Aspek Nomenklatur Sejarah Jakarta
53
dan kokoh.
11
Penamaan pada suku ini dikaitkan dengan kecenderungan masyarakat ketika itu yang menamai daerah dengan menggunakan nama pohon.
Pohon betawi ini memiliki nama ilmiah guling Betawi cassia glauca. Sejenis
tanaman perdu yang memiliki kayu bulat.
Suku Betawi adalah suku baru yang menetap diJakarta. Suku Betawi adalah suku yang dihasilkan dari perpaduan etnis yang sudah ada dan pendatang. Suku-
suku itu adalah suku Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Melayu, Toinghoa, India dan Eropa.
12
Berdasarkan kepentingannya, selain suku Sunda, suku-suku ini berdatangan untuk berdagang. Kemudian mereka menetap dan
berkembang. Termasuk bangsa Eropa, yang pada awalnya bertujuan untuk berdagang sampai kemudian menjajah. Sebagian dari mereka ada yang menetap
dan menjadi bagian dari suku asli. Semua kondisi ini merupakan implikasi dari daerah yang berfungsi sebagai kota pelabuhan yang aktif.
Pada masa kedatangan Portugis, Pelabuhan –pelabuhan di dataran Nusantara
pelan-pelan mulai bermunculan. Peranan pelabuhan tersebut sebagai bagian penting dalam jaringan perdagangan Indonesia. Pada pertumbuhan perdagangan
ini, pelabuhan di pantai barat malaya yang kita kenal dengan Selat Malaka, menjadi semakin penting karena kapal-kapal pedagang asing sering melewati selat
ini jika ingin melakukan perjalanan antara Nusantara dan negeri Barat. Selat Malaka menjadi sepi dari pedagang asing setelah Selat Malaka dikuasai oleh
11
http:www.beritajakarta.com2008idberita_detail.asp?nNewsId=40450 . Diakses pada
29 November 2013.
12
http:id.wikipedia.orgwikiSuku_Betawi , Diakses pada 29 November 2013.
54
Portugis. Yang ada hanya pedagang pribumi dan Portugis saja yang menetap di Selat Malaka. kondisi ini menuaikan hasil yang sangat menguntungkan bagi
Sunda Kelapa. Karena ketika itu, Sunda Kelapa ramai didatangi oleh pedagang yang beragama Islam dari Arab, Persia dan India.
Kedatangan para pedagang dan saudagar ke pelabuhan Sunda Kelapa, disini bukan hanya menikmati hasil secara ekonomis saja, melainkan kenikmatan
heterogensi ideologi agama pun sangat dirasakan. Dari pedagang India, sudah banyak terjadi akulturasi dari para pedagang yang beragama Hindu hingga
menjadikan masyarakat pribumi ikut memeluk agama Hindu. Begitu pula dari pedagang Arab, Persia dan India yang memberikan pengaruh hingga banyak juga
yaang tertarik dan memeluk agama Islam. Banyak juga pedagang Portugis yang berdagang dan beristirahat di pelabuhan Sunda Kelapa, telah banyak juga
masyarakat dari Sunda Kelapa ini yang beragama Kristen. Bahkan dari setiap suku yang datang dan bertempat tinggal di sini, itu menjadi cikal-bakal agama
baru. Karena dari suku tersebut, mereka memiliki kepercayaannya masing- masing. Seperti Tionghoa dengan Konghucunya dan lain-lain.
Dulu di Sunda Kelapa, agama yang paling mendominasi masyarakatnya adalah agama Hindu. Namun dominasi Hindu di Sunda Kelapa, lambat-laun
memudar dari pemeluknya. Masyarakatnya mulai terjerat dalam kepercayaan baru yang dianggap lebih rasional. Penyebaran agama Islam dan agama Kristen lebih
banyak mendapatkan perhatian masyarakat dan pada akhirnya sebagian besar masyarakat berpindah haluan pada agama tersebut. Hal ini tampak dari jumlah
55
tempat-tempat ibadahnya jika kita lihat kondisi saat ini.Dan dua agama inilah yang sekarang mendominasi penduduk Kota Jakarta.
Pergolakan ideologi agama yang dibawa oleh masing-masing etnis telah mengkondisikan penduduk Jakarta menjadi penduduk yang menyadari
keragaman. Setelah itu kalau kembali pada masa kolonial, akan ditemukan sebuah kebijakan politik dari pemerintah kolonial Belanda. Yang disebut dengan Politik
Etis, yang menjadi salah satu instrumen penting pada pembentukkan dan perubahan karakter masyarakat Jakarta. Kebijakan ini yang menjadikan
masyarakat ortodok menjadi terdidik. Bukan hanya berimplikasi pada pendidikan masyarakat, tetapi kebijakan itu juga telah merubah suasana Jakarta dari
masyarakat yang cenderung feodal kepada kondisi yang rasional. Politik Etis atau politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang
menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi.
13
Ide politik etis ini berawal dari kritikan seorang wartawan dan politikus Belanda yang bernama Pieter Brooshooftdan C.Th. van
Deventer yang kemudian dapat menyentuh hati Ratu Wilhelmina untuk peduli pada nasib pribumi. Ratu wilhelmina mengeluarkan kebijakan politik etis itu pada
ta nggal 17 September 1901 yang ditegaskan dalam pidatonya: ”...bahwa
pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi een eerschuld terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda”.
14
13
http:id.wikipedia.orgwikiPolitik_Etis . Diakses pada 4 Desember 2013.
14
http:id.wikipedia.orgwikiPolitik_Etis . Diakses pada 4 Desember 2013.
56
Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:
Irigasi pengairan, membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu
sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus Politik Etis.
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi
dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan
pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon 1852-1925 sebagai Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun 1900-1905. Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa
yang hampir merata di daerah-daerah.