Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika

(1)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

DEKONSTRUKSI DAN GANGGUAN JIWA DALAM NOVEL

DADAISME

KARYA DEWI SARTIKA

SKRIPSI

OLEH:

DAVID RICI RICARDO

050701005

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juli 2009

David Rici Ricardo NIM 050701005


(3)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Dekonstruksi dan Gangguan Jiwa dalam Novel Dadaisme

Karya Dewi Sartika”. Landasan teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah dekonstruksi dan dibantu oleh teori psikologi sastra. Dekonstruksi menjelaskan bentuk penyimpangan cara pandang yang dilakukan tokoh utama dan psikologi menjelaskan tentang gangguan jiwa yang dialami tokoh utama.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode heuristik dan

hermeneutik. Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: tokoh utama (Nedena) dalam novel Dadaisme memang benar-benar mengalami gangguan jiwa, hidup Nedena selalu dalam halusinasi, dissosiasi, waham atau delusi, ilusi, mutisme, pikiran bunuh diri (Suicide Thoughts). Gangguan jiwa yang dialami Nedena menyebabkan adanya bentuk dekonstruksi. Bentuk dekonstruksi Nedena berupa dekonstruksi warna langit, dekonstruksi warna matahari, dekonstruksi malaikat, dekonstruksi keadaan gelap, dekonstruksi gambaran surga, dekonstruksi gambaran neraka, dan dekonstruksi warna laut. Selain Nedena, tokoh-tokoh lain yang juga mendekonstruksi sesuatu adalah dr. Aleda berupa dekonstruksi alat pernafasan manusia, dekonstruksi perasaan romantis, dan dekonstruksai suara, Isabella berupa dekonstruksi malam pertama, Rendi berupa dekonstruksi tawa dan tangis anak-anak, Jo berupa dekonstruksi pakaian iblis, dan bentuk dekonstruksi Flo adalah dekonstruksi membunuh.


(4)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul Dekonstruksi dan Gangguan Jiwa dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsin ini, penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan, tetapi karena kuatnya dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis mampu mengerjakan skripsi ini dengan tepat pada waktunya.

2. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, beserta Bapak Pembantu Dekan I, II, dan III. 3. Ibu Dra. Peraturen Sukapiring, S.U. selaku Dosen Wali yang senantiasa

menjadi orang tua yang baik bagi penulis di kampus dan yang selalu memberikan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan.

4. Bapak Drs. Pertampilan Sembiring Brahmana, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak berperan dalam memberi masukan, ide, bahkan tak segan-segan ilmu yang bapak miliki bapak beri untuk penyempurnaan skripsi ini, dan terimakasih pak ternyata bimbingan bersama bapak adalah suatu momen yang sangat berkesan dan tidak bisa terlupakan, walau hanya dalam waktu yang sangat singkat, saya senang.


(5)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

5. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak berperan dalam mengedit dan menyempurnakan kata-kata yang tidak sesuai dengan EYD. Terima kasih pak.

6. Seluruh dosen yang telah mencurahkan ilmu, pengalaman, dan motivasinya bahkan yang telah menularkan ilmu yang kalian miliki pada penulis, suatu kehormatan dapat mentransfernya dalam sebuah skripsi.

7. Orang tuaku yang tercinta, M. Hutabarat dan P. br. Sipahutar, yang senantiasa memberi motivasi bagi penulis untuk bisa menjalani hidup ini dan mengerti apa arti hidup ini. Terima kasih juga atas doanya selama ini dan tak lupa terima kasih atas bantuan materi yang telah diberikan kepada penulis. Bagiku, kalian seperti fajar pagi hari yang tak pernah terlambat untuk bersinar yang selalu menerangi relung jiwa dan hati yang hampa oleh kesesakan.

8. Kakak-kakakku tercinta (Juliana br. Hutabarat dan Dewi br. Hutabarat), adik-adikku tercinta (Johannes Hutabarat dan Samuel Hutabarat) dan abangku tercinta (Roger Mur Hutabarat). Terima kasih atas segala dukungan dan doanya selama ini, tidak ada kata yang pantas untuk menggambarkan betapa memiliki keluarga seperti kalian adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Keluarga yang selalu penuh canda dan tawa setiap hari.

9. Bapak Pdt. Jp. Tamba selaku Gembala Sidang GPI-SAH Cinta Damai, tempat penulis bergereja. Terima kasih atas doanya dan firman yang ditaburkan selama ini, semoga firman yang telah ditaburkan dapat tertanam


(6)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

di hati saya dan dapat menjadi benih untuk melakukan apa pun itu dengan mengandalkan Tuhan.

10. Pdm. Sari Mangapul Tamba selaku abang rohani penulis. Terima kasih atas doa, ilmu, dan pengalaman yang ditularkan kepada penulis. Bertemu dengan abang adalah suatu momen yang tidak bisa terlupakan. Tawa dan sedih telah kita lewati bersama, terima kasih juga atas kesempatan untuk bisa mengetik di komputer milik abang, suatu hal yang tak bisa penulis balas atas kebaikannya selama ini.

11. Untuk teman-teman terbaik saya yang tergabung dalam konsentrasi ‘sastra’ (Wiradi Putra, Daniel Simanullang, Andrey Pranata, Sabrun, Listi, Ticka, Pipi, Ronauli, Safta Hadi, Wika dan Eva), serta seluruh teman yang tergabung dalam stambuk’05 yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala kebaikan yang penulis rasakan selama ini. Sungguh, kehadiran kalian telah terekam jelas di benak penulis.

12. Untuk adik-adik stambuk ’06 secara khusus kepada Marlina, Tumpal Marbun (Tum-tum) terima kasih atas bantuannya selama ini, terima kasih juga atas pinjaman laptopnya adikku, sungguh kehadiran kalian membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13. Untuk adik tercinta saya (Sulastri Simorangkir yang sedang menyusun TA di Program Diploma III Keuangan Spesialisasi Analis Efek Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Terima kasih atas dukungan doa dan motivasi yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Satu pesan abang buatmu tetaplah semangat untuk mengerjakan TA, dan


(7)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

jangan pernah merasa sedih walaupun kamu jauh dari orang tuamu termasuk jauh dari abang dan jadilah wanita yang tegar di hadapan siapa pun.

Semoga Tuhan membalas kebaikan yang telah kalian perbuat kepada saya sebagai penulis dan semoga Tuhan meletakkan tangan-Nya di pundak kalian satu per satu. Akhirnya, dengan kebesaran hati, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Juli 2009

David Rici Ricardo NIM 050701005


(8)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. DAFTAR ISI

... Hal

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ...ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.1.1 Latar Belakang ... 1

1.1.2 Masalah ... 4

1.2Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.2.1 Tujuan Penelitian ... 5

1.2.2 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA... ..6

2.1 Konsep dan Landasan Teori ... 6

2.1.1 Konsep ... 6

2.1.1.1 Dekonstruksi Warna Langit ... 6

2.1.1.2 Dekonstruksi Warna Matahari ... 6

2.1.1.3 Dekonstruksi Bentuk dan Warna Malaikat ... 6

2.1.1.4 Dekonstruksi Keadaan gelap ... 6

2.1.1.5 Dekonstruksi Gambaran Surga ... 6

2.1.1.6 Dekonstruksi Neraka ... 6

2.1.1.7 Halusinasi ... 7

2.1.1.8 Dissosiasi ... 7

2.1.1.9 Waham atau Delusi ... 7

2.1.1.10 Pembisuan atau Mutisme ... 7

2.1.1.11 Pikiran Bunuh Diri ... 8

2.1.2 Landasan Teori ... 8

2.1.2.1 Psikologi sastra ... 8

2.1.2.2 Dekonstruksi ... 12

2.2 Tinjauan Pustaka ... 13

2.2.1 Maman S. Mahayana ... 13

2.2.2 Zurmailis ... 14

` 2.2.3 Meilani Budianta ... 15

2.2.4 Penulis ... 16

BAB III METODE PENELITIAN ... 17

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data... 17

3.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data ... 18

3.3 Sumber Data... 18

3.4 Sinopsis Dadaisme ... 19

BAB IV ANALISIS BENTUK GANGGUAN JIWA YANG DIALAMI TOKOH UTAMA DALAM NOVEL DADAISME DAN ANALISIS BENTUK DEKONSTRUKSI YANG ADA DALAM NOVEL DADAISME ... 24


(9)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

4.1 Analisis Bentuk Gangguan Jiwa yang Dialami Tokoh Utama...24

4.1.1 Halusinasi ... 26

4.1.2 Dissosiasi...28

4.1.3 Waham atau Delusi ... 29

4.1.4 Ilusi ... 31

4.1.5 Mutisme ... 32

4.1.6 Pikiran Bunuh Diri (Suicide Thoughts) ... 32

4.2 Analisis Bentuk Dekonstruksi yang ada dalam Novel Dadaisme ... ...36

4.2.1 Bentuk Dekonstruksi Tokoh Utama (Nedena) ... 36

4.2.1.1 Dekonstruksi Warna Langit ... 36

4.2.1.2 Dekonstruksi Warna Matahari ... 38

4.2.1.3 Dekonstruksi Malaikat ... 38

4.2.1.4 Dekonstruksi Keadaan Gelap ... 39

4.2.1.5 Dekonstruksi Gambaran Surga ... 40

4.2.1.6 Dekonstruksi Gambaran Neraka ... 41

4.2.1.7 Dekonstruksi Warna Laut ... 42

4.2.2 Bentuk Dekonstruksi dr. Aleda ... 42

4.2.2.1 Dekonstruksi Alat Pernafasan Manusia ... 42

4.2.2.2 Dekonstruksi Perasaan Romantis ... 43

4.2.2.3 Dekonstruksi Suara ... 43

4.2.3 Bentuk Dekonstruksi Issabella ... 44

4.2.3.1 Dekonstruksi Malam Pertama ... 44

4.2.4 Bentuk Dekonstruksi Rendi ... 44

4.2.4.1 Dekonstruksi Tawa dan Tangis Anak-anak ... 44

4.2.5 Bentuk Dekonstruksi Jo ... 45

4.2.5.1 Dekonstruksi Pakaian Iblis ... 45

4.2.6 Bentuk Dekonstruksi Flo ... 45

4.2.6.1 Dekonstruksi Membunuh ... 45

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Simpulan ... 47

5.2 Saran ... 47


(10)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang

Karya sastra adalah hasil pikiran pengarang yang menceritakan segala permasalahan yang ada di masyarakat pada kehidupan sehari-hari. Pengarang mengungkapkan permasalahan itu karena pengarang berada dalam ruang dan waktu. Di dalam ruang dan waktu tersebut, pengarang senantiasa terlibat dengan beraneka ragam permasalahan. Dalam bentuknya yang paling nyata, ruang dan waktu tertentu itu adalah masyarakat atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai pranata nilai di dalamnya berinteraksi (Jabrohim, 2001:167).

Berbagai masalah yang dituangkan pengarang ke dalam bentuk karya sastra membuat karya sastra itu menjadi menarik. Masalah yang mampu diungkapkan pengarang dalam bentuk karya sastra adalah masalah ‘kejiwaan’. Masalah kejiwaan tampak dalam novel Dadaisme. Salah satu bentuk dari masalah kejiwaan adalah bentuk gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang dialami tokoh utama menyebabkan adanya bentuk dekonstruksi. Bentuk gangguan jiwa dan dekonstruksi tersebut yang akan dibahas di dalam penelitian ini.

Novel Dadaisme adalah hasil karya Dewi Sartika. Dewi Sartika adalah berdarah Minang, tetapi lahir di Cirebon dan selama hidupnya dilalui sebagai orang Minangkabau perantauan. Berbeda dengan karya-karya yang dihasilkan pengarang-pengarang Minangkabau yang lain, yang lebih memiliki gambaran eksplisit tentang


(11)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

Minangkabau, Dadaisme mengangkat persoalan yang berbeda. Kemungkinan

penyebab utama dari perbedaan ini adalah latar masa kecilnya.

Dadaisme (yang berarti paham atau aliran) memiliki hubungan dengan novel

Dadaisme karya Dewi Sartika. Menurut Kamus Jerman dada yang artinya bahasa untuk anak-anak yang menyebutkan kuda kayu mainan. Penggerak aliran ini adalah Tristan Tzara, Marcell Janco, Hugo Ball, Richard Huelsenbeck, Hans Arp, Raoul Haussman, dan Duchamp.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:227) kata dadaisme adalah aliran seni lukis dan sastra (muncul sekitar tahun 1913 di Swiss) yang menolak segala aliran seni yang telah ada serta meninggalkan nilai tradisional dan memperjuangkan dikembalikannya seni pada bentuknya yang paling primitif.

Dadaisme juga dapat diartikan sebagai aliran pemberontak di antara seniman dan penulis. Kelompok ini menolak frame berpikir “seni adalah sesuatu yang tinggi, yang mahal, yang serius, complicated, dan eksklusif”. Mereka membenci frame berpikir “seni tinggi” estetika semu. Gerakan ini berfokus pada politik anti perangnya melalui penolakan pada aturan seni yang berlaku melalui karya budaya anti seni. Kegiatan gerakan ini antara lain pertemuan umum, demonstrasi, dan publikasi.

Dalam Kamus Istilah Sastra Indonesia (1991:52), dadaisme adalah nama gerakan seni dan sastra yang timbul di Eropa Barat pada awal abad ke-20. Timbulnya gerakan ini merupakan pernyataan reaksi keras atas tatanan masyarakat borjuis Eropa yang serba mapan dan formal. Ciri-ciri umum dadaisme adalah:


(12)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

1. Menolak keteraturan,

2. Berusaha menciptakan suatu kontradiksi dan paradoks, 3. Menolak kemapanan dan tatanan sesuatu, dan

4. Ketidakteraturan sebagai dasar utama kesenian.

Bertitik tolak dari pengertian dan ciri-ciri dadaisme di atas, Dewi Sartika terinspirasi untuk membuat sebuah novel yang berjudul Dadaisme. Cerita dalam novel Dadaisme tersebut sangat sesuai dengan pengertian dan ciri-ciri dadaisme di atas. Hal ini tampak pada tokoh utama dalam novel Dadaisme yaitu Nedena menolak atau memberontak terhadap segala sesuatu yang telah ada. Contoh penolakannya adalah Nedena tak pernah menggambarkan langit dengan warna biru seperti lazimnya, tetapi warna merah muda dan matahari berwarna oranye seperti jeruk. (hal 6)

Novel ini adalah pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003. Adapun yang menjadi Dewan Juri pada saat itu adalah Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, dan Maman S. Mahayana (Mahayana, 2007:369). Maman S. Mahayana menganggap bahwa dalam perjalanan novel Indonesia, inilah salah satu novel yang ‘melampaui’ karya-karya sebelumnya. Dadaisme memperlihatkan bahwa penulis novel memerlukan tidak hanya kecerdasan mengungkapkan imjinasi, tetapi juga keluasan wawasan dan kecerdikan mengolah teknik bercerita. Budi Darma melihat, “kekacauan tokoh dan peristiwa perselingkuhan, anak-anak haram yang tidak normal, dan poligami dalam novel pada hakikatnya merupakan gambaran manusia masa kini, masa yang masing-masing orang sibuk menghadapi berbagai masalah tanpa sempat mendalami masing-masing masalah”. Kehidupan manusia sekarang


(13)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

dengan demikian serba fragmentaris, serba sepotong-sepotong. Di sinilah justru kekuatan gaya penceritaan novel ini. Novel yang membentangkan serpihan-serpihan kritik atas kultur etnik, perselingkuhan, halusinasi, dunia surealis, dan peristiwa tragis ini menurut dewan juri pantas tampil sebagai pemenang.

Sebagai pemenang lomba, novel ini dapat dianggap sebagai karya besar yang berhak diberi perhatian. Psikologi sastra dan dekonstruksi dipandang sebagai teori yang tepat untuk memahaminya. Psikologi sastra dipandang sebagai teori yang tepat untuk memahami novel Dadaisme, karena novel Dadaisme termasuk novel psikologi. Hal ini diperkuat karena di dalam novel tersebut diceritakan adanya tokoh utama (Nedena) yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga, novel ini dapat diteliti dengan menggunakan teori psikologi sastra.

Gangguan jiwa yang dialami tokoh utama (Nedena), mengakibatkan adanya bentuk dekonstruksi. Oleh karena itu, novel Dadaisme juga dapat diteliti dengan menggunakan teori dekonstruksi. Atas dasar inilah, novel Dadaisme menjadi objek penelitian penulis.

1.1.2 Masalah

Adapun masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah bentuk gangguan jiwa yang dialami tokoh utama dalam novel

Dadaisme?


(14)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. 1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.2.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Menganalisis bentuk gangguan jiwa yang dialami tokoh utama dalam novel

Dadaisme,

b. Menganalisis bentuk dekonstruksi yang ada dalam novel Dadaisme.

1.2.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a. Menjadi bahan bacaan mahasiswa Sastra Indonesia,


(15)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep

2.1.1.1 Dekonstruksi Warna Langit

Dekonstruksi warna langit dapat diartikan sebagai pembongkaran, pembalikan, dan penggantian warna langit.

2.1.1.2 Dekonstruksi Warna Matahari

Dekonstruksi warna matahari dapat diartikan sebagai pembongkaran, pembalikan, dan penggantian warna matahari.

2.1.1.3 Dekonstruksi Bentuk dan Warna Malaikat

Dekonstruksi bentuk dan warna malaikat dapat diartikan sebagai pembongkaran, pembalikan, dan penggantian bentuk dan warna malaikat.

2.1.1.4 Dekonstruksi Keadaan Gelap

Dekonstruksi keadaan gelap dapat diartikan sebagai pembongkaran, pembalikan, dan penggantian keadaan gelap.

2.1.1.5 Dekonstruksi Gambaran Surga

Dekonstruksi gambaran surga dapat diartikan sebagai pembongkaran, pembalikan, dan penggantian gambaran surga.

2.1.1.6 Dekonstruksi Neraka

Dekonstruksi neraka dapat diartikan sebagai pembongkaran, pembalikan, dan penggantian keadaan neraka.


(16)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. 2.1.1.7 Halusinasi

Menurut Baihaqi (2005:70), halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsang yang menimbulkannya (tidak ada objek). Selain itu, menurut Mahmud (1990:255), halusinasi adalah suatu pengamatan merasa mendengar suara padahal tidak ada rangsang suara; orang mengira melihat sesuatu padahal tidak terlihat ada rangsang benda yang dimaksud.

2.1.1.8 Dissosiasi

Menurut Tan Pariaman (dalam Zurmailis 2008:8), dissosiasi adalah terdapatnya pelarian pada keadaan lupa, tidak ingat dan tidak sadar yang dilanjutkan dengan ”psikohisteris”, yaitu kerusakan tiba-tiba fungsi ego yang disebabkan oleh stres emosional yang hebat.

2.1.1.9 Waham atau Delusi

Menurut Baihaqi (2005:101-102), waham atau delusi adalah kesalahan dalam menilai diri sendiri, atau keyakinan tentang isi pikirannya padahal tidak sesuai dengan kenyaraan, Baihaqi juga membagi jenis delusi atas sembilan jenis, antara lain: delusi kejar, delusi kebesaran (grandeur), delusi nihilistic, delusi keagamaan, delusi dosa, delusi pengaruh, delusi somatik atau hipokondrik, delusi sakit, dan delusi hubungan.

2.1.1.10 Pembisuan atau Mutisme

Pembisuan atau mutisme adalah gangguan jiwa yang mengakibatkan seseorang mengalami pembisuan.


(17)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. 2.1.1.11 Pikiran Bunuh Diri

Pikiran bunuh diri adalah pikirannya tertuju pada masalah bunuh diri, dimana dilakukan, dimana dilakukan, kapan dilaksanakan, dan bagaimana cara bunuh diri itu.

2.1.2 Landasan Teori

Adapun yang menjadi landasan teori dalam penelitian ini adalah teori psikologi sastra dan dekonstruksi. Psikologi sastra menjelaskan kejiwaan tokoh utama dan dekonstruksi melihat bentuk penyimpangan cara pandang yang dilakukan oleh tokoh utama dalam novel Dadaisme. Dalam penelitian ini, ada kaitan antara psikologi sastra dan dekonstruksi. Psikologi sastra adalah teori yang digunakan untuk menjelaskan kejiwaan tokoh utama. Salah satu bentuk kejiwaan adalah bentuk gangguan jiwa. Di dalam ganguan jiwa inilah terdapat dekonstruksi. Penelitian ini menggunakan dua teori, yaitu psikologi sastra dan dekonstruksi.

2.1.2.1 Psikologi Sastra

Psikologi sastra terdiri dari dua kata yaitu psikologi dan sastra. Oleh karena itu, untuk mengetahui maknanya, terlebih dahulu mengartikan satu per satu katanya. “Psikologi’’ berasal dari bahasa Yunani “psyche” yang artinya jiwa dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut ilmu jiwa (Ahmadi, 1991:1). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:1001-1002) sastra memiliki lima pengertian yaitu 1. bahasa (kata-kata gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); 2. kesusastraan; 3. kitab suci Hindu; kitab ilmu


(18)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

pengetahuan; 4. kitab; pustaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb); 5. tulisan; huruf.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra adalah ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan yang tampak dalam sebuah tulisan (dalam hal ini karya sastra) atau sejauh mana karya sastra itu menggambarkan kejiwaan.

Sastra sebagai gejala kejiwaan di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Berdasarkan pandangan ini teks sastra juga dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi, karena sastra dan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tidak langsung dan fungsional (Jatman, 1985:165).

Pengarang dan psikolog adalah sama-sama manusia biasa. Mereka mampu menangkap keadaan kejiwaan manusia secara mendalam. Hasil penangkapan itu setelah mengalami proses pengolahan diungkapkan dalam bentuk karya sastra. Hanya perbedaannya pengarang mengemukakannya dalam bentuk karya sastra sedangkan psikolog sesuai dengan keahliannya ia mengemukakannya dalam bentuk formulasi teori-teori psikologi.

Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan-keadaan kejiwaan orang lain. Hanya perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala-gejala kejiwaaan dari manusia-manusia imajiner sedangkan dalam psikologi adalah manusia riil.

Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa


(19)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

analisis psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike (Ratna 2004: 342).

Psikologi sastra sebagai sebuah disiplin berdasarkan tiga pendekatan, yaitu: (1) pendekatan ekspresif, yang mengkaji dan memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, (2) pendekatan tekstual, yang mengkaji dan memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan (3) pendekatan reseptif pragmatis, yang mengkaji dan memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca setelah melakukan dialog dengan karya sastra yang dinikmatinya sebagai proses rekreatif yang ditempuh dalam menghayati teks sastra. Pembicaran pertama berhubungan dengan pengarang sebagai pencipta, jadi karya sastra dalam kaitannya dengan proses kreatif (Ratna, 2004:343).

Oleh karena itulah, Wellek dan Waren (dalam Ratna, 2004:343) membedakan analisis yang pertama ini menjadi dua macam, yaitu studi psikologi yang semata-mata berkaitan dengan pengarang, seperti kelainan kejiwaan, sebagai sejenis gejala neurosis, sedangkan studi yang kedua berhubungan dengan inspirasi dan ilham terciptanya sebuah karya sastra tersebut.

Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian kepada pendekatan yang kedua yaitu pendekatan tekstual, yang mengkaji dan memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra (Ratna, 2004:343).


(20)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

Sebagai dunia dalam kata, karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan ke dalamnya, khususnya manusia. Pada umumnya, aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab semata-mata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. Dalam analisis, pada umumnya yang menjadi tujuan adalah tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga, dan seterusnya. Namun, dalam penelitian ini yang dianalisis adalah tokoh utama.

Untuk menganalisis kejiwaan tokoh utama tersebut digunakanlah psikoanalisis yang diterapkan pada tokoh yang mengalami gangguan kejiwaan. Psikoanalisis ini dipelopori oleh seorang sarjana berbangsa Jerman yang bernama Sigmund Freud (1856-1939). Freud mengatakan, “seniman itu sesungguhnya orang yang lari dari kenyataan; ia tidak dapat memuaskan kebutuhan instingnya. Ia lari ke alam fantasi, mencoba memuaskan harapan-harapannya, kemudian kembali mengahadapi kenyataan. Karya sastra merupakan refleksi hidupnya. Dengan itu, seniman akan merasa dirinya menjadi pahlawan, raja, dan pencipta dari apa yang diinginkan tanpa mengubah alam sekitarnya.”

Dalam psikologi, psikoanalisis dipergunakan untuk terapi abnormal personality, yaitu penderita neurosis, orang-orang yang punya kelainan jiwa. Sedangkan dalam sastra, psikoanalisis dipergunakan untuk menganalisis tokoh/pengarang/pembaca yang mengalami gangguan jiwa. Namun, dalam penelitian ini psikoanalisis itu dipergunakan untuk menganalisis tokoh yang ada dalam novel Dadaisme.


(21)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. 2.1.2.2Dekonstruksi

Dekonstruksi, dari akar kata de + constructio (Latin). Pada umumnya, prefiks “de” berarti: ke bawah, pengurangan, terlepas dari. Constructio berarti bentuk, susunan, hal, menyusun, hal mengatur. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah baku (Ratna, 2005:250).

Pengertian lain, dekonstruksi dapat diartikan dengan pembongkaran, tetapi bukanlah pembongkaran untuk penghancuran yang berakhir dengan pandangan monoisme.

Menurut Santoso (dalam Santoso, 2003:254), dekonstruksi juga bukan metode tafsir yang dilengkapi dengan perangkat-perangkat konseptual yang serba argumentatif dan koheren. Dekonstruksi justru anti metode, anti argumentasi dan anti koherensi karena pandangan ini berbau ilmiah dan positivistik.

Pengertian lain dikemukakan oleh Sarup (2003:85-86), dekonstruksi meliputi pembalikan dan penggantian. Dekonstruksi merupakan aktivitas pembacaan di mana teks harus dibaca dengan cara yang sama sekali baru.

Pandangan lain dikemukakan oleh Muzir (dalam Norris, 2003:15) dekonstruksi berbeda dengan pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan kadangkala berusaha menemukan makna yang lebih benar yang pada teks itu sendiri, barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan dekonstruksi menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks tersebut. Teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan arena pergulatan yang terbuka, atau tepatnya permainan antara upaya penataan dengan chaos, antara perdamaian dengan peperangan, antara akur dengan cek-cok.


(22)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

Menurut Derrida (dalam Ratna, 2004:222) dekonstruksi adalah penolakan terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Selain itu, Derrida (dalam Jabrohim, 2001:182) mengatakan bahwa mendekonstruksikan suatu oposisi adalah membalikkan suatu hierarki.

Bahkan menurut Culler (dalam Jabrohim, 2001:183), mendekonstruksikan suatu wacana adalah menunjukkan bagaimana wacana itu merusakkan oposisi-oposisi hierarki yang ada pada wacana itu bersandar, dengan mengidentifikasikan di dalam teks operasi-operasi retorik yang memproduksi dasar argumen yang diandaikan, konsep kunci, atau premisnya.

Adapun langkah-langkah kerja teori dekonstruksi menurut Nasution (2006:5) dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Menyusun oposisi biner terlebih dahulu yang terdapat dalam novel Dadaisme,

2. Membuat pembalikan atas oposisi biner tersebut,

3. Memfungsikan (memberi peran) unsur pembalikan tersebut sebagai entitas.

2.2Tinjauan Pustaka

Sepanjang penelusuran penulis, novel Dadaisme telah dikaji dan diteliti oleh beberapa peneliti, antara lain:

2.2.1 Maman S. Mahayana

Dalam bukunya yang berjudul “Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia” Maman S. Mahayana membahas novel Dadaisme. Dalam pembahasan tersebut, Maman S. Mahayana berkesimpulan bahwa novel Dadaisme mengandung inovasi tematik dan


(23)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

stilistik. Secara tematik menurut Maman S. Mahayana Dadaisme mengusung tema penyimpangan yang bersumber dari tradisi yang dianggap benar (perjodohan melalui kesepakatan orang tua kedua belah pihak), padahal juga menyimpang. Yusna yang kabur menjelang perjodohan itu, juga melakukan penyimpangan lantaran ia hamil sebelum menikah. Issabella coba menjadi “juru selamat” keluarga, juga menyimpang karena ia tiba-tiba saja rela berkorban dan mengkhianati cintanya sendiri pada Asril, kekasihnya. Penyimpangan yang menjadi titik berangkat sebuah kehidupan, pada akhirnya hanya menciptakan penyimpangan berikutnya. Jadi, kehidupan apapun yang kita jalani, jika ia dimulai dari penyimpangan, hasilnya sangat boleh jadi kehidupan menyimpang yang lebih canggih lagi. Sesuatu yang dimulai dari penyimpangan, hanya akan melahirkan penyimpangan berikutnya. Jadilah penyimpangan yang satu membentuk penyimpangan yang lain. Di sinilah inovasi tematik Dadaisme menjadi penting dan tentu saja ikut memperkaya tema-tema novel Indonesia modern.

Secara stilistik, penggantian bentuk penceritaan yang seenaknya itu – penceritaan akuan (orang pertama), kamu (orang kedua), dan dia (orang ketiga) – sungguh belum banyak dilakukan novelis kita selama ini. Dengan demikian, novel Dadaisme hadir dengan semangat inovasi hendak memanfaatkan pergantian bentuk penceritaan sebagai style yang coba ditawarkannya. Dalam hal inilah, inovasi stilistik, Dadaisme

menduduki tempatnya sendiri yang tidak dilakukan novelis lain sebelumnya.

2.2.2 Zurmailis

Zurmailis pernah membahas novel Dadaisme ini dalam Jurnal Studi Islam dan Budaya (Ibda) Vol. 6, No. 1. Dalam pembahasan tersebut, Zurmailis menggunakan teori Strukturalisme Genetik. Dalam pembahasan tersebut Zurmailis mengaitkan


(24)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

novel Dadaisme dan pengarangnya, Dadaisme dan Pengarang-Pengayom, Dadaisme

dan Sistem Kultural Zamannya, Dadaisme dan Sistem Sosial Zamannya, dan

Dadaisme dan Kesusastraan Indonesia.

Dalam kata penutupnya Zurmailis mengatakan bahwa karya Dewi Sartika ini memunculkan pandangan dunia tragik, pengalaman manusia postmodern yang kehilangan dan mencari pegangan. Dewi Sartika menawarkan solusi untuk menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, mencari kembali poros kebudayaan. Dewi Sartika menganggap budaya Minangkabau yang dilandasi prinsip kemenduaan dapat membangun harmoni, tetapi Dadaisme baru sebuah alternatif, belum menemukan cara, seperti rumah tampak jalan tak tahu karena pengembaraan yang begitu lama, begitu jauh.

2.2.3 Meilani Budianta

Novel Dadaisme sebagai pemenang juara I dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003 juga pernah dibahas dalam Harian Umum Sore Sinar Harapan yang terbit pada Sabtu, 01 Mei 2004. Adapun judul pembahasan tersebut adalah (Pembahasan Kritis “Dadaisme” Eksplorasi “Kebetulan”). Pembicara yang diundang untuk membahas novel Dadaisme adalah Meilani Budianta. Diskusi yang dilakukan untuk membahas novel Dadaisme ini berlangsung dengan moderator Nurzain Hae dan menghadirkan juri seperti Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, dan Maman S. Mahayana. Dadaisme karya Dewi Sartika mendapat sorotan yang tajam dari Meiliani. Menurutnya, karya tersebut cenderung menghadirkan narasi-narasi yang akhirnya terkait satu sama lain. “Yang menonjol adalah unsur kebetulannya,” ujar Meilani. Padahal dalam sastra serius, unsur kebetulan harus dihindari.


(25)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

Bila dalam sastra populer, kebetulan itu mati dan tanpa penjelasan. Dalam

Dadaisme justru kebetulan dimanfaatkan habis-habisan dalam plotnya menjadi semacam tema. Apa hidup itu suatu kebetulan? Apa kebetulan itu ada?

Selain itu, “Novel ini sangat berani dan garang untuk bicara kematian,” kata Meilani. Dewi memaparkan tentang masalah kejiwaan, termasuk anehnya kekejaman seorang anak, dalam karyanya. Contohnya saja, tokoh Flo, yang membantai keluarganya kemudian mengundang teman-temannya untuk berpesta. Tokoh lain yang juga membunuh dengan sadis adalah Nedena. Ia membakar ibunya sampai mati.

2.2.4 Penulis

Penulis akan meneliti novel Dadaisme dengan menggunakan teori dekonstruksi yang dibantu dengan teori psikologi sastra. Di sinilah yang menjadi letak perbedaan dari para peneliti novel Dadaisme sebelumnya.


(26)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Sebuah penelitian membutuhkan metode. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pembacaan heuristik (membaca dari awal sampai akhir) dan hermeneutik (membaca berulang).

Menurut Riffaterre (dalam Jabrohim, 2001:84) Metode pembacaan heuristik

adalah metode pembacaan “tata bahasa” ceritanya, yaitu pembacaan dari awal sampai akhir cerita secara berurutan. Untuk mempermudah pembacaan ini dapat berupa pembuatan sinopsis secara berurutan. Cerita yang beralur sorot balik (dapat) dibaca secara alur lurus. Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara berurutan. Begitu juga, analisis bentuk formalnya merupakan pembacaan

heuristik.

Metode pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya sedangkan menurut

Nasution (2003:312), hermeneutik adalah metode yang lebih menekankan

keterlibatan seorang penafsir terhadap objek yang diteliti dan lebih dipentingkan daripada objeknya. Pemahaman, pengamatan dan penafsiran terhadap objek merupakan ciri khas metode ini. Seorang penafsir tidak boleh bersikap pasif, ia merekonstruksi makna yang terdapat dalam sebuah karya dan berusaha menginterpretasikan pesan dan tujuan dari si pengarang. Penafsiran sebaiknya melihat aspek dalam dan luar dari karya itu dengan tujuan agar sampai pada makna yang terkandung di dalamnya. Maka bukanlah sekadar isyarat yang dibawa oleh suatu


(27)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

bahasa sebab bahasa sekaligus dapat menunjukkan dan menyembunyikan makna tersebut.

Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengidentifikasikan

masalah yang terdapat di novel Dadaisme berdasarkan kasusnya, lalu

memindahkannya ke dalam bahan skripsi.

3.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data

Adapun metode dan teknik pengkajian data dilakukan dengan cara:

1. Mengidentifikasikan bentuk gangguan kejiwaan yang dialami tokoh utama dalam novel Dadaisme,

2. Mengidentifikasikan bentuk dekonstruksi yang terdapat dalam novel Dadaisme.

3.3 Sumber Data

Adapun yang menjadi sumber data yang akan dianalisis adalah: Judul : Dadaisme

Pengarang : Dewi Sartika

Penerbit : PT GramediaWidiasarana Indonesia Tebal Buku : 264 halaman

Ukuran : 20 cm x 14 cm Cetakan : kedua

Tahun : 2006

Warna Sampul : Warna putih, hitam, merah, ungu, kuning, hijau dan oranye.

Gambar Sampul : Terdapat seorang malaikat yang sedang meniup terompet, dan malaikat itu memiliki sayap yang hanya satu


(28)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. 3.4 Sinopsis Dadaisme

Dadaisme terpenggal dalam beberapa episode. Dikatakan terpenggal karena episode-episode itu tidak tersusun secara linear. Antar-bagian bila dibaca berurutan tampak tidak saling berhubungan, tetapi bila diikuti secara keseluruhan terlihat kaitannya antara satu dengan bagian yang lain. Episode-episode itu juga terdiri dari dua lapis realitas teks, lapisan pertama mengacu pada suatu sistem sosial, ruang, dan waktu tertentu, dan lapisan lainnya merupakan peristiwa yang bermain di dalam pikiran tokoh.

Pelukisan awal secara tekstual tidak menunjukkan ruang dan waktu yang konkret. Sebuah tempat yang disebut metropolis, yang bercirikan gedung pencakar langit, mobil berseliweran, dan neon warna-warni yang menghiasi kota. Kota yang meriah dan menyembunyikan kesuraman seorang gadis kecil yang tidak dapat melukis langit dengan warna biru. Seorang gadis yang selalu diam dan hanya berbicara pada Michail yang hitam, malaikat kecil bersayap sebelah yang selalu muncul menemaninya. Ada gambaran yang kontras antara metropolis yang ramai dan meriah dengan keredupa n kehidupan Nedena, anak perempuan sepuluh tahunan yang dianggap gila oleh bibi yang mengasuhnya, dan mendapat penanganan ahli jiwa, Aleda sebagai teks konkretnya.

Kontras itu makin terlihat dengan gambaran pada episode kedua yang menceritakan tentang seorang gadis lain, Yossy yang ceria dan bahagia dalam realitas tekstual. Seperti Nedena ia juga suka menggambar, gambar Yossy dihiasi warna-warna cerah tentang bunga dan taman, tentang langit yang biru tentang keluarganya,


(29)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

tentang mamanya yang dua dan abangnya yang sakit, orang-orang yang menyayangi, dan dongeng tentang peri yang menari di udara.

Yossy yang bahagia meninggal dalam kecelakaan, peristiwa itu yang membangun relasi antara Yossy dengan Nedena melalui Michail. Kehidupan Yossy secara realitas digambarkan sebagai anak yang hidup dalam keluarga lengkap, meskipun tidak dapat dikatakan normal, tidak mengenal kekecewaan, merupakan dunia yang terpisah dengan realitas kehidupan Nedena yang tertutup tanpa kemampuan mengadakan kontak dengan lingkungan.

Yossy tidak mungkin dapat bertemu Michail dalam kehidupannya karena Michail lahir dari kesedihan seseorang, perasaan yang tidak pernah dikenal Yossy. Dalam kematiannya Yossy memasuki dunia Nedena, lewat komunikasinya dengan Michail. Hubungan dalam dunia realitas antara Yossy dan Nedena terbangun melalui Aleda, psikolog yang menangani Nedena yang juga adalah ibu tiri Yossy.

Aleda yang mengeringkan sendiri rahimnya, mencarikan istri untuk suaminya agar memperoleh keturunan yang akan mereka pelihara bersama. Ia memilih Tresna, gadis yang diketahuinya menaruh perasaan pada suaminya. Anak pertama lahir cacat, kemudian lahir Yossy yang menjadi bintang dalam keluarga. Diam-diam Aleda dan suaminya Asril, tahu anak-anak yang dilahirkan Tresna merupakan hasil perselingkuhan dengan laki-laki lain. Hubungan antara Asril dengan sejarah hidup Nedena diceritakan pada episode VI. Yusna melarikan diri dari perjodohan yang telah diatur orangtuanya karena dia sudah dalam keadaan hamil akibat hubungan dengan pacarnya. Untuk menutup malu keluarga, Issabela mengorbankan diri menggantikan kakaknya menikahi Rendi, sementara ia sudah mengikat janji dengan Asril. Yusna


(30)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

dibuang keluarganya ketika datang setahun kemudian dengan menggendong bayi dan bayi itu Nedena. Kehadiran Nedena secara tidak langsung telah mengubah jalan hidup Asril. Asril menikah dengan Aleda yang ditariknya dari kepercayaan lain masuk dalam agamanya karena rasa senasib. Ketika kemudian bertemu kembali dengan Isabella setelah sekian lama, Isabella memutuskan untuk lebih memilih rumah tangganya.

“Aku lahir dari kesedihan seseorang,” kata Michail pada Yossy. Kesedihan yang juga menyergap seorang gadis kutubuku berkacamata tebal, yang hanya punya satu sahabat saja dalam hidupnya, dan merasa sangat kehilangan sahabatnya yang akan bertunangan. Di antara deretan rak buku di perpustakaan, dia melihat pula Michail berkelebat dalam bayangannya sebelum ledakan besar terdengar. Gadis itu mati akibat pemboman yang terjadi di pusat perbelanjaan yang dilakukan Bim (yang mungkin salah satu anak hasil hubungan incest Aleda dan Magnos, kakaknya) hanya untuk menyaksikan api unggun yang besar.

Sahabat si gadis kutubuku menangguhkan pertunangan karena masih berduka atas kematian temannya itu. Keputusannya itu membangun relasi antara tunangannya, Ken yang wartawan dengan Jing, anak Aleda yang lain yang datang untuk mencari dan membunuh Aleda. Hubungan sesama jenis yang terjadi antara Ken dan Jing diakhiri dengan kematian keduanya. Ken membunuh Jing yang memperalatnya untuk menemukan Aleda dan kemudian menyayat nadinya sendiri.

Aleda dan Magnos masih berkomunikasi melalui e-mail, bertukar pikiran tentang kondisi pasien-pasien mereka. Bertolak belakang dengan Nedena, pasien Magnos, Flo seorang anak laki-laki yang telah membantai seluruh keluarganya tanpa rasa bersalah.


(31)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

Dengan bahagia dia mengundang teman-temannya menyaksikan pembantaian yang hanya dianggapnya sebagai sandiwara yang dia dan keluarganya mainkan. Ia sama sekali tidak sadar dengan semua yang telah dilakukannya. Flo harus menjalani berbagai macam pemeriksaan akibat perbuatannya itu. Kemudian Rianto, juga anak-anak yang mencoba bunuh diri karena tidak mampu membayar uang SPP, dan akhirnya Rianto meninggal dalam percobaan bunuh dirinya yang kedua kali.

Nedena lambat laun keluar dari traumanya dan mulai bisa bicara. Melalui hipnotis, Aleda bisa mengetahui latar kebisuan yang diderita Nedena. Api yang disulutnya menjalar membakar seluruh rumah dan ibunya (Yusna). Sehingga ibunya (Yusna) meninggal dunia. yang sedang tidur nyenyak hangus terbakar. Aleda mampu menghapus rasa bersalah Nedena, menjadikannya bisa bersikap seperti anak-anak lain seusianya. Aleda menawarkan pada Asril untuk mengangkat Nedena yang sebatangkara sebagai anak mereka, tetapi sebelum sempat menjemput, perjalanannya terhalang Michail yang dilihatnya berkelebat dari sudut-sudut gedung seakan memancing Aleda menjauh, dan ketika Aleda sampai di kantornya, Nedena telah terkulai dengan leher terjerat.

Kenyataan dan ilusi saling bertumpang tindih hadir dalam teks, diselingi pembicaraan Aleda dan Magnos melalui e-mail, yang filosofis dan menjadi kunci untuk mengetahui masa lalu Aleda. Dalam pembicaraan itu juga memunculkan paradoks antara Aleda dan Magnos dalam memandang hidup. Pertukaran informasi tentang kondisi pasien mereka yang memiliki kesamaan-kesamaan, tetapi mereka memandang fenomena itu dengan cara yang berbeda.


(32)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

Sesudah perpisahan dengan Aleda, ketika keduanya meninggalkan gereja, Magnos larut dalam pemikiran yang atheis dalam melihat masalah yang dialami pasien-pasiennya sebagai aktivitas otak dan biologis. Berbeda dengan Aleda yang mengaitkan masalah batin para pasiennya.


(33)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. BAB IV

ANALISIS BENTUK GANGGUAN JIWA YANG DIALAMI TOKOH UTAMA DALAM NOVEL DADAISME DAN ANALISIS BENTUK DEKONSTRUKSI

YANG ADA DALAM NOVEL DADAISME

4.1 Analisis Bentuk Gangguan Jiwa yang Dialami Tokoh Utama

Tokoh utama dalam novel Dadaisme adalah Nedena. Nedena mengalami gangguan jiwa. Sebelum penulis menjelaskan gangguan jiwa yang dialami Nedena, terlebih dahulu dijelaskan mengenai kriteria seseorang dikatakan ‘normal’ dan ‘abnormal/seseorang yang terkena gangguan jiwa’. Menurut Saanin (dalam Baihaqi 2005:13-16) ada tiga sudut pandang yang dapat dipergunakan untuk meninjau masalah normal dan abnormal ini, yaitu: (a) pandangan dari sudut patologi (pathological view), (b) pandangan dari sudut statistik (statistical view), dan (c) pandangan dari sudut kebudayaan (cultural view)

a. Pandangan dari sudut patologi

Menurut pandangan ini, gangguan jiwa atau tingkah laku abnormal adalah akibat-akibat dari keadaan sakit atau gangguan-gangguan penyakit yang jelas kelihatannya dari gejala klinisnya. Umpamanya: takut yang tidak beralasan pada penderita-penderita neurosis, adnya waham dan halusinasi pada penderita-penderita skizofrenia, tingkah laku antisosial pada orang-orang yang menderita kepribadian sosiopatis, dan sebagainya.

Bila pandangan ini diterima secara konsekuen, maka kita harus mau menerima bahwa seseorang yang benar-benar normal haruslah tidak mempunyai gejala-gejala sama sekali. Tetapi pengalaman justru menunjukkan hal-hal yang sebaliknya., karena


(34)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

hampir tak ada seorang pun yang tidak mempunyai gejala-gejala sama sekali, lebih-lebih jika seseorang dalam keadaan tegang. Bagaimanapun juga, gejala-gejala tertentu (yang masih ringan) atau sindroma-sindroma tertentu (yaitu gejala-gejala yang sudah sedemikian kompleksnya) sering telah melekat pada kepribadiaan yang terganggu, yang berarti orang-orang yang mempertunjukkan gejala demikian adalah orang yang abnormal.

b. Pandangan dari sudut statistik

Pandangan ini memilah-milah antara sesuatu yang normal dan abnormal melalui pendekatan matematis. Caranya dilakukan dengan prosedur statistik, melalui pengukuran, dan penilaian. Ada gejala atau gangguan yang paling sering terjadi, rata-rata terjadi, dan sekali-sekali terjadi. Hasil keseluruhan kemudian divisualisasikan dalam grafik, biasanya digambarkan dalam bentuk kurva lonceng. Oleh konvensi statistik, daerah normal meliputi 2/3 pertengahan dari sebagian besar kelompok yang diselidiki. Kejadian yang kurang sedikit atau lebih sedikit (sebelah menyebelah) dari pertengahan kurva dianggap abnormal. Dengan demikian, hasil yang rata-rata menunjukkan adanya orang-orang yang tergolong normal, sedangkan yang sangat sering atau jarang terjadi, menunjukkan adanya orang-orang yang tergolong normal, sedangkan yang sangat sering atau jarang terjadi, menunjukkan abnormal.

c. Pandangan dari sudut Kebudayaan

Menurut pandangan ini, tingkah laku dan sikap seseorang dianggap normal atau abnormal, disesuaikan dengan sekeliling sosial (kebudayaan setempat) dimana dia hidup dan bergerak.


(35)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

Menurut Saanin, masyarakat adalah tuan yang kejam dan cenderung menjadi gusar apabila ada penyimpangan-penyimpangan dari batas norma atau budaya yang telah mereka tentukan. Misalnya ada seseorang melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang masih masuk akal, mereka dapat memaafkan. Tetapi kesalahan dan penyimpangan yang dapat menimbulkan kegoncangan bagi orang-orang di sekelilingnya, lebih-lebih kegoncangan bagi orang itu sendiri, biasanya dipandang sebagai kejadian abnormal. Dari ketiga sudut pandang di atas yang penulis gunakan adalah menurut pandangan dari sudut patologi, menurut pandangan ini, gangguan jiwa atau tingkah laku abnormal adalah akibat-akibat dari keadaan sakit atau gangguan-gangguan penyakit yang jelas kelihatan dari gejala klinisnya. Adapun gejala-gejala klinis yang ditunjukkan Nedena sehingga Nedena dikatakan mengalami gangguan jiwa adalah:

4.1.1 Halusinasi

Baihaqi (2005:70) mengatakan bahwa halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tidak ada rangsang yang menimbulkannya (tidak ada objeknya). Pandangan lain dikemukakan oleh Mahmud (1990:255), halusinasi adalah suatu pengamatan merasa mendengar suara padahal tidak ada rangsang suara; orang mengira melihat sesuatu padahal tidak terlihat ada rangsang benda yang dimaksud. Pengalaman-pengalaman sehari-hari seperti mimpi, khayalan, kenangan visual adalah halusinasi ini.

Berdasarkan pengertian di atas, sangat tepatlah bahwa Nedena hidup dalam halusinasi. Kutipan di bawah ini menjalaskan halusinasi tersebut:

Mula-mula Nedena mendengar suara kepak sayap di luar jendela. Suaranya berdesing seperti letupan peluru. Terlalu aneh untuk sebuah bunyi kepakan sayap. Ah, bukan... sekarang bunyi itu telah berubah menjadi pukulan keras pada tubuh manusia... sekarang bunyi itu berubah lagi, menjadi seperti ribuan burung yang mengibaskan sayapnya di kaca


(36)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

jendela. Kenapa sekarang terasa begitu berisik. Nedena bangkit dan membuka jendelanya, lalu kelebat hitam masuk ke dalam rumah dan terasa kibasan angin yang berhembus kuat menghantam tubuh Nedena hingga terduduk di atas kasurnya.

‘Michail?’

‘Langit berwarna ungu. Adakah yang terjadi?’

Nedena diam saja sambil menengadahkan kepalanya, Ikut memerhatikan gambar langitnya yang berwarna ungu.

‘Aku akan pergi…’ ‘Ke mana?’

‘Ke kota. Bibi sudah memutuskan tadi. Aku akan ke kota,’ ‘Meninggalkan gambar-gambar langit ini?’

‘Ya. Maaf, aku belum menggambarkan surga untukmu.’ ‘Ya. Kau belum menggambarkan surga untukmu,.’

‘Ya. Kau belum menggambarkan taman surga untukku. Kau masih berutang janji untukku.’ (9)

‘Michail… surga itu langitnya berwarna apa? Apa berwarna biru?’ ‘ Tidak. Langit di surga berwarna perak. Kadang berubah warna menjadi emas.’

‘Oh....’

Nedena tampak lega. Wajahnya seperti hendak tersenyum, lalu kembali memandangi gambar langit yang dibuatnya. (10)

‘Michail. Dapatkah kau sampaikan kepada Tuhan, mengapa dia mewar nai langit dengan warna biru?’

Michail diam, kemudian duduk di hadapan Nedena. Sayapnya yang hitam masih mengepak-ngepak pelan yang menimbulkan desingan angin. (10)

‘Ah, kau tidak bisa menyampaikannya, ya?’ wajah Nedena tampak kecewa.

‘Kaulihat, kan, Nedena. Sayapku Cuma satu. Aku tidak bisa terbang menggapai langit ketujuh. Malaikat-malaikat lainnya bersayap dua dan berwarna putih, sedangkan sayapku hitam. Aku tidak pernah bisa menyampaikan pertanyaanmu itu ke langit.’

Nedena menatap malaikat kecil di hadapannya yang sayapnya hanya satu. Tangannya meraih tangan malaikat kecil itu, lalu Nedena menatap dalam-dalam dengan roman serius ke malaikat kecil tersebut. Dan, hatinya kembali berkata: ‘Kalau kau tidak bisa lagi pergi ke surga maka aku akan menemanimu ke neraka.’ (10)

Nedena menengadahkan kepalanya dan menatap ke langit-langit rumah mereka. Dia melihat Michail sedang duduk di kisi-kisi tiang penahan langit-langit. Pakaiannya yang panjang menjuntai mengawang-awang di udara. Satu tangannya memegang tiang kayu yang kokoh tersebut.


(37)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. ‘Kau mendengarnya Michail?’

Michail menundukkan wajahnya dan menatap mata Nedena yang sedang menengadah menatapnya. Lalu dia mengangguk, ‘Aku mendengarnya.’

‘Lalu?’

“Lalu kenapa?’ ‘Kau akan ikut, kan?’

Michail tertawa, lalu ujarnya lagi, ‘Setan saja boleh ikut, mengapa malaikat tidak?’(11)

Bukti bahwa kutipan di atas menggambarkan Nedena hidup dalam halusinasi adalah tampak pada kutipan di bawah ini:

“Nedena! Apa yang kau lihat di atas sana. Hei, kalau orang bicara dengarkan!” Si Bibi tampak jengkel dengan tingkah Nedena. “Kautahu, di kota nanti kau akan diobati. Gilamu akan sembuh dan aku tidak perlu bersusah lagi merawatmu. Kautahu, kau itu hanya menyusahkanku, dan Tuhan yang telah menurunkan kebaikannya padaku. Sekarang dan yang akan datang kau harus berlaku layaknya orang normal.”

Nedena diam saja, lalu pelan-pelan Michail turun dari tiang dan terbang rendah di sisi Nedena.

‘Apakah kau akan pergi meninggalkanku, Michail?’

Michail mendekap Nedena dari belakang dan berbisik lenmbut di telinga gadis cilik itu, ‘Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Nedena. Sejak kita berdua bersumpah akan selalu bersama, walau ke neraka sekalipun.’

Neraka. Seperti apakah neraka yang terlukis oleh tangan kanak-kanak? (12)

4.1.2 Dissosiasi

Menurut Tan Pariaman (dalam Zurmailis 2008:8) dissosiasi adalah terdapatnya pelarian pada keadaan lupa. Tidak ingat dan tidak sadar yang dilanjutkan dengan “psikohisteris”, yaitu kerusakan tiba-tiba fungsi ego yang disebabkan oleh stress emosional yang hebat. Selain berhalusinasi, Nedena juga hidup dalam ‘dissosiasi’. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini:

Sebagaimana dia melupakan biru dari langitnya, dia juga sudah lupa cara bicara lewat mulutnya. Lupa bagaimana nikmatnya suara merdu yang keluar dari pita suaranya yang kecil, nikmat suara yang keluar bagai aliran


(38)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

air liur dari tenggorokannya, nikmat suara yang keluar bagai aliran air liur dari tenggorokannya, nikmat mengadukan lidahnya pada langit-langit mulut, mengeluarkan aneka bentuk fonem membentuk kata menjadi kalimat yang bermakna. Sejak kapan dia lupa, dia juga sudah lupa, sejak kapan dia ingat, dia bahkan tidak ingat. (34)

Dari kutipan di atas tampak bahwa Nedena lupa cara bicara lewat mulutnya sendiri. Hal ini sesuai dengan pengertian dissosiasi di atas. Dissosiasi juga tampak pada kutipan di bawah ini:

Michail tertawa, tapi Nedena tidak tertawa. Dia juga lupa bagaimana harus tertawa. Jadi Nerena menarik garis bibirnya hingga berjajar lebih lebar dan sedikit melengkung, tidak bisa sampai melengkung sekali. Dia lupa, di mana dia menyimpan tawanya yang dahulu apakah tawa itu telah tersimpan jauh dan dia lupa menaruhnya, atau dia menjatuhkannya dahulu bersama kunci tenggorokannya. Sekarang dia harus mencari dimana kunci tersebut?

‘Michail... aku lupa meletakkan tawaku.’

’Kau menjatuhkannya!’ Michail terlonjak ketika Nedena berkata begitu. Sayapnya yang hanya satu itu tiba-tiba berkibas seperti panik. ’Aku lupa. Aku tidak ingat, sejak kapan aku tidak bisa tertawa lagi.’ ’Kenapa kau membawa lupa dalam ingatanmu?’

’Aku juga lupa sejak kapan dia ada.’

’Kenapa kau membawa lupa dalam ingatanmu?’ ’Aku juga lupa sejak kapan dia ada.’

’Baiklah. Aku akan pergi untuk mencari ingatan sebagai pengganti lupa.’

’Jangan. Kau tidak boleh meninggalkan aku!’ Nedena segera meraih tangan Michail, seperti meraih sepercik harapan yang hampir musnah. ’Aku lebih baik lupa, jangan bawa ingat padaku, jangan tinggalkan aku sendirian!’ (36-37)

Dari kutipan di atas tampak Nedena lupa cara tertawa. Hidup Nedena setiap harinya tak mengenal ’tertawa’.

4.1.3 Waham atau Delusi

Menurut Baihaqi (2005:101-102), waham atau delusi adalah kesalahan dalam menilai diri sendiri, atau keyakinan tentang isi pikirannya padahal tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut Arif (2006:18), waham atau delusi adalah suatu


(39)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

keyakinan yang salah yang tidak dapat dijelaskan oleh latar belakang budaya pasien ataupun pendidikannya; pasien tidak dapat diyakini oleh orang lain bahwa keyakinannya salah, meskipun banyak bukti kuat yang dapat diajukan untuk membantah keyakinan pasien tersebut. Jenis-jenis waham atau delusi adalah: waham kejar (persecution), waham kebesaran (grandeur), waham nihilistic, waham keagamaan, waham dosa, waham pengaruh, waham somatik atau hipokondrik, waham sakit, dan waham hubungan.

Dari kesembilan jenis waham atau delusi, Nedena selalu hidup dalam waham dosa. Waham dosa adalah keyakinan pada dirinya bahwa ia telah melakukan dosa yang sangat besar dan tidak mungkin terampuni, karenanya ia bertanggung jawab atas kejadian-kejadian tertentu. Misalnya kematian orang tua diyakini akibat dosa yang diperbuatnya.

Waham dosa yang dialami Nedena tampak pada kutipan di bawah ini: ‘Michail, aku juga mungkin tidak akan bisa melihat surga ...’ ‘Kenapa kau berkata seperti itu?’

’Surga tempat manusia-manusia yang baik, kan? Guru agamaku selalu bercerita tentang surga pada kami. Surga hanya tempat anak-anak yang manis dan selalu menurut perintah orang tuanya, surga juga tempat anak-anak manis yang mau belajar dan menjadi anak-anak baik.’ (33)

Dari kutipan di atas tampak bahwa Nedena merasa dirinya bukan anak baik dan merasa bahwa dirinya tidak akan bisa melihat surga. Ada dosa yang dilakukan Nedena. Hidup Nedena selalu dihantui dengan ‘dosa’.

Dosa yang dilakukan Nedena diungkap pada bab tujuhbelas, ketika dr. Aleda menerapkan terapi hipnotis pada Nedena agar mengetahui latar belakang Nedena mengalami gangguan jiwa. Ternyata Nedena telah menyebabkan mamanya


(40)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

meninggal. Itulah penyebab Nedena hidup dihantui rasa berdosa. Hal ini diperkuat dan dijelaskan pada kutipan di bawah ini:

“Tapi, Nedena yang membuat mama meninggal!”

”Bukan kamu, sayang, tapi api yang telah membuat mamamu meninggal!”

”Tapi, Nedena yang menyalakan api....”

”Ya. Nedena yang menyalakan api, tapi mengunci diri dari kenyataan tidak membuat mamamu hidup lagi. Yang harus Nedena lakukan sekarang jadilah anak baik. Jangan lagi menyesal dan menutup mulut seperti dahulu. Pasti mama Nedena di alam sana tidak ingin Nedena seperti ini,” saya membesarkan hatinya. (191)

4.1.4 Ilusi

Menurut Baihaqi (2005:70) Ilusi adalah suatu persepsi yang salah atau palsu. Ilusi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: ilusi fisik dan ilusi psikis.

Ilusi fisik, misalnya pensil yang dimasukkan ke dalam air tampak seperti patah, tongkat dimasukkan dalam bak seperti ular bergerak-gerak. Sedangkan ilusi psikis adalah ilusi-ilusi yang berkaitan dengan kehidupan psikis seseorang.

Dari kedua macam ilusi terebut di atas Nedena hidup dalam ilusi psikis. Hal ini diperkuat pada kutipan di bawah ini:

Padahal ibu Aleda bilang, Mama pasti ada di surga, dan tidak akan marah lagi. Tapi, siapa yang bisa memastikan padaku., Michail, kalau Mama tidak marah lagi.

Kalau di surga ada Mama, siapa tahu Mama akan memarahiku. Lalu diacungkannnya sapu lidi itu kepadaku sambil berkata, ”Kamu nakal...” Michail... aku jadi takut .

Michail... Michail, sekarang kamu di mana? (262)

Dari kutipan di atas, tampak bahwa Nedena berilusi, ia masih beranggapan kalau-kalau bertemu mamanya di surga, mamanya pasti memarahi Nedena, lalu mengacungkan sapu lidi kepada Nedena.


(41)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. 4.1.5 Mutisme

Menurut Zurmailis (2008:8), Mutisme adalah pembisuan. Nedena tidak mampu bekomunikasi dengan orang lain yang disebabkan karena Nedena mengalami gangguan jiwa. Untuk berkomunikasi dengan orang lain, Nedena hanya mampu mempergunakan lambang-lambang. Bukti bahwa Nedena mengalami pembisuan atau mutisme adalah tampak pada kutipan di bawah ini:

Saya duduk di hadapan anak itu, yang bungkam saja sambil memainkan krayon miliknya. Saya mengamati tiap lekuk wajahnya yang mungil. Kulitnya tidak putih, tapi agak kuning kecokelatan. Pipinya mengembung dan matanya besar dengan alis tipis dan bibir sedikit mengecil tapi tebal. Dia sangat lucu, dan rasanya saya tidak percaya kalau anak ini tidak bisa bicara.

+ Percayalah, bu, itu sebabnya saya membawa anak itu kemari. Dia gila, dia bahkan tidak pernah berbicara pada sekelilingnya. (22)

4.1.6 Pikiran Bunuh Diri (Suicide Thoughts)

Pikiran bunuh diri adalah pikirannya tertuju pada masalah bunuh diri, dimana dilakukan, dimana dilakukan, kapan dilaksanakan, dan bagaimana cara bunuh diri itu. Pada akhir novel ini Nedena akhirnya bunuh diri. Namun, di dalam kutipan novel ini, yang dijelaskan adalah bagaimana cara bunuh diri itu. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini:

Dan, Aleda menjerit seperti pilu yang tercurah dalam resah.

Jendela terkuak lebar dan embusan angin menggoyang tubuh tergantung yang lunglai. Nedena telah menggantung leher kecilnya dengan seutas tali, menendang bangku penyangga hingga jatuh pada lantai keramik yang putih. Dan betapa tragisnya pemandangan yang ada di depan Aleda karena melihat pasien kecil itu gantung diri tepat di ruang praktiknya. (261)

Dari gejala-gejala yang ditunjukkan Nedena, Nedena mengalami gangguan jiwa yang secara psikopatologi disebut ‘Skizofrenia’. Menurut Dirgagunarso (1982:140)


(42)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

arti sebenarnya dari perkataan skizofrenia adalah kepribadiaan yang terbelah (split of personality). Dahulu, kelainan jenis ini dinamakan dementia precox. Yang artinya kemunduran dalam salah satu aspek kepribadiaan sebelum dewasa. Hal ini memang disebabkan karena kelainan-kelainan jenis ini umumnya terjadi pada orang-orang muda. Tanda-tanda umum dari kelainan kejiwaan ini adalah:

a. kontak dengan realitas tidak ada lagi. Penderita lebih banyak hidup dalam dunia khayalannya sendiri, dan berbicara serta bertingkah laku sesuai dengan khayalannya sehingga tidak sesai dengan kenyataan.

b. karena tidak ada kontak dengan realitas, maka logikanya juga tidak berfungsi. Akibatnya isi pembicaraan penderita sukar diikuti karena meloncat-loncat (inkoheren) dan sering kali ada kata-kata aneh yang hanya dapat dimengerti oleh penderita sendiri (neo-logisme).

c. ucapan, perbuatan dan pikirannya tidak sejalan. Ketiga aspek kejiwaan itu pada penderita skizofrenia dapat berjalan sendiri-sendiri, sehingga ia dapat menceritakan sesuatu yang menyedihkan sambil tertawa-tawa.

d. sehubungan dengan pikiran yang sangat berorientasi kepada khayalan sendiri, timbul delusi atau waham pada penderita skizofrenia. Delusi atau waham ini adalah suatu keyakinan yang keliru mengenal diri sendiri, misalnya penderita merasa dirinya orang sakti, atau merasa dirinya Napoleon.

e. halusinasi sering pula nampak pada skizofrenia. Penderita sering mengalami kesalahan persepsi dalam arti mendengar, melihat, atau merasa sesuatu yang sebenarnya sangat lain sifatnya. Misalnya mendengar suara-suara atau melihat sapu sebagai pedang.


(43)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

Di samping tanda-tanda umum di atas, terdapat pula tanda-tanda khusus pada jenis-jenis skizofrenia tertentu. Jenis-jenis skizofrenia itu antara lain adalah:

a. skizofrenia simplex (sederhana): pada jenis ini kadang-kadang penderita masih mampu melihat dan berhubungan dengan realitas, tetapi kalau diperhatikan lebih teliti sebanarnya ada keanehan-keanehan yang ada pada orang lain (orang yang “normal”) tidak dilakukan

b. skizofrenia hebephrenic: tanda yang khusus adalah penderita memperlihatkan tingkah laku kemunduran (regressiuon) yaitu kembali mundur kepada fase perkembangan yang lebih rendah, misalnya menjadi lebih mudah menangis seperti anak-anak

c. skizofrenia paranoia: jenis ini ditandai dengan kecurigaan yang berlebih-lebihan, ia merasa mau diracuni atau mau dibunuh. Penderita bisa diam tidak bergerak pada suatu posisi tertentu dalam jangka waktu yang lama (sampai beberapa jam). Misalnya kalau ia sudah duduk ia akan duduk terus di situ tanpa bergerak. Ia tidak mempedulikan rangsang-rangsang dari luar. Keadaan dan sikap khusus seperti ini disebut stupor.

Menurut Mahmud (1990:271-272) ada lima bentuk skizoprenia, antara lain: a. Skizofrenia sederhana

Penderita ini hanya memiliki sedikit delusi atau halusinasi. Tanda utamanya ialah sedikit menarik diri dari hubungan sosial dan personal. Mereka tidak berminat terhadap orang lain dan tidak peduli pada norma-norma sosial. Mereka mungkin menjadi pengelana/tukang luntang lantung, pelacur, penjahat-penjahat kelas ringan,


(44)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

mencuri, tidak menghiraukan penyakit dan hal-hal yang kotor, dan acuh tak acuh terhadap lapar.

b. Skizofrenia akut

Penderita ini mengalami psikosis mendadak dan berlangsung sebentar tetapi cukup hebat. Yang lebih ekstrem disertai dengan delusi dan halusinasi. Psikosis ini juga dinamakan nervous breakdown, syarafnya berantakan.

c. Skizofrenia catatonic

Berbeda dengan penderita skizofrenia sederhana yang bersikap acuh tak acuh terhadap masyarakat, penderita ini justru menunjukkan sikap bermusuh terhadap masyarakat. Sikap ini ditunjukkan dengan cara tidak berbuat apa-apa dan atau dengan cara agresi yang penuh semangat. Mereka mungkin duduk saja berjam-jam atau mungkin menyerang dengan perkataan-perkataan yang kasar dan perbuatan-perbuatan yang mengerikan.

d. Skizofrenia hebephrenic

Hebephrenic berasal dari bahasa Yunani yang berarti “jiwa muda”. Kalau orang menamakan seseorang “seseorang tolol yang gila”. Yang dimaksud adalah skizofrenia ini. Simtom-simtomnya yang terutama ialah: kedunguan, ketololan, emosi terpisah dari intelek, delusi dan halusinasi yang ganjil. Di samping itu sering memperlihatkan mimik dan isyarat-isyarat yang tidak ada artinya. Apabila tidak dirawat, pikiran akan cepat rusak untuk kemudian tetap rusak, meskipun hal ini mungkin karena efek ketidakmampuan berkomunikasi. Semua tingkah laku ini mencerminkan sangat rusaknya pengertian penderita skizofrenia hebephrenic tentang kenyataan. Penderita ini hampir sama sekali hidiup dalam dunia fantasinya sendiri.


(45)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

Kata-kata di dalam kalimatnya dihubungkan oleh suara dan bukan oleh arti, atau oleh arti yang pribadi sekali sifatnya. Perbuatan-perbuatan bersifat simbolis, meskipun simbolismenya itu biasanya terlalu bersifat pribadi uintuk dapat dipahami. Pendek kata, penderita ini tidak hanya menarik diri dari kenyataan tetapi menggantinya dengan kenyataan yang sintetis. Hal ini sangat menyukarkan penyembuhannya.

e. Skizofrenia paranoid

Berbada dengan bentuk-bentuk lainnya, skizofrenia ini timbulnya agak lebih kemudian. Penderita ini juga mengalami gangguan emosi dan pikiran. Simtom pokoknya ialah delusi persecutory dan grandeur yang sistematis. Delusi-delusi ini sukar sekali disembuhkan.

Dari jenis-jenis skizofrenia di atas, dapat disimpulkan bahwa Nedena termasuk ke dalam jenis skizofrenia simplex (sederhana).

4.2 Analisis Bentuk Dekonstruksi yang Ada dalam Novel Dadaisme

4.2.1 Bentuk Dekonstruksi Tokoh Utama (Nedena)

Di dalam gangguan jiwa yang dialami Nedena, ternyata ada bentuk dekonstruksi. Bentuk dekonstruksi tersebut adalah:

4.2.1.1 Dekonstruksi Warna Langit

Warna langit secara umum selalu digambarkan berwarna biru. Sesuai dengan pengamatan dan fakta yang ada memang benar langit berwarna biru. Menurut

ada beberapa sebab

mengapa langit berwarna biru. Bumi diselubungi lapisan udara yang disebut atmosfer. Walaupun tidak tampak, udara sebenarnya terdiri atas partikel-partikel kecil.


(46)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

Cahaya dari matahari dihamburkan oleh partikel-partikel kecil dalam atmosfer itu. Tetapi kita tahu, cahaya dari matahari terdiri dari paduan semua warna, dari merah, kuning, hijau, biru, hingga ungu. Warna-warna itu memiliki frekuensi yang berbeda. Merah memiliki frekuensi yang lebih kecil dari kuning, kuning lebih kecil dari hijau, hijau lebih kecil dari biru, biru lebih kecil dari ungu. Semakin besar frekuensi cahaya, semakin kuat cahaya itu dihamburkan.

Warna langit adalah sebagian cahaya matahari yang dihamburkan. Karena yang paling banyak dihamburkan adalah warna berfrekuensi tinggi (hijau, biru, dan ungu), maka langit memiliki campuran warna-warna itu, yang kalau dipadukan menjadi biru terang.

Tokoh utama dalam novel ini yaitu Nedena, menggambarkan warna langit itu tidak pernah berwarna biru. Tampak pada kutipan di bawah ini:

Lukisan di dinding rumah yang berlatar langit dan pemandangan desa selalu menggambarkan langit dengan warna biru, tapi tidak selalu dengan lukisan anak itu. Dia tidak menggambarkan langit seperti warna angkuh

itu. Dia menggambarkan langit dengan warna merah muda dan

matahari berwarna oranye seperti jeruk. (6)

Langit adalah tempatnya, dia boleh menuangkan warna apa saja yang diinginkannya, entah itu merah muda, bahkan dia pernah mewarnai langit warna kuning dengan matahari berwarna hitam. (6)

Sekali lagi dia menggambar langit, dan kini dia mengganti warnanya menjadi merah dengan matahari berwarna hijau. (7)

Dia hanya ingin mewarnai langit dengan warna kesukaannya, tidak warna kesukaan Tuhan. (7)

Malamnya Nedena kembali menggambar langit, kali Ini dia menggambar langit dengan warna ungu dan matahari berwarna putih. (8)

Kali ini Nedena menggambar kota. Gedung-gedung besar meliuk-liuk mencakar langit. Tidak lupa juga pohon-pohon yang seperti serabut hijau


(47)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

dengan garis vertikal berwarna hitam, dan lagi-lagi langit yang berwarna emas dengan matahari berwarna hitam. (11)

4.2.1.2 Dekonstruksi Warna Matahari

Warna matahari selalu berubah-ubah, sesuai pengamatan kita hal itu dapat terbukti. Hal ini diperkuat, menurut keperakan pada sore hari. Hal ini disebabkan karena proses hamburan cahaya oleh partikel-partikel di atmosfer kita. Partikel-partikel itu adalah partikel debu, partikel kecil, aerosol padat lainnya, dan aerosol cair. Di bulan, yang tidak ada atmosfernya, matahari tidak terlihat merah atau kuning. Tokoh utama dalam novel ini yaitu Nedena tidak pernah menggambarkan matahari itu dengan warna merah atau warna kuning keperakan seperti yang dijelaskan di atas. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini:

Langit adalah tempatnya, dia boleh menuangkan warna apa saja yang diinginkannya, entah itu merah muda, bahkan dia pernah mewarnai langit warna kuning dengan matahari berwarna hitam.(6)

Sekali lagi dia menggambar langit, dan kini dia mengganti warnanya menjadi merah dengan matahari berwarna hijau (7).

Malamnya Nedena kembali menggambar langit, kali Ini dia menggambar langit dengan warna ungu dan matahari berwarna putih. (8)

ini Nedena menggambar kota. Gedung-gedung besar meliuk-liuk mencakar langit. Tidak lupa juga pohon-pohon yang seperti serabut hijau dengan garis vertikal berwarna hitam, dan lagi-lagi langit yang berwarna emas dengan matahari berwarna hitam. (11)

4.2.1.3 Dekonstruksi Malaikat

Menurut


(48)

"berkilau-David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

kilauan". Gambaran ini paling mirip dengan versi Yohanes 20:12 yang melukiskan Maria sendirian berbicara dengan "dua orang malaikat yang berpakaian putih" di dalam kubur Yesus. Dari kutipan ini dapat diambil kesimpulan bahwa malaikat berpakaian putih.

Malaikat adalah makhluk yang sempurna yang diciptakan Tuhan, karena bertugas untuk melayani Tuhan. Oleh karena itu, bentuk dan keadaan malaikat pastilah sempurna. Dan sebagaima kita ketahui di dalam agama kita masing-masing, bahwa malaikat dapat bebas terbang ke mana saja dia suka dan bertempat tinggal di surga. Tokoh utama dalam novel ini yaitu Nedena selalu menggambarkan malaikat dengan ketidaksempurnaan. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini:

‘Michail dapatkah kau sampaikan kepada Tuhan, mengapa dia mewarnai langit dengan warna biru?’ (10)

Michail diam, kemudian duduk di hadapan Nedena. Sayapnya yang hitam masih mengepak-ngepak pelan yang menimbulkan desingan angin. (10)

` ‘Kaulihat, kan, Nedena. Sayapku Cuma satu. Aku tidak bisa terbang menggapai langit ketujuh. Malaikat-malaikat lainnya bersayap dua dan berwarna putih, sedangkan sayapku hitam. Aku tidak pernah bisa menyampaikan pertanyaanmu itu ke langit.’ (10)

Nedena menatap malaikat kecil di hadapannya yang sayapnya hanya satu. Tangannya meraih tangan malaikat kecil itu, lalu Nedena menatap dalam-dalam dengan roman serius ke malaikat kecil tersebut. (10)

4.2.1.4 Dekonstruksi Keadaan Gelap

Sesuai dengan fakta yang ada dan sebagaimana yang kita ketahui, gelap adalah sesuatu yang menakutkan. Hal ini diperkuat dengan pengertian gelap yang dikutip dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:344), gelap memiliki empat pengertian, 1. tidak ada cahaya; kelam; tidak terang, 2. malam, 3. tidak atau belum jelas; samar, dan 4. rahasia (tidak secara terang-terangan); tidak halal atau tidak sah; tidak menurut


(49)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

aturan (undang-undang, hukum) yang berlaku.

Dari pengertian gelap di atas, penulis bertitik tolak dari pengertian gelap nomor 1. pengertian gelap yang dimaksud adalah tidak ada cahaya; kelam; tidak terang. Dalam keadaan yang tidak ada cahaya; kelam; tidak terang pastilah kita akan merasa takut. Sesuai dengan fakta yang ada gelap selalu ditakuti oleh orang. Lain halnya dengan Nedena justru Nedena mengatakan bahwa gelap justru melindungi. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini:

’Bukankah cahaya menerangi kegelapan, menggantinya dengan

kehangatan.’

’Tidak, cahaya itu menutupi kepekaan. Cahaya hanya membuat kita jadi takut akan gelap, padahal gelap melindungi.’ (35)

4.2.1.5 Dekonstruksi Gambaran Surga

Menurut ajaran agama apa pun yang ada di dunia ini, tak ada satu pun kitab suci

yang menggambarkan surga itu jelek. Dalam

Al Quran menggambarkan surga kurang lebih dengan taman yang penuh pepohonan berbuah lebat dimana di dalamnya mengalir sungai-sungai. Saking lebatnya pepohonan tersebut, terik matahari akan terhalang oleh hijaunya dedaunan sehingga

wajar penghuni di dalamnya tidak merasa haus dan dahaga selamanya. Dalam Alkitab, surga itu digambarkan seperti ini “Lalu, di dalam roh ia

membawa aku ke atas gunung yang besar lebih tinggi dan ia menunjukkan kepadaku kota yang kudus itu, Yerusalem, turun dari sorga, dari Allah. Kota itu penuh dengan kemuliaan Allah dan cahayanya sama seperti permata yang paling indah, bagaikan


(50)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

permata yaspis, jernih seperti kristal (Wahyu 21:10-11).”

Dari kedua isi kitab suci di atas baik itu Al Quran maupun Alkitab, menggambarkan surga itu sesuatu yang indah dan menyenangkan. Lain halnya dengan Nedena yang menganggap bahwa surga itu tidak indah. Tokoh utama dalam novel ini yaitu Nedena tidak pernah menganggap surga itu indah, hal ini tampak pada kutipan ini ”Anehnya lagi, aku juga tidak menganggap surga itu indah.” (262)

4.2.1.6 Dekonstruksi Gambaran Neraka

Di dalam ajaran agama apapun, dikenal adanya ‘surga’ dan ‘neraka’. Surga adalah tempat orang-orang yang baik. Sedangkan neraka adalah tenpat orang-orang yang berdosa. Orang-orang yang berdosa sudah selayaknya mendapat hukuman dari Tuhan. Jadi pantaslah bahwa neraka itu adalah tempat yang panas dan menyakitkan. Dalam Alkitab tertulis “ Dan setiap orang yang tidak ditemukan namanya tertulis dalam kitab kehidupan itu, ia dilemparkan ke dalam lautan api itu (Wahyu 20:15).” Lautan api tersebut adalah gambaran neraka yang dimaksud. Bertitik tolak dari kutipan yang terdapat di Alkitab tersebut dapat dipastikan neraka itu adalah sesuatu keadaan yang panas dan menyakitkan. Tokoh utama dalam novel ini yaitu Nedena menggambarkan neraka itu tidak dengan sesuatu yang buruk, panas dan menyakitkan tapi justru sebaliknya. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini:

Tapi, aku juga tidak pernah menganggap neraka itu buruk. Memang semua orang bilang neraka itu tempat yang menyakitkan. Tapi, tidak ada bukti bahwa neraka itu panas dan menyakitkan. (262)


(51)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. 4.2.1.7 Dekonstruksi Warna Laut

Warna laut secara umum digambarkan dengan warna biru. Bahkan sesuai dengan pengamatan dan fakta yang ada, memang benar bahwa warna laut adalah berwarna biru. Nedena sebagai tokoh utama dalam novel ini, tidak pernah menggambarkan laut itu dengan berwarna biru, melainkan selalu dengan warna ungu. Hal ini tampak pada kut ipan di bawah ini:

Seperti warna lautan yang selalu digambar Nedena. Dia juga suka menggambar laut dengan warna ungu karena warna itu serupa dengan warna kamarnya yang entah mengapa para tukang itu mengecetnya dengan warna ungu. (30)

4.2.2 Bentuk Dekonstruksi dr. Aleda

Selain Nedena, dr. Aleda juga mendekonstruksikan sesuatu. Dekonstruksi yang ditampilkan dr. Aleda dalam novel Dadaisme adalah:

4.2.2.1 Dekonstruksi Alat Pernafasan Manusia

Sebagaiman kita ketahui, manusia bernafas dengan paru-paru. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:832) paru-paru memiliki pengertian organ tubuh yang berupa sepasang kantong berbentuk bulat toraks, terdapat di rongga dada, berfungsi sebagai alat pernafasan (untuk membersihkan darah dengan oksigen yang diisap dari udara pada manusia dan sebagian binatang). Lain halnya dengan dr. Aleda, ia justru berpendapat bahwa manusia tidak bernafas dengan paru-paru. Hal ini tampak pada kut ipan di bawah ini:

Teman SMA saya itu mengatakan bahwa saya akan tertarik pada kasus unik ini. Kemudian, saya baru paham bahwa memang kasus ini unik. Manusia adalah makhluk yang sangat unik., dan saya tahu bahwa mereka bukan hanya tercipta dari daging dan darah, mereka tidak bernapas karena paru-paru. (23)


(1)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. 4.2.5 Bentuk Dekonstruksi Jo

Selain tokoh-tokoh di atas, Jo juga dalam novel ini tampak mendekonstruksikan sesuatu hal. Dekonstruksi itu adalah:

4.2.5.1 Pakaian Iblis

Iblis berbeda dengan malaikat. Iblis menggunakan pakaian iblis dan malaikat mengunakan pakaian malaikat. Jo mendekonstruksikan pakaian iblis. Menurut Jo, iblis menggunakan mantel malaikat. Tampak pada kutipan di bawah ini:

Aku tahu, Bim paling pandai sekali menyembunyikan bentuk dirinya yang sebenarnya. Dia bagai iblis mengenakan mantel malaikat. Tapi bukan dia saja yang iblis menyaru sebagai malaikat, aku pun tidak berbeda dengannya. (108)

4.2.6 Bentuk Dekonstruksi Flo

Flo juga mendekonstruksikan sesuatu. Dekonstruksi yang dilakukan Flo adalah:

4.2.6.1 Dekonstruksi Membunuh

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:179), membunuh memiliki dua pengertian, antara lain 1. menghilangkan (menghabisi; mencabut) nyawa; mematikan; 2. menghapus (tulisan); memadamkan (api dsb); menutup (yang bocor, pancuran, dsb). Ketika seseorang membunuh, pastilah ada rasa kuatir, rasa bersalah dan rasa takut. Lain halnya dengan Flo ketika usai membunuh seluruh keluarganya, justru Flo mengundang teman sekelasnya dengan alasan ada pesta di rumahnya. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini:

Sekitar pukul 20.00 perkara pun terjadi. Flo membunuh keluarganya. Mula-mula dari ayahnya yang dianggap paling kuat, lalu berikutnya sang ibu yang tampaknya memergoki kelakuannya. Setelah itu Flo membunuh kakak perempuannya di dapur dan terakhir adiknya. Sampai sekarang polisi masih tidak mengerti mengapa anak seusianya membunuh


(2)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

keluarganya sendiri. Yang lebih menarik lagi,. Setelah membantai seluruh keluarganya, dia mengundang beberapa teman sekelasnya untuk datang ke rumahnya dengan alasan ada sebuah pesta di sana. (115)


(3)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Dari analisis yang dilakukan terhadap novel Dadaisme yang menggunakan landasan teori Psikologi Sastra dan Dekonstruksi, maka dapat disimpulkan bahwa: a. Novel Dadaisme adalah salah satu jenis novel yang berbau psikologi, tokoh utama (Nedena) dalam novel Dadaisme memang benar-benar mengalami gangguan jiwa, hidup Nedena selalu dalam halusinasi, dissosiasi, waham atau delusi, ilusi, mutisme, dan pikiran bunuh diri (Suicide Thoughts). Dari ciri gangguan jiwa yang dialami Nedena, dapat juga disimpulkan bahwa Nedena mengalami suatu penyakit yang namanya ”skizofrenia”, Nedena mengalami skizofrenia simplex (sederhana).

b. Di dalam novel Dadaisme terdapat juga bentuk dekonstruksi. Bentuk dekonstruksi Nedena adalah: dekonstruksi warna langit, dekonstruksi warna matahari, dekonstruksi malaikat, dekonstruksi keadaan gelap, dekonstruksi gambaran surga, dekonstruksi gambaran neraka, dan dekonstruksi warna laut. Bentuk dekonstruksi dr. Aleda adalah berupa dekonstruksi alat pernafasan manusia, dekonstruksi perasaan romantis, dan dekonstruksai suara. Bentuk dekonstruksi Isabella adalah dekonstruksi malam pertama, bentuk dekonstruksi Rendi adalah dekonstruksi tawa dan tangis anak-anak, bentuk dekonstruki Jo adalah dekonstruksi pakaian iblis, dan bentuk dekonstruksi Flo adalah dekonstruksi membunuh.

5.2 Saran

Teori dekonstruksi dan psikologi sastra yang penulis terapkan dalam menganalisis novel Dadaisme ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini dipengaruhi oleh


(4)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

kemampuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat penulis perlukan untuk penyempurnaan menggunakan teori dekonstruksi ke depan.


(5)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010. DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1998. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Arif, Iman Setiadi. 2006. Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung: Refika Aditama.

Baihaqi, M. I. F. 2005. Pskiatri. Bandung: Refika Aditama – Bandung.

Dirgagunarso, Singgih. 1982. Pengantar Psikologi. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Eagleton, Terry. 1988. Teori Kesusastraan Suatu Pengenalan, terjemahan

Muhammad Hj. Saleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.

2009)

2009)

30 Juni 2009)

Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Grahawidya. Jatman, Darmanto. 1985. Sastra, Psikologi, dan Masyarakat. Bandung: Alumni Lima, Ev. Yadi S. 2007. Biblical Aesthetics Sebuah Tinjauan Alkitabiah, Historis

Dan Filosofi. Dalam Pillar No.43/Februari/07

Luxemburg, Jan van, dkk.1984. Pengantar Ilmu Sastra, terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Mahmud, M. Damayanti. 1990. Psikologi: Suatu Pengantar. Yogyakarta: BPFE- Yogyakarta.

Nasution, Ikhwanuddin. 2003. “Hermeneutik: Sebuah Metode Penelitian Sastra” dalam Studi Kultura, Jurnal Ilmiah Ilmu Budaya. Tahun 2, No. 4. Agustus. Fakultas Sastra


(6)

David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.

.2006. “Sastra dari Persfektif Kajian Budaya: Analisis Novel

Saman dan Larung.” Dalam Jurnal Ilmu-ilmu Bahasa dan Sastra (LOGAT). Vol. 2, No. 1:5-6.

Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

. 2005. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santoso, Listiyono dkk. 2003. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-ruzz Pers. Sartika, Dewi. 2006. Dadaisme. Jakarta: Grasindo.

Sarup, Madan. 2003. Post-Structuralism And Postmoderinsm. Yogyakarta: Jendela. Setia, Fajar. 2004. “Pembahasan Kritis ‘Dadaisme’ dan ‘Geni Jora’ Eksplorasi

Kebetulan dan Pembelaan terhadap Kaum Marginal”. Dalam Sinar Harapan, 01 Mei 2004. Jakarta.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya - Girimukti Pasaka.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Tusthi Eddy, Nyoman. 1991. Kamus Istilah Sastra Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. www. wikipedia.com (retrieved: 20 April 2009)

Zurmailis. 2008. ”Dadaisme: Mencari Jalan Pulang.” Dalam Jurnal Islam dan Budaya (Ibda). Vol. 6, No. 1: 1-13.