melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Nikah dan Pasal 10 ayat 3 tentang tata cara perkawinan menurut masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah dan dihadiri oleh dua orang saksi serta Pasal 40 tentang poligami
oleh suami tanpa izin pengadilan, dihukum dengan hukuman denda paling banyak Rp.7.500,00 tujuh ribu lima ratus rupiah.
Orang yang dapat dijatuhi hukuman denda menurut Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dapat dilihat dari ketentuan Pasal 3 ayat 1
Peraturan Pemerintah tersebut, yakni setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan, antara lain calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan.
3. Kebiasaan Masyarakat Hukum Adat Tionghoa dalam Pencatatan
Perkawinan di Indonesia
Dengan berlakunya hukum perdata Eropa mengenai hukum keluarga, maka berdasarkan Stb. 1917 : 129, perkawinan menurut hukum adat Cina harus
ditinggalkan. Sebelum tanggal 1 Mei 1919 perkawinan orang Cina dilangsungkan menurut hukum adatnya.
81
Setelah tanggal 1 Mei 1919 perkawinan bangsa Cina harus dilakukan oleh pegawai kantor Catatan Sipil. Kedua pengantin harus datang
ke kantor Catatan Sipil. Perkawinan yang hanya dilangsungkan menurut adat dan tidak dilangsungkan oleh pegawai Catatan Sipil tidak dianggap sebagai perkawinan
81
Natasya Yunita Sugiastuti, Op.Cit., hal. 368.
Universitas Sumatera Utara
dan oleh hukum tidak diberi akibat, jika kemudian lahir seorang anak maka anak ini dianggap sebagai anak luar kawin.
82
Kemudian dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dalam Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa perkawinan
adalah sah
apabila dilakukan
menurut masing-masing
agamanya dan
kepercayaannya itu dan Pasal 2 ayat 2 lebih lanjut menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
menunjukkan bahwa Undang-Undang menghendaki agar setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kenyataaannya dalam masyarakat, sering dijumpai perkawinan masyarakat Tionghoa yang hanya dilangsungkan menurut adat danatau agama,
namun lalai dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mengetahui
sebab-sebab masyarakat
Tionghoa yang
tidak mencatatkan
perkawinannya di Kantor Catatan Sipil dapat kita lihat pada tabel dibawah ini:
82
Ibid, hal. 369.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1 Alasan masyarakat Tionghoa tidak mencatatkan perkawinan
No. Alasan
Jumlah Narasumber Persentase
1. Tidak mempunyai biaya
1 orang 10
2. Menghindari urusan yang berbelit-
belit 2 orang
20
3. Perkawinan yang tidak disetujui
1 orang 10
4. Cara pandang yang salah
4 orang 40
5. Tidak mengetahui hukum perkawinan
Indonesia 2 orang
20
JumlahTotal : 10 orang
100 Sumber: Hasil wawancara dengan narasumber di Kota Medan pada bulan Juli 2011.
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa faktor cara pandang masyarakat Tionghoa yang memegang teguh adat Tionghoa dan menganggap
perkawinan yang telah dilangsungkan menurut adat Tionghoa tetap sah meskipun tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
menjadi alasan danatau penyebab utama bagi masyarakat Tionghoa tidak mencatatkan perkawinannya, diikuti dengan faktor-faktor lain, seperti kurangnya
pengetahuan masyarakat Tionghoa akan pentingnya pencatatan perkawinan dan menghindari urusan birokrasi pencatatan perkawinan yang berbelit-belit di Kantor
Catatan Sipil tanpa menghiraukan atau mempertimbangkan akibat-akibat hukum yang tentu tidak diinginkan di kemudian hari.
Universitas Sumatera Utara
Faktor keengganan untuk mencatatkan perkawinan ini menjadi salah satu masalah yang sampai saat ini masih terjadi dalam masyarakat Tionghoa. Fenomena
sosial yang timbul jelas bukan disebabkan oleh tinggi atau rendahnya faktor ekonomi, akan tetapi lebih cenderung timbul diakibatkan oleh karena sikap pandang
masyarakat Tionghoa yang menjunjung tinggi adatnya. Selain itu, sebenarnya kesalahan juga ada pada pihak-pihak yang berkompeten, yaitu lembaga-lembaga
yang berkaitan dengan catatan sipil. Karena sebagaimana diketahui, masyarakat masih banyak yang buta hukum, atau tidak memahami peraturan-peraturan yang
berlaku baginya sebagai warga negara. Masyarakat masih banyak belum mengerti hukum yang mengatur segala aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
83
Untuk itu, lembaga pencatatan perkawinan perlu untuk mensosialisasikan
pentingnya pencatatan serta bekerjasama dengan lembaga keagamaan maupun kepercayaan.
Tidak menjadi masalah ketika pasangan suami isteri yang tidak mencatatkan perkawinannya
masih hidup
dan kemudian
sadar untuk
mencatatkan perkawinannya, yang harus mereka lakukan adalah mencatatkan perkawinan yang
telah melampaui batas waktu tersebut. Timbul permasalahan ketika salah satu dari suami isteri tersebut telah meninggal dunia, sedangkan perkawinan antara mereka
lalai dicatatkan. Hal demikian sering terjadi dalam masyarakat Tionghoa, terutama dijumpai dalam bidang kenotarisan, yang dibenarkan oleh salah seorang Notaris
83
Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008, hal. 120-121.
Universitas Sumatera Utara
senior di Kota Medan, yakni bahwa kesadaran masyarakat Tionghoa baru muncul ketika salah satu dari suami isteri tersebut telah meninggal dunia akan tetapi
ternyata perkawinan mereka belum dicatatkan sehingga ketika para ahli waris bersangkutan hendak membuat Surat Keterangan Ahli Waris, akta-akta pembagian
warisan ataupun hendak menjual danatau membalik nama harta benda yang merupakan harta warisan, barulah mereka sadar bahwa mereka tidak berhak
menurut hukum atas harta warisan yang ditinggalkan.
84
Terhadap kasus demikian, jalur hukum yang dapat ditempuh adalah melalui permohonan penetapan
pengesahan perkawinan yang tergantung kepada keputusan dan pertimbangan hakim mengenai sah atau tidaknya perkawinan tersebut.
E. Akibat Hukum Perkawinan Tidak Dicatatkan