakat Jawa, baik F. van Lith S.J. maupun P. Hovenaars S.J. mulai menyadari bahwa hampir seluruh
masyarakat Jawa hidupnya hanya bergantung pada apa yang dihasilkan dari sawah atau ladang mereka. Tidak mengherankan jika kedua misionaris tersebut
mngawali karya mereka dengan berpangkal pada apa yang menjadi kebutuhan pokok para penduduk Jawa. Meskipun mereka sadar bahwa apa yang mereka
lakukan intinya sama untuk memajukan para penduduk Jawa, tetapi terkadang malah menjurus pada persaingan yang tidak sehat, kesalahpahaman, dan rasa
cemburu yang berlebihan terutama dari P. Hovenaars S.J. Pada akhir tahun 1898, dalam surat F. van Lith S.J. kepada Provinsial
beliau melukiskan keprihatinannya mengenai keadaan masyarakat Jawa dan melukiskan program yang ada di benaknya. Beliau ingin memperbaiki taraf hidup
masyarakat Jawa dengan mengajak membuat semacam tikar warna-warni. Beliau berpendapat bahwa yang harus didahulukan adalah memperbaiki taraf hidup
masyarakat Jawa. Hasil yang didapat dari penjualan tikar tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Isi surat P. Hovenaars S.J. sedikit berbeda dengan apa yang diutarakan oleh F. van Lith S.J. Beliau mengisahkan bagaimana perkembangan karyanya
yang tidak hanya sebatas di Mendut tetapi juga hingga menjangkau daerah Baran Kiringan Kudus. P. Hovenaars S.J. meyakinkan Mgr. Luypen bahwa masa
32 depan misi Jawa akan berpusat di kedua daerah tersebut karena melihat dari
perkembangan jumlah baptisan yang semakin bertambah banyak. P. Hovenaars S.J. mengungkapkan bahwa beliau sudah mengunjungi Baran Kiringan sebanyak
empat kali. Setiap kali beliau datang selalu membaptis dan memberkati perkawinan masyarakat di sana. Pada akhir kunjungan tepatnya pada tanggal 1
November 1989, beliau sudah membaptis sepuluh orang dan memberkati tiga perkawinan. Kemudian, ada sekitar 60 orang menunggu untuk dibaptis oleh P.
Hovenaars S.J.
25
Semakin lama tinggal di tengah-tengah masyarakat Jawa semakin menguatkan keinginan F. van Lith S.J. untuk menolong mereka. Akan tetapi, F.
van Lith S.J. sangat menyadari bahwa beliau perlu meyakinkan Mgr. E. Luypen S.J. dan Superior Misi alasan mengapa tidak cukup banyak baptisan di stasi
Muntilan. Sejauh itu F. van Lith S.J. hanya sebatas membaptis anak-anak yang sudah dalam kondisi hahaya maut. Dalam suratnya kepada Vikaris di Batavia,
beliau menulis bahwa membaptis orang dewasa tidak dapat dilakukan tergesa- gesa dan membutuhkan waktu bertahun-tahun:
“Masyarakat pedesaan memerlukan dua hal yaitu makanan dan pakaian. Setelah kedua kebutuhan tersebut terpenuhi barulah mereka bisa mulai berpikir dengan baik. Merupakan
suatu hal yang mustahil jika kegiatan misi mengharuskan kita para misonaris memberikan makanan dan pakaian kepada mereka semua. Tetapi memang kita haruslah berbuat
sesuatu sejauh kita mampu karena pewartaan kabar gembira tergantung pada hal tersebut. Soal pokok adalah bahwa di manapun seorang misionaris ditugaskan, sesudah satu tahun,
diharapkan ia telah melakukan banyak pembaptisan orang pribumi. Saya sangat menyadari permasalahan tersebut. Tetapi, untuk misi di Jawa, membaptis sejumlah besar
orang yang tidak sungguh-sungguh bertobat hanyalah sebuah petualangan. Membaptis banyak orang itu dapat diprogramkan. Cukuplah masuk ke wilayah dari beberapa desa
yang ingin menjadi Kristen dan kemudian semangat Kristiani ditanamkan pelan-pelan. Meskipun demikian, semangat Kristiani lahir hanya dengan kesabaran dan dalam
hitungan tahun
.
26
25
Ibid., hlm. 125.
26
Ibid. , hlm. 126.
33
Posisi dimana F. van Lith S.J. yang terkesan mempersulit dalam membaptis masyarakat pribumi tidak hanya ditentang oleh P. Hovenaars S.J. saja
tetapi juga sebagian besar misionaris. Para misionaris berpendapat bahwa keberhasilan misi ditentukan oleh banyaknya jumlah orang pribumi yang dibaptis.
Seperti apa yang telah diutarakan dalam suratnya kepada Vikaris, bahwa misi haruslah tidak hanya sebatas mengkristenkan orang pribumi saja melainkan
mensejahterakan mereka. F. van Lith S.J. banyak berkeliling dari satu desa ke desa lain untuk melihat, belajar, dan mencari tahu apa yang menjadi keprihatinan
serta apa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu. Dari apa yang telah beliau temukan kemudian beliau menyimpulkan bahwa pendidikan
anak-anak pribumi adalah yang sangat dibutuhkan oleh mereka. P. Hebrans S.J. mungkin satu-satunya yang sependapat dengan F. van Lith S.J. Dukungan
terhadap apa yang menjadi gagasan F. van Lith S.J. tersebut tertulis dalam suratnya kepada Mgr. E. Luypen S.J. untuk membela F. van Lith S.J. dari
penilaian yang tidak adil dari misionaris lain. Beliau mengutarakan bahwa sudah benar apa yang dilakukan oleh F. van Lith S.J. Langkah yang ditempuh oleh F.
van Lith S.J. sudah benar dengan tidak tergesa-gesa membaptis orang pribumi. Hal yang ditakutkan adalah jika yang terjadi adalah orang pribumi hanya mau
dibaptis karena adanya motif uang dan kesejahteraan. Oleh karena itu dalam hal jumlah baptisan F. van Lith S.J. kalah banyak dibandingkan dengan P. Hovenaars
S.J. Jika orang pribumi telah memiliki kesejahteraan pastinya tanpa diajak dan
34 dipaksa secara otomatis banyak dari kalangan pribumi akan meminta para untuk
membaptis mereka.
27
Dukungan dari sesama misionaris kiranya juga belum cukup untuk meyakinkan bahwa karya F. van Lith S.J. akan berhasil. Butuh bukti nyata dari
karya F. van Lith S.J. Untuk menjawab persoalan tersebut F. van Lith S.J. pada tahun 1901 mengirimkan surat kepada Mgr. E. Luypen S.J. mengenai
perkembangan jumlah umat yang menerima pelajaran agama di sekitar Muntilan:
Sekarang saya ingin memberitahukan bahwa ada dua desa yang secara eksplisit meminta saya memberikan pelajaran agama. Yang satu berpenduduk sekitar 1.400, sedang satunya
sekitar 700. Meskipun demikian saya masih harus tetap hati-hati dalam hal ini karena orang Jawa itu tidak dapat dipahami hanya pada tindakan-nya. Maka info ini sama sekali
tidak mau mengatakan bahwa mereka ingin memeluk agama kita. Diperlukan jalan yang panjang dan persiapan yang lama untuk menjadi benar-benar seorang Katolik
.
28
Sekitar tahun 1903, Mgr. E. Luypen S.J. dan Superior Misi mengunjungi Muntilan untuk melihat langsung perkembangan karya yang dilakukan oleh F. van
Lith S.J. Mgr. E. Luypen S.J. dan Superior Misi ragu akan kelanjutan karya misi di Muntilan. Kedua pemimpin misi di Jawa tersebut menyatakan bahwa ada
kemungkinan misi di Muntilan akan ditutup. Hal tersebut memunculkan kesedihan yang mendalam dalam diri F. van Lith S.J. Meskipun demikian, F. van
Lith S.J. tetap berusaha sekuat tenaga mempertahankan apa yang sudah beliau bangun.
Pendapat dari kedua petinggi misionaris tersebut tidak bisa lepas dari berkembang pesatnya misi di Mendut yang ditangani oleh P. Hovenaars S.J.
Jumlah baptisan yang banyak menjadikan penilaiaan terhadap misi di Mendut lebih berhasil dibandingkan di Muntilan. Akan tetapi perlu dilihat bahwa nantinya
27
Ibid., hlm. 127.
28
Ibid., hlm. 141.
35 misi di Mendut justru yang akan dibubarkan karena terkuaknya kesalahan fatal
yang dilakukan oleh P. Hovenaars S.J. terhadap wewenang yang sudah beliau peroleh. Selain itu, di saat yang tepat muncul setitik harapan bagi kembalinya
kepercayaan terhadap F. van Lith S.J. setelah kedatangan para penduduk di sekitar Kulon Progo yang memintanya untuk memberikan pengajaran agama.
Pada tahun 1904 katekis Jawa yang bernama Andreas Manase yang satu angkatan dengan Katekis Vrede yang telah dipecat sebelumnya, dengan bersama
lima orang tetua dari Kulon Progo meminta F. van Lith S.J. memberikan pengajaran Agama Katolik kepada mereka. Salah satu dari mereka adalah Daud
yang dulunya adalah seorang pengikut Sadrach dan misionaris Wilhelm. Bersamaan dengan Daud ada empat orang pemimpin atau sering disebut dengan
istilah bekel datang ke Muntilan untuk menemui F. van Lith S.J. Peristiwa inilah yang akan membuka pandangan para misionaris bahwa misi F. van Lith S.J.
menuju ke arah keberhasilan dan tentunya karya misi berkembang di Jawa. Mereka secara umum disebut dengan orang-orang Kristen dari
Kalibawang seturut dengan nama distrik di mana mereka tinggal. Wilayah tersebut berada di sisi Barat Sungai Progo. Salah satu dari antara mereka yang
terkenal dari keempat orang yang berada di bawah bimbingan Daud dan meminta masuk Agama Kristen adalah Barnabas Sarikrama, yang berasal dari kampung
Semagung serta seorang yang bernama Abraham menjadi kepala kampung tersebut. Semagung kelak akan menjadi pusat untuk orang-orang Katolik di
wilayah itu, karena di sana ada Gua Lourdes yang diresmikan pada tanggal 8 Desember 1929 dan mata air keramat yang mengalir di bawah pohon Sono yang
36 sangat besar. Karena keberadaan dari pohon tersebut, kemudian daerah tersebut
dikenal dengan nama Sendang Sono kolam di bawah Pohon Sono. Tokoh lainnya yang merupakan kepala kampung Kajoran Wetan yang kemudian dibaptis
adalah Lukas Suratirta, kemudian kepala kampung Kajoran Kidul yang bernama Markus dan kepala kampung Teksanga yang bernama Jokanan. Mereka semua
dalam kunjungan pertamanya ke Muntilan tersebut berjanji kepada F. van Lith S.J. bahwa mereka akan datang ke Muntilan setiap hari Sabtu dan Minggu untuk
mendapatkan pengajaran Agama Katolik. Setelah beberapa bulan menjalani pengajaran agama sekitar 173 orang
yang telah menjalani pelajaran agama kemudian dibaptis di mata air Semagung Sendang Sono. Berkat ketulusan hati yang dimiliki para misionaris di Muntilan
dalam mendampingi masyarakat pribumi memberikan dampak yang positif bagi perkembangan misi di Jawa seperti terukir dalam peristiwa baptisan yang
berkaitan dengan Barnabas Sarikromo. Pada waktu itu Barnabas Sarikromo sedang sakit kakinya. Dengan segala ketulusan dan penuh perhatian Bruder
Kersten merawat dan mengobati lukanya. Perhatian yang tulus inilah yang secara langsung menumbuhkan iman yang mendalam pada Tuhan. Selain itu juga,
pertobatan yang telah diawali oleh rombongan dari Semagung ini nantinya akan menentukan kebijakan pemerintah Belanda terhadap misi di wilayah Kulon Progo
dan Yogyakarta. Para baptisan Sendang Sono ini akan menjadi para katekis dan guru Agama Katolik di sekitar Kulon Progo. Seperti halnya yang diungkapkan
Barnabas Sarikromo bahwa dia akan mengabdikan diri kepada para misionaris untuk ikut serta dalam menyebarkan Agama Katolik di Jawa setelah dia mendapat
37 kesembuhan dari sakit di kakinya. Kesembuhannya tersebut didapat setelah dia
berobat kepada Bruder Kersten di Muntilan.
29
Berbeda halnya dengan yang dialami P. Hovenaars S.J. di Mendut, di mana misi di Mendut dianggap gagal. Hal ini dikarenakan ada pendapat bahwa
misi di Mendut adalah sebuah misi yang tak bermakna posititif dan tidak arif. Memang banyak orang telah dibaptis di sana akan tetapi setelah diteliti lebih
lanjut ada sebuah kejadian yang sangat bertentangan dengan kegiatan misi. Pada tanggal 23 April 1905 P. Hovenaar S.J. mengundang anak-anak muslim yang
bersekolah di Mungkit untuk berkunjung ke Mendut untuk merayakan Paskah. Anak-anak tersebut diajak mengikuti perayaan kebaktian di gereja dan menikmati
jamuan makan atau yang sering disebut selamatan oleh masyarakat Jawa. Selama misa, dilakukanlah pemercikan air berkat oleh P. Hovenaars S.J. Peristiwa inilah
yang dianggap sebagai pengkatolikan atau pembaptisan yang tidak wajar. Pada tanggal 5 Maret 1905 secara resmi Jenderal J. B. van Heutz menegur P. Hevenaars
S.J. atas misi “karya misi yang tidak arif tersebut”. Dan sebagai akibatnya P.
Hovenaars S.J. dipindah ke Cirebon dan diawasi secara ketat kegiataanya terhitung mulai tanggal 12 Juni 1905.
30
C. F. van Lith S.J. Pendidik Masyarakat Pribumi