16
BAB III KARYA F. VAN LITH S.J. DI JAWA
A. Mengawali Karya dengan Membongkar Kebobrokan Para Katekis
Pada tahun 1897, F. van Lith S.J. ditunjuk untuk menggantikan C. Stipouth di Muntilan. Selain Muntilan dan Magelang, daerah lain disekitarnya
seperti stasi Bedono dan Ambarawa dipercayakan kepadanya. Beliau tinggal di sebelah Sungai Lamat yang nantinya dijadikannya pusat misi. Di sebelah Utara
menjulang tinggi Gunung Merapi dan Merbabu. Candi Borobudur dan Candi Mendut menambah daya tarik Jawa bagi F. van Lith S.J. supaya tetap tinggal di
Muntilan. Suasana yang sedemikian nyamannya membawa F. van Lith S.J. jatuh cinta pada tanah Jawa beserta rakyatnya.
Pada waktu itu belum banyak yang bisa dilakukan oleh F. van Lith S.J. Beliau mengawali karya dengan melakukan observasi dengan mengunjungi
wilayah yang dikaryakan kepadanya. Beliau mencoba menyatu dengan masyarakat Jawa dan memulai karyanya dengan perbaikan kecil tapi berimbas
besar bagi perkembangan misi seterusnya. F. van Lith S.J. percaya bahwa keberhasilan karya misionarisnya di tanah Jawa sangat bergantung pada
penguasaan Bahasa Jawa. F. van Lith S.J. sangat mengagumi Bahasa Jawa yang sangat kaya akan keindahan. Menurut pendapat beliau, orang Jawa merupakan
salah satu suku bangsa yang senang bersemedi, memiliki perjalanan sejarah yang gemilang, kaya akan sastrawan dan penyair, suku yang banyak memiliki
pemimpin yang arif dan bijaksana, serta kaya akan pelaut dan pahlawan yang
17 tangguh dalam perang. Gending dan gamelan Jawa juga memiliki daya tarik
tersendiri baginya. Tidak ada waktu terbuang untuk tidak belajar. Dari makan pagi sampai makan malam digunakannya untuk belajar. Sesekali beliau meluangkan
waktu untuk berjalan-jalan di sekitar Muntilan untuk membaur dengan masyarakat sekitar.
13
Saat kedatangan F. van Lith S.J. di Muntilan, karya misi dikelola oleh seorang katekis bernama Josaphat Martodirejo setelah mendapat kepercayaan dari
pimpinan misi yaitu G. Helling S.J. F. Voogel S.J. yang sebelum F. van Lith S.J. bertugas melayani di daerah Magelang berpendapat lain. Josaphat Martodirejo
merupakan seorang yang korup, malas, senang berhutang dan yang ada dalam pikirannya bukan agama, melainkan hanya uang menurut pendapat beliau.
Pendapat F. Vogel S.J. ini akhirnya dibenarkan oleh F. van Lith S.J. ketika beliau mulai membaur dengan masyarakat sekitar untuk melihat perkembangan misi di
Muntilan dan belajar bahasa, kebudayaan, kebuasaan hidup orang Jawa dengan Josaphat Martodirejo.
Saat belajar Bahasa Jawa dengan Josaphat Martodirejo, kebusukan dan kecurangan yang dilakukan oleh katekis ini terbongkar semua. Sebenarnya
Josaphat Mertodirejo sudah menerima uang sebanyak ƒ. 15 dari C. Stiphout S.J.
untuk membeli sebidang tanah yang akan digunakan sebagai pemakaman umum umat Katolik di Muntilan. Akan tetapi, ternyata uang tersebut tidak digunakannya
untuk membayar tanah tersebut. Uang tersebut ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya saja. Kebusukan dan kecurangan ini terungkap pada bulan
13
Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J., op. cit., hlm. 10.
18 Oktober 1897.
14
Selain itu, atas perintah F. van Lith S.J. juga sebenarnya Martodirejo sudah diberikan uang sebanyak
ƒ. 70 untuk menebus sawah yang terlebih dahulu digadaikan oleh orang-orang Katolik. F. van Lith S.J. berpendapat
bahwa ketika sawah yang digadaikan oleh rakyat ditebus maka penghasilan mereka meningkat. Selain itu, sebagai timbal baliknya pastoran memperoleh
pemasukan sedikit dari sistem bagi hasil dari apa yang dihasilkan oleh sawah yang ditebus. Pada tahun 1898 terungkap bahwa uang yang seharusnya untuk
membayar tanah tersebut digunakan oleh Josaphat Martodirejo untuk membeli opium karena dia sudah kecanduan.
Melihat apa yang sudah terjadi di Muntilan, F. van Lith S.J. mengarahkan perhatian ke daerah lain seperti Amabarawa dan Bedono. Beliau khawatir apabila
kejadian buruk seperti di Muntilan juga terjadi di tempat-tempat tersebut. Beliau menilai bahwa kebanyakan dari para katekis yang ada di Ambarawa dan Bedono
juga melakukan hal demikian. Pada awal penyelidikannya, beliau memeriksa inventaris misi di sana. Beliau menanyakan soal tanah yang dibeli oleh katekis
yang bernama Martinus. Katekis ini diberikan kepercayaan supaya mengelola tanah yang dibeli oleh misi yang kemudian digunakan oleh orang-orang Katolik
untuk mencukupi kebutuhan mereka. Tarnyata tanah yang dibeli oleh katekis Martinus tidak ada dan orang-orang Katolik di sana kebanyakan memeluk Agama
Katolik karena godaan uang yang dibagikan oleh katekis Martinus. Sebagai contoh, sejumlah besar orang yang telah dibabtis hanyalah untuk megelabuhi para
misionaris. Banyak orang memang telah dibabtis untuk menunjukan betapa besar
14
MAWI, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jakarta, Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia, 1974, hlm. 849.
19 dan kerja keras usaha para katekis dalam melebarkan kerajaan Allah sehingga
pantaslah jika mereka mendapatkan gaji. Kenyataannya mereka dibabtis dan menjadi Katolik tanpa pengajaran agama yang tepat serta hanya karena sogokan
dari para katekis.
15
Tidak hanya berhenti pada katekis Martinus, F. van Lith S.J. mulai mengarahkan penyelidikannya pada Y. Vrede. Menurut berita dari misi pusat, Y.
Vrede telah diberikan uang sebesar 1.500 untuk membangun Gereja di Bedono dan untuk membeli kuda. Akan tetapi, ketika F. van Lith S.J. datang ke sana
Gereja dan kudanya tidak ada. Setelah mengakui segala kesalahannya Y. Vrede meninggalkan Bedono dan F. van Lith S.J.
16
Sebenarnya bagi F. van Lith S.J. uang yang telah diselewengkan oleh para katekis tidaklah terlalu penting. Yang terpenting bagi beliau adalah bagaimana
menyikapi pemahaman masyarakat soal Agama Katolik yang sangat dangkal. Beliau melihat bahwa ternyata pengajaran agama yang menggunakan Bahasa
Belanda kurang efektif. Masyarakat Jawa hanya sebatas tau itu sebuah doa yang diajarkan oleh katekis tetapi belum sampai pada tahapan memahami dan meresapi
makna di balik sebuah doa yang diajarkan. Seperti halnya ketika beliau mengunjungi Bedono, dalam catatan hariannya:
“Bangunan gereja masih sangat sederhana. Stasi Bedono memang masih sangat muda. Umat dari stasi ini juga masih sangat sederhana. Tempat pengakuan dosa terdiri dari satu
kursi dan satu bangku doa; sungguh memprihatinkan lagi adalah mereka yang datang kepadaku. Aku duduk di kursi, dan satu demi satu mereka datang mengaku dosa. Mereka
berlutut di bangku doa dan mengucapkan kata yang sama Pater Noster lalu pergi. Ketika aku mengajukan pertanyaan:
”apa kamu bohong?”, lalu mereka menjawab “tidak”, tapi kebanyakan dari mereka mengulangi menjawab perkataan tadi, Pater Noster
”.
17
15
Fl. Hasto Rosarianto, op. cit., hlm. 119.
16
Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J. op. cit., hlm. 12-13.
17
Fl. Hasto Rosariyanto, op. cit. hlm. 118.
20 Hal ini menunjukan bahwa sangat penting bagi para misioner untuk lebih
menyelami budaya masyarakat Jawa. Doa dan nyanyian yang menggunakan Bahasa Belanda harusnya diubah ke dalam Bahasa Jawa. Selain itu, harus
disesuaikan pula dengan tata cara penulisannya. Mengucapkan sebuah doa tidak hanya sekedar mengucapkan tetapi haruslah dengan menghayatinya. Jika
masyarakat Jawa masih menggunakan doa dengan Bahasa Belanda mereka tidak akan bisa memahami makna dari doa tersebut. Hal ini diperparah dengan tidak
banyak orang pribumi yang mengerti dan dapat berbahasa Belanda. Pada saat yang sama, P. Hovenaars S.J. ditugaskan menjalankan misi di
antara orang Jawa di Yogyakarta melanjutkan karya P. Palinckx S.J. Di Yogyakarta sudah ada sekitar 100 orang yang telah dibaptis oleh G. Hellings S.J.
dan L. Hebrans S.J. Meskipun baru satu bulan mengawali karyanya di Yogyakarta, P. Hovenaars S.J. sudah mampu mempermandikan 62 orang yang
sudah menjalani pengajaran Agama Katolik. Akan tetapi, seperti sudah diramalkan oleh J. Palinckx S.J. bahwa kelak P. Hovenaars S.J. akan mengalami
kendala. Suatu ketika P. Hovenaars S.J. dipanggil oleh Residen J.A. Ement yang berada di Yogyakarta. Residen J.A. Ement mengatakan Sri Sultan Hamengku
Buwono VII menolak segala kegiatan misi di Yogyakarta. Saat itu sudah jelas bahwa memang kesultanan Yogyakarta adalah kerajaan bercorak Islam. Namun,
apa yang diutarakan oleh Resident J.A. Ement tidaklah benar. Sebenarnya yang tidak suka dengan keberadaan misi di Yogyakarta adalah Residen J.A. Ement
sendiri. Menurut Patih, Sri Sultan Hamengku Buwono VII sudah menasehati Residen J.A. Ement supaya tidak melarang karya misionaris di Yogyakarta, tetapi
21 tidak didengarkan dan sebagai imbasnya adalah P. Hovenaars S.J. harus
dipindahkan ke Semarang dan berkarya di daerah Barankaring dekat Kudus.
18
Setelah kepergian P. Hovenaars S.J., memang terungkap bahwa sebenarnya orang-orang yang bersedia dibaptis di Yogyakarta hanya mencari
keuntungan materiil saja. Meskipun P. Hovenaars S.J. tidak lama berkarya di Yogyakarta, namun beliau juga bisa bergaul dengan orang-orang yang baik yang
nantinya membukakan jalan bagi misi di Yogyakarta. Salah satu orang baik yang beliau temui adalah Pengeran Ario Sasraningrat, putera dari Paku Alam III.
Beberapa putera dan abdi Pangeran Sasraningrat akan menjadi Katolik dan memainkan peran penting bagi perkembangan umat Katolik di Yogyakarta.
19
Melihat kebobrokan katekis yang secara tidak langsung telah mencoreng wajah misi di Indonesia, beberapa yang masih menginginkan mukjizat akan
keberhasilan misi di Jawa berkumpul di Magelang. Pada tanggal 20 Desember 1988 F. van Lith S.J., P. Hovenaars S.J., dan E. Engbers S.J. duduk bersama untuk
membahas bagaimana baiknya menyikapi kejadian yang buruk tersebut. Dalam perundingan tersebut mereka berpendapat bahwa jika pusat misi masih berada di
Semarang, perkembangan akan kurang baik karena terlalu jauh dengan daerah misi yang banyak mengalami perkembangan. Mereka berpendapat bahwa daerah
Kedu terutama yang berdekatan dengan Muntilan akan didirikan sebuah daerah misi baru. Pemilihan tempat haruslah tepat mengingat harus dekat dengan
Yogyakarta, Muntilan, Semarang, serta daerah tersebut harus memiliki prospek yang baik untuk perkembangan misi. Hal tersebut perlu dipertimbangkan
18
Karel Steenbrik, Orang-Orang Katolik Di Indonesia 1808-1942, Maumere, Lederado, 2006, hlm. 367-370.
19
MAWI, op. cit., hlm. 848.
22 mengingat kegiatan misi masih saling berkaitan dan daerah satu dengan daerah
lain harus memiliki koordinasi dan kerjasama yang baik demi kelancaran misi. Pada bulan Mei 1899 dibelilah sebuah pabrik minyak kacang yang
bangkrut di daerah Mendut sekitar 3 km dari Borobudur dan 10 km dari Muntilan. P. Hovenaars S.J. dan P. Hebrans S.J. menetap di sana dengan murid-murid
sekolah guru dari Semarang. Gereja dan sekolah di Lamper dibongkar dan dibawa ke Muntilan. Andreas Manasse yang sebelumnya mengajar di sana pada akhirnya
juga dipindah ke sana. Tidak lama setelah bersama di Mendut, kini tinggallah sendiri P. Hovenaars S.J. karena rekannya dipindah ke Semarang dan ada juga
yang dipulangkan ke negeri Belanda karena alasan kesehatan. Saat ini tinggal 2 orang yang masing-masing memiliki karakteristik serta cara yang berbeda namun
berdekatan letaknya yang mengemban misi yang berat serta memiliki tanggung jawab besar terhadap keberhasilan misi.
B. Pertentangan Antara P. Hovenaars S.J. Dengan F. van Lith S.J.