David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.
‘Kau mendengarnya Michail?’ Michail menundukkan wajahnya dan menatap mata Nedena yang
sedang menengadah menatapnya. Lalu dia mengangguk, ‘Aku mendengarnya.’
‘Lalu?’ “Lalu kenapa?’
‘Kau akan ikut, kan?’ Michail tertawa, lalu ujarnya lagi, ‘Setan saja boleh ikut, mengapa
malaikat tidak?’11
Bukti bahwa kutipan di atas menggambarkan Nedena hidup dalam halusinasi adalah tampak pada kutipan di bawah ini:
“Nedena Apa yang kau lihat di atas sana. Hei, kalau orang bicara dengarkan” Si Bibi tampak jengkel dengan tingkah Nedena. “Kautahu, di
kota nanti kau akan diobati. Gilamu akan sembuh dan aku tidak perlu bersusah lagi merawatmu. Kautahu, kau itu hanya menyusahkanku, dan
Tuhan yang telah menurunkan kebaikannya padaku. Sekarang dan yang akan datang kau harus berlaku layaknya orang normal.”
Nedena diam saja, lalu pelan-pelan Michail turun dari tiang dan terbang rendah di sisi Nedena.
‘Apakah kau akan pergi meninggalkanku, Michail?’ Michail mendekap Nedena dari belakang dan berbisik lenmbut di
telinga gadis cilik itu, ‘Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Nedena. Sejak kita berdua bersumpah akan selalu bersama, walau ke neraka
sekalipun.’
Neraka. Seperti apakah neraka yang terlukis oleh tangan kanak-kanak? 12
4.1.2 Dissosiasi
Menurut Tan Pariaman dalam Zurmailis 2008:8 dissosiasi adalah terdapatnya pelarian pada keadaan lupa. Tidak ingat dan tidak sadar yang dilanjutkan dengan
“psikohisteris”, yaitu kerusakan tiba-tiba fungsi ego yang disebabkan oleh stress emosional yang hebat. Selain berhalusinasi, Nedena juga hidup dalam ‘dissosiasi’.
Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini: Sebagaimana dia melupakan biru dari langitnya, dia juga sudah lupa
cara bicara lewat mulutnya. Lupa bagaimana nikmatnya suara merdu yang keluar dari pita suaranya yang kecil, nikmat suara yang keluar bagai aliran
David Rici Ricardo : Dekonstruksi Dan Gangguan Jiwa Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika, 2010.
air liur dari tenggorokannya, nikmat suara yang keluar bagai aliran air liur dari tenggorokannya, nikmat mengadukan lidahnya pada langit-langit
mulut, mengeluarkan aneka bentuk fonem membentuk kata menjadi kalimat yang bermakna. Sejak kapan dia lupa, dia juga sudah lupa, sejak
kapan dia ingat, dia bahkan tidak ingat. 34
Dari kutipan di atas tampak bahwa Nedena lupa cara bicara lewat mulutnya
sendiri. Hal ini sesuai dengan pengertian dissosiasi di atas. Dissosiasi juga tampak pada kutipan di bawah ini:
Michail tertawa, tapi Nedena tidak tertawa. Dia juga lupa bagaimana harus tertawa. Jadi Nerena menarik garis bibirnya hingga berjajar lebih
lebar dan sedikit melengkung, tidak bisa sampai melengkung sekali. Dia lupa, di mana dia menyimpan tawanya yang dahulu apakah tawa itu telah
tersimpan jauh dan dia lupa menaruhnya, atau dia menjatuhkannya dahulu bersama kunci tenggorokannya. Sekarang dia harus mencari dimana kunci
tersebut? ‘Michail... aku lupa meletakkan tawaku.’
’Kau menjatuhkannya’ Michail terlonjak ketika Nedena berkata begitu. Sayapnya yang hanya satu itu tiba-tiba berkibas seperti panik.
’Aku lupa. Aku tidak ingat, sejak kapan aku tidak bisa tertawa lagi.’ ’Kenapa kau membawa lupa dalam ingatanmu?’
’Aku juga lupa sejak kapan dia ada.’ ’Kenapa kau membawa lupa dalam ingatanmu?’
’Aku juga lupa sejak kapan dia ada.’ ’Baiklah. Aku akan pergi untuk mencari ingatan sebagai pengganti
lupa.’ ’Jangan. Kau tidak boleh meninggalkan aku’ Nedena segera meraih
tangan Michail, seperti meraih sepercik harapan yang hampir musnah. ’Aku lebih baik lupa, jangan bawa ingat padaku, jangan tinggalkan aku
sendirian’ 36-37
Dari kutipan di atas tampak Nedena lupa cara tertawa. Hidup Nedena setiap
harinya tak mengenal ’tertawa’.
4.1.3 Waham atau Delusi