BAB II PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT TIONGHOA DAN
PENCATATANNYA
A. Pengertian Perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa
Sudah menjadi kodrat Tuhan, bahwa dua orang manusia yang berlainan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan mempunyai keinginan yang sama, untuk saling
mengenal, mengamati, dan mencintai bahkan mereka juga mempunyai keinginan yang sama untuk melangsungkan pernikahan. Apabila mereka melangsungkan
perkawinan, maka timbullah hak dan kewajiban antara suami dan istri secara timbal balik, demikian juga apabila dalam perkawinan itu dilahirkan anak, maka akan juga
timbul hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai perjanjian
antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri atau sering diartikan pula sebagai perkawinan. Para pakar hukum perkawinan Indonesia juga memberikan
definisi tentang perkawinan, antara lain sebagai berikut: 1.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan.
32
2. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci dan luas
dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan
32
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung : Sumur, 1974, hal.6.
Universitas Sumatera Utara
seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia.
33
3. Menurut Imam Syafi’i, perkawinan adalah suatu akad yang dengannya menjadi
halal hubungan seksual antara laki-laki dengan seorang perempuan.
34
4. Menurut Hazairin menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah
hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah perkawinan apabila tidak ada hubungan seksual.
35
5. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli kata dapat juga berarti
akad dengannya menjadi halal kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti lain bersetubuh.
36
6. Menurut Subekti, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. 7.
Menurut Ali Afandi, Perkawinan adalah persetujuan antara laki-laki dan perempuan di dalam hukum keluarga.
37
8. Menurut Victor Situmorang, perkawinan dilangsungkan dengan persetujuan
timbal balik yang bebas yang tidak dapat digantikan oleh campur tangan siapapun. Sebagai persetujuan timbal balik untuk hidup bersama, yang
hakikatnya adalah sosial dan penting bagi pergaulan hidup manusia.
33
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996, hal.2.
34
Hosen Ibrahim, Figh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk, Jakarta : Ihya Ulumudin, 1971, hal. 65.
35
Hazairin, Hukum kekeluargaan Nasional Indonesia, Jakarta : Tintamas, 1961, hal. 61.
36
Ibid., hal. 65.
37
Rusli, dan R. Tama, Perkawinan antar agama dan masalahnya, Bandung : Shantika Dharma, 1984, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
Persetujuan bebas suami isteri mempunyai akibat-akibat hukum. Perkawinan diakui dan dilindungi hukum, oleh sebab itu perkawinan dapat dipandang
sebagai suatu kontrak, akan tetapi ia merupakan suatu kontrak tersendiri.
38
9. Menurut K. Wantjik Saleh, perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan
oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yaitu membentuk keluarga rumah tangga yang
bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama dalam Pancasila.
39
10. Menurut Ali Afandi, perkawinan adalah persatuan seorang laki-laki dan perempuan secara hukum untuk hidup bersama, hidup bersama ini dimaksudkan
untuk berlangsung selama-lamanya.
40
Perbedaan pendapat-pendapat para ahli diatas tidak memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan pendapat
yang lain. Perbedaan itu hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk memasukkan unsur yang sebanyak-banyaknya dalam merumuskan pengertian
perkawinan. Dalam pendapat-pendapat para ahli diatas terdapat kesamaan yaitu bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian antara seorang laki-laki dengan
38
Victor Situmorang, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Jakarta : Bina Aksara, 1998, hal. 34.
39
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1976, hal. 15.
40
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta : Rineka Cipta, 1997, hal. 95.
Universitas Sumatera Utara
seorang perempuan. Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, abadi untuk selamanya.
Pada prinsipnya, perkawinan atau nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong
antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila ditinjau dari segi hukum, tampak jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad suci
dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga
sakinah, penuh kasih sayang dan kebajikan serta saling menyantuni antara keduanya.
41
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan pengertian perkawinan yang didalamnya terkandung tujuan dan dasar
perkawinan dengan rumusan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
Rumah Tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Jika diperhatikan bagian pertama pasal tersebut, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri.
Dari kalimat diatas, jelas bahwa perkawinan itu baru ada apabila dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan. Seiring dengan perkembangan jaman,
41
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : Penerbit PT. Rineke Cipta, 1991, cetakan I, hal 1.
Universitas Sumatera Utara
sering dijumpai di dalam masyarakat terdapat hubungan antara seorang pria dengan seorang pria yang disebut homo seksual atau seorang wanita dengan seorang wanita
yang disebut lesbian, hubungan ini tidak dapat dilanjutkan ke jenjang perkawinan, karena di negara Indonesia tidak mengatur perkawinan sesama jenis dan di dalam
hukum agamapun tidak diperbolehkan adanya perkawinan sesama jenis. Dengan demikian di dalam pengertian perkawinan itu jelas terlihat adanya unsur ikatan
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan berpegang kepada rumusan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu pada bagian kalimat kedua yang berbunyi sebagai
berikut: ”dengan tujuan membentuk keluarga Rumah Tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Rumusan tujuan perkawinan tersebut mengandung arti bahwa dengan melangsungkan perkawinan, diharapkan akan memperoleh kebahagiaan lahir batin.
Kebahagiaan yang akan dicapai ini bukanlah kebahagian yang bersifat sementara melainkan kebahagiaan yang bersifat kekal selamanya sampai kematian
memisahkan mereka berdua. Berdasarkan rumusan tersebut, maka Undang-Undang membuat pembatasan yang ketat terhadap perceraian atau pemutusan perkawinan.
Masyarakat Tionghoa Indonesia adalah masyarakat patrilineal yang terdiri atas marga suku yang tidak terikat secara geometris dan teritorial yang selanjutnya
Universitas Sumatera Utara
telah menjadi satu dengan suku-suku lain di Indonesia. Mereka kebanyakan masih membawa dan mempercayai adat leluhurnya.
42
Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur
agama.
43
Menurut Kusumadi Pudjosewojo bahwa “Adat ialah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat sudah, sedang, akan diadakan. Dan adat itu ada
yang tebal, ada yang tipis, dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku manusia dalam masyarakat seperti yang dimaksudkan tadi adalah
aturan-aturan adat.”
44
Hukum adat Tionghoa hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Tionghoa itu sendiri. Bertahan atau tidaknya sebahagian maupun
keseluruhan dari kebiasaan dan adat-istiadat Tionghoa tergantung kepada masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, apakah masih sesuai adat-istiadat tersebut
untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Agama merupakan faktor penting yang
menentukan berlanjutnya kebiasaan budaya Tionghoa. Bagi keluarga yang menganut kepercayaan Budha dan Tao misalnya, kedekatan dengan kebudayaan
42
K. Ginarti B, Adat Pernikahan, Majalah Jelajah Volume 3, Tahun 1999, tanggal 20 Desember 1999, hal. 12.
43
Sulaiman, B. Taneka, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Depan, Bandung : E.esco, 1987, hal. 11.
44
Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1978, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
Tionghoa masih kuat karena banyak upacara keagamaan, seperti penggunaan hio dalam pemujaan leluhur yang terkait dengan kebudayaan Tionghoa.
45
Hukum adat Tionghoa tidak memberikan pengertian secara gamblang mengenai definisi dari perkawinan. Namun dalam adat Tionghoa itu sendiri,
perkawinan merupakan suatu sarana bagi seorang laki-laki dan seorang wanita untuk hidup bersama dan mendapatkan keturunan yang pada akhirnya akan
meneruskan marga dari si ayah. Sistem kekeluargaan yang dianut dalam hukum adat Tionghoa adalah sistem
kekeluargaan patrilineal, yakni bahwa yang menentukan garis keturunan adalah dari pihak laki-laki. Pihak laki-laki memegang peranan yang sangat penting dalam suatu
keluarga, artinya bahwa anak laki-laki memiliki posisi dan kedudukan yang istimewa dalam keluarga karena merupakan penerus marga atau nama keluarga.
Ada atau tidaknya anak laki-laki yang lahir dari suatu perkawinan pada masyarakat etnis Tionghoa sangat menentukan sekali diteruskan atau tidaknya
marga atau nama keluarga dari si ayah karena hanya anak laki-laki yang meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya, sedangkan anak perempuan
tidak dapat meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya karena menurut hukum keluarga atau aturan kekerabatan bangsa Cina, perempuan yang sudah
45
Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
menikah akan keluar dari keluarganya dan masuk dalam keluarga suami
46
sehingga anak-anak yang lahir akan meneruskan marga atau nama keluarga suaminya pula.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian perkawinan menurut hukum adat Tionghoa adalah ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dalam membina rumah tangga dan mendapatkan keturunan untuk meneruskan nama keluarga atau marga
dari ayahnya.
B. Syarat dan Prosesi Perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa