37 kesembuhan dari sakit di kakinya. Kesembuhannya tersebut didapat setelah dia
berobat kepada Bruder Kersten di Muntilan.
29
Berbeda halnya dengan yang dialami P. Hovenaars S.J. di Mendut, di mana misi di Mendut dianggap gagal. Hal ini dikarenakan ada pendapat bahwa
misi di Mendut adalah sebuah misi yang tak bermakna posititif dan tidak arif. Memang banyak orang telah dibaptis di sana akan tetapi setelah diteliti lebih
lanjut ada sebuah kejadian yang sangat bertentangan dengan kegiatan misi. Pada tanggal 23 April 1905 P. Hovenaar S.J. mengundang anak-anak muslim yang
bersekolah di Mungkit untuk berkunjung ke Mendut untuk merayakan Paskah. Anak-anak tersebut diajak mengikuti perayaan kebaktian di gereja dan menikmati
jamuan makan atau yang sering disebut selamatan oleh masyarakat Jawa. Selama misa, dilakukanlah pemercikan air berkat oleh P. Hovenaars S.J. Peristiwa inilah
yang dianggap sebagai pengkatolikan atau pembaptisan yang tidak wajar. Pada tanggal 5 Maret 1905 secara resmi Jenderal J. B. van Heutz menegur P. Hevenaars
S.J. atas misi “karya misi yang tidak arif tersebut”. Dan sebagai akibatnya P.
Hovenaars S.J. dipindah ke Cirebon dan diawasi secara ketat kegiataanya terhitung mulai tanggal 12 Juni 1905.
30
C. F. van Lith S.J. Pendidik Masyarakat Pribumi
F. van Lith S.J. semakin mantap dalam memilih metode yang ingin beliau terapkan yaitu dengan membangun suatu sekolah bagi kaum pribumi berkat
pengalaman-pengalaman misionaris sebelumnya. Seperti halnya di Semarang
29
Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J., op. cit., hlm. 19.
30
Karel Steenbrink, op. cit., hlm. 629-630.
38 yang sempat menjadi pusat misi karena adanya sekolah bagi kaum pribumi, di
Muntilan F. van Lith S.J. juga berharap demikian. Pengalaman kegagalan menjalankan karya misi di awal penjajakkannya dalam masyarakat Jawa
mengajarkan bahwa sebelum menjalankan karya misionaris di Jawa perlu belajar bahasa dan budaya Jawa. Kedua hal tersebut merupakan suatu kewajiban sebelum
seorang misionaris memulai karyanya di Jawa.
31
Selain itu, F. van Lith S.J. sangat menyadari bagaimana seorang misionaris bersikap pada orang pribumi. Seperti halnya dengan yang terjadi pada Kyai
Sadrah, F. van Lith S.J. selalu mengatakan kepada para misonaris lain supaya selalu memposisikan diri sama seperti masyarakat Jawa pada umumnya, bukan di
atasnya. Dalam artikelnya beliau selalu menyemangati para misionaris supaya semua misionaris selalu berusaha memposisikan sama dengan masyarakat pribumi
pada umumnya:
Untuk mencapai sebuah sekolah yang solid untuk anak laki-laki, kita wajib memiliki sekolah berasrama yang mampu menampung sebanyak mungkin anak-anak dari para
punggawa desa. Mereka mengurus sendiri pakaian mereka, sedangkan kita hanya menyediakan mereka makan. Pendidikan akan kita berikan kepada mereka ini harus solid
dan berwawasan luas. Untuk meraih cita-cita yang ambisius ini tadak ada cara lain kecuali merancang sebuah kolese kecil: seorang imam sebagai kepala sekolah, dua
skolastik, dan beberapa guru pribumi. Di samping mengajar, mereka ini haruslah terlibat total pada acara keseharian anak-anak, sehingga dalam jangka panjang semangat dan hati
anak-anak diwarnai dengan spirit dan jiwa Kristiani. Semangat Kristiani tadi harus terlebih dahulu membakar hati dan jiwa para pengajar. Untuk kelompok anak-anak,
pengajar akan menuntut level tertentu sehingga pengetahuan mereka tidak akan lebih rendah dari lulusan sekolah-sekolah pemerintah. Pembinaan karakter mereka haruslah
cerdas sehingga mereka akan dapat bekerja di sekolah-sekolah rakyat milik pemerintah, atau menjadi karyawan-karyawan pemerintah, atau melanjutkan pendidikan mereka di
sekolah dokter Jawa STOVIA. Mereka yang tidak dapat memenuhi tuntutan ini akan kembali ke desa-desa mereka untuk mengambil alih posisi ayah mereka, untuk
membaharui desa-desa mereka dalam semangat Kristen.
32
31
Fl. Hasto Rosarianto, op. cit., hlm. 152.
32
Ibid., hlm. 153-154.
39 Pada babak awal karya misinya F. van Lith S.J. mendirikan sebuah
sekolah Kweekschool-A serta sekolah guru bantu dengan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar. Pada awal penjajakkan karyanya ini, F. van Lith S.J.
menggunakan lulusan sekolah calon katekis Semarang sebagai guru mereka. Beliau tidak langsung mempekerjakan lulusan sekolah katekis Semarang untuk
terjun langsung dalam masyarakat karena beliau berpedoman pada tradisi Jawa di mana seorang guru agama haruslah berumur lebih dari 40 tahun sehingga sebelum
mereka matang dan berpengalaman cukup mereka akan melayani murid-murid di sekolah Kweekschool-A. Sebelum mendapatkan subsidi dari pemerintah tepatnya
tahun 1904, bangunan sekolah Kweekschool-A menggunakan bekas bangunan sekolah katekis Semarang yang dibongkar dan dibawa ke Muntilan. Urusan
sekolahan banyak menyita waktunya sehingga beliau meninggalkan aktifitas lamanya yaitu berkeliling ke desa-desa. Meskipun begitu, F. van Lith S.J. masih
melakukan kegiatan lamanya tersebut meskipun tidak sebanyak dahulu sebelum mengelola sekolah yang beliau dirikan. Pada tahun 1905 F. van Lith telah
mendirikan enam sekolah rakyat lain di sekitar Muntilan. Untuk guru-guru yang mengajar sekolah rakyat ini adalah lulusan dari sekolah Kweekschool-A.
33
Sekolah Kweekschool-A Muntilan yang didampingi langsung oleh F. van Lith S.J. ternyata mampu meluluskan murid-muridnya dengan cemerlang. Tidak
hanya dari segi nilai saja, lulusan sekolah F. van Lith S.J. mampu lulus ujian negara dan menjadi pegawai pemerintahan. Selain itu, jumlah orang yang
meminta F. van Lith S.J. membaptis mereka juga semakin banyak. Beliau
33
Ibid., hlm. 154-155.
40 kemudian mencoba mencari dukungan yang lebih besar dari Superior Misi. F. van
Lith S.J. berusaha membuka sekolah Kweekschool-B yang merupakan sekolah lanjutan dari Kweekschool-A yang menggunakan Bahasa Belanba sebagai bahasa
pengantarnya sehingga mereka yang telah lulus dari Kweekschool-A dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi dan tidak hanya sebatas membantu mengajar di
Kweekschool-A saja. Atas dasar dukungan dari J. Martens S.J. yang dilayangkan kepada Provinsial di Belanda dan Jendral di Roma cita-cita mendirikan
Kweekschool-B tersebut akhirnya terwujud. Pada awalnya perkembangan Kweekschool-B sangat lambat. Istilah
sekolah Katolik dirasa masih asing bagi penduduk pribumi. Lama kelamaan murid di Muntilan semakin banyak. F. van Lith S.J. dan misonaris di Muntilan semakin
kewalahan. F. van Lith S.J. selalu menginformasikan segala kendalanya mengenai kekurangan tenaga pengajar kepada Jendral dan Provinsial. Berkat informasi
yang berkesinambungan mengenai perkembangan misi di Muntilan, kemudian pada tahun 1909 Provinsial mengirimkan tiga calon imam untuk menjalani Tahun
Orientasi Kerasulan di Muntilan. Diharapkan selain mengajar di Kweekschool-B para skolastika ini mampu mempelajari bahasa dan budaya masyarakat Jawa.
Selain di Muntilan, Mendut juga kembali dilirik oleh F. van Lith S.J. untuk dikembangkan menjadi daerah misi setelah kedatangan suster dari Ordo
Fransiskanes tepatnya tahun 1908. Di Mendut F. van Lith S.J. mencoba mendirikan sekolah bagi perempuan-perempuan pribumi. Tujuan dari pendirian
sekolah ini sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu untuk menyiapkan terbentuknya keluarga Kristiani yang kokoh. Harapan dari F. van Lith S.J. adalah ketika
41 perempuan-perempuan lulusan sekolah di Mendut ini menikah, mereka akan
menjadi pendidik anak mereka sehingga terwujud suatu keluarga Kristiani yang kokoh di masa depan nantinya. Dalam waktu yang singkat sekolah asrama yang
diperuntukkan bagi perempuan pribumi ini berkembang dengan pesat dan mendapat sebutan sekolah Mendut. Pada tahun 1911 sekolah tersebut sudah
memiliki 50 murid, pada tahun 1919 bertambah menjadi 250 murid, pada tahun 1939 bertambah lagi menjadi 500 murid. Memang segala macam kegiatan di
sekolah ini dilakukan oleh para suster, namun segala urusan administrasi diurus oleh yayasan “Asosiasi R. C. Kweekschool” yang didirikan pada tahun 1906 oleh
F. van Lith S.J.
34
Pada tanggal 30 September 1910 hingga 18 Maret 1911 kurang lebih selama enam bulan Provinsial Belanda yang bernama I. Vogels S.J. mengunjungi
Indonesia. Untuk pertama kalinya seorang Provinsial Belanda datang ke Indonesia sejak misi Indonesia dipercayakan kepada Jesuit Belanda. Kedatangan beliau
disertai dengan imam baru dan tiga skolastika yang akan bekerja di Muntilan. Ketika beliau melihat perkembangan yang sangat pesat di Muntilan, beliau
langsung mengusulkan supaya karya misi di Muntilan itu menjadi pelayanan utama para Jesuit di Indonesia. Bersamaan dengan kedatangan Provinsial Belanda
tersebut, Jenderal menyatakan bahwa Kweekschool Muntilan dijadikan sebagai Kolese Xaverius. Saat itu J. Martens S.J. ditunjuk sebagai rektor yang pertama.
35
Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang meyatakan bahwa sekolah swasta yang mendapatkan subsidi juga berhak mendapatkan
34
Ibid., hlm.158.
35
Ibid., hlm. 159.
42 pengakuan atau statusnya disamakan dengan sekolah negeri menjadikan dorongan
bagi F. van Lith S.J. untuk mengejar dan mendapatkan status tersebut. F. van Lith S.J. beberapa kali mengunjungi Bogor untuk bertemu dengan Gubernur Jenderal
A.F. van Indenburg 1909-1916. Kerja keras beliau ini akhirnya membuahkan hasil di mana sekolah Kolese Xaverius mendapat kunjungan Gubernur Jenderal
pada tanggal 11 Oktober 1911. Sebulan kemudiaan setelah kedatangan Gubernur Jenderal empat murid Kolese Xaverius menempuh ujian akhir dan lulus dengan
gemilang. Pada tanggal 25 Juni 1912, Kolese Xaverius mendapatkan pengakuan resmi statusnya telah disamakan dengan sekolah negeri.
36
F. van Lith S.J. tidak hanya berhenti sampai pada mendirikan sekolah umum saja. Melihat perkembangan iman yang mendalam dalam diri anak-anak
asrama Kolese Xaverius, F. van Lith S.J. tergerak untuk membangun suatu seminari di Muntilan. Dorongan ini muncul ketika seorang muridnya yang
bernama P.J. Darmosapoeto dan F.X. Satiman menemuinya untuk megutarakan niatnya menjadi seorang imam. Waktu itu di Indonesia belum ada seminari atau
sekolah calon . Keinginan tersebut kemudian diutarakan kepada Provinsial yaitu I. Vogels S.J. Sebelum terwujudnya seminari di Muntilan, F. van Lith S.J.
meminta kedua orang muridnya ini mengajar bahasa Melayu di Kolese Xaverius. Di sela-sela jam mengajar, kedua murid yang berkeinginan menjadi imam tersebut
diajari bahasa Latin dan Yunani oleh F. van Lith S.J. Pada tanggal 31 Mei 1912 Jenderal F. Wernz menyetujui dibukanya seminari di Muntilan. Hal ini merupakan
sebuah pencapaiaan yang luar biasa dari F. van Lith S.J. Masyarakat Jawa
36
Ibid., hlm.160.
43 tergerak hatinya menjadi imam tanpa sebuah pemaksaan. Mereka menjadi imam
karena terinspirasi oleh F. van Lith S.J. Karya di awal ini akan menginspirasi karya misi di daerah lain supaya berkembang nantinya. Banyak karya misi yang
nantinya juga berkembang pesat seperti di Muntilan. Tidak hanya sekedar meluluskan siswanya saja, kelak lulusan-lulusan sekolah Muntilan akan menjadi
pemimpin-pemimpin yang juga mampu memajukan masyarakat pribumi seperti F. van Lith S.J.
37
Semangat juang yang tinggi diperlihatkan F. van Lith S.J. kepada orang- orang di sekitarnya. Meskipun dalam kondisi sakit, beliau tetap berkarya di tengah
masyarakat Jawa. Pada tanggal 9 Januari 1926 sakit yang dideritanya semakin parah dan hingga pada akhirnya pada tanggal tersebut beliau meninggal dunia. F.
van Lith S.J. dimakamkan di makam Kerkop Muntilan. Di makam inilah
disemayamkan seorang teladan pendidik sejati.
37
Ibid., hlm. 190-192.
44
BAB IV DAMPAK DARI KARYA F. VAN LITH S.J. DALAM BIDANG
PENDIDIKAN BAGI MASYARAKAT JAWA
A. Bertambah Banyaknya Jumlah Pengikut Ajaran Katolik
Mensejahterakan dan memajukan perekonomian dan pendidikan merupakan cara yang sangat efektif dalam upaya melebarkan jalan menuju surga.
Keberhasilan misi di Jawa tidak bisa lepas dari usaha karya misioner F. van Lith S.J. Lewat metode yang tidak biasa dan banyak ditentang oleh berbagai kalangan,
beliau mampu membuktikan bahwa apa yang beliau kerjakan pasti membuahkan hasil. Jumlah baptisan dari kalangan pribumi menjadi tolok ukur keberhasilan
karya misi para misionaris. F. van Lith S.J. mampu membuktikan kepada para pemimpin misi bahwa keberhasilannya tidak hanya sebatas pada penambahan
jumlah umat Katolik, melainkan juga mencetak pemimpin-pemimpin gereja dari sekolah yang beliau bangun.
Jika melihat perkembangan jumlah umat yang masuk ke dalam ajaran Katolik, kita tidak bisa mengabaikan peranan dari para lulusan sekolah di
Muntilan dan Mendut. Keinginan banyak orang yang masuk ke dalam ajaran Katolik waktu itu banyak yang disebabkan karena mengalami sentuhan kasih dari
para misionaris dan para alumni sekolah di Mendut dan Muntilan. Banyak guru lulusan dari sekolah Muntilan dan Mendut yang dikaryakan di sekolah-sekolah
yayasan dan negeri yang mampu menginspirasi orang lain untuk bergabung dalam