BAB III PENETAPAN PENGESAHAN PERKAWINAN YANG DILANGSUNGKAN
MENURUT HUKUM ADAT TIONGHOA
A. Upaya
yang  dapat  Dilakukan  terhadap  Perkawinan  yang Tidak
Dicatatkan
Tujuan  pencatatan  perkawinan  tidak  lain  semata-mata  untuk  memperoleh kepastian hukum. Dalam hal ini, K. Wantjik Saleh berpendapat sebagai berikut :
“Kiranya  dapatlah  dikatakan bahwa  pencatatan  perkawinan  itu  bertujuan untuk  menjadikan  peristiwa  perkawinan  itu  menjadi  jelas,  baik  bagi  yang
bersangkutan  maupun  bagi  orang  lain  dan  masyarakat  karena  dapat  dibaca dalam  suatu  surat  yang  resmi  dan  termuat  dalam  suatu  daftar,  dapat
dipergunakan  dimana  perlu  terutama  sebagai  suatu  alat  bukti  yang  otentik. Dengan  adanya  surat  bukti  ini  dapatlah  dibenarkan  atau  dicegah  suatu
perbuatan lain.”
93
Untuk memperoleh kepastian hukum mengenai status perdata seseorang, ada 5 lima peristiwa hukum yang perlu dilakukan pencatatan, yaitu
94
: a.
Perkawinan,  menentukan  status  hukum  seseorang  sebagai  suami  atau isteri dalam ikatan perkawinan menurut hukum.
b. Kelahiran,  menentukan  status  hukum  seseorang  sebagai  subjek  hukum,
yaitu pendukung hak dan kewajiban. c.
Perceraian, menentukan status hukum seseorang sebagai janda atau duda yang bebas dari ikatan perkawinan.
d. Kematian,  menentukan  status  hukum  seseorang  sebagai  ahli  waris,
sebagai janda atau duda dari almarhum  almarhumah. e.
Penggantian  nama,  menentukan  status hukum  seseorang  dengan
identitas tertentu dalam hubungan perdata.
93
K. Wantjik Saleh, Uraian Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Ikhtiar Baru, 1995, hal. 16.
94
Abdulkadir  Muhammad, Hukum  Perdata  Indonesia, Bandung  :  PT.  Citra  Aditya  Bakti, 1990, hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
Peristiwa  hukum  perkawinan,  seperti  juga  peristiwa-peristiwa  hukum  yang lain  dalam  kehidupan  seseorang  misalnya  kelahiran,  kematian,  perceraian  dan
penggantian nama diperlukan pencatatan di Kantor Catatan Sipil untuk memperoleh kepastian  hukum  bahwa  telah  terjadi  suatu  perkawinan.  Kepastian  hukum  sangat
penting  artinya  dalam  setiap  perbuatan  hukum,  menentukan  hak  dan  kewajiban yang sah antara pihak-pihak yang berhubungan hukum tersebut.
Untuk  menjaga  serta  melindungi  kepentingan dan  kedudukan isteri  dan anak-anak beserta  keturunannya dalam  perkawinan  yang  tidak  dicatatkan dari
berbagai akibat hukum yang tidak diinginkan dapat melakukan penyelesaian secara kekeluargaan  atau  musyawarah  untuk  mufakat maupun  dengan  menempuh  jalur
hukum. 1.
Penyelesaian secara kekeluargaan atau musyawarah untuk mufakat Penyelesaian  melalui  jalur  hukum  seringkali  menimbulkan  biaya  yang
sangat  besar  serta  memberi  akibat  hukum  dan  sosial  yang  terkadang  bertolak belakang dengan apa yang diharapkan para pihak. Hal ini dapat memicu hancurnya
hubungan  baik  yang  telah  terbina  selama  ini  serta  berpotensi  menimbulkan permasalahan  baru  dikemudian  hari.  Untuk  menghindari  hal  tersebut,  adalah  lebih
baik penyelesaian dilakukan secara kekeluargaan atau musyawarah untuk mufakat, yakni  dengan  adanya  kesepakatan,  itikad  baik  dan  pertanggungjawaban  moral  dari
para  pihak  sehingga  diharapkan  dapat  mencapai  hasil  akhir  yang  memuaskan  dan sesuai harapan para pihak.
Universitas Sumatera Utara
Masalah  yang  paling  sering timbul  dan  banyak  dihadapi dalam  perkawinan adalah mengenai warisan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Hubungan baik dan
kesadaran  masing-masing  pihak  adalah  solusi  yang  paling  baik  dalam menyelesaikan  permasalahan  yang  timbul  tersebut,  yakni  orang  tua kandung  atau
saudara-saudara  kandung  sebagai  ahli  waris  sah  berdasarkan  Undang-Undang menyadari  sepenuhnya  dan  mengakui  bahwa isteri  danatau  anak-anak  beserta
keturunannya  adalah  ahli  waris  yang  paling  berhak  atas  harta  warisan  sang suamiayahnya  yang  telah  meninggal  dunia,  meskipun  perkawinan  yang  telah
dilangsungkan  tersebut  tidak  danatau  lalai  dicatatkan  menurut  peraturan perundang-undangan  yang  berlaku. Karenanya  mereka  dapat  memperjanjikan
bahwa  mereka  akan memberikan  atau menghibahkan  seluruh  warisan  yang seharusnya  mereka  peroleh  berdasarkan  Undang-Undang  kepada  isteri  danatau
anak-anak  beserta  keturunannya sebagai  ahli  waris  yang  paling  berhak. Hal  ini dimungkinkan  karena  menurut Pasal  1338 Kitab  Undang-Undang  Hukum  Perdata,
suatu  perjanjian  berlaku  sebagai  Undang-Undang  bagi para  pihak  yang
membuatnya.
95
2. Penyelesaian melalui jalur hukum
Adanya suatu perkawinan tak dapat dibuktikan dengan cara lain, melainkan dengan  akta  perlangsungan  perkawinan  itu,  yang  telah  dibukukan  dalam  register-
95
Hukumonline.com, Tanya  Jawab  Hukum  Waris  dan  Anak,  Ciputat  :  Kataelha,  2010, hal.50.
Universitas Sumatera Utara
register catatan  sipil
96
,  kecuali apabila  ternyata  bahwa  register-register  itu  tidak pernah  ada,  atau  telah  hilang,  atau  pula  akta  perkawinan  itu  tidak  terdapat  di
dalamnya,  maka  penilaian  tentang  cukup  tidaknya  bukti-bukti  tentang  adanya perkawinan  diserahkan  kepada  hakim,  asalkan  kelihatan  jelas  adanya  hubungan
selaku suami-isteri.
97
Tidak menjadi masalah ketika pasangan suami isteri yang tidak mencatatkan perkawinannya
masih hidup
dan kemudian
sadar untuk
mencatatkan perkawinannya,  yang  harus  mereka  lakukan  adalah mencatatkan  perkawinan  yang
telah  melampaui  batas  waktu  tersebut  ke  Kantor  Catatan  Sipil  danatau  Dinas Kependudukan.  Timbul  permasalahan  ketika  salah  satu  dari  suami    isteri  tersebut
telah meninggal dunia, sedangkan perkawinan antara mereka lalai dicatatkan. Guna  menghindari akibat  hukum  yang  merugikan  kepentingan  isteri
danatau  anak-anak  yang  lahir  dari  suatu  perkawinan  yang tidak  dicatatkan,  maka berdasarkan  pasal  101  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Perdata  masih  terbuka
kemungkinan  untuk  melakukan  pembuktian kepada  hakimpengadilan tentang adanya suatu perkawinan yang telah berlangsung namun belum dicatatkan di Dinas
Kependudukan setempat dengan menyertakan bukti-bukti maupun saksi-saksi. Untuk  pengajuan  pembuktian  adanya  perkawinan  dimaksud  dapat
mengajukan  bukti-bukti  berupa  Kartu  Keluarga, Kutipan Akta  Kelahiran,  Surat Keterangan dari kelurahan setempat dan Surat Keterangan Perkawinan dari Vihara
96
Pasal 100 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
97
Pasal 101 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
atau  Gereja,  selain  itu  dapat  juga  mengajukan  saksi-saksi  yang  mengetahui  secara langsung  dan pasti  telah  dilaksanakannya  perkawinan  dimaksud  secara  adat
danatau  agamanya,  baik  itu  saksi  dari  keluarga,  sanak  saudara  maupun  tetangga rumah yang menyaksikan secara langsung berlangsungnya perkawinan dimaksud.
Ketentuan  tersebut  membuka  peluang  bagi perkawinan  yang  telah
dilangsungkan  menurut  adat  danatau  agama  namun  tidak  atau  lalai  dicatatkan  ke Pegawai  Pencatat  Perkawinan  tersebut untuk dapat  memintakan  pengabsahan
perkawinan tersebut
kepada hakimpengadilan
yang kemudian
akan mempertimbangkannya berdasarkan  bukti  dan  saksi  yang  ada  tentang  benar  suatu
perkawinan telah dilangsungkan. Machfud  M.D.,  Ketua  Mahkamah  Kontitusi  menyatakan  bahwa
Perkawinan  yang tidak dicatatkan tidaklah melanggar konstitusi, karena dijalankan sesuai  akidah  agama  yang dilindungi  Undang-undang  Dasar  1945.
98
Untuk  itu, guna  melindungi  kepentingan  dan  menghindari  kerugian  diderita  oleh  isteri  dan
anak-anak  dari  dampak-dampak  hukum  perkawinan  tidak  dicatatkan  yang  tidak diinginkan serta untuk mencapai rasa keadilan dalam masyarakat, negara dalam hal
ini  pemerintah  memberikan  suatu  solusi  melalui  kompensasi  terhadap  perkawinan adat  masyarakat  Tionghoa  yang  lalai  dicatatkan  untuk  dimohonkan  penetapan
pengesahan perkawinan kepada pengadilanhakim.
98
Zulfadli Ibnu Fauzi, Perkawinan yang Tidak Dicatatkan : Sah Menurut Pakar Hukum dan Yurisprudensi,
diakses dari
http:hukum.kompasiana.com20110610perkawinan-yang-tidak- dicatatkan-sah-menurut-pakar-hukum-dan-yurisprudensi, pada tanggal 25 Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
Terhadap  penetapan  pengesahan perkawinan  adat,  Harifin  Andi  Tumpa Ketua  Mahkamah  Agung  berpandangan  sebagai  berikut,  ”Perkawinan  yang  tidak
dicatatkan merupakan gejala umum dan didasarkan atas itikad baik atau ada faktor darurat, maka hakim harus mempertimbangkan”.
99
Posisi isteri dan anak-anak beserta keturunannya dalam hal ini sangat lemah dan  riskan  karena  posisinya  sebagai  ahli  waris  sepenuhnya  tergantung  kepada
pertimbangan-pertimbangan  dan  keyakinan  hukum  hakim.  Dalam  hal  menurut pertimbangan  dan  keyakinan  hukum  hakim  bahwa  bukti-bukti  serta saksi-saksi
yang  diajukan  belum  cukup  untuk  membuktikan  adanya  suatu  perkawinan,  maka penetapan  atau  putusan  penolakan  permohonan penetapan  pengesahan  perkawinan
yang  diberikan  hakim  akan  berdampak isteri  dan  anak-anak  beserta  keturunannya tersebut  tidak  mempunyai  hubungan  hukum  apapun  dengan  suamiayah  dan  tidak
dapat menjadi ahli waris yang sah dari suamiayah tersebut. Akibat-akibat hukum yang tidak diinginkan tersebut dapat dihindari apabila
sejak  dini  masyarakat  memiliki  kesadaran  untuk  mencatatkan  perkawinan  yang telah  dilangsungkan  menurut  adat  maupun  agama  ke  Pegawai  Pencatat  Nikah
sebagaimana  dikehendaki  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan itu.
99
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Upaya  untuk  meningkatkan  kesadaran  masyarakat  Tionghoa  untuk melakukan pencatatan perkawinan dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni :
a. Mensosialisasikan  kembali  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang
Perkawinan  kepada  seluruh  rakyat  Indonesia,  khususnya  masyarakat Tionghoa.
b. Menentukan  peraturan  yang  memberikan  kemudahan  dalam  pencatatan
perkawinan, khususnya bagi masyarakat Tionghoa. c.
Memberikan  pelayanan  yang  memuaskan  dan  tidak  berbelit-belit  dalam pencatatan perkawinan oleh Pemerintah  Pegawai Pencatat Nikah.
d. Memberikan  pendidikan  mengenai  pentingnya  pencatatan  perkawinan  bagi
diri dan keluarga. e.
Memberikan bimbingan serta pembinaan bagi masyarakat Tionghoa terutama mengenai  Hukum  Perkawinan  dan  administrasi  perkawinan  yang  berlaku  di
Indonesia.
B. Prosedur Pencatatan Perkawinan Melampaui Batas Waktu