Sejarah karya F. Van Lith S.J. di Jawa 1896-1926.

(1)

ABSTRAK

SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J. DI JAWA 1896-1926

Bernadus Brurry Nugroho Universitas Sanata Dharma

2015

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan tiga permasalahan pokok, yaitu:1. Latar belakang kehidupan dari F. van Lith S.J. 2. Karya misioner F. van Lith S.J. dalam bidang pendidikan. 3. Dampak dari pendidikan yang diberikan F. van Lith S.J. bagi orang-orang Jawa.

Melalui studi pustaka yang ditulis secara deskriptik analitis diperoleh hasil sebagai berikut: 1. F. van Lith lahir pada 17 Mei 1863 di Oirschot, Belanda, bercita-cita menjadi imam Jesuit, ditahbis menjadi imam pada tanggal 8 September 1894, kemudian dikirim ke Belgia untuk menjalani masa tersiat. 2. F. van Lith S.J. dikirim ke Jawa untuk berkarya di Hindia Belanda dengan membangun: Kweekschool-A, Kweekschool-B, Kolese Xaverius, dan seminari di Muntilan. 3. Dampak dari karyanya berupa munculnya para pemimpin dan kader-kader penerus yang berperan pada karya misioner dan perjuangan Bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan.


(2)

ABSTRACT

THE WORK HISTORY OF F. VAN LITH S.J. IN JAVA 1896-1926

Bernadus Brurry Nugroho Sanata Dharma University

2015

This paper aims to describe three basic problems, namely: 1. The background of the life of F. van Lith S.J. 2. The missionary work of F. van Lith S.J. in the field of education. 3. The impact of education provided F. van Lith SJ for the people of Java.

By means of library study, the research results are as follows: 1. F. van Lith was born on May 17, 1863 in Oirschot, Netherlands, aspires to be a Jesuit priest, was ordained to the priesthood on September 8, 1894, then sent to Belgium for a period tertianship. 2. F. van Lith S.J. sent to Java to work in the Dutch East Indies to build: Kweekschool-A, Kweekschool-B, Xavier College and seminary in Muntilan. 3. The impact of his works include the emergence of leaders and cadres successor whose role in missionary work and struggle of the Indonesian nation to achieve independence.


(3)

SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J.

DI JAWA 1896-1926

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

BERNADUS BRURRY NUGROHO 101314001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J.

DI JAWA 1896-1926

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

BERNADUS BRURRY NUGROHO 101314001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

PERSEMBAHAN

Makalah ini saya persembahkan kepada:

Kedua orang tuaku Bapak A.P. Marsin Nugroho dan Ibu Martha Tuminem yang telah membesarkanku, kedua adikku Bernadetha Sundari Nugroho dan Theodora Tiris Wigati serta tidak lupa yang tersayang Theresia Jabut yang selalu mendewasakanku dan menguji kesabaranku dengan segala kelebihan dan kekurangannya.


(8)

v

MOTTO

“Ketuklah maka kamu akan dibukakan pintu, mintalah maka kamu akan diberi, berusahalah maka kamu akan meraih apa yang kamu dambakan”

(Bernadus)

“Jadilah garam yang bukan hanya mengasinkan lautan saja” (Brurry)

„„Jangan berjalan di depanku karena aku tak mau mengikutimu, jangan berjalan di belakangku karena aku tak ingin memimpinmu, berjalanlah di sampingku dan

jadilah temanku” (Albert Camus)


(9)

(10)

(11)

viii

ABSTRAK

SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J. DI JAWA 1896-1926

Bernadus Brurry Nugroho Universitas Sanata Dharma

2015

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan tiga permasalahan pokok, yaitu:1. Latar belakang kehidupan dari F. van Lith S.J. 2. Karya misioner F. van Lith S.J. dalam bidang pendidikan. 3. Dampak dari pendidikan yang diberikan F. van Lith S.J. bagi orang-orang Jawa.

Melalui studi pustaka yang ditulis secara deskriptik analitis diperoleh hasil sebagai berikut: 1. F. van Lith lahir pada 17 Mei 1863 di Oirschot, Belanda, bercita-cita menjadi imam Jesuit, ditahbis menjadi imam pada tanggal 8 September 1894, kemudian dikirim ke Belgia untuk menjalani masa tersiat. 2. F. van Lith S.J. dikirim ke Jawa untuk berkarya di Hindia Belanda dengan membangun: Kweekschool-A, Kweekschool-B, Kolese Xaverius, dan seminari di Muntilan. 3. Dampak dari karyanya berupa munculnya para pemimpin dan kader-kader penerus yang berperan pada karya misioner dan perjuangan Bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan.


(12)

ix

ABSTRACT

THE WORK HISTORY OF F. VAN LITH S.J. IN JAVA 1896-1926

Bernadus Brurry Nugroho Sanata Dharma University

2015

This paper aims to describe three basic problems, namely: 1. The background of the life of F. van Lith S.J. 2. The missionary work of F. van Lith S.J. in the field of education. 3. The impact of education provided F. van Lith SJ for the people of Java.

By means of library study, the research results are as follows: 1. F. van Lith was born on May 17, 1863 in Oirschot, Netherlands, aspires to be a Jesuit priest, was ordained to the priesthood on September 8, 1894, then sent to Belgium for a period tertianship. 2. F. van Lith S.J. sent to Java to work in the Dutch East Indies to build: Kweekschool-A, Kweekschool-B, Xavier College and seminary in Muntilan. 3. The impact of his works include the emergence of leaders and cadres successor whose role in missionary work and struggle of the Indonesian nation to achieve independence.


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan restu-Nya sehingga makalah yang berjudul “Sejarah Karya F. van Lith S.J. di Jawa 1896-1926” pada akhirnya bisa terselesaikan dengan baik. Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

Penulisan karya ini tentunya tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan dari banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini, penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.

3. Bapak Drs. B. Musidi M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, dampingan, dan dukungan dalam pelaksanaan penulisan makalah ini.

4. Seluruh dosen dan pihak sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan motivasi, semangat, pengarahan serta masukan selama penyusunan makalah ini.


(14)

(15)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... . i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... . ii

HALAMAN PENGESAHAN ... . iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... . iv

HALAMAN MOTTO ... . v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... . vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... . vii

ABSTRAK ... . viii

ABSTRACT ... . ix

KATA PENGANTAR ... . x

DAFTAR ISI ... . xii

DAFTAR LAMPIRAN ... . xiv

BAB I PENDAHULUAN ... . 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penulisan... 6

D. Manfaat Penulisan... 7

E. Sistematika Penulisan... 7

BAB II Latar Belakang Kehidupan F.van Lith S.J... 9

A.Kehidupan Masa Kecil F. Van Lith S.J. Hingga Menjadi Seorang Imam Jesuit... 9

B. Penunjukan F. van Lith S.J. ke Tanah Misi di Jawa... 11

C.Keadaan Misi di Jawa... 11

BAB III Karya F. van Lith S.J. di Jawa ... 16

A. Mengawali Karya Dengan Membongkar Kebobrokan Para Katekis... 16


(16)

xiii

B. Pertentangan Antara Hovenaars S.J. Dengan F. van Lith

S.J... 22

1. Masalah Metode... 23

2. Masalah Doa Bapa Kami... 27

3. Masalah Jumlah Baptisan... 30

C. F. van Lith S.J. Pendidik Kaum Pribumi... 37

BAB IV Dampak Karya F.van Lith S.J. Dalam Bidang Pendidikan Bagi Masyarakat Jawa... 44

A. Bertambah Banyaknya Jumlah Pengikut Ajaran Katolik ... 44

B. Munculnya Pemimpin Asli Jawa... 46

BAB V KESIMPULAN... 54

DAFTAR PUSTAKA... 58


(17)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Silabus ... 59 Lampiran 2: RPP ... 62


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Mulai tahun 1808 banyak imam dari Negeri Belanda datang ke Indonesia untuk memulai karya misionernya. Pada tahun tersebut tanah misi di Indonesia berada di bawah tanggung jawab Gereja Katolik di Belanda. Pada babak awal karya misionernya mereka mengalami kegagalan. Kegagalan yang dialami oleh para misionaris antara lain karena pembatasan-pembatasan yang dilakukan pemerintah Belanda. Misionaris yang dikirim ke Indonesia lebih besar kaitannya dengan kepentingan pemerintahan dibandingkan dengan kepentingan misi.

Perubahan yang signifikan terjadi ketika Paus menetapkan berdirinya Vikariat Apostolik Batavia pada tanggal 20 September 1842. Mgr. Jacobus Groff S.J. ditetapkan sebagai Vikaris Apostolik (Uskup)-nya yang pertama. Kebijakan pendirian Vikariat Apostolik Batavia oleh Paus tidak lain adalah untuk memajukan karya misi di Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Kebijakan tersebut muncul karena Paus melihat bahwa banyak penduduk Eropa yang ada di tanah Jawa serta jumlah populasi penduduk Jawa lebih banyak dari daerah lain sehingga akan memungkinkan terwujudnya keberhasilan karya misi di sana. Pada waktu itu karya misionaris dikatakan berhasil apabila banyak orang pribumi khususnya yang memeluk Agama Katolik dan turut serta dalam karya para misionaris.1

1

G. Moedjanto, dkk, Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang,


(19)

Pada bagian awal karya misioner di Hindia Belanda mengalami kegagalan. Jumlah orang Jawa yang sudah beragama Katolik masih sedikit. Sebagian besar pemeluk Agama Katolik adalah orang-orang Eropa. Selain itu, misionaris yang ada di Kepulauan Indonesia waktu itu sebatas untuk bekerja pada pemerintah kolonial dan jumlah merekapun sangat sedikit. Para misionaris didatangkan dan dipekerjakan di wilayah jajahan dan sekaligus tanah misi untuk melayani kebutuhan orang-orang Eropa dan keturunannya yang ada di daerah kekuasaan pemerintah kolonial.2

Jumlah misionaris yang sedikit merupakan akibat dari adanya aturan yang menyatakan bahwa pengiriman para misionaris ke wilayah Hindia Belanda jika ada permintaan dari Gubernur Jenderal yang berkuasa di sana saja. Pembatasan-pembatasan ini dilakukan untuk menjaga kekuasaan dari pemerintah kolonial dengan orang pribumi atau bahkan penguasa lokal tetap berjalan dengan baik. Larangan tersebut juga berlaku di Pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda tidak ingin merusak hubungan yang sudah terjalin baik dengan penguasa lokal di Pulau Jawa menjadi buruk seperti ketika terjadi perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dan sekutunya. Pertentangan antara Pangeran Diponegoro dengan pemerintah Hindia Belanda tersebut mengakibatkan melemahnya perekonomian dan pemerintah Hindia Belanda terbelit hutang. Pemerintah Hindia Belanda juga tidak menginginkan pemimpin lokal melakukan pemberontakan seperti yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dan komplotannya. Alasannya

2


(20)

3

adalah orang Jawa masih memegang kepercayaan bahwa pemimpin masyarakat pada waktu itu juga menjabat sebagai pemimpin agama.3

Selain jumlah misionaris yang kurang mencukupi untuk wilayah kepulauan Indonesia, para misionaris juga lebih banyak yang bekerja kepada pemerintah Belanda yang ada di Indonesia karena motif ekonomi saja dan bukan untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada masyarakat pribumi. Demikian juga yang terjadi di Jawa, para misionaris juga berkarya di antara orang Eropa di Jawa dan hanya untuk mengejar upah meskipun sebenarnya hasil atau gaji yang diterima digunakan lagi untuk memperlancar misinya. Selain itu, banyak kalangan misionaris tidak mau berpindah tempat ke daerah misi yang baru dan meninggalkan daerah sebelumnya karena mereka sudah nyaman dan pesimis dengan keadaan di Pulau Jawa.

Ketika J. Keijer S.J. mengawali misinya di Pulau Jawa pada tahun 1894, beliau juga menjabat sebagai pemimpin para misionaris yang ada di Pulau Jawa. Waktu itu wilayah misi Jesuit Belanda masih meliputi seluruh Kepulauan Indonesia. Dalam menjalankan karya misionernya J. Keijer S.J. dibantu oleh dua katekis yang bernama M. Taffer dan J. Vreede yang telah menguasai Bahasa Jawa. Kedua katekis ini baru saja masuk Agama Katolik dan sebelumnya mereka memeluk Agama Kristen. Perkembangan mulai terlihat dalam kurun waktu 1894-1895 ada 340 orang Jawa diterima sebagai warga Katolik. Pada tahun 1896, di Mlaten dan Nglamper (Semarang) dibuka dua sekolah kecil. Sebuah kursus guru

3

Fl. Hasto Rosarianto, Van Lith Pembuka Pendidikan Guru di Jawa Sejarah 150 tahun Serikat Jesus di Jawa, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, 2009, hlm. 93.


(21)

katekis juga dibuka di Gedangan pada tahun 1897.4 Berawal dari keberhasilan inilah yang mendorong munculnya usulan yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda dan pusat misi di Belanda supaya menambah misionaris yang ada di Pulau Jawa. Pada akhirnya dikirimlah empat orang misionaris dari Belanda untuk wilayah Hindia Belanda. Tiga orang romo untuk meluaskan karya misi di Jawa yaitu E. Engbers S.J., P. Hovenaars S.J., F. van Lith S.J. yang nantinya menjalani misi di Mendut dan Muntilan, serta P. Frencken S.J. satu-satunya misionaris yang dikirim ke daerah Larantuka.5

Kota Muntilan merupakan kota yang dianggap sebagai tonggak awal keberhasilan karya misionaris di Pulau Jawa. Muntilan merupakan salah satu Paroki di bawah Vikariat Apostolik Batavia. Di kota Muntilan inilah didirikan Kolose Xaverius Muntilan. Pendiri Kolese Xaverius Muntilan adalah seorang misionaris Jesuit yang bernama F. van Lith S.J. Sekolah yang didirikan di Muntilan ini merupakan wujud dari keinginan F. van Lith S.J. yang ingin membela masyarakat pibumi dari penindasan dan kesengsaraan pada masa pendudukan Belanda di Hindia Belanda.

F. van Lith S.J. ingin mengubah keadaan karya misi di Pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Waktu masih muda, F. van Lith S.J. sudah menjadi seorang yang bijaksana seperti ketika beliau menolak bekerja sebagai penarik pajak. Beliau menginginkan perubahan bentuk karya misioner yang ada di Indonesia pada waktu itu, supaya tidak hanya sebatas melayani orang-orang Belanda dan mengkatolikkan orang pribumi tetapi juga memperjuangkan hak-hak

4

G. Moedjanto, dkk, op. cit., hlm.16-18.

5


(22)

5

orang pribumi untuk maju dan mendapat pengakuan dari perintah Hindia Belanda. F. van Lith S.J. yakin bahwa tidak akan ada keberhasilan karya misioner di Indonesia dan Jawa khususnya jika para misionaris tidak mampu memberikan kemakmuran bagi masyarakat pribumi.6

Hak mendapatkan pendidikan bagi kaum pribumi merupakan salah satu tujuan yang sedang diupayakan oleh F. van Lith S.J. Beliau ingin memperbaiki taraf hidup masyarakat pribumi dengan pendidikan yang berorientasi pada lulusan sekolahnya yang nantinya bisa menjadi seorang guru dan calon pemimpin bagi masyarakat Jawa. Selain itu, beliau juga mengajak para misionaris supaya lebih menghargai dan belajar tradisi yang ada dalam masyarakat Jawa sehingga mempermudah jalan menuju keberhasilan misinya. Tradisi Jawa bisa dijadikan sarana penyebaran misi agama. Menyatu dengan masyarakat pribumi menjadi jalan menjalin relasi yang sangat kokoh dengan masyarakat pribumi. Hidup sebagai seorang guru yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain menjadi ciri khas F. van Lith S.J.

Perdebatan dan pertentangan mengenai cara beliau dalam melayani masyarakat Jawa sering kali muncul. Rekan kerjanya P. Hovenars S.J. dan para katekis adalah tantangan pertama yang harus dihadapi ketika F. van Lith S.J. mengawali karya misionernya. Akan tetapi, beliau mampu membuktikan bahwa apa yang dilakukannya benar dan membuahkan hasil banyak benih yang tumbuh dalam masyarakat pribumi dari apa yang telah beliau rintis. Mereka kelak akan menjadi para pemimpin dan kader penerus yang mampu membawa perbaikan

6

Hubertus Josephus Willbrordus Maria Boelaars, Indonesianisasi , Yogyakarta, Kanisius, 2005, hlm. 109-110.


(23)

kehidupan masyarakat pribumi juga. Seluruh perjuangan beliau tidak sia-sia dan bahkan membawa angin segar bagi perkembangan misi di Pulau Jawa selanjutnya. Oleh sebab itu, sudah layak dan sepantasnya apa yang telah dikaryakan oleh F. van Lith S.J. ini di kaji kembali.

Kehadiran F. van Lith S.J. di Pulau Jawa memberikan sumbangsih yang begitu besar bagi kemajuan kehidupan manusia di Jawa. Banyak karya misionernya yang banyak berpengeruh positif bagi perkembangan masyarakat Jawa. Dalam karya tulis ini penulis lebih menyoroti bagaimana karya F. van Lith S.J. ketika sampai di Indonesia hingga wafat yakni tahun 1896-1926. Dikarenakan F. van Lith S.J. merupakan salah satu pendiri pendidikan bagi kaum pribumi yang beragama Katolik dan non Katolik baik laki-laki maupun perempuan di Jawa, maka penulis mengangkat karya tulis yang berjudul “Sejarah Karya F. van Lith S.J. di Jawa 1896-1926”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang kehidupan F. van Lith S.J.?

2. Bagaimana karya dari F. van Lith S.J. dalam hal pendidikan bagi masyarakat di Jawa?

3. Apa saja dampak dari karya F. van Lith S.J. dalam bidang pendidikan bagi masyarakat di Jawa?


(24)

7 C. Tujuan Penulisan

1. Mendeskripsikan bagaimana latar belakang kehidupan F. van Lith S.J. sebelum datang ke Indonesia.

2. Mendeskripsikan bentuk usaha dan karya dalam bidang pendidikan F. van Lith S.J. bagi para penduduk Jawa serta kemajuan karya misionarisnya. 3. Mendesripsikan dampak dari usaha F. van Lith S.J. dalam

mengembangkan pendidikan di antara orang pribumi.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, karya ilmiah ini akan membuka khasanah tentang sejarah karya dari F. van Lith S.J. di Jawa.

2. Bagi lembaga pendidikan, diharapkan penulisan karya ilmiah ini menyumbang informasi baru bagi dunia pendidikan.

3. Penulisan ini menjadi ajakan bagi generasi muda untuk semakin mengerti dan memprioritaskan pendidikan bagi dirinya, orang lain, alam dan negara. 4. Bagi penulis menjadi sebuah tuntunan supaya tetap mendedikasikan hidupnya bagi dunia pendidikan, selalu taat akan sebuah aturan dan selalu pantang menyerah dalam melakukan sebuah usaha untuk hidupnya, orang lain serta bangsa dan negara.

E. Sistematika penulisan

Makalah yang berjudul “SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J. DI JAWA 1896-1926” memiliki sistematika penulisan sebagai berikut:


(25)

BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penulisan karya ilmiah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan.

BAB II : Perjalanan hidup F. van Lith S.J. sebelum menjadi seorang imam Jesuit.

BAB III : Karya F. van Lith S.J. dalam pendidikan di Jawa.

BAB IV : Dampak dari karya F. van Lith S.J. dalam bidang pendidikan bagi masyarakat Jawa.


(26)

9

BAB II

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN F. VAN LITH S.J.

A. Kehidupan Masa Kecil F. van Lith S.J. Hingga Menjadi Seorang Jesuit

F. van Lith lahir pada tanggal 17 Mei 1863 di Oirschot, sebuah kota kecil di antara kota Tilburg dan Endhoven, di Propinsi Brabant, Belanda Selatan. Pada saat dia berumur 4 tahun keluarganya pindah ke Kota Eindoven. Ayahnya bekerja sebagai seorang juru sita di kota tersebut. Pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang diwariskan oleh ayahnya. Seperti halnya sebuah tradisi, kelak F. van Lith juga akan diwarisi pekerjaan tersebut. Akan tetapi, F. van Lith ingin menjadi guru sekolah atau bahkan menjadi seorang imam.7

Kota Eindhoven merupakan pusat kebudayaan dan perdagangan pada waktu F. van Lith muda atau sekitar tahun 1870. Selain itu, Kota Eindhoven merupakan kota terbesar di Nort Brabanth. Dahulunya kota Brabath adalah kota yang cukup besar dengan ribuan penduduknya serta menjadi kota dagang dan pusat kebudayaan. Akan tetapi, pada saat itu kota Brabanth menjadi medan perang antar agama (Katolik melawan Kristen Protestan). Tidak hanya itu, kekuasaan asing dan taufan juga silih berganti menggempur arca-arca gereja di sana. Meskipun Kota Brabanth sudah hancur lebur, semangat dan keberanian masyarakat di sana tak kunjung padam. Suatu ketika kemenangan bagi penduduk Brabanth muncul, yaitu ketika kebebasan untuk memeluk Agama Katolik hadir.

7


(27)

Meskipun pada akhirnya mereka terbelakang dalam hal materi, akan tetapi mereka kaya akan jiwa Katolik mereka.

Watak welas asih, bijaksana, murah hati dan pekerja keras menjadi modal awal semangatnya untuk menjadi seorang Jesuit yang baik di antara orang Jawa nantinya. Dia menolak keinginan orang tuanya untuk meneruskan tradisi sebagai juru sita. F. van Lith tidak ingin menjadi “duri dalam daging” bagi sesamanya. Jika dia menjadi seorang juru sita, pasti akan gemar menyakiti orang serta mengusir orang seenaknya saja dan hal itu adalah sesuatu yang amat tidak diinginkannya.

Karena ingin mengejar cita-citanya menjadi seorang guru, akhirnya F. van Lith memutuskan untuk masuk sekolah Latin yang dipimpin oleh tuan Gemert. F. van Lith muda kemudian mengikuti kursus di sana dan belajar dengan tekun. Dalam dua tahun, dia mampu menyelesaikan kursus yang seharusnya empat tahun ditempuhnya. F. van Lith sangat gemar membaca buku. Kebanyakan dari bacaannya adalah mengenai keagamaan, khususnya tentang Agama Katolik. Dalam benaknya muncul keinginan supaya Agama Katolik dapat berkembang dengan pesat. Ketika F. van Lith membaca mengenai bagaimana perlawanan para Jesuit menentang kritik yang ditujukan kepada mereka, terbesit dalam hatinya untuk menjadi seorang Jesuit.8

Setelah menyelesaikan kursusnya di tempat tuan Gamert, F. van Lith melanjutkan belajar di novisiat milik imam-imam Jesuit di Marindal dekat Grave.

8

Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J., Manunggal Dengan Rakyat Dasar mengrasul Romo Van Lith S.J. Pendiri Misi Jawa Tengah 1863-1926, Yogyakarta, Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J, 1979, hlm. 5-6.


(28)

11

Di sana F. van Lith terkenal sebagai pribadi yang penyendiri dan pemalu. F. van Lith menyadari bahwa sifatnya itu tidak baik bagi kariernya kelak jika menjadi seorang imam. Dia berusaha menghilangkan kebiasaan buruk tersebut dengan berlatih seni berpidato. Lambat laun kebiasaan buruknya itu hilang dengan sendirinya.

Setelah menyelesaikan proses belajarnya bersama dengan para Jesuit di Marindal, F. van Lith melanjutkan studi filsafat di Inggris. Dia menjalani studi di Stonyhurst, Inggris selama 3 tahun. Sepulangnya dari Inggris F. van Lith. menjalani Orientasi Kerasulan sebagai seorang guru matematika dan Bahasa Inggris di Kolese Katwick. Selama mengajar di Kolese Katwich F. van Lith dikenal sebagai pribadi yang sederhana, murah hati, jujur, adil, dan tegas oleh murid dan sesama guru. Setelah menyelesaikan tugasnya di Kolese Katwich, F. van Lith melanjutkan studi Teologi di Maastricht. Barulah setelah tiga tahun F. van Lith dapat menyelesaikan studi Teologinya. F. van Lith ditahbis menjadi imam pada tanggal 8 September 1894. Satu tahun sesudah ditahbis menjadi seorang imam, F. van Lith S.J. dikirim ke Drongen, Belgia, untuk memulai tersiat. Hal yang tidak terduga harus dijalani seorang Jesuit baru ini. F. van Lith S.J dikirim ke Jawa untuk menjalankan misinya sebagai seorang misionaris. Karena beliau seorang yang taat kepada perintah pemimpin misi dan aturan sebagai seorang misionaris, akhirnya beliau menjalankan perintah untuk berkarya di Hindia Belanda. 9

9


(29)

B.Penunjukan F. van Lith S.J. ke Tanah Misi di Jawa

F. van Lith S.J. sudah mengetahui kemungkinan besar jika dia akan dikirim ke tanah misi. Kemungkinan tersebut sudah tergambar dalam benak F. van Lith S.J. sejak dia masih berada di Maastricht (1891-1894). Sering kali saat sedang makan para misionaris dibacakan surat yang berasal dari Jawa. Isi dari surat tersebut mengenai tantangan, perkembangan dan keberhasilan misi di Jawa. Pada akhirnya benarlah apa yang ada dalam pikiran F. van Lith S.J. bahwa akhirnya dia ditunjuk sebagai calon misionaris yang dikirim ke Jawa bersama dengan dua Misionaris lainnya pada bulan Agustus 1896. F. van Lith S.J. menerima sebuah pesan singkat dari Provinsialnya yang bernama H. van den Boogaard S.J. pada tanggal 18 Agustus 1896, dan waktu itu beliau sedang berada di Nijmegen. Dalam surat tersebut menyatakan bahwa dia harus segera berangkat ke Indonesia. Dia akan berangkat dengan kapal dari Maseilles pada tanggal 28 Agustus.10

F. van Lith S.J. mengalami kebimbangan setelah menerima surat penunjukan dirinya untuk berkarya di tanah misi yaitu di Jawa. Beliau merasa sangat berat jika harus meninggalkan negeri asalnya Belanda yang saat itu sebagai tanah kelahiran dan pusat misi. Ada beberapa alasan kenapa beliau bimbang dengan keputusan dari pemimpin misinya. Pertama, F. van Lith S.J. memikirkan bagaimana dengan nasib kedua orang tuanya yang akan ditinggalkan jika dia berangkat ke tanah Jawa. Beliau merasa kurang tepat jika harus meninggalkan mereka. Terlebih lagi beliau adalah satu-satunya anak laki-laki dan memiliki

10


(30)

13

kewajiban merawat dan mencukupi kebutuhan kedua orang tuanya. Beliau sangat sadar bahwa orang tuanya sangat membutuhkan perhatian darinya. Kedua, F. van Lith S.J. merasa bahwa yang sebenarnya harus dibangun terlebih dahulu adalah pusat-pusat misi yang ada di Eropa dan bukan di Indonesia. Pusat Misi di Eropa haruslah kuat karena dijadikan pondasi perkembangan misi di luar Eropa. Gereja Katolik di Eropa harus bisa bersatu supaya mampu mengembangkan misi di tempat lain.11

C.Keadaan Misi di Jawa

Pada waktu kedatangan F. van Lith S.J. ke Indonesia tahun 1896 hanya ada sekitar empat puluh Jesuit yang berkarya di Indonesia. Pada tahun 1893 mulai terlihat perubahan yang signifikan dari karya para misionaris. Para misionaris lebih banyak yang mengkaryakan dirinya bagi masyarakat pribumi dibandingkan dengan komunitas Eropa. Tahun-tahun terakhir menjelang abad 20 inilah misi di antara para penduduk pribumi Jawa dimulai.

Masa depan misi di Jawa bergantung pada para misionaris yang baru datang, yaitu F. van Lith S.J. dan P. Hovenars S.J. Sebelum terjun langsung ke dalam misi di Jawa, F. van Lith S.J. belajar bahasa dan kebudayaan Jawa terlebih dahulu. Mereka harus paham mengenai seluk beluk masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai, norma-norma, serta adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Satu-satunya jalan supaya bisa masuk ke dalam masyarakat Jawa adalah dengan menyatu atau membaur dengan mereka.

11


(31)

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang ramah dan sebenarnya tidak senang dengan konflik atau peperangan. Oleh sebab itu, F. van Lith S.J. sangat paham apa yang harus dilakukan dan dikerjakan.

Misi pada waktu itu lebih banyak dilakukan oleh para katekis hasil karya J. Keyjer S.J. di Gedangan, Semarang lewat sekolah katekisnya. Sebenarnya kurang bijak jika memberikan tugas sebagai seorang katekis kepada katekis baru tersebut, karena latar belakang mereka kebanyakan dari Kristen Protestan dan banyak dari mereka memiliki catatan buruk sebelum masuk Katolik. Kebanyakan dari mereka terlibat penggelapan uang. Selain itu, terkesan bahwa orang Katolik baru ini masuk kedalam komunitas Katolik hanya sekedar untuk berlindung saja dan bukan merupakan sebuah pertobatan yang murni.

G. Hellings S.J. waktu itu cukup berhasil berkarya di antara masyarakat pribumi di Semarang mencoba inovasi baru demi kemajuan misinya. Di sana beliau mengumpulkan ratusan orang Jawa-Katolik di wilayahnya. Kemudian mereka dibagi menjadi beberapa kelompok yang nantinya akan menjadi guru agama dan katekis di daerah Yogyakarta, Kedu, Ambarawa, dan Semarang. Mereka diberi wewenang yang cukup besar dari G. Hellings S.J. Tidak hanya itu saja, G. Hellings S.J. juga megusulkan kepada Vikaris Apostolik supaya misi menggaji mereka supaya dapat memanfaatkan mereka secara total. G. Hellings S.J. menganggap para katekis baru tersebut layak mendapatkan wewenang yang lebih dari para misionaris. Bahkan, G. Hellings S.J. menyebut mereka sebagai


(32)

15

Penolakan atas usulan G. Hellings S.J. muncul dari I. Vogel S.J. dan para imam Jesuit di sekitar Magelang. Surat dari I. Vogel S.J. kepada Vikaris Batavia sudah menjelaskan bahwa latar belakang dari para katekis ini sudah tidak baik. Beberapa katekis yang dahulunya penganut Kristen merupakan para koruptor yang kemudian beralih masuk ke Katolik. Mereka dikucilkan setelah melakukan tindakan korupsi. Selain itu, beliau berpendapat bahwa penunjukan dan pemberian wewenang yang besar kepada para katekis yang sebagian mantan penganut Kristen tersebut merupakan sebuah ungkapan keputusasaan dari G. Hellings S.J. I. Vogel S.J. meyebut para katekis tersebut sebagai “maling, koruptor, pencuri,

lalim, peminum opium”.12

Keputusan besar ini akan berimbas buruk bagi karya F. van Lith S.J. nantinya. Para Katekis tidak lagi mementingkan karya misionaris, tetapi lebih mementingkan materi saja. Kebobrokan para katekis ini akan terbongkar saat F. van Lith S.J. memulai karyanya. Tindakan korupsi dan keburukan lainnya dari pera katekis baru ini terbongkar dan menjadikan karya misioner di Hindia tercoreng. Perubahan besar demi kemajuan sebuah misi Jawa akan dilakukannya. Keberhasilan misi di Jawa sangat erat kaitannya dengan karya-karya yang dilakukannya.

12


(33)

16

BAB III

KARYA F. VAN LITH S.J. DI JAWA

A. Mengawali Karya dengan Membongkar Kebobrokan Para Katekis

Pada tahun 1897, F. van Lith S.J. ditunjuk untuk menggantikan C. Stipouth di Muntilan. Selain Muntilan dan Magelang, daerah lain disekitarnya seperti stasi Bedono dan Ambarawa dipercayakan kepadanya. Beliau tinggal di sebelah Sungai Lamat yang nantinya dijadikannya pusat misi. Di sebelah Utara menjulang tinggi Gunung Merapi dan Merbabu. Candi Borobudur dan Candi Mendut menambah daya tarik Jawa bagi F. van Lith S.J. supaya tetap tinggal di Muntilan. Suasana yang sedemikian nyamannya membawa F. van Lith S.J. jatuh cinta pada tanah Jawa beserta rakyatnya.

Pada waktu itu belum banyak yang bisa dilakukan oleh F. van Lith S.J. Beliau mengawali karya dengan melakukan observasi dengan mengunjungi wilayah yang dikaryakan kepadanya. Beliau mencoba menyatu dengan masyarakat Jawa dan memulai karyanya dengan perbaikan kecil tapi berimbas besar bagi perkembangan misi seterusnya. F. van Lith S.J. percaya bahwa keberhasilan karya misionarisnya di tanah Jawa sangat bergantung pada penguasaan Bahasa Jawa. F. van Lith S.J. sangat mengagumi Bahasa Jawa yang sangat kaya akan keindahan. Menurut pendapat beliau, orang Jawa merupakan salah satu suku bangsa yang senang bersemedi, memiliki perjalanan sejarah yang gemilang, kaya akan sastrawan dan penyair, suku yang banyak memiliki pemimpin yang arif dan bijaksana, serta kaya akan pelaut dan pahlawan yang


(34)

17 tangguh dalam perang. Gending dan gamelan Jawa juga memiliki daya tarik tersendiri baginya. Tidak ada waktu terbuang untuk tidak belajar. Dari makan pagi sampai makan malam digunakannya untuk belajar. Sesekali beliau meluangkan waktu untuk berjalan-jalan di sekitar Muntilan untuk membaur dengan masyarakat sekitar.13

Saat kedatangan F. van Lith S.J. di Muntilan, karya misi dikelola oleh seorang katekis bernama Josaphat Martodirejo setelah mendapat kepercayaan dari pimpinan misi yaitu G. Helling S.J. F. Voogel S.J. yang sebelum F. van Lith S.J. bertugas melayani di daerah Magelang berpendapat lain. Josaphat Martodirejo merupakan seorang yang korup, malas, senang berhutang dan yang ada dalam pikirannya bukan agama, melainkan hanya uang menurut pendapat beliau. Pendapat F. Vogel S.J. ini akhirnya dibenarkan oleh F. van Lith S.J. ketika beliau mulai membaur dengan masyarakat sekitar untuk melihat perkembangan misi di Muntilan dan belajar bahasa, kebudayaan, kebuasaan hidup orang Jawa dengan Josaphat Martodirejo.

Saat belajar Bahasa Jawa dengan Josaphat Martodirejo, kebusukan dan kecurangan yang dilakukan oleh katekis ini terbongkar semua. Sebenarnya Josaphat Mertodirejo sudah menerima uang sebanyak ƒ. 15 dari C. Stiphout S.J. untuk membeli sebidang tanah yang akan digunakan sebagai pemakaman umum umat Katolik di Muntilan. Akan tetapi, ternyata uang tersebut tidak digunakannya untuk membayar tanah tersebut. Uang tersebut ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya saja. Kebusukan dan kecurangan ini terungkap pada bulan

13


(35)

Oktober 1897.14 Selain itu, atas perintah F. van Lith S.J. juga sebenarnya Martodirejo sudah diberikan uang sebanyak ƒ. 70 untuk menebus sawah yang terlebih dahulu digadaikan oleh orang-orang Katolik. F. van Lith S.J. berpendapat bahwa ketika sawah yang digadaikan oleh rakyat ditebus maka penghasilan mereka meningkat. Selain itu, sebagai timbal baliknya pastoran memperoleh pemasukan sedikit dari sistem bagi hasil dari apa yang dihasilkan oleh sawah yang ditebus. Pada tahun 1898 terungkap bahwa uang yang seharusnya untuk membayar tanah tersebut digunakan oleh Josaphat Martodirejo untuk membeli opium karena dia sudah kecanduan.

Melihat apa yang sudah terjadi di Muntilan, F. van Lith S.J. mengarahkan perhatian ke daerah lain seperti Amabarawa dan Bedono. Beliau khawatir apabila kejadian buruk seperti di Muntilan juga terjadi di tempat-tempat tersebut. Beliau menilai bahwa kebanyakan dari para katekis yang ada di Ambarawa dan Bedono juga melakukan hal demikian. Pada awal penyelidikannya, beliau memeriksa inventaris misi di sana. Beliau menanyakan soal tanah yang dibeli oleh katekis yang bernama Martinus. Katekis ini diberikan kepercayaan supaya mengelola tanah yang dibeli oleh misi yang kemudian digunakan oleh orang-orang Katolik untuk mencukupi kebutuhan mereka. Tarnyata tanah yang dibeli oleh katekis Martinus tidak ada dan orang-orang Katolik di sana kebanyakan memeluk Agama Katolik karena godaan uang yang dibagikan oleh katekis Martinus. Sebagai contoh, sejumlah besar orang yang telah dibabtis hanyalah untuk megelabuhi para misionaris. Banyak orang memang telah dibabtis untuk menunjukan betapa besar

14

MAWI, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jakarta, Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia, 1974, hlm. 849.


(36)

19 dan kerja keras usaha para katekis dalam melebarkan kerajaan Allah sehingga pantaslah jika mereka mendapatkan gaji. Kenyataannya mereka dibabtis dan menjadi Katolik tanpa pengajaran agama yang tepat serta hanya karena sogokan dari para katekis.15

Tidak hanya berhenti pada katekis Martinus, F. van Lith S.J. mulai mengarahkan penyelidikannya pada Y. Vrede. Menurut berita dari misi pusat, Y. Vrede telah diberikan uang sebesar $ 1.500 untuk membangun Gereja di Bedono dan untuk membeli kuda. Akan tetapi, ketika F. van Lith S.J. datang ke sana Gereja dan kudanya tidak ada. Setelah mengakui segala kesalahannya Y. Vrede meninggalkan Bedono dan F. van Lith S.J.16

Sebenarnya bagi F. van Lith S.J. uang yang telah diselewengkan oleh para katekis tidaklah terlalu penting. Yang terpenting bagi beliau adalah bagaimana menyikapi pemahaman masyarakat soal Agama Katolik yang sangat dangkal. Beliau melihat bahwa ternyata pengajaran agama yang menggunakan Bahasa Belanda kurang efektif. Masyarakat Jawa hanya sebatas tau itu sebuah doa yang diajarkan oleh katekis tetapi belum sampai pada tahapan memahami dan meresapi makna di balik sebuah doa yang diajarkan. Seperti halnya ketika beliau mengunjungi Bedono, dalam catatan hariannya:

“Bangunan gereja masih sangat sederhana. Stasi Bedono memang masih sangat muda. Umat dari stasi ini juga masih sangat sederhana. Tempat pengakuan dosa terdiri dari satu kursi dan satu bangku doa; sungguh memprihatinkan lagi adalah mereka yang datang kepadaku. Aku duduk di kursi, dan satu demi satu mereka datang mengaku dosa. Mereka berlutut di bangku doa dan mengucapkan kata yang sama Pater Noster lalu pergi. Ketika aku mengajukan pertanyaan: ”apa kamu bohong?”, lalu mereka menjawab “tidak”, tapi kebanyakan dari mereka mengulangi menjawab perkataan tadi, Pater Noster”.17

15

Fl. Hasto Rosarianto, op. cit., hlm. 119.

16

Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J. op. cit., hlm. 12-13.

17


(37)

Hal ini menunjukan bahwa sangat penting bagi para misioner untuk lebih menyelami budaya masyarakat Jawa. Doa dan nyanyian yang menggunakan Bahasa Belanda harusnya diubah ke dalam Bahasa Jawa. Selain itu, harus disesuaikan pula dengan tata cara penulisannya. Mengucapkan sebuah doa tidak hanya sekedar mengucapkan tetapi haruslah dengan menghayatinya. Jika masyarakat Jawa masih menggunakan doa dengan Bahasa Belanda mereka tidak akan bisa memahami makna dari doa tersebut. Hal ini diperparah dengan tidak banyak orang pribumi yang mengerti dan dapat berbahasa Belanda.

Pada saat yang sama, P. Hovenaars S.J. ditugaskan menjalankan misi di antara orang Jawa di Yogyakarta melanjutkan karya P. Palinckx S.J. Di Yogyakarta sudah ada sekitar 100 orang yang telah dibaptis oleh G. Hellings S.J. dan L. Hebrans S.J. Meskipun baru satu bulan mengawali karyanya di Yogyakarta, P. Hovenaars S.J. sudah mampu mempermandikan 62 orang yang sudah menjalani pengajaran Agama Katolik. Akan tetapi, seperti sudah diramalkan oleh J. Palinckx S.J. bahwa kelak P. Hovenaars S.J. akan mengalami kendala. Suatu ketika P. Hovenaars S.J. dipanggil oleh Residen J.A. Ement yang berada di Yogyakarta. Residen J.A. Ement mengatakan Sri Sultan Hamengku Buwono VII menolak segala kegiatan misi di Yogyakarta. Saat itu sudah jelas bahwa memang kesultanan Yogyakarta adalah kerajaan bercorak Islam. Namun, apa yang diutarakan oleh Resident J.A. Ement tidaklah benar. Sebenarnya yang tidak suka dengan keberadaan misi di Yogyakarta adalah Residen J.A. Ement sendiri. Menurut Patih, Sri Sultan Hamengku Buwono VII sudah menasehati Residen J.A. Ement supaya tidak melarang karya misionaris di Yogyakarta, tetapi


(38)

21 tidak didengarkan dan sebagai imbasnya adalah P. Hovenaars S.J. harus dipindahkan ke Semarang dan berkarya di daerah Barankaring dekat Kudus.18

Setelah kepergian P. Hovenaars S.J., memang terungkap bahwa sebenarnya orang-orang yang bersedia dibaptis di Yogyakarta hanya mencari keuntungan materiil saja. Meskipun P. Hovenaars S.J. tidak lama berkarya di Yogyakarta, namun beliau juga bisa bergaul dengan orang-orang yang baik yang nantinya membukakan jalan bagi misi di Yogyakarta. Salah satu orang baik yang beliau temui adalah Pengeran Ario Sasraningrat, putera dari Paku Alam III. Beberapa putera dan abdi Pangeran Sasraningrat akan menjadi Katolik dan memainkan peran penting bagi perkembangan umat Katolik di Yogyakarta.19

Melihat kebobrokan katekis yang secara tidak langsung telah mencoreng wajah misi di Indonesia, beberapa yang masih menginginkan mukjizat akan keberhasilan misi di Jawa berkumpul di Magelang. Pada tanggal 20 Desember 1988 F. van Lith S.J., P. Hovenaars S.J., dan E. Engbers S.J. duduk bersama untuk membahas bagaimana baiknya menyikapi kejadian yang buruk tersebut. Dalam perundingan tersebut mereka berpendapat bahwa jika pusat misi masih berada di Semarang, perkembangan akan kurang baik karena terlalu jauh dengan daerah misi yang banyak mengalami perkembangan. Mereka berpendapat bahwa daerah Kedu terutama yang berdekatan dengan Muntilan akan didirikan sebuah daerah misi baru. Pemilihan tempat haruslah tepat mengingat harus dekat dengan Yogyakarta, Muntilan, Semarang, serta daerah tersebut harus memiliki prospek yang baik untuk perkembangan misi. Hal tersebut perlu dipertimbangkan

18

Karel Steenbrik, Orang-Orang Katolik Di Indonesia 1808-1942, Maumere, Lederado, 2006, hlm. 367-370.

19


(39)

mengingat kegiatan misi masih saling berkaitan dan daerah satu dengan daerah lain harus memiliki koordinasi dan kerjasama yang baik demi kelancaran misi.

Pada bulan Mei 1899 dibelilah sebuah pabrik minyak kacang yang bangkrut di daerah Mendut sekitar 3 km dari Borobudur dan 10 km dari Muntilan. P. Hovenaars S.J. dan P. Hebrans S.J. menetap di sana dengan murid-murid sekolah guru dari Semarang. Gereja dan sekolah di Lamper dibongkar dan dibawa ke Muntilan. Andreas Manasse yang sebelumnya mengajar di sana pada akhirnya juga dipindah ke sana. Tidak lama setelah bersama di Mendut, kini tinggallah sendiri P. Hovenaars S.J. karena rekannya dipindah ke Semarang dan ada juga yang dipulangkan ke negeri Belanda karena alasan kesehatan. Saat ini tinggal 2 orang yang masing-masing memiliki karakteristik serta cara yang berbeda namun berdekatan letaknya yang mengemban misi yang berat serta memiliki tanggung jawab besar terhadap keberhasilan misi.

B. Pertentangan Antara P. Hovenaars S.J. Dengan F. van Lith S.J.

Penugasan P. Hovenaars S.J. dan F. van Lith S.J. untuk berkarya di Jawa menumbuhkan harapan besar bagi misi yang baru saja dimulai. Setelah beberapa lama belajar di Semarang mengenai seluk beluk masyarakat Jawa mereka kini mencoba berhadapan langsung untuk menjalankan misi melayani dan melebarkan jalan menuju Allah. Meskipun mereka selalu bersama pada awal kedatangannya di Jawa, namun mereka ketika berhadapan langsung dengan masyarakat Jawa terus saja mengalami perbedaan-perbedaan yang mengarah pada pertentangan yang bisa mencoreng karya misi mulai dari metode, jumlah babtisan, terjemahan doa Bapa Kami.


(40)

23

1. Masalah Metode

F. van Lith S.J. merupakan seorang yang istimewa. Beliau memiliki penglihatan yang tajam dan tahan uji terhadap apa yang yang sedang beliau hadapi. Masyarakat Jawa beruntung memiliki seorang misionaris seperti F. van Lith S.J. karena beliau mampu mencetak orang-orang yang meresapi dan menghayati dirinya. Orang yang beliau didik juga memiliki watak, kinerja dan semangat seperti dirinya. Memang situasi di Jawa berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya, sehingga dalam menjalankan misi seorang misionaris seperti F. van Lith S.J. masih menerapkan metode yang bersifat eksperimental.20

Metode yang beliau terapkan pada awalnya adalah melakukan pengenalan awal yang mendalam terhadap masyarakat setempat. Pengenalan mengenai bahasa, cara hidup, kebutuhan pokok dan lain sebagainya sangat menentukan pengambilan keputusan langkah apa yang nantinya akan ditempuh untuk mensukseskan misi di Jawa. Sikap hati-hati dalam mendekati masyarakat Jawa adalah cara yang paling baik dalam mensukseskanmisi di Jawa. Menyatu dengan masyarakat Jawa adalah metode pendekatan yang paling cocok untuk mensukseskan karya misionernya di Jawa. Hal inilah yang membedakan F. van Lith S.J. dengan para misionaris sebelumnya dalam pelaksanaan misinya.

Tidak hanya membaur dengan masyarakat, F. van Lith S.J. juga memikirkan bagaimana cara supaya orang Jawa dengan sendirinya menjadi orang Katolik. Perbaikan ekonomi masyarakat Jawa adalah solusinya. Beliau berpikir bahwa ketika segala macam kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang

20


(41)

orang Jawa terpenuhi maka mereka akan mampu berfikir secara baik. Mereka akan mampu menilai seperti apa ajaran Agama Katolik dan seperti apa sebenarnya inti ajarannya. Masyarakat Jawa juga bisa melihat bahwa cinta kasih para misionaris di Muntilan ibarat kasih seorang ayah terhadap anak-anaknya. Dengan semacam sistem sewa tanah, klinik kesehatan gratis bagi masyarakat dan usaha produksi anyam-anyaman bambu yang berwarna-warni, F. van Lith S.J. yakin bisa memberikan peluang bagi masyarakat Jawa untuk lebih maju.

Pendidikan masyarakat pribumi menjadi cara yang efektif bagi perkembangan misi. Sebenarnya pendidikan masyarakat pribumi sudah ada sejak adanya karya misi di Jawa. Akan tetapi, yang membedakan dari misi sebelumnya adalah F. van Lith S.J. tidak memanfaatkan langsung sekolah yang beliau dirikan untuk sarana mentaubatkan dan membaptis murid-muridnya. Beliau lebih ingin menunjukan bahwa karya misi adalah untuk mensejahterakan masyarakat pribumi. Beliau berpendapat bahwa dengan adanya pendidikan terutama pendidikan guru bantu yang beliau rintis masyarakat Jawa dan karya misi akan maju beberapa tahap. Beliau mengupayakan semacam pabrik tikar dan semacam sistem sewa tanah bagi petani di sekitar Muntilan. Selain itu, beliau juga ingin mendirikan sekolah guru bantu di Muntilan. Dengan adanya sekolah guru bantu akan mempermudah kegiatan misi dari guru-guru bantu yang telah diluluskan. Setidaknya setelah muncul benih-benih guru di Jawa mereka akan punya inisiatif sendiri untuk membangun pendidikan bagi kaum pribumi.

F. van Lith S.J. tidak puas dengan hanya pertobatan di berbagai tempat dan di antara murid-muridnya saja. Beliau menginginkan adanya sekolah yang


(42)

25 mendidik calon pemimpin-pemimpin orang Jawa. Mereka yang lulus dari sekolah yang beliau dirikan kelak akan menjadi kader-kader penerus perjuangannya. Beliau mencanangkan dua prinsip yaitu pembentukan watak dan mental yang diwujudkan bersama dengan pencetakan pemimpin-pemimpin. Untuk merealisasikan hal tersebut F. van Lith S.J. menggunakan sekolah pribumi yaitu Kweekschool dengan asrama yang dikelola oleh misionaris yang selanjutnya berkembang dengan didirikannya sekolah bagi imam-imam pribumi.21

P. Hovenaars S.J. memiliki metode yang berbeda dengan metode yang diterapkan oleh F. van Lith S.J. ketika berkarya diantara masyarakat Jawa. P. Hovenaars S.J. tidak melakukan usaha untuk lebih mengenal masyaraka Jawa. Beliau terlalu fokus pada upayanya untuk membaptis orang pribumi sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang menjadi alasan mendasar kenapa kelak karya P. Hovenaars S.J. gagal. P. Hovenaars S.J. tidak paham mengenai bagaimana karakter, kebiasaan, kebutuhan, dan tatacara hidup masyarakat Jawa.

P. Hovenaars S.J. sebenarnya juga memikirkan bagaimana cara supaya masyarakat Jawa terlepas dari kemiskinan. Beliau mengupayakan adanya sebuah kredit union yang diperuntukan bagi petani. Kredit union tersebut akan diberi nama dengan Retnoguno. Selain itu, beliau juga memiliki cita-cita yang cukup besar yaitu membangun sebuah pabrik tapioka, penggilingan padi dan pabrik kacang. Untuk kemajuan dalam bidang kesehatan dan pendidikan beliau menginginkan adanya sebuah rumah sakit dan sekolah kejuruan. Untuk memajukan perkembangan misi beliau juga ingin membuat sekolah katekis di

21


(43)

Mendut supaya kelak para katekis yang telah lulus membantunya dalam menjalankan misi di Jawa.

Di Mendut, P. Hovenaars S.J. juga mendirikan sekolah bagi kaum pribumi. Akan tetapi, tujuan utama dari sekolah ini adalah supaya dia bisa membaptis banyak anak dari sekolahnya. Beliau tidak memikirkan jauh kedepan bagaimana kelak cara memajukan misinya di Mendut. Beliau tidak berusaha mencetak calon-calon kader penerusnya yang berasal dari masyarakat pribumi. Sekolah yang beliau kelola dipandang hanya sebatas umpan supaya masyarakat pribumi mau masuk Agama Katolik.

Yang membedakan F. van Lith S.J. dengan P. Hovenaars S.J. adalah P. Hovenaars S.J. tidak memikirkan segala macam tentang karakteristik orang-orang Jawa waktu itu. Beliau hanya sebatas kenal dan tidak mendalami pola pikir dan keinginan masyarakat Jawa waktu itu. Sebagai imbasnya adalah nantinya banyak kejadian yang justru merugikan karyanya dan karya misi di Jawa. Sebagai contoh adalah dimana banyak orang Katolik yang dibaptisnya hanya sekedar ingin mendapatkan uang saja. Selain itu, P. Hovenaars S.J. juga tidak pernah berusaha percaya pada orang lain. Beliau selalu ingin memperlihatkan kepada para misionaris bahwa beliau mampu menjalankan karyanya seorang diri. Sebagai contoh ketika beliau membuka sebuah klinik kesehatan, beliau mengurusinya sendiri dengan mengesampingkan kegiatan lain dan sebagai akibatnya kegiatan misi menjadi kacau dan banyak pekerjaan terbengkalai. Hal seperti inilah yang membedakan P. Hovenaars S.J. dan F. van Lith S.J. Kesabaran, kerjasama,


(44)

27 ketulusan dalam berkarya, serta kerja keras akan menentukan keberhasilan dan berkembangnya misi di Jawa.

2. Masalah Doa Bapa Kami

Pertentangan yang terjadi antara F. van Lith S.J. dengan P. Hovenaars S.J. tidak hanya sebatas pada pertentangan mengenai metode saja. Keduanya juga memperdebatkan mengenai siapa yang paling benar dalam menterjemahkan doa Bapa Kami ke dalam Bahasa Jawa. Doa Bapa Kami dalam Bahasa Jawa sebenarnya sudah ada sejak Gereja Kristen mulai berkembang di Indonesia. Dalam hal ini P. Hovenaars S.J. maupun F. van Lith S.J. sependapat bahwa doa Bapa Kami yang sudah ada tersebut sudah tidak layak lagi untuk dipakai pada kegiatan misi mereka.

Dengan alasan tersebut, F. van Lith S.J. dan P. Hovenaars S.J. masing-masing mencoba menterjemahkan kembali doa Bapa Kami ke dalam Bahasa Jawa. Kedua misionaris tersebut menganggap bahwa terjemahan merekalah yang paling benar. Pertentangan kemudian muncul antara Muntilan dan Mendut karena perbedaan terjemahan doa Bapa Kami. Superior misi segera mengetahui akan berita pertentangan tersebut. Superior misi tidak menginginkan adanya dua versi doa Bapa Kami di Mendut dan Muntilan. Menurut pendapat Superior Misi, perbedaan ajaran yang terjadi di Muntilan dan Mendut akan menimbulkan kebingungan bagi para pengikutnya. Untuk itu, karya misi haruslah dimulai dengan persatuan dan hal tersebut harus diawali di antara para misionaris itu sendiri.


(45)

Perbedaan versi itu langsung tampak dalam pilihan kata tetapi pada sudut pandang yang berbeda tentang penterjemahan itu sendiri. Tidak banyak manfaatnya banyak menganalisa teks karena keduanya berpendapat bahwa terjemahan mereka belum definitif dan baku. Di dalam alasan-alasan itulah tercermin visi kedua belah pihak mengenai karya misi mereka. Visi karya misi inilah yang paling penting untuk dibahas dan dipahami. Melalui visi dan misi yang dipaparkan oleh P. Hovenaars S.J. maupun F. van Lith S.J. akan terlihat bahwa F. van Lith S.J. lebih mengenal dan lebih memperjuangkan hak-hak kaum pribumi.

Dalam menterjemahkan doa Bapa Kami dan doa-doa lain, F. van Lith S.J. mempelajari berbagai kamus, paramasastra, terjemahan Kitab Suci, buku ngelmu

dan sebagainya. Beliau juga selalu belajar dengan orang-orang biasa maupun pamong praja. Lebih dari 30 kali beliau pergi ke Solo dan Yogyakarta untuk bertemu dengan beberapa pangeran untuk memperdalam pemahamannya tentang tata cara orang Jawa dalam berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa. Dalam hal ini P. Hovenaars S.J. berpendapat lain mengenai penggunaan Bahasa krama inggil

dalam doa Bapa Kami. Beliau berpendapat bahwa menggunakan kata-kata krama

dalam doa adalah semangat budak-belian. F. van Lith S.J. mencapai kesimpulan bahwa penulisan dalam Bahasa Jawa krama inggil sama sekali tidak mentiadakan hubungan cinta kasih dan kepercayaan di antara ayah dan anak. Menurutnya doa Bapa Kami yang diterjemahkannya telah dicocokkan atau didasarkan pada konsep dan perasaan orang Jawa. Menurutnya ketika masyarakat Jawa membaca doa


(46)

29 tersebut tidak sebatas hanya di mulut saja tetapi haruslah sampai merasuk ke dalam perasaannya.

Terjemahan “Bapa Kami” yang dibuat F. van Lith S.J. dengan ejaan jaman itu dan sesuai dengan konsep ungkapan perasaan orang Jawa tersebut berbunyi sebagai berikut:

“Kandjeng Rama ing swargo. Soemonggo angloehoraken asmo dalem. Soemonggo andjomenengaken kraton dalem. Soemonggo sakarso dalem kaleksana ing donja kados ing swarga. Abdi dalem njadong paring dalem redjeki kangge sapoenika. Sakatahing dosa kawoela njowoen pangaksama dalem. Dene abdi dalem sampoen angapoenten lepatipoen sesami. Abdi dalem soepados lepat saking panggoda. Saha mardika saking pihawon. Amin.”22

Sementara itu, argumentasi P. Hovenaars S.J. mengenai terjemahan doa Bapa Kami dan doa lainnya berpatokan pada praktek paling biasa di dalam Gereja Katolik, yaitu selalu menterjemahkan doa-doa secara harafiah. Menterjemahkan doa secara harafiah juga layak dilakukan oleh Gereja Protestan. Setia pada tradisi tersebut P. Hovenaars S.J. juga menterjemahkan secara harafiah doa Bapa Kami dari Bahasa Belanda. Beliau tetap berpedoman kepada tradisi tersebut. Perbedaan pendapat ini secara langsung menghancurkan kerjasama antara P. Hovenaars S.J. dengan F. van Lith S.J.23

Masalah mengenai perbedaan pendapat ini juga nantinya akan terselesaikan dan pendapat F. van Lith S.J. dibenarkan oleh Provinsial dan Superior misi. Dalam hal ini pemimpin misi melihat dari sudut pandang lain yaitu lewat argumentasi-argumentasi yang dikirimkan oleh kedua misionaris yang berselisih paham. P. Hovenaars S.J. selalu menyudutkan dan ingin menunjukan kebenaran atas apa yang telah beliau lakukan. Superior misi terkadang

22

TIM K.A.S, Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang,

Semarang, Keuskupan Agung Semarang, 1991, hlm. 24-25.

23


(47)

menganggap bahwa apa yang diungkap oleh P. Hovenaars S.J. merupakan sikap kasar yang sudah di luar batas kewajaran.

Dalam menyikapi masalah ini F. van Lith S.J. selalu bersikap legowo, kesatria dan sabar untuk menanggapi kritik yang tidak berdasar dari sesama rekan kerjanya. F. van Lith S.J. tidak pernah membalas dengan menjelek-jelekan P. Hovenaars S.J. akan tetapi beliau lebih banyak menjelaskan bagaimana penerapan metodenya. Secara tidak langsung sikap kasar yang diperlihatkan oleh P. Hovenaars S.J. tersebut justru semakin menjauhkan kepercayaaan pemimpin misi kepadanya. Justru dengan sikap kesatria yang ditunjukan oleh F. van Lith S.J. akan membawanya pada rasa hormat dan penghargaan dari sesama misionaris dan para pemimpin misi. Keberhasilan karya misionernya di Jawa juga menjadi buah manis atas usaha dan kerja kerasnya.24

Metode semacam ini ditentang oleh P. Hovenaars S.J. karena tidak mungkin mendirikan sebuah sekolah di Muntilan. Alasan kenapa beliau berpendapat bahwa di Muntilan tidak cocok adalah karena di sana sudah ada sekolah negeri dan di sana berdekatan dengan pesantren. Beliau khawatir jika dengan adanya sekolah Katolik di Muntilan justru akan menghambat perkembangan misi karena bersinggungan dengan masyarakat pribumi yang berkeyakinan lain. Ketakutan akan terulang kembalinya kejadian seperti ketika Pangeran Diponegoro menentang kekuasaan Belanda. Selain itu, beliau juga meyakini bahwa sekolah dengan asrama terkesan semacam pemborosan anggaran untuk kegiatan misi dan hanya menghabiskan dana untuk karya misi karena harus

24


(48)

31 digunakan untuk membangun gedung sekolah dan asrama serta kebutuhan pengajaran lainya.

3. Masalah Jumlah Baptisan

Setelah mengalami kontak langsung dengan masyarakat Jawa, baik F. van Lith S.J. maupun P. Hovenaars S.J. mulai menyadari bahwa hampir seluruh masyarakat Jawa hidupnya hanya bergantung pada apa yang dihasilkan dari sawah atau ladang mereka. Tidak mengherankan jika kedua misionaris tersebut mngawali karya mereka dengan berpangkal pada apa yang menjadi kebutuhan pokok para penduduk Jawa. Meskipun mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan intinya sama untuk memajukan para penduduk Jawa, tetapi terkadang malah menjurus pada persaingan yang tidak sehat, kesalahpahaman, dan rasa cemburu yang berlebihan terutama dari P. Hovenaars S.J.

Pada akhir tahun 1898, dalam surat F. van Lith S.J. kepada Provinsial beliau melukiskan keprihatinannya mengenai keadaan masyarakat Jawa dan melukiskan program yang ada di benaknya. Beliau ingin memperbaiki taraf hidup masyarakat Jawa dengan mengajak membuat semacam tikar warna-warni. Beliau berpendapat bahwa yang harus didahulukan adalah memperbaiki taraf hidup masyarakat Jawa. Hasil yang didapat dari penjualan tikar tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan mereka.

Isi surat P. Hovenaars S.J. sedikit berbeda dengan apa yang diutarakan oleh F. van Lith S.J. Beliau mengisahkan bagaimana perkembangan karyanya yang tidak hanya sebatas di Mendut tetapi juga hingga menjangkau daerah Baran Kiringan (Kudus). P. Hovenaars S.J. meyakinkan Mgr. Luypen bahwa masa


(49)

depan misi Jawa akan berpusat di kedua daerah tersebut karena melihat dari perkembangan jumlah baptisan yang semakin bertambah banyak. P. Hovenaars S.J. mengungkapkan bahwa beliau sudah mengunjungi Baran Kiringan sebanyak empat kali. Setiap kali beliau datang selalu membaptis dan memberkati perkawinan masyarakat di sana. Pada akhir kunjungan tepatnya pada tanggal 1 November 1989, beliau sudah membaptis sepuluh orang dan memberkati tiga perkawinan. Kemudian, ada sekitar 60 orang menunggu untuk dibaptis oleh P. Hovenaars S.J.25

Semakin lama tinggal di tengah-tengah masyarakat Jawa semakin menguatkan keinginan F. van Lith S.J. untuk menolong mereka. Akan tetapi, F. van Lith S.J. sangat menyadari bahwa beliau perlu meyakinkan Mgr. E. Luypen S.J. dan Superior Misi alasan mengapa tidak cukup banyak baptisan di stasi Muntilan. Sejauh itu F. van Lith S.J. hanya sebatas membaptis anak-anak yang sudah dalam kondisi hahaya maut. Dalam suratnya kepada Vikaris di Batavia, beliau menulis bahwa membaptis orang dewasa tidak dapat dilakukan tergesa-gesa dan membutuhkan waktu bertahun-tahun:

“Masyarakat pedesaan memerlukan dua hal yaitu makanan dan pakaian. Setelah kedua kebutuhan tersebut terpenuhi barulah mereka bisa mulai berpikir dengan baik. Merupakan suatu hal yang mustahil jika kegiatan misi mengharuskan kita para misonaris memberikan makanan dan pakaian kepada mereka semua. Tetapi memang kita haruslah berbuat sesuatu sejauh kita mampu karena pewartaan kabar gembira tergantung pada hal tersebut. Soal pokok adalah bahwa di manapun seorang misionaris ditugaskan, sesudah satu tahun, diharapkan ia telah melakukan banyak pembaptisan orang pribumi. Saya sangat menyadari permasalahan tersebut. Tetapi, untuk misi di Jawa, membaptis sejumlah besar orang yang tidak sungguh-sungguh bertobat hanyalah sebuah petualangan. Membaptis banyak orang itu dapat diprogramkan. Cukuplah masuk ke wilayah dari beberapa desa yang ingin menjadi Kristen dan kemudian semangat Kristiani ditanamkan pelan-pelan. Meskipun demikian, semangat Kristiani lahir hanya dengan kesabaran dan dalam hitungan tahun.26

25 Ibid.,

hlm. 125.

26


(50)

33

Posisi dimana F. van Lith S.J. yang terkesan mempersulit dalam membaptis masyarakat pribumi tidak hanya ditentang oleh P. Hovenaars S.J. saja tetapi juga sebagian besar misionaris. Para misionaris berpendapat bahwa keberhasilan misi ditentukan oleh banyaknya jumlah orang pribumi yang dibaptis. Seperti apa yang telah diutarakan dalam suratnya kepada Vikaris, bahwa misi haruslah tidak hanya sebatas mengkristenkan orang pribumi saja melainkan mensejahterakan mereka. F. van Lith S.J. banyak berkeliling dari satu desa ke desa lain untuk melihat, belajar, dan mencari tahu apa yang menjadi keprihatinan serta apa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu. Dari apa yang telah beliau temukan kemudian beliau menyimpulkan bahwa pendidikan anak-anak pribumi adalah yang sangat dibutuhkan oleh mereka. P. Hebrans S.J. mungkin satu-satunya yang sependapat dengan F. van Lith S.J. Dukungan terhadap apa yang menjadi gagasan F. van Lith S.J. tersebut tertulis dalam suratnya kepada Mgr. E. Luypen S.J. untuk membela F. van Lith S.J. dari penilaian yang tidak adil dari misionaris lain. Beliau mengutarakan bahwa sudah benar apa yang dilakukan oleh F. van Lith S.J. Langkah yang ditempuh oleh F. van Lith S.J. sudah benar dengan tidak tergesa-gesa membaptis orang pribumi. Hal yang ditakutkan adalah jika yang terjadi adalah orang pribumi hanya mau dibaptis karena adanya motif uang dan kesejahteraan. Oleh karena itu dalam hal jumlah baptisan F. van Lith S.J. kalah banyak dibandingkan dengan P. Hovenaars S.J. Jika orang pribumi telah memiliki kesejahteraan pastinya tanpa diajak dan


(51)

dipaksa secara otomatis banyak dari kalangan pribumi akan meminta para untuk membaptis mereka.27

Dukungan dari sesama misionaris kiranya juga belum cukup untuk meyakinkan bahwa karya F. van Lith S.J. akan berhasil. Butuh bukti nyata dari karya F. van Lith S.J. Untuk menjawab persoalan tersebut F. van Lith S.J. pada tahun 1901 mengirimkan surat kepada Mgr. E. Luypen S.J. mengenai perkembangan jumlah umat yang menerima pelajaran agama di sekitar Muntilan:

Sekarang saya ingin memberitahukan bahwa ada dua desa yang secara eksplisit meminta saya memberikan pelajaran agama. Yang satu berpenduduk sekitar 1.400, sedang satunya sekitar 700. Meskipun demikian saya masih harus tetap hati-hati dalam hal ini karena orang Jawa itu tidak dapat dipahami hanya pada tindakan-nya. Maka info ini sama sekali tidak mau mengatakan bahwa mereka ingin memeluk agama kita. Diperlukan jalan yang panjang dan persiapan yang lama untuk menjadi benar-benar seorang Katolik.28

Sekitar tahun 1903, Mgr. E. Luypen S.J. dan Superior Misi mengunjungi Muntilan untuk melihat langsung perkembangan karya yang dilakukan oleh F. van Lith S.J. Mgr. E. Luypen S.J. dan Superior Misi ragu akan kelanjutan karya misi di Muntilan. Kedua pemimpin misi di Jawa tersebut menyatakan bahwa ada kemungkinan misi di Muntilan akan ditutup. Hal tersebut memunculkan kesedihan yang mendalam dalam diri F. van Lith S.J. Meskipun demikian, F. van Lith S.J. tetap berusaha sekuat tenaga mempertahankan apa yang sudah beliau bangun.

Pendapat dari kedua petinggi misionaris tersebut tidak bisa lepas dari berkembang pesatnya misi di Mendut yang ditangani oleh P. Hovenaars S.J. Jumlah baptisan yang banyak menjadikan penilaiaan terhadap misi di Mendut lebih berhasil dibandingkan di Muntilan. Akan tetapi perlu dilihat bahwa nantinya

27 Ibid.,

hlm. 127.

28


(52)

35 misi di Mendut justru yang akan dibubarkan karena terkuaknya kesalahan fatal yang dilakukan oleh P. Hovenaars S.J. terhadap wewenang yang sudah beliau peroleh. Selain itu, di saat yang tepat muncul setitik harapan bagi kembalinya kepercayaan terhadap F. van Lith S.J. setelah kedatangan para penduduk di sekitar Kulon Progo yang memintanya untuk memberikan pengajaran agama.

Pada tahun 1904 katekis Jawa yang bernama Andreas Manase yang satu angkatan dengan Katekis Vrede yang telah dipecat sebelumnya, dengan bersama lima orang tetua dari Kulon Progo meminta F. van Lith S.J. memberikan pengajaran Agama Katolik kepada mereka. Salah satu dari mereka adalah Daud yang dulunya adalah seorang pengikut Sadrach dan misionaris Wilhelm. Bersamaan dengan Daud ada empat orang pemimpin atau sering disebut dengan istilah bekel datang ke Muntilan untuk menemui F. van Lith S.J. Peristiwa inilah yang akan membuka pandangan para misionaris bahwa misi F. van Lith S.J. menuju ke arah keberhasilan dan tentunya karya misi berkembang di Jawa.

Mereka secara umum disebut dengan orang-orang Kristen dari Kalibawang seturut dengan nama distrik di mana mereka tinggal. Wilayah tersebut berada di sisi Barat Sungai Progo. Salah satu dari antara mereka yang terkenal dari keempat orang yang berada di bawah bimbingan Daud dan meminta masuk Agama Kristen adalah Barnabas Sarikrama, yang berasal dari kampung Semagung serta seorang yang bernama Abraham menjadi kepala kampung tersebut. Semagung kelak akan menjadi pusat untuk orang-orang Katolik di wilayah itu, karena di sana ada Gua Lourdes yang diresmikan pada tanggal 8 Desember 1929 dan mata air keramat yang mengalir di bawah pohon Sono yang


(53)

sangat besar. Karena keberadaan dari pohon tersebut, kemudian daerah tersebut dikenal dengan nama Sendang Sono (kolam di bawah Pohon Sono). Tokoh lainnya yang merupakan kepala kampung Kajoran Wetan yang kemudian dibaptis adalah Lukas Suratirta, kemudian kepala kampung Kajoran Kidul yang bernama Markus dan kepala kampung Teksanga yang bernama Jokanan. Mereka semua dalam kunjungan pertamanya ke Muntilan tersebut berjanji kepada F. van Lith S.J. bahwa mereka akan datang ke Muntilan setiap hari Sabtu dan Minggu untuk mendapatkan pengajaran Agama Katolik.

Setelah beberapa bulan menjalani pengajaran agama sekitar 173 orang yang telah menjalani pelajaran agama kemudian dibaptis di mata air Semagung (Sendang Sono). Berkat ketulusan hati yang dimiliki para misionaris di Muntilan dalam mendampingi masyarakat pribumi memberikan dampak yang positif bagi perkembangan misi di Jawa seperti terukir dalam peristiwa baptisan yang berkaitan dengan Barnabas Sarikromo. Pada waktu itu Barnabas Sarikromo sedang sakit kakinya. Dengan segala ketulusan dan penuh perhatian Bruder Kersten merawat dan mengobati lukanya. Perhatian yang tulus inilah yang secara langsung menumbuhkan iman yang mendalam pada Tuhan. Selain itu juga, pertobatan yang telah diawali oleh rombongan dari Semagung ini nantinya akan menentukan kebijakan pemerintah Belanda terhadap misi di wilayah Kulon Progo dan Yogyakarta. Para baptisan Sendang Sono ini akan menjadi para katekis dan guru Agama Katolik di sekitar Kulon Progo. Seperti halnya yang diungkapkan Barnabas Sarikromo bahwa dia akan mengabdikan diri kepada para misionaris untuk ikut serta dalam menyebarkan Agama Katolik di Jawa setelah dia mendapat


(54)

37 kesembuhan dari sakit di kakinya. Kesembuhannya tersebut didapat setelah dia berobat kepada Bruder Kersten di Muntilan.29

Berbeda halnya dengan yang dialami P. Hovenaars S.J. di Mendut, di mana misi di Mendut dianggap gagal. Hal ini dikarenakan ada pendapat bahwa misi di Mendut adalah sebuah misi yang tak bermakna posititif dan tidak arif. Memang banyak orang telah dibaptis di sana akan tetapi setelah diteliti lebih lanjut ada sebuah kejadian yang sangat bertentangan dengan kegiatan misi. Pada tanggal 23 April 1905 P. Hovenaar S.J. mengundang anak-anak muslim yang bersekolah di Mungkit untuk berkunjung ke Mendut untuk merayakan Paskah. Anak-anak tersebut diajak mengikuti perayaan kebaktian di gereja dan menikmati jamuan makan atau yang sering disebut selamatan oleh masyarakat Jawa. Selama misa, dilakukanlah pemercikan air berkat oleh P. Hovenaars S.J. Peristiwa inilah yang dianggap sebagai pengkatolikan atau pembaptisan yang tidak wajar. Pada tanggal 5 Maret 1905 secara resmi Jenderal J. B. van Heutz menegur P. Hevenaars S.J. atas misi “karya misi yang tidak arif tersebut”. Dan sebagai akibatnya P. Hovenaars S.J. dipindah ke Cirebon dan diawasi secara ketat kegiataanya terhitung mulai tanggal 12 Juni 1905.30

C. F. van Lith S.J. Pendidik Masyarakat Pribumi

F. van Lith S.J. semakin mantap dalam memilih metode yang ingin beliau terapkan yaitu dengan membangun suatu sekolah bagi kaum pribumi berkat pengalaman-pengalaman misionaris sebelumnya. Seperti halnya di Semarang

29

Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J., op. cit., hlm. 19.

30


(55)

yang sempat menjadi pusat misi karena adanya sekolah bagi kaum pribumi, di Muntilan F. van Lith S.J. juga berharap demikian. Pengalaman kegagalan menjalankan karya misi di awal penjajakkannya dalam masyarakat Jawa mengajarkan bahwa sebelum menjalankan karya misionaris di Jawa perlu belajar bahasa dan budaya Jawa. Kedua hal tersebut merupakan suatu kewajiban sebelum seorang misionaris memulai karyanya di Jawa.31

Selain itu, F. van Lith S.J. sangat menyadari bagaimana seorang misionaris bersikap pada orang pribumi. Seperti halnya dengan yang terjadi pada Kyai Sadrah, F. van Lith S.J. selalu mengatakan kepada para misonaris lain supaya selalu memposisikan diri sama seperti masyarakat Jawa pada umumnya, bukan di atasnya. Dalam artikelnya beliau selalu menyemangati para misionaris supaya semua misionaris selalu berusaha memposisikan sama dengan masyarakat pribumi pada umumnya:

Untuk mencapai sebuah sekolah yang solid untuk anak laki-laki, kita wajib memiliki sekolah berasrama yang mampu menampung sebanyak mungkin anak-anak dari para punggawa desa. Mereka mengurus sendiri pakaian mereka, sedangkan kita hanya menyediakan mereka makan. Pendidikan akan kita berikan kepada mereka ini harus solid dan berwawasan luas. Untuk meraih cita-cita yang ambisius ini tadak ada cara lain kecuali merancang sebuah kolese kecil: seorang imam sebagai kepala sekolah, dua skolastik, dan beberapa guru pribumi. Di samping mengajar, mereka ini haruslah terlibat total pada acara keseharian anak-anak, sehingga dalam jangka panjang semangat dan hati anak-anak diwarnai dengan spirit dan jiwa Kristiani. Semangat Kristiani tadi harus terlebih dahulu membakar hati dan jiwa para pengajar. Untuk kelompok anak-anak, pengajar akan menuntut level tertentu sehingga pengetahuan mereka tidak akan lebih rendah dari lulusan sekolah-sekolah pemerintah. Pembinaan karakter mereka haruslah cerdas sehingga mereka akan dapat bekerja di sekolah-sekolah rakyat milik pemerintah, atau menjadi karyawan-karyawan pemerintah, atau melanjutkan pendidikan mereka di sekolah dokter Jawa (STOVIA). Mereka yang tidak dapat memenuhi tuntutan ini akan kembali ke desa-desa mereka untuk mengambil alih posisi ayah mereka, untuk membaharui desa-desa mereka dalam semangat Kristen.32

31

Fl. Hasto Rosarianto, op. cit., hlm. 152.

32


(56)

39 Pada babak awal karya misinya F. van Lith S.J. mendirikan sebuah sekolah Kweekschool-A serta sekolah guru bantu dengan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar. Pada awal penjajakkan karyanya ini, F. van Lith S.J. menggunakan lulusan sekolah calon katekis Semarang sebagai guru mereka. Beliau tidak langsung mempekerjakan lulusan sekolah katekis Semarang untuk terjun langsung dalam masyarakat karena beliau berpedoman pada tradisi Jawa di mana seorang guru agama haruslah berumur lebih dari 40 tahun sehingga sebelum mereka matang dan berpengalaman cukup mereka akan melayani murid-murid di sekolah Kweekschool-A. Sebelum mendapatkan subsidi dari pemerintah tepatnya tahun 1904, bangunan sekolah Kweekschool-A menggunakan bekas bangunan sekolah katekis Semarang yang dibongkar dan dibawa ke Muntilan. Urusan sekolahan banyak menyita waktunya sehingga beliau meninggalkan aktifitas lamanya yaitu berkeliling ke desa-desa. Meskipun begitu, F. van Lith S.J. masih melakukan kegiatan lamanya tersebut meskipun tidak sebanyak dahulu sebelum mengelola sekolah yang beliau dirikan. Pada tahun 1905 F. van Lith telah mendirikan enam sekolah rakyat lain di sekitar Muntilan. Untuk guru-guru yang mengajar sekolah rakyat ini adalah lulusan dari sekolah Kweekschool-A.33

Sekolah Kweekschool-A Muntilan yang didampingi langsung oleh F. van Lith S.J. ternyata mampu meluluskan murid-muridnya dengan cemerlang. Tidak hanya dari segi nilai saja, lulusan sekolah F. van Lith S.J. mampu lulus ujian negara dan menjadi pegawai pemerintahan. Selain itu, jumlah orang yang meminta F. van Lith S.J. membaptis mereka juga semakin banyak. Beliau

33


(57)

kemudian mencoba mencari dukungan yang lebih besar dari Superior Misi. F. van Lith S.J. berusaha membuka sekolah Kweekschool-B yang merupakan sekolah lanjutan dari Kweekschool-A yang menggunakan Bahasa Belanba sebagai bahasa pengantarnya sehingga mereka yang telah lulus dari Kweekschool-A dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi dan tidak hanya sebatas membantu mengajar di Kweekschool-A saja. Atas dasar dukungan dari J. Martens S.J. yang dilayangkan kepada Provinsial di Belanda dan Jendral di Roma cita-cita mendirikan Kweekschool-B tersebut akhirnya terwujud.

Pada awalnya perkembangan Kweekschool-B sangat lambat. Istilah sekolah Katolik dirasa masih asing bagi penduduk pribumi. Lama kelamaan murid di Muntilan semakin banyak. F. van Lith S.J. dan misonaris di Muntilan semakin kewalahan. F. van Lith S.J. selalu menginformasikan segala kendalanya mengenai kekurangan tenaga pengajar kepada Jendral dan Provinsial. Berkat informasi yang berkesinambungan mengenai perkembangan misi di Muntilan, kemudian pada tahun 1909 Provinsial mengirimkan tiga calon imam untuk menjalani Tahun Orientasi Kerasulan di Muntilan. Diharapkan selain mengajar di Kweekschool-B para skolastika ini mampu mempelajari bahasa dan budaya masyarakat Jawa.

Selain di Muntilan, Mendut juga kembali dilirik oleh F. van Lith S.J. untuk dikembangkan menjadi daerah misi setelah kedatangan suster dari Ordo Fransiskanes tepatnya tahun 1908. Di Mendut F. van Lith S.J. mencoba mendirikan sekolah bagi perempuan-perempuan pribumi. Tujuan dari pendirian sekolah ini sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu untuk menyiapkan terbentuknya keluarga Kristiani yang kokoh. Harapan dari F. van Lith S.J. adalah ketika


(58)

41 perempuan-perempuan lulusan sekolah di Mendut ini menikah, mereka akan menjadi pendidik anak mereka sehingga terwujud suatu keluarga Kristiani yang kokoh di masa depan nantinya. Dalam waktu yang singkat sekolah asrama yang diperuntukkan bagi perempuan pribumi ini berkembang dengan pesat dan mendapat sebutan sekolah Mendut. Pada tahun 1911 sekolah tersebut sudah memiliki 50 murid, pada tahun 1919 bertambah menjadi 250 murid, pada tahun 1939 bertambah lagi menjadi 500 murid. Memang segala macam kegiatan di sekolah ini dilakukan oleh para suster, namun segala urusan administrasi diurus

oleh yayasan “Asosiasi R. C. Kweekschool” yang didirikan pada tahun 1906 oleh F. van Lith S.J.34

Pada tanggal 30 September 1910 hingga 18 Maret 1911 kurang lebih selama enam bulan Provinsial Belanda yang bernama I. Vogels S.J. mengunjungi Indonesia. Untuk pertama kalinya seorang Provinsial Belanda datang ke Indonesia sejak misi Indonesia dipercayakan kepada Jesuit Belanda. Kedatangan beliau disertai dengan imam baru dan tiga skolastika yang akan bekerja di Muntilan. Ketika beliau melihat perkembangan yang sangat pesat di Muntilan, beliau langsung mengusulkan supaya karya misi di Muntilan itu menjadi pelayanan utama para Jesuit di Indonesia. Bersamaan dengan kedatangan Provinsial Belanda tersebut, Jenderal menyatakan bahwa Kweekschool Muntilan dijadikan sebagai Kolese Xaverius. Saat itu J. Martens S.J. ditunjuk sebagai rektor yang pertama.35

Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang meyatakan bahwa sekolah swasta yang mendapatkan subsidi juga berhak mendapatkan

34

Ibid., hlm.158.

35


(59)

pengakuan atau statusnya disamakan dengan sekolah negeri menjadikan dorongan bagi F. van Lith S.J. untuk mengejar dan mendapatkan status tersebut. F. van Lith S.J. beberapa kali mengunjungi Bogor untuk bertemu dengan Gubernur Jenderal A.F. van Indenburg (1909-1916). Kerja keras beliau ini akhirnya membuahkan hasil di mana sekolah Kolese Xaverius mendapat kunjungan Gubernur Jenderal pada tanggal 11 Oktober 1911. Sebulan kemudiaan setelah kedatangan Gubernur Jenderal empat murid Kolese Xaverius menempuh ujian akhir dan lulus dengan gemilang. Pada tanggal 25 Juni 1912, Kolese Xaverius mendapatkan pengakuan resmi statusnya telah disamakan dengan sekolah negeri.36

F. van Lith S.J. tidak hanya berhenti sampai pada mendirikan sekolah umum saja. Melihat perkembangan iman yang mendalam dalam diri anak-anak asrama Kolese Xaverius, F. van Lith S.J. tergerak untuk membangun suatu seminari di Muntilan. Dorongan ini muncul ketika seorang muridnya yang bernama P.J. Darmosapoeto dan F.X. Satiman menemuinya untuk megutarakan niatnya menjadi seorang imam. Waktu itu di Indonesia belum ada seminari atau sekolah calon . Keinginan tersebut kemudian diutarakan kepada Provinsial yaitu I. Vogels S.J. Sebelum terwujudnya seminari di Muntilan, F. van Lith S.J. meminta kedua orang muridnya ini mengajar bahasa Melayu di Kolese Xaverius. Di sela-sela jam mengajar, kedua murid yang berkeinginan menjadi imam tersebut diajari bahasa Latin dan Yunani oleh F. van Lith S.J. Pada tanggal 31 Mei 1912 Jenderal F. Wernz menyetujui dibukanya seminari di Muntilan. Hal ini merupakan sebuah pencapaiaan yang luar biasa dari F. van Lith S.J. Masyarakat Jawa

36


(60)

43 tergerak hatinya menjadi imam tanpa sebuah pemaksaan. Mereka menjadi imam karena terinspirasi oleh F. van Lith S.J. Karya di awal ini akan menginspirasi karya misi di daerah lain supaya berkembang nantinya. Banyak karya misi yang nantinya juga berkembang pesat seperti di Muntilan. Tidak hanya sekedar meluluskan siswanya saja, kelak lulusan-lulusan sekolah Muntilan akan menjadi pemimpin-pemimpin yang juga mampu memajukan masyarakat pribumi seperti F. van Lith S.J.37

Semangat juang yang tinggi diperlihatkan F. van Lith S.J. kepada orang-orang di sekitarnya. Meskipun dalam kondisi sakit, beliau tetap berkarya di tengah masyarakat Jawa. Pada tanggal 9 Januari 1926 sakit yang dideritanya semakin parah dan hingga pada akhirnya pada tanggal tersebut beliau meninggal dunia. F. van Lith S.J. dimakamkan di makam Kerkop Muntilan. Di makam inilah disemayamkan seorang teladan pendidik sejati.

37


(61)

44

BAB IV

DAMPAK DARI KARYA F. VAN LITH S.J. DALAM BIDANG PENDIDIKAN BAGI MASYARAKAT JAWA

A.Bertambah Banyaknya Jumlah Pengikut Ajaran Katolik

Mensejahterakan dan memajukan perekonomian dan pendidikan merupakan cara yang sangat efektif dalam upaya melebarkan jalan menuju surga. Keberhasilan misi di Jawa tidak bisa lepas dari usaha karya misioner F. van Lith S.J. Lewat metode yang tidak biasa dan banyak ditentang oleh berbagai kalangan, beliau mampu membuktikan bahwa apa yang beliau kerjakan pasti membuahkan hasil. Jumlah baptisan dari kalangan pribumi menjadi tolok ukur keberhasilan karya misi para misionaris. F. van Lith S.J. mampu membuktikan kepada para pemimpin misi bahwa keberhasilannya tidak hanya sebatas pada penambahan jumlah umat Katolik, melainkan juga mencetak pemimpin-pemimpin gereja dari sekolah yang beliau bangun.

Jika melihat perkembangan jumlah umat yang masuk ke dalam ajaran Katolik, kita tidak bisa mengabaikan peranan dari para lulusan sekolah di Muntilan dan Mendut. Keinginan banyak orang yang masuk ke dalam ajaran Katolik waktu itu banyak yang disebabkan karena mengalami sentuhan kasih dari para misionaris dan para alumni sekolah di Mendut dan Muntilan. Banyak guru lulusan dari sekolah Muntilan dan Mendut yang dikaryakan di sekolah-sekolah yayasan dan negeri yang mampu menginspirasi orang lain untuk bergabung dalam


(62)

45 komunitas Katolik. Tabel di bawah menunjukkan bagaimana pertambahan jumlah umat Katolik yang berawal dari karya lulusan sekolah di Muntilan dan Mendut.

Tabel data perkembangan umat berkat karya para lulusan sekolah misi di sekitar Muntilan dan Mendut. 38

TAHUN INDONESIA

1915 2.425 1928 8.810 1933 17.442 1938 21.922 1940 25.278 1942 30.460 1950 47.013 1960 78.534 1963 (±)100.000 1973 234.135 1980 349.680 1985 376.537 1990 420.997

Dari awal kedatangannya F. van Lith S.J. memang tidak terlalu memikirkan bagaimana menjaring banyak orang supaya beliau mendapatkan jumlah baptisan yang banyak akan tetapi, beliau memikirkan bagaimana caranya supaya masyarakat Jawa terlepas dari belenggu kemiskinan dan penderitaan. Beliau berusaha memperlakukan masyarakat pribumi setara dengan dirinya ataupun memandang bahwa dirinya adalah sama dengan masyarakat pribumi. Cinta kasih yang ditunjukan oleh F. van Lith S.J. inilah yang semakin menambah daya tarik masyarakat pribumi untuk bergabung menjadi pengikut Kristus. Selain itu, F. van Lith S.J. selalu membela dan selalu memotivasi murid-muridnya supaya kelak bisa seperti dia dan bisa menjadi pemimpin bagi kaum pribumi. Tak

38

Bernhard Kieser, dkk, Gereja Keuskupan Agung Semarang, Yogyakarta, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, 1995. hlm. 19.


(1)

75-80 2.66 B-

70-74 2.33 C+

65-69 2.00 C

60-64 1.66 C-

55-59 1.33 D+

< 54 1.00 D

Yogyakarta, 10 Februari 2015 Guru Mata Pelajaran,


(2)

LAMPIRAN: 4

INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KETERAMPILAN

(PENILAIAN PRODUK)

Kelas :

Semester :

Tahun Pelajaran :

Periode Pengamatan : Tanggal s.d.

Butir Nilai : Menulis sejarah tentang pengaruh imperialisme dan kolonialisme Barat di Indonesia dalam bidang politik , kebudayaan, pendidikan, agama serta perlawanan kerajaan Indonesia terhadap imperialisme dan kolonialisme Barat

Indikator : Melaporkan hasil diskusi kelompok mengenai latar belakang, peran, dan pengaruh karya F. van Lith S.J. di Jawa 1896-1926 dalam bentuk makalah.

Soal : Buatlah laporan tertulis dalam bentuk makalah tentang latar belakang kehidupan F. van Lith S. J., keadaan Jawa sebelum kedatangan F. van Lith S. J.,bentuk karya F. van Lith S. J. dalam dunia pendidikan serta dampak dari karya F. van Lith S. J., dalam bidang pendidikan.


(3)

Rubrik Penilaian Produk

No. Nama

Kekesuaian dengan tema

(1-4)

Kelayakan Isi (1-4)

Sistematika (1-4)

Jumlah Skor

1. Febiana Eka 2. Kristina 3. Dst.

Keterangan Tabel:

a. Petunjuk penilaian berkaitan dengan kesesuaian dengan tema, mendapatkan:

Skor 1: Jika hanya mampu menulis 1 tema pembahasan saja dari 4 pembahasan yang diminta.

Skor 2: Jika hanya mampu menulis 2 tema pembahasan saja dari 4 pembahasan yang diminta.

Skor 3: Jika hanya mampu menulis 3 tema pembahasan saja dari 4 pembahasan yang diminta.

Skor 4: Jika mampu menuliskan 4 tema pembahasan yang diminta meliputi latar belakang kehidupan F. van Lith S. J., keadaan Jawa sebelum kedatangan F. van Lith S. J.,bentuk karya F. van


(4)

Lith S. J. dalam dunia pendidikan serta dampak dari karya F. van Lith S. J., dalam bidang pendidikan bagi masyarakat Jawa.

b. Petunjuk penilaian kelayakan isi, mendapat:

Skor 1: Jika hanya mampu menjelaskan dengan benar 1 topik pembahasansaja.

Skor 2: Jika hanya mampu menjelaskan dengan benar 2 topik pembahasan saja.

Skor 3: Jika hanya mampu menjelaskan dengan benar 3 topik pembahasan saja.

Skor 4: Jika mampu menjelaskan dengan benar 4 pembahasan mengenai latar belakang kehidupan F. van Lith S. J., keadaan Jawa sebelum kedatangan F. van Lith S. J.,bentuk karya F. van Lith S. J. dalam dunia pendidikan serta dampak dari karya F. van Lith S. J., dalam bidang pendidikan.

c. Petunjuk penilaiaan mengenai sistematika penulisan, mendapat:

Skor 1: Jika hanya mampu menulis dengan sistematis 1 pembahasan saja dari 4 pembahasan yang diminta. yaitu mengenai latar belakang kehidupan F. van Lith S.J.


(5)

Skor 2: Jika mampu menulis dengan sistematis mengenai 2 pembahasan dari latar belakang kehidupan F. van Lith S. J. dan keadaan Jawa sebelum kedatangan F. van Lith S. J.

Skor 3: Jika mampu menulis dengan sistematis mengenai 3 pembahasan dari latar belakang kehidupan F. van Lith S. J., keadaan Jawa sebelum kedatangan F. van Lith S. J.,bentuk karya F. van Lith S. J. dalam dunia pendidikan serta dampak dari karya F. van Lith S. J.

Skor 4: Jika mampu menulis dengan sistematis mengenai 4 pembahasan dari latar belakang kehidupan F. van Lith S. J., keadaan Jawa sebelum kedatangan F. van Lith S. J.,bentuk karya F. van Lith S. J. dalam dunia pendidikan serta dampak dari karya F. van Lith S. J., dalam bidang pendidikan.

Petunjuk penghitungan skor kompetensi ketrampilan: 7. Rumus Penghitungan Skor Akhir

Skor Akhir Siswa NA : Jumlah Skor x 100

Skor maksimal (12)

8. Tabel Penghitungan Nilai Akhir Kategori Skor Keterampilan Peserta Didik Didasarkan Pada Permendikbud No 81A Tahun 2013 Yaitu:


(6)

Interval Hasil Konversi Predikat

96-100 4.00 A

91-95 3.66 A-

86-90 3.33 B+

81-85 3.00 B

75-80 2.66 B-

70-74 2.33 C+

65-69 2.00 C

60-64 1.66 C-

55-59 1.33 D+

< 54 1.00 D

Yogyakarta, 10 Februari 2015 Guru Mata Pelajaran,