Berdasarkan Pilihan Rasional Rasional-Choice

80 Namun bukan hal yang utopia lagi harapan untuk membuat demokrasi yang lebih murah dan rasional atas kemenangan Jokowi-Basuki dalam pilkada DKI Jakarta 2012. Kekuatan Jokowi dalam berkampanye memang bukan pada mesin uang. Jokowi lebih memilih personal brand yang kuat, baik dari pretari- prestasinya selama ini maupun sikapnya yang bersahaja dan sederhana. Kekuatan Jokowi adalah kedekatannya dengan rakyat. Baginya, sederet prestasi yang telah diukirnya tak cukup menjadi modal meraih dukungan warga ibu kota Jakarta. Oleh karena itu , Jokowi merasa harus ‘turun gunung’ menyambangi warga. Jokowi sangat memahami ilmu komunikasi, keterampilan terbesarnya adalah dalam berdialog dan bernegosiasi. Jokowi mampu berinteraksi dengan masyarakat, tanpa sekat, merakyat dan dengan bahasa yang dipahami warga. Menurutnya dengan cara itu dia baru benar-benar bisa meyakinkan warga Ibukota sehingga mempercayainya memimpin Jakarta. Kepada warga Jokowi meyakinkan bahwa dia mampu mewujudkan ‘Jakarta Baru’ yang lebih baik sesuai slogan kampanyenya. Sosok Jokowi ini berbandingan terbalik dengan Foke yang terkesan formal, protokoler, elitis, arogan sehingga tertanam dalam ingatan masyarakat persepsi bahwa Foke tidak menyentuh langsung persoalan masyarakat dan lebih memilih para kelas atas yang memang selama ini mendukungnya. Sejak awal Jokowi paham dia tidak akan bisa mengalahkan Foke jika memakai kekuatan uang. Biaya kampanye Jokowi-Basuki pun tidak seperti biaya kampanye yang biasanya dikeluarkan oleh kandidat pilkada lain di Indonesia. Masyarakat yang harus berkampanye dan membiayai kampanyenya. Disini 81 Jokowi melatih masyarakat untuk memutar uang dalam kerja politik. Pertama, mereka menjual baju kotak-kotak untuk mengumpulkan dana politik. Kedua, karena kebetulan waktu pelaksanaan pilkada berdekatan dengan bulan suci Ramadhan, mereka berkreasi dengan membuat peci, baju koko dan sarung yang dipadukan dengan idendtitas kotak-kotak. Ketiga, memproduksi suvenir massal seperti gantungan kunci Jokowi-Basuki, DVD dan lagu yang bisa dijadikan RBT serta dinyanyikan oleh para pengamen di bus, halte dan terminal. 33 Setidaknya indikator untuk menakar antusiasme masyarakat terlihat dari kemauan masyarakat untuk membeli kemeja kotak-kotak dan atribut kotak-kotak, yang memang menjadi salah satu strategi fundraising bagi tim kampanye Jokowi. Secara formal dan informal, bukan Jokowi-Basuki dan tim sukses yang membiayai kampanyenya, melainkan masyarakat yang membiayai politik mereka sendiri. Jokowi memberi inspirasi bahwa kemenangannya itu bukanlah semata- mata kemenangannya dan Basuki, tapi terlebih merupakan kemenangan bagi seluruh rakyat Jakarta. Masyarakatlah yang berinvestasi, menanam, merawat dan memetik buah politik mereka sendiri. Strategi komunikasi yang langsung bersentuhan dengan rakyat itu diyakini Jokowi mampu mengalahkan kekuatan uang yang di pakai tim lain. Oleh karenanya Jokowi lebih memilih berkampanye dengan mengunjungin langsung lokasi-lokasi atau komunitas-komunitas masyarakat dari pada menghadiri seminar atau beriklan di televisi. Jokowi juga senantiasa mengkomunikasikan langsung program-programnya kepada masyarakat secara sederhana dan mudah dipahami. 33 Nugroho dan Nugroho, Jokowi, 47. 82 Abdul Munir 25 Tahun, Warga Jakarta menilai bahwa Jokowi itu tidak pintar-pintar sekali, akan tetapi dia pekerja keras dan total dalam bekerja. Kemudian dengan dia blusukan keluar masuk – bahasa Jawa itu masyarakat senang karena merasa lebih dihargai sebagai manusia. 34 Ketimbang calon lain yang lebih dominan lewat pengerahan massa, acara bagi-bagi sembako, pengobatan gratis dan membuat warga larut dalam sajian tarian dan atraksi musik sejumlah artis di panggung kampanye yang hanya ampuh untuk mengumpulkan warga berduyun-duyun dalam kampanye, namun mereka sebatas menikmati hiburan bukan mendengar dan memahami visi misi serta program para politisi. Jokowi juga menolak menggunakan iklan di media massa sebagai bagian dari strategi kampanyenya dan menganggap poster atau pun spanduk hanya akan mengotori kota. Karena Jokowi-Basuki dan tim nya mengandalkan liputan dan program. Sikap friendly oleh Jokowi terhadap wartawan menjadikannya sebagai media darling. Maka dari itu, tak heran jika hasil pantauan Aliansi Jurnalistik Indonesia AJI menyebutkan dalam pemberitaan Pilkada DKI Jakarta 2012, 1 Juli - 31 Juli 2012, Jokowi merupakan calon dengan berita positif terbanyak, yakni 441 berita atau 12,79. Sebaliknya Foke mendapat pemberitaan bernada negatif paling banyak, yaitu 98 berita atau 2,84. 35 Keterbukaan informasi melalui pemberitaan sangat menguntungkan Jokowi-Basuki untuk menyiarkan keberhasilan dan track record yang telah dibangunnya. 34 Wawancara dengan Abdul Munir, di Jakarta pada 24 Desember 2013. 35 Fahrudin dan Nuswantoro, Kartu Sukses Jokowi-Ahok, 31. 83 Strategi komunikasi politik Foke dalam Pilkada DKI Jakarta yang lebih mengedepankan pendekatan elit parpol dibandingkan dengan akar rumput grassroots justru membuat Foke kehilangan momentum untuk mendulang simpati dari kalangan bawah. Putaran ke-2 Pilkada DKI Jakarta 2012 membuktikan hal ini, bahwa Foke lebih cenderung membangun koalisi-koalisi parpol dari pada mengubah strategi komunikasi dan penyapaan warga. Akhirnya citra yang terbangun dalam benak publik, Foke terkesan agresif dan elitis. Tabel IV. Hasil Perolehan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta 2012 Sumber: KPUD DKI Jakarta Keberhasilan Jokowi memikat masyarakat bukan karena komunikasi yang baik saja. Masyarakat semakin memantapkan pilihannya kepada Jokowi-Basuki dari sederet prestasi dan pengalaman yang sudah teruji jadi pasangan ini. Sebagai bukti komitmen kebijakan Jokowi pro-rakyat, pada salah satu prestasinya Jokowi yaitu mendapatkan anugerah Best City Award dalam konferensi Partnership for Democratic Local Governance in Southeast Asia Delgosea Conference di Perolehan Suara Pilkada DKI Jakarta 2012 Pasangan Putaran Pertama Putaran Kedua Foke-Nara 34,05 46,18 Hendardji-Riza 1,98 Jokowi-Basuki 42,60 53,82 Hidayat-Didik 11,72 Faisal-Biem 4,98 Alex-Nono 4,57 84 Bangkok, pada 9 Agustus 2012. 36 Penghargaan ini diberikan karena Jokowi dinilai berhasil menerapkan kebijakan yang membuat masyarakat mau mendukung dan melaksanakannya. Warga merindukan pemimpin yang memiliki rekam jejak yang bersih serta serius memberantas korupsi. Jokowi selama menjadi Walikota Solo sudah membuktikannya dengan meraih penghargaan Bung Hatta Anticorruption Award pada tahun 2010 atas kepemimpinan dan kinerjanya sebagai sosok yang bersih, santun dan anti korupsi selama membangun dan memimpin kota Solo. Demikian juga Basuki selama menjabat Bupati Belitung Timur, yang dinobatkan sebagai Tokoh Anti Korupsi pada tahun 2006 oleh Koalisi Kebersamaan Tiga Pilar Kemitraan karena Basuki dinilai berhasil menjalankan praktik anti korupsi, antara lain dengan tindakan pengalihkan tunjangan bagi pejabat pemerintah untuk kepentingan rakyat Belitung Timur. Adanya indikasi terhadap politik pencintraan membuat masyarakat menjadi jenuh. Maka Track Record rekam jejak Jokowi- basuki dalam penataan dan membangun daerahnya menjadi bukti aktual, yang menjadi nilai lebih bagi pemilih untuk dibandingkan dengan calon lain. Rakyat pun semakin cerdas dan terus belajar, bahwa pesta demokrasi dari Pemilu Pilkada menjadi saat- saat untuk ‘memeras’ calon yang layak dan teruji. Rakyat merasa pantas untuk melakukan itu karena setelah calon terpilih tak jarang mereka lupa janji-janji selama kampanye. Rakyat ingin kemajuan yang lebih baik untuk Kota Jakarta yang bisa dirasakan juga perubahannya oleh rakyat. Dan dari hasil survey Puskaptis mencatat testimoni warga terhadap sosok Jokowi. Beberapa 36 Fahrudin dan Nuswantoro, Kartu Sukses Jokowi-Ahok, 52. 85 hal positif yang tercitra pada Jokowi antara lain jujur, bersahaja, kharismatik, berani mengambil keputusan, pengalaman luas, berkomunikasi dengan masyarakat, punya perhatian tinggi kepada rakyat kecil. 37 Poin-poin inilah yang menjadi landasan mendasar bagi pemilih melimpahkan suaranya ke Jokowi. 37 Yazid, Kenapa Foke dan Jokowi, 46. 86

BAB V PENUTUP

1. Kesimpulan

Kemenangan Jokowi-Basuki dapat dikatakan sebuah anomali. Peristiwa yang tidak biasa ini karena masyarakat Jakarta mampu meruntuhkan kuasa uang yang dikalahkan dengan rasionalitas pemilih. Artinya, pendidikan politik dan kecerdasan pemilih untuk menakar seorang figur sudah tidak lagi semata-mata karena basis dukungan logistik yang kuat, namun lebih pada aspek-aspek yang substantif seperti integritas dan keterujian melalui track record. Kontestasi politik lewat Pemilu Pilkada yang selama ini sangat tinggi biaya politiknya setidaknya akan berubah dengan lebih mengedepankan figur yang berintegritas dan berkomitmen. Hal ini memunculkan harapan bagi demokrasi yang lebih sehat dan substantif, bukan lagi pada politik transaksional yang selama ini kerap muncul dalam setiap PemiluPilkada. Maka efisiensi Pilkada akan sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi. Fenomena Jokowi-Basuki menepis asumsi-asumsi bahwa kuasa uang, identitas dan isu Ras akan menentukan jumlah perolehan suara. Kemenangannya dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 merupakan manifestasi kemenangan kuasa rakyat atas kuasa modaluang. Kemenangan kuasa rakyat atas doniman oligarki ekonomi. Rakyat DKI Jakarta menginginkan adanya perubahan dari status quo dan sudah tidak mempertimbangkan faktor uang dalam menentukan preferensi pilihan kepada calon. 87 Jokowi juga diuntungkan oleh kondisi sosio demografi penduduk Jakarta yang relatif berpendidikan tinggi, dan melek informasi. Pemilih berpendidikan sangat rasional dalam menentukan pilihan dan memiliki pertimbangan logis bahkan ideologis. Pilkada DKI Jakarta 2012 juga memberikan pelajaran berharga bahwa sudah tidak ada dikotomi etnisitas. Masyarakat Jakarta tidak lagi melihat dari apakah Jokowi putra daerah atau bukan, namun lebih didasarkan pada keberhasilan Jokowi dalam menata kota Solo yang menjadi preferensi masyarakat dalam memilih. Selain itu, faktor agama juga tidak lagi menjadi determinasi signifikan. Penerimaan masyarakat Jakarta terhadap sosok Basuki membuktikan hal tersebut. Masyarakat lebih melihat track record prestasi Basuki selama menjabat menjadi Bupati Belitung Timur dan anggota DPR RI, bukan lagi melihat dari minoritas Tionghoa yang beragama non muslim. Track record politik harus diimbangi dengan ‘keberhasilan’ bagi seorang tokoh. Oleh karena itu, sangat penting bagi tokoh politik untuk membangun keberhasilan yang akan diingat dalam memori masyarakat banyak.

2. Saran

Masyarakat sudah jenuh dengan politik pencitraan. Masyarakat menuntut adanya kerja nyata dan kebijakan yang memihak bukan hanya pada segelintir orang dan kelompok tertentu, namun tidak menyentuh kepentingan publik. Persoalan yang melingkupi DKI Jakarta disebabkan kegagalan pemerintah daerah merumuskan kebijakan publik yang komprehensif dan fokus pada masalah publik 88 dan berpihak pada kepentingan masyarakat, dan mewujudkannya dalam politik anggaran yang berpihak pada publik. Karena kegagalan ini bersumber pada lemahnya praktik good, effective and clean governance. Jakarta sendiri akan dilihat sebagai barometer, semoga virus Jokoi-Basuki dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 akan menyebar dan memberikan efek domino pada Pilkada-Pilkada di daerah lain, bahkan efeknya akan terasa bervibrasi pada persiapan Pilpres 2014. Ini akan menjadi angin segar bagi masa depan demokrasi Indonesia. Demokrasi yang berbasis kelas menengah terdidik, rasional dan tidak mudah terpengaruh dengan money politics. Melihat realitas politik dalam kontestansi Pilkada DKI Jakarta 2012, menuntut Parpol untuk mengkonsolidasikan secara internal untuk menakar dan memilah figur-figur setidaknya memunculkan figur yang semirip dengan karakter yang dibangun Jokowi-Basuki, baik personal maupun track record politik. Para elit politik harus mulai menata strategi terutama dalam pencalonan menuju kursi RI 1. Apatisme publik terhadap realitas politik sekarang ini harus diredam dengan berbagai aksi nyata dan minus pencitraan. Parpol harus mengidentifikasi tokoh- tokoh yang benar-benar bekerja untuk rakyat, melakukan penyapaan melalui program-program pemberdayaan secara nyata. Urgensi regenerasi kader menjadi sangat signifikan. Keberhasilan Jokowi- Basuki menjadi bukti bahwa masyarakat butuh tokoh alternatif yang ‘segar’ dan memberikan harapan baru, bukan sekedar janji, namun sesuatu yang terukur dan rasional. Kompetensi, komitmen, ketegasan, integritas, empati pda penderitaan 89 rakyat menjadi sederet kunci kesuksesan yang harus dimiliki kandidat yang akan diusung oleh parpol untuk berkompetisi menjadi Capres 2014. Tanpa itu semua, maka seorang figur hanya akan mengandalkan pencitraan belaka. Dengan semakin meningkatnya kesadaran demokrasi, pendidikan politik dan kuatnya arus informasi maka pencitraan tidak lagi cukup mengakomodir seorang tokoh untuk dapat meraih simpati dan dukungan publik. Pilkada DKI Jakarta 2012 menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa masyarakat sudah rasional dalam menentukan pilihan, dan era baru demokrasi sejati akan bersemai di Republik Indonesia tercinta. xiv DAFTAR PUSTAKA BUKU: Alam, Syamsir, dan Jaenal Aripin, 2006, Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN Jakarta Press. Almond ,Gabriel A, Sidney Verba,1984, Budaya Politik. Jakarta: PT. BINA AKSARA. Blackburn, Susan, 2011, Jakarta Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup Jakarta. Campbell, Angus, Philip E. Converse, dan Warren E. Miller, dan Donal E. Stokes et al, 1960, The American Voter. New York: Tubingen. Campbell, Angus, Geral Gurin, dan Warren E. Miller,1954, The Voter Decides. Evan-ston. Colenbrander, H.T, dan Jan Pietersz Coen, 1934, Levensbeschrijving. S- gravenhage: Nijhoff. Downs, Anthony, 1968, Okonomische Theorie der Demokratie, engl.: An Economic Theory of Democracy 1957. New York: Tubingen. Fahrudin, Wawan, dan Ardi Nuswantoro,2012, Kartu Sukses Jokowi Ahok. Jakarta: Talenta Makara. Key, Valdimer O,1966, The Responsible Electorate: Rationality in Presidential Voting 1936-1960. Melbourne: Cambridge University Press. Lazarsfeld, Paul F, Bernard Berelson, dan Hazel Gaudet, 1944, The People’s Choice. How The Voter Makes Up His Mind in a Presidential Campaign. New York: Tubingen. Mujani, Saiful, R. William Liddle, dan Kuskrido Ambardi, 2012. Kuasa Rakyat: Analisa Tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Mizan Media Utama. ______, 2007, Muslim Demokrat. Jakarta: Gramedia. Nadir, Ahmad, 2005, Pilkada Langsung Dan Masa Depan Demokrasi. Malang: Averroes Press. Nimmo, Dan,2008, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: CV. Remaja Karya. Nugroho ,Bimo dan Ajianto Dwi Nugroho,2012, Jokowi: Politik Tanpa Pencitraa. Jakarta: Gramedia. Ordeshook, Peter C, James E. Alf, dan Kenneth A. Shelpse,1990, The Emerging Discipline of Political Economy: Perspective on Positive Political Economy. Melbourne: Cambridge University Press. Purnama, Basuki Tjahaja, 2008, Merubah Indonesia. Bangka Belitung: Center For Democracy and Transparency. Roth, Dieter, 2009, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-teori, Instrumen dan Metode, Dodi Ambardi, ed., Jakarta: Friedrich-Naumann-Stiftung dan LSI. Rusli, Said, 2012, Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES. Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT.Grasindo. Upe, Ambo, 2008, Sosiologi Politik Kontemporer. Jakarta: Prestasi Pustaka.