Tahapan Pengembangan Pencatatan Akuntansi di Bank Muamalat Indonesia
Indonesia bermuamalah yang sesuai dengan ajaran Islam. Kelompok ini diprakarsai oleh tokoh-tokoh Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
ICMI , serta Majelis Ulama Indonesia MUI yang pada waktu itu, sekitar tahun 1990-1999
62
. Dengan berdirinya Bank Syariah tentu membutuhkan seperangkat
aturan yang tidak terpisahkan, berupa peraturan perbankan, kebutuhan kepengawasan, auditting, kebutuhan pemahaman terhadap produk-produk
syariah. Dengan demikian, peneliti meyakini bahwa kemunculan kebutuhan , pengembangan teori dan praktik akuntansi syariah, sejak berdirinya bank
syariah menjadi salah satu bentuk implementasi ekonomi Islam. Pada saat awal pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 7
tahun 1992 tentang perbankan, eksistensi bank syariah pada saat itu secara hukum positif diakui pada pasal 6 huruf m, “ Menyediakan Pembiayaan bagi
nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang diterapkan dalam peraturan pemerintah” pada tahap ini lebih dikenal dengan
bank Islam atau bank syariah. Dalam PP No. 70 Tahun 1992 pasal 5 ayat 3 menyebutkan dengan
frase “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dalam
penjelasanya tersebut “ Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil”. Begitu pula dalam PP No. 71 Tahun 1992 pasal 6 ayat 2 tentang Bank Perkreditan
Rakyat hanya menyebutkan frase ” Bank Perkreditan Rakyat yang akan
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil”. Maka dari itu
62
Warkum Suminto, Asas-Asas Perbankan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal.82.
“Bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah Bank Islam pada saat itu dan prinsip bagi hasil pada saat itu adalah prinsip muamalat berdasarkan
syariat dalam melakukan kegiatan usaha bank.
63
Pada saat berlakunya UU No 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut diatas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank
Islam. Oleh Karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam telah diakui secara hukum positif di Indonesia. Namun belum mendaptkan
dukungan yang wajar berkenaan dengan praktek transaksionalnya. Hal ini dapat dilihat dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan
dibandingkan penyaluranya ke masyarakat. Bagi Bank Muamalat Indonesia, tidak ada kesulitan untuk
mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyaluran masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen
investasi yang berdasarkan prinsip sayriah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di BI, pemerintah atau antara bank. Karena masih
berorintasi dan melibatkan banyak pihak yang tak berbasis syariah. Maka Bank Muamalat Indonesia membuat suatu pencatatan pelaporan yang diberi
istilah sebagai “ pendapatan non halal” yakni, pendapatan yang didapati dari transaksi yang bersifat perbankan atau lembaga keuangan konvensional.
Meskipun demikian, hal itu terjadi karena belum adanya undang-undang atau standar akuntansi keuangan yang dikhususkan untuk akuntansi syariah.
63
Warkum Suminto, Asas-Asas Perbankan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal.82
Peraturan perundangan yang ada tidak menyinggung hal-hal yang berkenaan dengan pencatatan akuntansi secara syariah hingga tahun 2002.
Dengan demikan, berdasarkan data dokumen dapat diinterprestasikan bahwa, keberadaan sejarah pemikiran tentang akuntansi syariah adalah
setelah adanya standar akuntansi perbankan syariah, setelah terbentuknya pemahaman yang lebih konkrit tentang apa dan bagaimana akuntansi syariah
dan terbentuknya lembaga-lembaga yang berkonsentrasi pada akuntansi syariah, baik secara pengetahuan umum maupun teknis. IAI mulai
membentuk Komite Akuntansi Syariah di Indonesia. Begitupun dengan Bank Muamalat Indonesia dari awal berdiri pada tahun 1991 dan mulai beroprasi
pada tahun 1992, pencatatan akuntansi yang dilakukan hanya berkenaan dengan akuntansi sewajarnya, yang diberlakukan pada bank-bank lain atau
bank-bank konvensinal pada umumnya, oleh karena itulah terdapat pencatatan “pendapatan non halal” hanya disitu letak perbedaanya. Hal ini berlaku sampai
dengan tahun 2002 hingga akhirnya diterbitkan PSAK 59. PSAK 59 sebagai produk DSAK
–IAI merupakan awal dari pengakuan Akuntansi Syariah di Indonesia . PSAK ini disahkan tanggal 1 Mei 2002, dan
berlaku mulai 1 Januari 2003, dan pada awal tahun 2003 Bank Muamalat sudah melakukan pencatatan akuntansi dengan landasan PSAK 59. Namun hal
itu berlaku dalam jangka waktu lima tahun saja karena seiring berjalanya perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia bukan hanya
perbankan syariah, maka lahirlah PSAK 101-106 yang di sahkan pada tanggal 27 Juni 2007 dan berlaku mulai tanggal 1 Januari 2008 hingga saat ini.