Kajian Awal Kandungan Gizi dan Antibakteri Beberapa Ikan Laut dalam di Perairan Selatan Jawa

(1)

KAJIAN AWAL KANDUNGAN GIZI DAN ANTIBAKTERI

BEBERAPA IKAN LAUT DALAM DI PERAIRAN

SELATAN JAWA

Oleh :

Fanni Al Fanany

C34101073

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005


(2)

RINGKASAN

FANNI AL FANANY. C34101073. Kajian Awal Kandungan Gizi dan Antibakteri Beberapa Ikan Laut Dalam di Perairan Selatan Jawa. Dibimbing oleh

SUGENG HERI SUSENO.

Perkembangan pengetahuan kelautan pada umumnya berjalan seiring dengan berkembangnya teknologi pemanfaatan sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini memudahkan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya ikan di laut. Akibatnya terjadi overfishing pada beberapa daerah penangkapan ikan seperti di selat Malaka, laut Jawa dan laut Banda yang menyebabkan makin sedikitnya stok ikan tangkapan. Oleh karena itu perlu adanya daerah tangkapan baru sebagai alternatif pengganti daerah tangkapan di pesisir dan daerah pelagis. Daerah laut yang diperkirakan dapat menjadi alternatif penangkapan ikan adalah perairan laut dalam. Selain itu, ikan laut dalam yang hidup pada habitat yang ekstrim tidak menutup kemungkinan mengandung bahan obat-obatan seperti pada sponge, sea weed dan holothuria.

Penelitian ini bertujua n untuk mengkaji kandungan nilai gizi dan senyawa antibakteri beberapa ikan laut dalam di selatan Jawa. Beberapa ikan laut dalam yang diteliti mempunyai tingkat kesegaran antara agak segar dan tidak segar. Ikan laut dalam dari jenis Coelorincus longissimus, Coryphaenoides sp.,famili Pereichthydae, Ophidiidae sp., famili Nomeidae, Diapus fragillis, Parascolopsis sp., Glytophidian sp, Hydrolagus sp., famili Ophidiidae, dan satu jenis ikan yang belum teridentifikasi mempunyai kandungan protein antara 11,18-18,16%, lemak 1,28-6,95%, abu 0,57-3,92%, dan air 70,49-86,26%. Ikan laut dalam jenis famili Nomeidae, Parascolopsis sp., Hydrolagus sp., famili Ophidiidae, famili Pereichthydae, dan satu jenis ikan yang belum teridentifikasi mengandung 17 asam amino yang terdiri dari 9 asam amino esensial dan 8 asam amino non esensial. Asam amino esensial meliputi : histidin, arginin, treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin dan lisin. Sedangkan 8 asam amino non esensial meliputi : asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, alanin, prolin, tirosin dan sistein. Asam glutamat mendominasi kandungan asam amino dari ikan laut dalam yaitu antara 0,5130-0,7850%. Banyaknya kandungan asam glutamat pada beberapa ikan laut dalam menyebabkan daging ikan laut dalam beraroma gurih manis.

Ekstrak beberapa daging ikan laut dalam yang diteliti dari jenis famili Nomeidae, Parascolopsis sp., Hydrolagus sp., famili Ophidiidae, famili Pereichthydae, dan satu jenis ikan yang belum teridentifikasi tidak aktif menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Adapun ekstrak- metanol daging ikan laut dalam jenis famili Nomeidae, Hydrolagus sp., famili Ophidiidae, famili Pereichthydae, dan satu jenis ikan yang belum teridentifikasi memiliki tingkat toksisitas rendah sampai tidak toksik.


(3)

KAJIAN AWAL KANDUNGAN GIZI DAN ANTIBAKTERI

BEBERAPA IKAN LAUT DALAM DI PERAIRAN

SELATAN JAWA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Fanni Al Fanany C34101073

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005


(4)

SKRIPSI

Judul : KAJIAN AWAL KANDUNGAN GIZI DAN

ANTIBAKTERI BEBERAPA IKAN LAUT DALAM DI PERAIRAN SELATAN JAWA

Nama : Fanni Al Fanany

NIP : C34101073

Menyetujui, Pembimbing I

Sugeng Heri Suseno, S.Pi. M.Si.

NIP.132 234 941

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, M.Sc.

NIP. 130 805 031


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang memberikan kekuatan dan keistiqomahan pada diri ini untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Dan sholawat serta salam pada suri tauladan umat manusia nabi Muhammad SAW yang membawakan islam pada diri ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Sugeng Heri Suseno, S.Pi. M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak tugas pada diri ini , baik itu tugas yang berkaitan dengan penelitian ini maupun tidak. Tapi diri ini senang karena dari tugas-tugas tersebut sangat sekali pelajaran yang berharga bagi diri saya terutama dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan pada ibu Ir. Iriani Setyaningsih, MS., dan ibu Desniar, S.Pi,m M.Si. selaku dosen penguji. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada ibu, ayah (semoga Allah memuliakan mereka berdua di dunia dan diakhirat), seluruh anggota keluarga (mbak Laila, cak Husnul, mbak Fit, cak Barok, mbak Mila, dek Arfis dan spesial adikku “Mimin” yang lucu, semoga jadi anak yang sholehah), semua teman-teman THP spesial A’38 (Rameh banget dan semoga selalu kompak selalu) dan teman-teman seperjuangku di FPIK dan IPB yang mempunyai telah andil besar dalam menjaga diri untuk tetap berada dijalan-Nya, serta adik-adik di FORCES D’Tuko, D’Kani, D’Nanang, D’Ocha, D’Widya dll tolong jaga FORCES- ya). Dan tak lupa, saya ucapkan salam terima kasih pada crew Al-IZZAH (selamat atas prestasinya juara I nasyid dalam festival ramadhan).

Saya harap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya umat manusia dan Allah SWT ridloi karya ilmiah ini.

Bogor, September 2005


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gresik, tanggal 08 Desember 1982 dari ayah Achmad Jamil dan ibu Cholifah. Penulis merupakan putra keenam dari delapan bersaudara. Penulis sekolah dasar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah 1 Ujungpangkah, Gresik dan sekolah menengah pertama di Madrasah Tsana wiyah Muhammadiyah 3 Ujungpangkah, Gresik. Kemudian penulis melanjutkan sekolah menengah umum di SMU Negeri 14 Bandung.

Penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama sebagai mahasiswa di IPB, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Ekologi Perairan, asisten mata kuliah Dasar-Dasar Mikrobiologi Hasil Perikanan, koordinator asisten mata kuliah Fisiologi Hasil Perikanan, koordinator asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional, koordinator asisten mata kuliah Teknologi Hasil Samping Pangan Perikanan dan asisten Pendidikan Agama Islam. Penulis pernah meraih juara III Lombah Karya Tulis Ilmiah Bidang Seni tingkat Rayon D. Selain di bidang non akademik, penulis juga pernah aktif di berbagai organisasi, seperti Fish Processing Club, FKM-C, Himasilkan, IAAS dan FORCES.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ... ...v

DAFTAR TABEL ...vii

DAFTAR GAMBAR ...viii

DAFTAR LAMPIRAN ...x

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ...1

1.2 Tujuan Penelitian ...2

1.3 Waktu dan Tempat ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Laut Dalam ...3

2.2 Ikan Laut Dalam ...5

2.3 Mutu Ikan ...10

2.4 Asam Amino ...11

2.5 Analisis Asam Amino dengan High Ferformance Liquid Chromatography (HPLC) ...13

2.6 Bakteri ...13

2.6.1 Escherichia coli ...14

2.6.2 Staphylococcus aureus ...15

2.7 Ekstraksi ...15

2.8 Antimikroba ...16

2.9 Uji Toksisitas ...17

2.9.1 Uji toksisitas dengan Artemia salina ...17

3. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat ...19

3.2 Metode Penelitian ...20

3.2.1 Uji organoleptik ...21

3.2.2 Analisis proksimat ...21

3.2.3 Analisis asam amino ...24

3.2.4 Ekstrasi senyawa antibakteri ikan laut dalam ...25

3.2.5 Uji senyawa antibakteri ...26


(8)

Halaman 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Beberapa Ikan Laut Dalam ...32

4.2 Tingkat Kesegaran Beberapa Ikan Laut Dalam ...33

4.3 Hasil Analisis Proksimat ...35

4.4 Hasil Analisis Asam Amino ...41

4.5 Ekstraksi Daging Ikan Laut Dalam ...45

4.6 Uji Aktivitas Antibakteri ...47

4.7 Uji Toksisitas ...52

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...58

5.2 Saran ...59

DAFTAR PUSTAKA ...60

LAMPIRAN ...64


(9)

Nomor Halaman

1. Zona-zona fauna laut dalam ...3

2. Karakteristik lingkungan laut (daerah beriklim sedang dan tropika) ...4

3. Kandungan proksimat beberapa ikan laut dalam di New Zealand ...10

4. Kategori toksisitas bahan ...18

5. Panjang ikan dan tingkat kedalaman beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa ...33

6. Hasil uji organoleptik beberapa ikan laut dalam perairan selatan Jawa ...34

7. Hasil rata-rata uji organoleptik beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa ...34

8. Hasil analisis proksimat dari beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa ... ...35

9. Komposisi gizi beberapa ikan pelagis dalam 100 g BDD ... 38

10. Karakteristik zona epipelagis dan mesopelagis ...39

11. Tipe-tipe ikan berdasarkan kandungan protein dan lemaknya ...40

12. Tipe-tipe beberapa ikan laut dalam berdasarkan kandungan protein dan lemaknya ...40

13. Hasil Analisis asam amino dari beberapa ikan laut dalam selatan Jawa ...42

14. Rendemen hasil ekstraksi daging beberapa ikan laut dalam ...47

15. Diameter hambatan yang terbentuk pada uji aktivitas antibakteri ...48

16. Hasil uji toksisitas terhadap Artemia salina dengan ekstrak kasar daging ikan laut dalam pada pelarut metanol ...53


(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bakteri Eschericiha coli ...14

2. Bakteri Staphylococcus aureus ...15

3. Beberapa ikan laut dalam perairan selatan Jawa ...20

4. Diagram alir proses ekstraksi senyawa bioaktif daging ikan laut dalam ...27

5. Diagram alir proses penentuan aktifitas antibakteri pada berbagai ekstrak daging ikan laut dalam ...29

6. Diagram alir uji toksisitas dengan Artemia salina ...31

7. Diagram batang kadar protein ikan laut dalam di perairan selatan Jawa ...36

8. Diagram batang kadar lemak ikan laut dalam di perairan selatan Jawa ...36

9. Diagram batang kadar abu ikan laut dalam di perairan selatan Jawa ...36

10. Diagram batang kadar air ikan laut dalam di periran selatan Jawa ...37

11. Diagram batang asam amino pada ikan famili Nomeidae ...43

12. Diagram batang asam amino pada ikan Hydrolagus sp ...43

13. Diagram batang asam amino ikan famili Ophidiidae ...43

14. Diagram batang asam amino ikan Parascolopsisi sp ...44

15. Diagram batang asam amino ikan famili Perechthydae ...44

16. Diagram batang asam amino ikan (belum teridentifikasi) ...44

17. Diagram batang asam amino ikan Tuna ...45

18. Aktivitas antibakteri ekstrak kasar daging beberapa ikan laut dalam dari perairan selatan Jawa bakteri Staphylococcus aureus ...49

19. Aktivitas antibakteri ekstrak kasar daging beberapa ikan laut dalam dari perairan selatan Jawa bakteri Escherichia coli ...49

20. Grafik kematian Artemia salina pada ekstraksi daging ikan Nomeidae pada pelarut metanol ...53

21. Grafik kematian Artemia salina pada ekstraksi daging ikan Pereichthydae pada pelarut metanol ...54

22. Grafik kematian Artemia salina pada ekstraksi daging ikan Hydrolagus sp. pada pelarut metanol ...55

23. Grafik kematian Artemia salina pada ekstraksi daging ikan Ophididae pada pelarut metanol ...55

24. Grafik kematian Artemia salina pada ekstraksi daging ikan (belum teridentifikasi) pada pelarut metanol ...56


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Contoh Score sheer ...65

2. Berat molekul asam amino ...65

3. Contoh perhitungan asam amino ...67

4. Contoh perhitungan persen ekstrak ...68

5. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak kasar daging ikan laut dalam ...69

6. Kurva standar kandungan asam amino ...71

7. Kurva kandungan asam amino ikan laut dalam jenis ikan famili Nomeidae ....72

8. Kurva kandungan asam amino ikan laut dalam jenis ikan Parascolopsis sp. ....73

9. Kurva kandungan asam amino ikan laut dalam jenis ikan Hydrolagus sp. ...74

10. Kurva kandungan asam amino ikan laut dalam jenis ikan famili Ophidiidae ...75

11. Kurva kandungan asam amino ikan laut dalam jenis ikan famili Perechthydae ..76 12. Kurva kandungan asam amino ikan laut dalam jenis ikan belum teridentifikasi.77


(12)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan pengetahuan kelautan pada umumnya berjalan seiring dengan berkembangnya teknologi pemanfaatan sumberdaya laut untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semakin berkembangnya teknologi terutama pada instrumen penangkapan ikan, makin memudahkan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya ikan di laut. Akibatnya terjadi overfishing pada beberapa daerah penangkapan ikan seperti di selat Malaka, laut Jawa dan laut Sunda dengan tingkat pemanfaatan >100%, menyebabkan makin sedikitnya stok ikan tangkapan (BRKP, 2001). Selain itu, pihak Ditjen Perikanan Tangkap (2001) menyatakan bahwa produksi perikanan laut pada tahun 1999 mengalami penurunan sebesar 1,11 % dari produksi tahun 1998 yaitu dari 3.723.746 ton menjadi 3.682.444 ton. Oleh karena itu perlu adanya daerah tangkapan baru sebagai alternatif pengganti daerah tangkapan di pesisir dan daerah pelagis. Bagian dari lingkungan laut yang diperkirakan dapat menjadi alternatif penangkapan ikan adalah perairan laut dalam.

Luas perairan laut dalam di Indonesia mencapai 40% dari total luas perairan Indonesia (Pasaribu, 2001). Namun sampai saat ini, potensi perikanan laut dalam di Indonesia belum dimanfaatkan. Padahal di negara- negara maju, ikan laut dalam telah dieksplorasi dan diperdagangkan secara internasional. Sebagai contoh, di Eropa, ikan laut dalam jenis kingklip dipasarkan sebagai cusk eel. Di Selandia Baru ikan laut dalam jenis kingklip disebut ling, di Amerika Selatan disebut congrio dan di Jepang disebut kingu. Jenis ikan ini terutama dipasarkan dalam jumlah eceran dan jarang terlihat di restoran, karena kualitasnya yang bagus dan daging yang bertekstur khas. Kingklip emas, merah dan hitam dipasarkan secara internasinal, tetapi di Amerika Serikat lebih menyukai yang berwarna emas dan merah (Perkins, 1992). Di Australia, ikan laut dalam jenis Beryx spendens telah dieksplorasi bahkan telah mengalami overfishing. Parin dan Paxton (1990) juga menyebutkan bahwa ikan laut dalam jenis gemfish telah menjadi ikan komersial di Australia tenggara sejak lebih 15 tahun yang lalu.


(13)

Selain itu, Soselia dan Rustam (1993) menyatakan bahwa ikan laut dalam jenis Cubiceps whiteleggi menjadi salah satu ikan ekonomis penting di masa datang.

Laut dalam merupakan bagian dari lingkungan bahari yang terletak di bawah kedalaman yang dapat diterangi sinar matahari di laut terbuka dan lebih dalam dari paparan benua (>200 m) (Nybakken, 1992). Akhir-akhir ini sumber keragaman hayati yang melimpah di laut dalam, kini mulai dieksploitasi untuk diteliti kandungannya dan dimanfaatkan bagi berbagai keperluan, terutama pangan dan obat-obatan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa squalene hati dari ikan hiu laut dalam (Centrophorus atromarginatus gaman) yang hidup di kedalaman 500-1000 m di bawah permukaan laut mempunyai kemampuan yang tidak tertandingi dalam hal pencegahan terhadap infeksi dan penyakit. Selain itu, tulang rawan ikan hiu dapat sebagai salah satu obat kanker (Anonimus, 2004).

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji kandungan gizi pada beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa.

2. Mengkaji ada tidaknya kandungan antibakteri pada beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa.

1.3 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2004 sampai bulan Juni 2005 di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Bioteknologi Hewan, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Institut Pertanian Bogor dan Badan Penelitian Hasil Pertanian di Cimanggu, Bogor.


(14)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Laut Dalam

Laut dalam adalah bagian dari lingkungan bahari yang terletak di bawah kedalaman yang dapat diterangi sinar matahari di laut terbuka dan lebih dalam dari paparan benua (>200 m). Berdasarkan asosiasi mahluk hidup terhadap lingkungan, laut dalam dibagi menjadi dua zona, yaitu zona bentik (berasosiasi dengan dasar) dan zona pelagis (berasosiasi dengan kolom air). Pencirian zona tersebut juga dihubungkan dengan intensitas cahaya. Ada dua ciri zonasi laut yaitu fotik (ada cahaya) dan zona afotik (tidak ada cahaya) (Nybakken, 1992). Pencirian zona tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Zona- zona fauna laut dalam Cahaya Zona Pelagis Kisaran

Kedalaman

Zona Bentik

Kisaran Kedalaman Ada

(fotik)

Epipelagis atau eufotik

0-200 m Paparan

benua atau sublitoral

0-200 m

Tidak ada (Afotik)

Mesopelagis Batipelgis Abisal pelagis Hadal pelagis

200-1000 m (?) 1000-4000 m (?) 4000-6000 m (?) 6000-10000 m

Batial Abisal Hadal

200-4000 m (?) 4000-6000 m (?) 6000-10000 m

Sumber : Hedgpeth (1957) diacu dalam Nybakken (1982) Catatan : (?) = Berubah-ubah

Berdasarkan penelitian yang intensif dan lama dari para ilmuwan terhadap kondisi lingkungan laut dalam, secara umum dapat disimpulkan bahwa pada kedala man berapapun di laut dalam, faktor- faktor kimia dan fisika lingkungan hidup laut dalam bersifat sangat konstan selama periode waktu yang panjang (Nybakken, 1992). Pipkin et al. (1987) menggambarkan karakteristik dari berbagai lingkungan laut yang diberikan pada Tabel 2.


(15)

Tabel 2. Karakteristik lingkungan laut (daerah beriklim sedang dan tropika)

Zona Karakteristik Epipelagis

(0-100 atau 200 m)

Mesopelagis (100 atau 200 sampai 1000 m)

Batipelagis dan lebih dalam (sekitar 1000 m sampai dasar) Bentik dangkal (air di atas dasar) Bentik dalam (air sepanjang dasar) Intensitas cahaya Cukup untuk fotosintesis

Zona twiligth Secara esensial tidak ada cahaya

Ada bagian yang dapat cahaya Secara esensial tidak ada cahaya dari atas Persediaan makanan Terjadi produktivitas primer Sedikit atau tidak ada produktivitas primer, organisme migrasi ke atas untuk makanan atau menunggu makanan jatuh Sedikit atau tidak ada produktivitas primer, organisme migrasi ke atas untuk makanan atau menunggu makanan jatuh Terjadi produktivi tas primer Tidak ada produktivitas primer kecuali kemosintesis; organisme menunggu makanan jatuh dari atasnya

Suhu Biasanya sekitar 28oC sampai 10oC; kadang-kadang mendekati 0oC di musim dingin

Biasanya sekitar 15-5oC

Biasanya antara 5oC dan -2oC; biasanya turun sampai 1oC atau kurang di bawah 4000 m

Biasanya sekitar 30oC sampai sekitar 10oC

Biasanya antara 15oC dan -2oC; biasanya turun sampai 1oC atau kurang di bawah 4000 m Salinitas

Biasanya sekitar 37 -32‰ Biasanya sekitar 35-34,5‰; air tengah dari lintang tinggi memiliki salinitas lebih kecil Biasanya sekitar 35 -34,5‰; dan sekitar

34,52‰ di bawah 4000 m

Biasa nya antara 40‰ dan 30‰ dengan

run off air tawar Biasanya sekitar 35-34,5‰; dan sekitar 34,52‰ di bawah 4000 m

Kandungan oksigen Biasanya sekitar 7-3,5‰ Biasanya sekitar 5-4‰, dengan nilai lebih kecil dari 1 ‰ pada oksigen minimum Biasanya sekitar 6-5‰ Biasa nya sekitar 7-3,5‰, dengan beberapa super saturasi dan daerah anoksik Biasanya sekitar 6-4‰, dengan mendekati kondisi anoksik pada daerah oksigen minimum dan di basin terisolasi Kandungan nutrisi (pospat di lingkungan pelagis dan karbon organik untuk lingkungan bentik) Biasanya sekitar 0-30 mg/m3; tinggi di daerah

upwelling

Biasanya sekitar 30-90 mg/m3 tinggi di daerah upwelling Biasanya sekitar 90 mg/m3 Biasa nya tinggi di sedimen bentik dangkal Biasanya rendah di sedimen bentik dalam, tapi tinggi di bawah daerah upwelling


(16)

2.2 Ikan Laut Dalam Gempylidae

Ikan yang berbentuk panjang atau persegi panjang dengan ukuran sedang hingga besar, sering dijumpai pada perairan sangat dalam. Mulut besar maksila terbuka di posterior, gigi tajam, gigi anterior sangat besar dan seperti taring, sisik sedang (moderate) dan bercucuk atau kecil bila tak bercucuk, gurat sisi lemah atau sedang (moderate) bila ada, tunggal atau ganda, kemiringannya biasanya diagonal. Sirip dorsal terbagi menjadi bagian bercucuk dengan dasar sirip yang panjang dan bagian yang berjari- jari sirip pendek, finlet sering muncul di sebelah sirip dorsal dan anal, sirip pektoral pendek dan terletak di bawah badan, sirip ventral tumbuh baik atau rudimenter, sirip kaudal berbentuk garpu. Nama Inggrisnya Snake Mackerel (Gloerfelt dan Kailola, 1984). Parin dan Paxton (1990) menyebutkan bahwa gemfish telah menjadi ikan komersial di Australia tenggara sejak lebih 15 tahun yang lalu.

Nomeidae

Sirip dorsal tunggal dengan takik yang dalam dan nyata memisahkan porsi cucuk dan jari- jari sirip. Cucuk dari sirip dorsal pertama ramping, lebih kurang 10-11, panjang sedang, dan terlipat ke dalam suatu celah, jari-jari dari sirip dorsal lebih dari 15. Sirip anal dengan 1-3 cucuk, lebih dari 15 jari-jari. Gigi kecil pada vomer dan kadang kala pada palatin. Sisik sikloid, tipis dan mudah lepas. Lekuk ekor kompres dengan keel pada kedua sisinya. Kedalaman lekukan lebih dari 5% (20 kali panjang standar dalam inchi). Nama Inggrisnya Eyebrowfishes, Cubeheads (Gloerfelt dan Kailola, 1984). Soselia dan Rustam (1993) menyatakan bahwa Cubiceps whiteleggi menjadi salah satu ikan ekonomis penting di masa datang. Pengalaman empiris penulis, bahwa ikan rexea memiliki tekstur daging yang khas dengan bau yang gurih dan rasa mild.

Lophiidae

Kepala dan bagian anterior tubuh sangat depres dan lebar, bagian posterior tubuh meruncing. Mulut sangat tajam dan dapat ditekan, ada cucuk tajam pada kepala. Bukaan insang besar terletak pada sumbu sirip pektoral. Tidak ada sisik tapi kulit dan dagingnya lembek. Dua sirip dorsal : yang pertama dengan 3 atau


(17)

lebih cucuk tunggal pada kepala, 3 pada nape (bagian dorsal tepat di belakang kepala), yang kedua memiliki jari-jari sirip, sirip anal dengan jari-jari yang berhadapan. Cucuk sirip dorsal yang pertama membentuk suatu illicium (semacam kail dengan umpan yang digunakan untuk menarik mangsa). Sirip pektoral kuat dan lebar, dasar sirip ventral terdapat sebelum dasar sirip pektoral. Nama Inggrisnya Goosefishes (Gloerfelt dan Kailola, 1984).

Lophiidae memiliki rasa yang manis, hampir sama dengan lobster. Tekstur dari bagian buntut mirip lobster, padat dan tanpa tulang. Bagian buntut merupakan satu-satunya bagian yang dapat digunakan. Belum ada usaha perikanan yang khusus menangani Lophiidae. Lophiidae masih merupakan hasil samping dari perikanan dasar dan perikanan scallop. Di pasar dapat dijumpai dalam bentuk segar, filet tanpa buntut dan dalam bentuk filet beku yang masih berkulit. Panjangnya berkisar 1,37 m dengan berat 22,5 kg. Berat filet berkisar antara 1-5 kg (Perkins, 1992). Ikan ini memiliki banyak nama dagang, yaitu monkfish, anglerfish, goosefish, beelyfish, fishing frog, dan lawyerfish. Di

Perancis disebut lotte. Tidak ditemukan adanya bahaya kesehatan (Perkins, 1992).

Macrouridae

Kepala besar, trunk pendek dan kompres, ekor panjang dan seperti sabuk, merungcing hingga menjadi satu titik. Biasanya mempunyai dua sirip dorsal, yang pertama pendek dan tinggi, yang kedua panjang, bersambung hingga ujung ekor, sirip anal serupa dengan sirip dorsal yang kedua, sirip ventral memiliki 5-17 jari-jari sirip yang biasanya muncul pada dada atau tenggorokan, biasanya ada satu jari- jari yang di luar, sirip kaudal biasanya tidak ada. Moncong ada, berbentuk bundar dan tajam, kuat dan sering dilengkapi dengan cucuk skut. Bentuk mulut terminal sampai inferior, gigi lengkap, sungut di dagu biasanya ada, mata biasanya besar. Sisik biasanya tajam, ditutupi oleh cucuk-cucuk kecil. Organ cahaya ventral pada perut terdapat beberapa spesies. Nama Inggrisnya Rattails, Grenadirs (Gloerfelt dan Kailola, 1984).

Grenadirs (macrouridae) memiliki rasa yang mild (ringan) dan aroma yang harum gurih, sama dengan ikan cod tetapi lebih manis. Di pasaran bebas jarang dijumpai dalam bentuk filet beku tanpa kulit. Dagingnya berwarna putih, kurus


(18)

(tipis) dan berjonjot (berlapis). Beratnya berkisar antara 1,75-2,75 kg dengan panjang berkisar antara 0,61-0,76 m (Perkins, 1992).

Sisik grenadir kencang dan bentuk tubuhnya menajam dengan cara mekanik. Kanada telah menanamkan modalnya untuk mengembangkan peralatan pengolahan untuk mengakomodasi keunikan yang dimiliki grenadir. Mereka menemukan bahwa proses pembuatan filet bukanlah suatu persoalan setelah perontok sisik menanggalkan “baju zirah” ikan tersebut (Perkins, 1992).

Walaupun belum ada perikanan yang langsung mengusahakan grenadir, di Kanada spesies ini naik dan datang sebagai hasil samping jaring insang dasar dari perikanan ikan turbot di Greenland. Walaupun ada kekurangan secara fisik pada grenadir, ikan ini memberikan gambaran yang menjanjikan sebagai ikan berdaging putih dengan rasa ringan dan dapat dipasarkan. Jika ditangani dengan benar, grenadir tidak berbahaya bagi kesehatan. Pembekuan grenadir yang hati-hati dapat memberikan daging yang kualitasnya bagus (Perkins, 1992).

Ophidiidae

Ikan yang berbentuk kompres, tegap dan pendek atau agak panjang, panjangnya lebih kurang 100 cm. Memiliki supramaksila kecil, dengan gigi granular, bukaan insang luas, biasanya lebih dari tujuh tapis insang (gill rays) yang panjang pada lengkung insang pertama, sepasang nostril, keduanya terletak tepat di atas bibir atas, seringkali memiliki sebuah cucuk yang tajam pada sudut atas operkulum. Sisik ada. Tidak ada cucuk pada sirip-sirip, dasar sirip dorsal dan anal panjang, bersatu dengan sirip ekor. Jari-jari sirip pada dorsal sebanding atau lebih panjang dari pada sirip anal, tidak ada atau ada dua jari-jari pada sirip ventral. Dasar sirip ventral biasanya tertutup bersama dan terletak di bawah bukaan insang atau jatuh jauh ke depan. Nama Inggrisnya Brotula, Brotulids, Cusk eels (Gloerfelt dan Kailola, 1984).

Kingklip (Ophidiidae) memiliki rasa mild, aromanya agak lebih manis. Tekstur dagingnya tipis, berwarna putih, keras dan padat, kadang-kadang menggantikan Lophiidae, tetapi lebih lembut dengan jonjot lepas yang besar. Di pasar dapat dijumpai dalam bentuk filet segar tanpa tulang dan tanpa kulit atau filet beku. Berat keseluruhan rata-rata 5 kg walaupun ikan ini dapat tumbuh dengan panjang 1,83 m dan berat 25 kg (Perkins, 1992).


(19)

Di Eropa, kingklip dipasarkan sebagai cusk eel. Di Selandia Baru disebut ling dan di Amerika Selatan disebut congrio. Di Jepang disebut kingu. Kingklip terutama dipasarkan dalam jumlah eceran dan jarang terlihat di restoran, karena kualitasnya yang bagus dan daging yang bertekstur khas. Kingklip emas, merah dan hitam dipasarkan secara internasional, tetapi di Amerika Serikat lebih menyukai yang berwarna emas dan merah (Perkins, 1992). Tidak ditemukan adanya bahaya bagi kesehatan, apabila ditangani dengan baik.

Rajidae

Anggota famili Rajidae mempunyai bentuk yang romboid (jajaran genjang), kadang-kadang hampir seperti cakram bundar dan sempit, sering kali berekor pendek. Mempunyai dua sirip dorsal yang kecil dan terletak di dekat ujung buntut yang tumpul. Tidak ada sirip ekor, atau ekor digantikan oleh suatu lipatan kecil, umumnya ada pada permukaan sirip dorsal. Dua sirip perut yang besar dibentuk menjadi dua belah cuping (lobe). Ada suatu snout (daerah di depan mata). Moncong dan hidung memilki selaput lapisan dari suatu nostril yang kecil dan yang besar bergabung dengan tengah isthimus (daerah kerongkongan ikan pada bagian ventral mulai dari dada hingga muka) sebelum mulut. Jajaran cucuk kecil dan granula sering menutup permukaan ekor dan jantan dewasa (dengan klasper utama) mempunyai cucuk tajam yang

bertumpuk-tumpuk pada tepi cakram anterior. Nama Inggrisnya Skate (Gloerfelt dan Kailola, 1984).

Rajidae memiliki rasa yang mild, aroma yang gurih menggantikan scallop. Meskipun lunak pada saat baru ditangkap, tetapi dagingnya mengeras setelah dua hari dalam lemari es. Dagingnya berlemak rendah. Di pasar dapat ditemukan hanya bagian sayapnya (sirip pektoral) saja. Walau terkadang dapat juga keseluruhan tubuh. Di pasar tersedia dalam bentuk beku atau segar, dengan atau tanpa kulit. Berat tubuhnya dapat berkisar antara 4-5 kg atau 2,5 kg untuk masing- masing sayapnya (Perkins, 1992).

Seperti juga cucut, ikan mempunyai urea dalam jaringannya dapat membangkitkan bau amoniak serta cepat menguap jika tidak ditangani dengan baik. Hanya bagian sayapnya yang dapat dimakan. Sayap biasanya segera dipotong begitu ikan sampai di kapal. Di Amerika Serikat sudah ada usaha


(20)

perikanan yang khusus menangkap ikan ini. Jika ditangani dengan baik, tidak ditemukan bahaya bagi kesehatan (Perkins, 1992).

Myctophidae

Myctophidae atau ikan lentera adalah ikan pelagis dalam yang melimpah sekali pada semua lautan dan menunjukkan adanya migrasi vertikal ke lapisan atas pada malam hari. Gloerfelt dan Kailola (1984) mengemukakan hipotesis bahwa ikan ini makan di lapisan atas dan dimakan di lapisan bawah, bertindak sebagai suatu penghubung atau perantara pada sirkulasi makanan dari lapisan atas yang kaya ke lapisan bawah yang miskin makanan.

Ikan lentera mempunyai badan dan kepala yang kompres. Mata berkembang baik dan berukuran besar. Mulut besar, terminal atau subteminal dengan rahang memanjang hingga atau di bawah batas posterior mata. Gigi sangat beragam, tapi tidak ada gigi yang seperti taring. Sirip dorsal tunggal terletak tepat di depan permukaan sirip anal dan memiliki sirip adipose pada bagian dorsalnya. Cucuk rumenter sering muncul pada dasar sirip dorsal pertama, anal pertama, di luar ventral dan di atas sirip pektoral. Semua spesies memiliki sekumpulan fotofor pada kepala dan badan, serta organ cahaya lain muncul pada kepala dan atau pedunkel ekor. Susunan fotofor dan organ cahaya diperlihatkan pada spesies yang khusus dan menjadi salah satu karakteristik yang penting dalam identifikasi. Pada pemunculan organ cahaya, yang paling menarik perhatian adalah kelenjar suprakaudal yang disebut juga “pemburu buritan” (stern chaser). Diperkirakan bahwa organ ini mungkin digunakan sebagai mekanisme bertahan, diaktifkan untuk mengeluarkan cahaya pada saat pemangsa menyerang, kemudian dipadamkan untuk memberi kesempatan ikan melarikan diri sebelum penyerangan disempurnakan.

Nama fotofor seharusnya hanya diterapkan pada suatu struktur yang spesifik yang dibentuk dari dua sisik yang dimodifikasi : satu terdiri atas sebuah “cungkup” dengan sel yang tipis dan bertumpuk mendatar, yang lain membentuk suatu lensa bikonveks pada bagian atas “cungkup”. Cahaya kebiru-biruan yang dipancarkan oleh fotofor berasal dari suatu reaksi kimia di dalam sel, ini tergantung pada daerah absorpsi maksimum dari pigmen visual ikan pada ikan-ikan laut dalam. Nama Inggrisnya Lanternfishes (Gloerfelt dan Kailola, 1984).


(21)

Champsodontidae

Ikan kecil dengan bentuk tubuh yang panjang, kompres, ramping. Mulut sangat besar, miring, rahang bawah lebih panjang, gigi rahang lengkap, beberapa lebih panjang dan dapat ditekan, mata tinggi di kepala, umumnya dengan ciri yang pendek, sudut preoperkulum diakhiri dengan cucuk yang panjang-ramping; bukaan insang luas. Sisik kecil, stenoid dan granular, dua gurat sisi tak jelas dengan cabang transversal. Dua sirip dorsal yang terpisah jelas, yang pertama dengan 4-5 cucuk, yang kedua pada sirip anal dengan dasar yang panjang, masing- masing dengan 16-22 jari-jari sirip, sirip pektoral kecil, sirip ventral besar, permula annya sebelum dasar sirip pektoral, bentuk sirip ekor seperti garpu. Nama Inggrisnya Gapers, Sabre gills (Gloerfelt dan Kailola, 1984).

Informasi kandungan proksimat beberapa jenis ikan laut dalam untuk 100 gram (3,5 oz) mentah dalam porsi yang dapat dimakan diberikan oleh Nettleton (1985). Nilai ini disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan proksimat beberapa ikan laut dalam di New Zealand

Gemfish, Silver kingfish,

Rexea solandri

Monkfish, Giant stargazer, Kathetostoma

giganteum

Rattail, Coelorinchus

sp

Ridge – scaled rattail

Macrourus carinatus

Kalori (Kkal) 150 96 84 80

Protein (%) 19,6 17,4 18,5 17,4

Lemak (%) 7,4 2,4 0,5 0,6

(0,9 – 12,1) (0,6 – 5,5)

Abu (%) 1 1,2 0,9 0,9

Air (%) 73,2 79,3 80,3 81,2

Omega-3 (%) 1,2 0,1 0,1 -

Dalam 100 gram daging ikan laut dalam

2.3 Mutu Ikan

Mutu hasil perikanan sebenarnya identik dengan kesegaran. Kesegaran adalah tolak ukur untuk membedakan ikan yang jelek dan ikan baik kualitasnya. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia, mikrobiologi, dan fisikawi yaang terjadi belum menyebabkan kerusakan berat pada ikan (Hadiwiyoto, 1993). Afrianto dan Liviawaty (1989) menyatakan bahwa ikan


(22)

segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik berupa bau, rasa maupun teksturnya.

Pengamatan kesegaran ikan secara visual dapat menggunakan metoda 4 M, yaitu melihat, meraba, menekan dan mencium (Yunizal dan Wibowo, 1998). Parameter untuk menentukan kesegaran ikan dapat terdiri atas faktor fisikawi, sensorik atau organoleptik, kimiawi, maupun faktor mikrobiologi. Yang menjadi parameter fisikawi adalah kenampakan luar, kelenturan daging, keadaan mata, keadaan daging, keadaan insang dan sisik, dan keadaan ruas daging.

Yang termasuk parameter kimiawi antara lain adalah pH daging ikan, dan hasil- hasil akhir penguraian komponen-komponen daging ikan seperti misalnya kadar hipoksantin, kadar ammonia, dan kadar trimetilamin atau kadar dimetilamin. Sedangkan yang termasuk parameter sensorik umumnya dikaitkan dengan citarasa, warna dan kenampakan. Untuk parameter mikrobiologik yang paling umum digunakan adalah jumlah bakteri.

Oleh karena kualitas ikan selalu dikaitkan dengan kesegarannya dan kerusakan ikan, maka perlu diketahui bahwa mutu atau kualitas ikan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain yang terpenting adalah sebagai berikut (Hadiwiyoto, 1993) :

• Daerah penangkapan ikan, karena ada kaitannya dengan suhu lingkungan kehidupan ikan sehingga akan mempengaruhi jumlah dan jenis mikrofloranya. Adanya pencemaran pada daerah-daerah tertentu kemungkinan besar dapat mempengaruhi cita rasa daging ikan.

• Metode atau cara penangkapan dan pendaratan hasil perikanan termasuk juga jarak pengangkutan dari tempat penangkapan ke tempat pendaratan.

• Cara penangkapan pasca panen hasil perikanan, misalnya peralatan yang digunakan, penggunaan bahan-bahan pendingin (es), cara penyimpanan dan lain sebagainya.

• Keadaan cuaca, terutama suhu.

2.4 Asam amino

Protein merupakan salah satu nutrisi yang sangat penting setelah air. Protein tersusun dari sekuen-sekuan asam amino. Susunan asam amino ini


(23)

bersifat khas untuk setiap jenis protein (Winarno et al., 1980). Protein berbentuk molekul- molekul yang sangat besar, terbentuk dari asam amino yang terikat bersama. Susunan kimia berbagai asam amino mempunyai paling sedikit satu kelompok (NH3) dan satu kelompok karboksil (COOH) (Harper et al., 1988).

Asam amino dapat digolongkan berdasarkan sifat-sifat kandungan gugus R, terutama sifat polaritasnya yakni kecenderungan molekul untuk berinteraksi dengan air pada pH biologi (dekat pH 7,0). Terdapat empat golongan asam amino (Lehninger, 1993), yaitu (1) golongan dengan gugus R non polar / hidrofobik

(alanin, isoleusin, leusin, metionin, fenilalanin, prolin, triptofan, valin). (2) golongan dengan gugus R polar, tetapi tidak bermuatan (asparagin, sistein,

glutamin, glisin, serin, treonin, tirosin). (3) golongan dengan gugus R bermuatan negatif (asam aspartat dan asam glutamat). (4) golongan dengan gugus R bermutana positif (arginin, histidin dan lisin). Selain itu, berdasarkan hasil penguraiaannya, asam amino dibagi menjadi dua golongan, yaitu : golongan glukogenik (alanin, arginin, asparagin, asam aspartat, sistein, asam glutamat, glutamin, glisin, histidin, metionin, prolin, serin, treonin, triptofan dan valin) dan golongan ketogenik (leusin, lisin, dan triptofan). Sedangkan asam amino jenis fenilalanin dan tirosin termasuk dalam golongan ketogenik dan glukogenik.

Seperti tanaman, hewan dan manusia mensintesa protein yang mengandung 22 macam asam amino. Meskipun demikian tidak seperti tanaman, hewan dan manusia tidak dapat mensintesa semua asam amino. Asam amino yang tidak dapat disintesa hewan dan manusia digolongkan ke dalam asam amino esensial dan harus dipenuhi melalui bahan makanan. Sedangkan asam amino yang dapat disintesa hewan dan manusia disebut asam amino non esensial (Winarno, 1980).

Kualitas protein dapat ditentukan dengan melihat kandungan asam amino penyusunnya. Tidak semua protein mempunyai nilai gizi yang sama karena perbedaan jumlah dan jenis asam amino yang terkandung dalam tiap protein. Apabila suatu protein mengandung semua asam amino yang penting dalam jumlah yang diperlukan tubuh, maka protein ini disebut protein “lengkap”. Dan bila mengalami kekurangan salah satu saja asam amino esensialnya maka digolongkan dalam protein yang “tidak lengkap” (Herper et al., 1988).


(24)

2.5 Analisis Asam Amino dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

Kualitas suatu protein dapat ditentukan dengan mengetahui kandungan asam aminonya. Kandungan asam amino protein dapat ditentukan melalui analisis asam amino. Salah satu analisis asam amino adalah dengan kromatografi partisi cair-cair atau sering disebut dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Keuntungan menggunakan HPLC adalah daya ulangnya lebih baik, waktu yang dibutuhkan singkat, dari data kelarutan hasilnya telah dapat diramalkan, koefisien distribusinya konstan dalam kisaran konsentrasi yang agak luas dan mampu memisahkan senyawa yang sangat serupa dengan resolusi yang baik (Adnan, 1997).

Kromatografi partisi cair-cair memiliki fase stasioner (fase diam) dan fase mobile (fase gerak) yang berupa cairan atau pelarut yang tidak bercampur. Pelarut yang lebih polar biasanya digunakan sebagai fase stasioner. Secara umum dapat dikatakan bahwa kromatografi adalah suatu proses migrasi diferensial dimana komponen-komponen sampel ditahan secara selektif oleh fase diam (Sudarmadji et al., 1989). Pemisahan dengan partisi dipengaruhi terutama ole h perbedaan polaritas solut yang dipisahkan. Hal ini disebabkan polaritas merupakan faktor yang menentukan daya larut dan terjadinya adsorpsi solut. Proses partisi sangat tergantung dari daya larut solut dalam dua macam cairan, oleh karena itu sangat peka terhadap perbedaan berat molekul solut (Adnan, 1997).

Sebelum dilakukan analisis asam amino dengan kromatografi terlebih dahulu dilakukan pembuatan hidrolisat protein yang bertujuan untuk memutuskan ikatan peptidanya dengan hidrolisis asam atau hidrolisis basa. Hidrolisis asam yang umum digunakan yaitu HCl 6 N, menyebabkan kerusakan triptofan dan sedikit kerusakan juga terjadi pada serin dan treonin. Hidrolisis basa biasanya menggunakan NaOH 2-4 N dan tidak merusak triptofan tetapi menyebabkan deaminasi asam amino lain (Nur dan Adijuwana, 1989).

2.6 Bakteri

Bakteri adalah sel prokariotik yang khas, bersifat uniseluler dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Sel


(25)

bakteri memiliki bentuk yang khas, seperti bola, batang atau spiral (Pelczar dan Chan, 1986).

Berdasarkan komposisi dari dinding sel, bakteri dibedakan menjadi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif memiliki struktur dinding sel yang tebal (15-20 µm) dan berlapis tunggal, dengan komposisi dinding sel terdiri atas lipid, peptidoglikan dan asam tekoat. Bakteri gram positif rentan terhadap penisilin, namun lebih resisiten terhadap gangguan fisik (Pelczar dan Chan, 1986). Bakteri gram negatif memiliki struktur dinding sel berlapis tiga dengan ketebalan yang tipis (10-15 µm). Komposisi dinding sel terdiri atas lipid dan peptidoglikan yang berada dalam lapisan kaku. Umumnya bakteri ini kurang rentan terhadap penisilin dan kurang resisten terhadap gangguan fisik. Bakteri yang digunakan untuk uji aktivitas antibakteri pada penelitian ini adalah bakteri gram positif (Staphylococcus aureus) dan bakteri gram negatif (Escherichia coli).

2.6.1 Escherichia coli

Escherichia coli pada umumnya merupakan mikroba yang secara normal terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Bakteri ini berbentuk batang atau koma, bersifat anaerob fakultatif dan tergolong sebagai bakteri gram negatif. Escherichia coli termasuk famili Enterobacteriaceae, berukuran panjang 2,0-6,0 µm dan lebar 1,1-1,5 µm serta tunggal atau berpasangan. Nilai pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 7,0-7,5 serta kisaran suhu pertumbuhannya 10-40 oC, dengan suhu optimum 37 oC dan aw optimum 0,96 (Fardiaz, 1992). Bakteri ini sensitif terhadap antibiotik jenis sulfonamid, kloramfenikol, kanamisin dan penisilin (Tortora et al., 1989). Morfologi bakteri Escherichia coli (Wisconsin, 2002) dapat dilihat pada Gambar 1.


(26)

2.6.2 Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus termasuk ke dalam bakteri gram positif anaerob fakultatif. Bentuknya tunggal, berpasangan atau bergerombol. Diameternya 0,5-1,5 µm, tidak berkapsul dan berspora. Metabolisme secara fermentatif dan respiratif (Pelczar dan Chan, 1986). Morfologi bakteri Staphylococcus aureus (Wisconsin, 2002) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Bakteri Staphylococcus aureus

Perkembangbiakan Staphylococcus aureus optimum pada suhu 35-37oC dan pH 6-7. Namun pada kisaran suhu 6,7-45,5 oC serta pH 4,0-9,8 bakteri ini masih dapat tumbuh dan berkembang biak. Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang menyebabkan keracunan dan penyakit pada hewan peliharaan. Staphylococcus aureus umumnya sensitif terhadap antibiotik ß-laktam, tertrasiklin dan kloramfenikol, tetapi resisten terhadap polimisin dan polyenes (Pelczar dan Chan, 1986).

2.7 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses yang secara selektif mengambil zat terlarut dari campuran dengan bantuan pelarut. Teknik ekstraksi didasarkan pada kenyataan bahwa jika suatu zat dapat larut dalam dua fase yang tak tercampur, maka zat itu dapat dialihkan dari satu fase ke fase yang lain dengan mengocoknya bersama-sama. Zat terlarut yang diekstraksi dapat berada dalam medium padat atau cair. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dapat bersifat polar seperti alkohol atau yang non polar seperti heksana dan kloroform. Pemilihan pelarut yang digunakan tergantung pada sifat zat yang dilarutkan, karena setiap zat memiliki daya kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berlainan (Achmadi, 1992).


(27)

Beberapa pertimbangan dalam memilih pelarut (Achmadi, 1992), yaitu : 1. Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan

melarutkan senyawa non polar.

2. Pelarut organik cenderung melarutkan zat terlarut organik.

3. Air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam maupun basa organik.

4. Asam-asam organik yang larut dalam pelarut organik dapat diekstraksi ke dalam air dengan menggunakan basa (NaOH, Na2CO3 dan NaHCO3).

Beberapa zat terutama bahan alam dapat dipisahkan dari padatannya dengan ekstraksi sederhana (Achmadi, 1992). Teknik paling sederhana untuk mengekstraksi bahan padatan ialah dengan mencampurkannya dalam larutan pengekstraksi, dibantu dengan pengadukan menggunakan alat pengaduk, lalu dipisahkan melalui penyaringan biasa atau vakum.

2.8 Antimikroba

Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan atau aktivitas mikroba. Zat antimikroba khusus untuk bakteri disebut antibakteri, dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) dan bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Zat yang menghambat kapang disebut antikapang (Fardiaz, 1989). Senyawa antimikroba adalah jenis bahan tambahan makanan yang digunakan dengan tujuan untuk mencegah kebusukan atau keracunan oleh mikroorganisme pada bahan pangan (Branen dan Davidson, 1993).

Senyawa yang mempunyai aktifitas antimikroba terbagi menjadi dua yaitu antimikroba sintetis, seperti sodium benzoat, senyawa fenol, asam-asam organik, asam lemak rantai medium dan esternya, sorbat, sulfur dioksida dan sulfit, nitrit, senyawa kolagen dan surfaktan, dimetil dikarbonat dan dietil bikarbonat. Antimikroba alami berasal dari hewan, tanaman maupun mikroorganisme, misalnya bakteriosin (Branen dan Davidson, 1993). Sedangkan pada zat aditif makanan terdiri dari asam organik dan garamnya (propionat, benzoat, sorbat dan asetat), senyawa nitrit dan nitrat, sulfur dioksida dan sulfit, etilen dan propilen oksida, garam dan gula, alkohol, formaldehid dan rempah-rempah (Frazier dan Westhoff, 1978).


(28)

Efektifitas antimikroba dalam mengawetkan bahan makanan terjadi baik dengan cara mengontrol pertumbuhan mikroorganisme maupun secara langsung memusnahkan seluruh atau sebagian mikroorganisme (Branen dan Davidson, 1993). Mekanisme zat antimikroba dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba antara lain : (1) merusak dinding sel bakteri sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel, misalnya yang disebabkan oleh senyawa fenolik, (3) menyebabkan denaturasi sel, misalnya oleh alkohol dan (4) menghambat kerja enzim di dalam sel (Pelczar dan Reid, 1977).

Beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas antimikroba adalah : (1) jenis, jumlah, umur dan latar balakang kehidupan mikroba, (2) konsentrasi zat antimikroba, (3) suhu dan waktu kontak dan (4) sifat fisikokimia substrat (pH, kadar air, tegangan permukaan, jenis dan zat terlarut). Sebagai pengawet makanan, zat antimikroba yang ditambahkan sebaiknya memenuhi kriteria ideal, yaitu mempunyai aktifitas yang luas, tidak beracun, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan cita rasa dan aroma pada makanan, aktifitasnya tidak menurun dengan adanya komponen makanan, tidak resisten dan tidak hanya menghambat tetapi dapat membunuh mikroba (Frazier dan Westhoff, 1978).

2.9 Uji Toksisitas

Uji toksisitas diperlukan untuk mengevaluasi, memonitor dan memprediksi bahaya dari zat racun bagi organisme lingkungan (Trevors, 2000). Banyak metode yang digunakan untuk menguji tingkat toksisitas dari suatu bahan. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu uji toksisitas menggunakan Artemia salina.

2.9.1 Uji toksisitas dengan Artemia salina

Uji toksisitas dengan Artemia digunakan sebagai langkah awal untuk identifikasi racun jamur, toksisitas dari ekstrak tumbuhan, identifikasi ada tidaknya logam berat, racun sianobakter, pestisida dan untuk uji sitotoksisitas yang berhubungan dengan gigi dan mulut (Carballo et al., 2002).


(29)

Artemia yang digunakan dalam bentuk telur istirahat yang disebut dengan kista. Kista yang berkualitas baik akan menetas sekitar 18-24 jam. Umumnya artemia tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30 oC, kadar garam antara 30-50 ppt dan pH air laut untuk budidayanya berkisar antara 7,5-8,5 (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

Uji toksisitas dengan menggunakan kultur artemia dikembangkan oleh Michael et al. (1956) yang diacu dalam Carballo et al. (2002). Teknik ini didasarkan kepada kemamp uan bahan untuk membunuh kultur artemia yang telah dibiakkan dalam air laut dengan kadar salinitas tertentu (Carballo et al., 2002).

Tingkat toksisitas ditentukan dengan nilai LC50. Nilai LC50 menunjukkan

konsentrasi dari bahan kimia di lingkungan (air atau udara) yang mampu membunuh 50% dari binatang uji pada suatu waktu tertentu (CCOHS, 1999). Nilai LC50 yang diperoleh menunjukkan kategori toksisitas dari suatu bahan.

Tabel 4 berikut menunjukkan kategori toksisitas tersebut (Kamrin, 1997).

Tabel 4. Kategori toksisitas bahan

Kategori LC50 (µg/L)

Toksisitas sangat tinggi < 100

Toksisitas tinggi 100-1000

Toksisitas sedang 1000-10000

Toksisitas rendah 10000-100000

Tidak toksik >1000000


(30)

3. METODOLOGI

3.1 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan adalah ikan laut dalam yang diperoleh dari kapal Baru Jaya IV yang singgah di Tanjung Priok dalam keadaan beku dengan suhu -5 oC. Ikan tersebut ditangkap dari perairan selatan Jawa pada kedalaman 250-1000 m dengan menggunakan jaring trawl. Penelitian ini bekerjasama dengan Balai Riset Perikanan dan Kelautan sebagai pihak penyedia sampel ikan laut dalam. Panjang ikan laut dalam yang diteliti antara 12-72,5 cm. Jenis ikan laut dalam tersebut adalah ikan Coelorincus longissimus, Coryphaenoides sp., Diapus fragillis, Hydrolagus sp., Ophidiidae sp., Glyptophidian sp., Parascoplopsis sp., ikan famili Pereichthydae, famili Nomeidae, famili Ophidiidae, dan satu jenis ikan yang belum teridentifikasi. Gambar ikan laut dalam dapat dilihat pada Gambar 3. Selain itu, bahan-bahan yang digunakan adalah bakteri uji Staphylococcus aureus, Escherichia coli, hewan uji Artemia salina. Bahan kimia yang digunakan adalah kloroform, etil asetat, metanol, yeast extract, NaCl, pepton, agar, akuades, alkohol, spiritus, kloramfenikol, Na-asetat, asetonitril, trimetilxylena, HCl, N2, trimetilasetat, penilisotiosiant, H2SO4, Tablet

Kjelteb, NaOH, petroleum benzen dan air laut.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cool box, oven, penggaris, erlenmeyer, labu destruksi, inkubator, shaker, destruktor, destilator, titrameter, lampu TL, gelas piala, labu lemak, desikator, selongsong soxhlet, tanur listrik, timbangan analitik, spektrofotometer, blender, kain kasa, sudip, paper disc, petri dish, freezer, sentrifuse, clean banch, autoklaf, tabung reaksi, kolom pico tag amino acid water, labu evaporator, pompa vakum, HPLC Water, kertas saring whatman, hotplate tanpa panas, magnetic stirrer, gelas ukur, corong gelas, botol kaca, aluminium foil, rotary evaporator, kapas, kasa, pipet, bulb, mikropipet, tip steril, vortex, pinset, tissue, gelas, bunsen dan korek api.


(31)

Gambar 3. Beberapa ikan laut dalam perairan selatan Jawa

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertama dan tahap kedua. Tahap pertama adalah untuk mengkaji tingkat kesegaran ikan dan kandungan gizi beberapa ikan laut dalam yang meliputi analisis proksimat dan analisis asam amino. Tahap kedua adalah ekstraksi senya wa bioakif pada daging ikan laut

Ophidiidae sp. Panjang : 17,5 cm Kedalaman : 800 m

Coelorincus longissimus Panjang : 16 cm Kedalaman : 710 m

Belum teridentifikasi Panjang : 24 cm Kedalaman : 710 m

Parascolopsis sp. Panjang : 12,2 cm Kedalaman:250-500 m Coryphaenoides sp.

Panjang : 13 cm Kedalaman : 500 m Pereichthydae

Panjang : 16 cm Kedalaman:250-500 m

Diapus fragillis Panjang : 12 cm Kedalaman:250-500 m Hydrolagus sp.

Panjang : 72,5 cm Kedalaman : 590 cm Nomeidae

Panjang : 15,5 cm Kedalaman:250-500 m

Glytophidian sp. Panjang : 18 cm Kedalaman : 800 m Ophidiidae

Panjang : 42,5 cm Kedalaman : 800 m


(32)

dalam kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji aktifitas antibakteri dan uji toksisitas untuk mengkaji ada tidaknya kandungan senyawa antibakteri pada beberapa daging ikan laut dalam.

3.2.1 Uji organoleptik (BPPMHP, 1993)

Pengujian kesegaran ikan laut dalam dalam penelitian ini menggunakan uji organoleptik. Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk mengukur daya penerimaannya terhadap ikan. Untuk uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-1991), sasaran alat indera ini adalah konsistensi, penampakan mata, insang. Metode yang digunakan dalam pengujian organoleptik adalah scoring test yaitu menggunakan skala angka. Skala angka terdiri dari angka 1-9 dengan spesifikasi untuk tiap angka yang dapat memberi pengertian tertentu bagi panelis. Nilai pengujian dicantumkan oleh panelis pada score sheet (lembar penilaian). Nilai penilai terhadap kesegaran ikan meliputi mata, insang, lendir di permukaan, tekstur , dan bau. Hasil penilaian diambil rata-ratanya dan dikelompokkan pada kriteria ikan segar, agak segar atau tidak segar. Contoh lembar penilaian dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.2.2 Analisis proksimat

Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar protein, lemak, air, abu dan karbohidrat.

Kadar air (Apriyantono et al., 1989)

Cawan porselin dikeringkan pada suhu 102-105 oC selama kurang lebih 10-12 jam. Kemudian cawan diletakkan dalam desikator (± 30 menit), ditimbang (A gram). Lalu cawan ditimbang denga n sampel yang sudah dihomogenkan (B gram) dengan sampel sebanyak 5 gram. Setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105 oC selama kurang lebih 3-5 jam. Cawan diletakkan ke dalam desikator dan ditimbang (C gram).


(33)

Perhitungan :

B - C

% Kadar Air = x 100 % B - A

Keterangan : A = gram cawan

B = gram cawan dan sampel basah C = gram cawan kering

Kadar abu (Apriyantono et al., 1989)

Cawan porselin dipijarkan sampai merah dalam tungku pengabuan bersuhu sekitar 650 oC selama 1 jam. Setelah suhu tungku turun menjadi sekitar 200 oC, cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (A gram). Lalu cawan ditimbang dengan sampel yang sudah dihomogenkan (B gram) dengan sampel sebanyak 5 gram. Kemudian cawan dan sampel dimasukkan ke dalam tungku pengabuan dan diatur suhu secara bertahap hingga suhu 650 oC untuk dilakukan pengabuan hingga abu berwarna putih. Setelah tungku pengabuan turun menjadi sekitar 200 oC. Cawan didinginkan selama 30 menit dan ditimbang beratnya (C gram).

Perhitungan :

C - A

% Abu = x 100% B – A

Keterangan : A = gram cawan

B = gram cawan dan sampel basah C = gram cawan kering

Kadar protein (Apriyantono et al., 1989)

a). Destruksi

Sampel ditimbang sebanyak 0,3 gram dan dimasukkan ke dalam tabung Kjeltec. Dimasukkan satu buah tablet Kjelteb ke dalam tabung tersebut, tablet Kjelteb disini berfungsi sebagai katalisator.


(34)

% Protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25) Adapun reaksi yang terjadi :

Komponen Nitrogen Organik H2SO4 CO2 + H2O + (NH4)2SO4

Katalis (Kjeltab)

Bahan katalis yang sering digunakan antara lain merkuri (Hg), Ag atau Selenium (Se). Tablet Kjelteb tersebut terdiri dari campuran unsur K2SO4 dan Se.

Kemudian dilakukan destruksi hingga warna larutan berubah menjadi bening. b). Destilasi

Labu hasil destruksi didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu penyuling, kemudian diencerkan dengan 200 ml air yang tidak mengandung nitrogen dan ditambahkan beberapa butir batu didih serta 100 ml NaOH agar larutan menjadi basa. Labu penyuling dipasang dengan cepat di atas alat penyuling. Proses ini berlangsung sampai semua nitrogen tertangkap oleh H2SO4

yang ada di dalam erlenmeyer atau bila 2/3 bagian dari cairan dalam labu telah menguap.

c). Titrasi

HCl dimasukkan ke dalam buret, lalu dilakukan titrasi hingga warna larutan pada erlenmeyer berubah menjadi merah muda, kemudian dicatat volume HCl yang digunakan :

14,01 x (A-B) x C % N = D

Keterangan : A = ml titrasi B = ml titrasi blanko

C = Molaritas asam standar D = mg sampel

Kadar lemak (Apriyantono et al., 1989)

Sampel ditimbang sebanyak 3 gram (W1), lalu dibungkus dengan kertas saring dengan bagian atas dan bawah diberi kapas bebas lemak lalu disiapkan labu lemak yang sudah diketahui beratnya (W2) dan disambung dengan tabung Soxhlet. Selongsong dimasukkan ekstraktor tabung Soxhlet, lalu disiram dengan pelarut lemak (petroleum benzen). Setelah itu dilakukan ekstraksi selama 16 jam


(35)

pada suhu sekitar 40 oC. Setelah ekstraksi selesai, dikeluarkan selongsong yang berisi sampel. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi sehingga semua pelarut lemak menguap, kemudian labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 3-5 jam. Labu lemak yang sudah didinginkan ditimbang dalam desikator sampai berat konstan (W3).

W3 – W2

% Lemak = x 100% W1

Keterangan : A = gram cawan

B = gram cawan dan sampel basah

C = gram cawan kering

Kadar karbohidrat (Winarno, 1992)

Kadar karbohidrat diperoleh dengan menghitung selisih dari empat komponen yaitu kadar air, protein, lemak dan abu. Perhitungannya sebagai berikut:

% Karbohidrat = 100% - (% air + % lemak + % protein + % Abu)

3.3.3 Analisis asam amino (Nur, Adijuwana 1989)

Komposisi asam amino ditentukan dengan menggunakan HPLC. Jenis HPLC yang digunakan dalam penelitian ini adalah HPLC Water dengan prinsip pemisahan asam amino berdasarkan sifat asam dan basanya menggunakan kolom pico tag amino acid water. Prosesnya menggunakan Na-asetat : asetonitril (60 : 40) sebagai fase gerak dan trimetilxylena sebagai fase diam. Uraian proses selengkapnya adalah sebagai berikut :

a) Hidrolisis asam

Ditimbang 0,25 gram contoh dalam tabung reaksi tertutup, kemudian ditambahkan 5 ml HCl 6 N dan dialiri dengan gas N2 dan ditutup. Setelah itu,

dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100 oC selama 18-24 jam, cairan contoh disaring dengan menggunakan kertas saring.

b) Pengeringan

Cairan contoh hasil hidrolisis dipipet sebanyak 10 µl ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan sebanyak 30 µl larutan pengering (methanol : Na-asetat :


(36)

trietilasetat = 2 : 2 : 1). Setelah itu bahan tersebut dikeringkan dengan pompa vakum bertekanan 50 Torr (3x).

c) Derivatisasi

Larutan derivat (methanol : trimetilasetat : penilisotiosianat = 7 : 1 : 1). Ditambahkan sebanyak 30 µl ke dalam contoh yang telah dikeringkan. Kemudian dibiarkan ± 20 menit, lalu dikeringkan dengan pompa vakum bertekanan 50 Torr. Setelah itu, contoh yang telah kering diencerkan dengan 200 µl larutan pengencer (Na-asetat 1M), sehingga diperoleh larutan contoh yang siap dianalisis.

d) Analisis asam amino dengan alat HPLC

Kondisi alat HPLC pada saat dilakukan analisis : 1. Temperatur kolom : 38oC

2. Kolo m : Pico tag 3,9 x 150 nm coulomb 3. Kecepatan alir : 1,5 ml/menit

4. Batas tekanan : 3000 psi 5. Program : Gradient

6. Fase gerak : - Asetonitril 60 %

- Buffer Natrium Asetat 1 M 7. Detektor : UV

8. Panjang gelombang : 254 nm

Untuk analisis kuantitatif dapat dihitung dengan cara :

Keterangan :

C = Konsentrasi LA = Luas area

Fp = Faktor pengenceran

BM = Bobot molekul (Lampiran 3

3.3.4 Ekstraksi senyawa antibakteri ikan laut dalam

Senyawa antibakteri dari ikan laut dalam diperoleh dengan cara mengekstrak daging ikan laut dalam. Metode ekstraksi yang dilakukan pada penelitian ini mengikuti metode Quinn (1988) diacu dalam Darusman et al.

Asam amino (%)

contoh Bobot

x BM x Fp x dar s

C x dar s

LA

sampel LA

100 tan

tan

=


(37)

(1995) yang telah dimodifikasi. Sebelum proses ekstraksi dimulai, ikan laut dalam disiangi, dicuci dan diambil bagian dagingnya. Daging ikan dipotong dihaluskan dengan mortar. Beberapa gram daging ikan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Masing-masing sampel daging ikan kemudian dicampur pelarut dengan perbandingan pelarut dan sampel daging ikan 2:1. Pelarut pertama yang digunakan adalah kloroform. Kemudian sampel dimaserasi selama 24 jam untuk memastikan senyawa antibakteri yang terdapat pada daging ikan laut dalam terlarut dalam pelarut. Selama proses ekstraksi, bagian atas erlenmeyer ditutup dengan kertas alumunium foil untuk mencegah terjadinya penguapan senyawa volatil dari bahan. Setelah 24 jam, sampel disaring dengan menggunakan kertas saring whatman untuk memisahkan filtrat dengan ampasnya sehingga diperoleh filtrat dan ampas pertama. Ampas pertama dimaserasi lagi dengan pelarut etil asetat selama 24 jam, disaring dan diperoleh filtrat dan ampas kedua. Ampas kedua dimaserasi lagi dengan pelarut metanol selama 24 jam, disaring dan diperolah filtrat dan ampas ketiga.

Kemudian filtrat I, II dan III dievaporasi dengan menggunakan rotary evaporator suhu 40 oC diperoleh ekstrak kasar kloroform, etil asetat dan metanol. Diagram alir ekstraksi senyawa bioaktif dapat dilihat pada Gambar 4.

3.3.5 Uji senyawa antibakteri

• Persiapan media cair (Lauria Broth)

Media cair (Lauria Broth) digunakan untuk menyegarkan bakteri yang akan diuji. Komposisi media cair yang digunakan terdiri dari : tryp ton 1 gram, yeast extract 0,5 gram dan NaCl 1 gram yang semuanya dilarutkan dalam 100 ml akuades dengan pH 7,0. Media tersebut dihomogenkan dengan menggunakan hotplate pada suhu 100 oC sampai mendidih dan dipipet 10 ml ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi ditutup dengan menggunakan kapas dan kasa. Kasa digunakan untuk mengikat kapas agar tetap menyatu. Media tersebut kemudian disterilisasi pada 121 oC selama 15 menit. Media didinginkan pada suhu ruang. Sebanyak 1 ose bakteri uji dimasukkan ke dalam media cair yang dilakukan di laminer dalam keadaan aseptik. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC.


(38)

Daging ikan

Penghancuran

Penimbangan

Ektraksi 24 jam (Maserasi dengan kloroform)

Penyaringan

Penyaringan Ektraksi 24 jam (Maserasi dengan etil asetat)

Penyaringan Evaporasi

Evaporasi

Ektraksi 24 jam (Maserasi dengan metanol) Evaporasi

Filtrat

Ekstrak I Filtrat

Ekstrak II

Ekstrak III Filtrat Ampas

Ampas Ampas

Gambar 4. Diagram alir proses ekstraksi senyawa bioaktif daging ikan laut dalam (metode Quinn, 1988, diacu dalam Darusman et al.,


(39)

• Persiapan media padat (Lauria Agar)

Media padat yang digunakan dalam uji antibakteri adalah media Lauria Agar. Komposisi media padat yang digunakan terdiri dari: tryp ton 1 gram, yeast extract 0,5 gram, NaCl 1 gram dan agar 1,8 gram yang semuanya dilarutkan dalam 100 ml akuades denga n pH 7,0. Media tersebut dihomogenkan dengan menggunakan hotplate pada suhu 100 oC sampai mendidih dan dipipet 15 ml ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi ditutup dengan menggunakan kapas dan kasa. Kasa digunakan untuk mengikat kapas agar tetap menyatu. Media tersebut kemudian disterilisasi pada 121 oC selama 15 menit. Media didinginkan pada suhu ruang.

• Uji Aktifitas Senyawa Antibakteri

Uji aktivitas senyawa antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar (Bauer et al., 1966, diacu dalam Jamal et al., 2003). Bakteri uji Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan optical density (OD600) masing- masing 0,540

dan 0,620 diambil sebanyak 20 µl kemudian dipipet kedalam media Lauria agar. Media tersebut dihomogenkan dengan menggunakan vortex dan dituangkan ke dalam cawan steril dalam kondisi aseptik. Media dalam cawan digoyang secara perlahan supaya merata dan dibiarkan mengeras. Kemudian media dibekukan dalam refrigerator selama ± 30 menit dalam posisi cawan terbalik.

Sebanyak 20 µ l larutan ekstrak diteteskan pada kertas cakram steril dan dibiarkan sampai terserap. Kemudian kertas cakram diletakkan di atas media yang telah membeku sambil sedikit ditekan dengan menggunakan pinset. Besarnya konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 100 µg/ml, 200 µg/ml, 300 µg/ml, 600 µg/ml dan 700 µg/ml disesuaikan dengan jumlah rendemen ekstrak masing- masing ikan laut dalam yang diperoleh. Hal ini dilakukan untuk memperoleh konsentrasi maksimal dari masing- masing jumlah ekstrak daging ikan laut dalam yang akan diuji ada tidaknya kandungan senyawa antibakteri. Sebagai kontrol, digunakan kloramfenikol dengan konsentrasi 1 µg/ml.

Media disimpan kembali dalam refrigerator selama 30 menit dengan posisi terbalik. Selanjutnya, media diinkubasi pada suhu 37 oC selama 12-18 jam dengan posisi cawan dalam keadaan terbalik. Pengamatan dilakukan dengan mengukur zona bening di sekitar kertas cakram. Daya hambat ekstrak dapat


(40)

Bakteri 20 µl dimasukkan ke dalam 15 ml media agar

Kertas cakram diberi ekstrak 20 µl dengan masing- masing konsentrasi 100 µg/ml, 200 µg/ml, 300 µg/ml, 600 µg/ml, dan 700 µg/ml.

Inkubasi pada suhu 37 oC selama 12-18 jam dalam posisi cawan terbalik

Kertas cakram diletakkan di atas media agar yang berisi bakteri dalam cawan petri

Pendinginan dalam refrigerator selama 30 menit

Pendinginan dalam laminer Media + bakteri dimasukkan ke dalam cawan petri

Homogenisasi

Pendinginan dalam refrigerator selama 30 menit

Pengamatan dan pengukuran zona bening

diukur dengan mengurangi diameter zona bening yang terbentuk dikurangi diameter kertas cakram. Diagram alur uji aktifitas senyawa antibakteri dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram alir proses penentuan aktifitas antibakteri pada berbagai ekstrak daging ikan laut dalam (Bauer et al., 1966, diacu dalam Jamal et al., 2003).


(41)

3.3.6 Uji toksisitas

Uji toksisitas senyawa bioaktif terhadap Artemia salina bertujuan ada tidaknya kandungan antibaktri pada ikan laut dalam. Uji toksisitas terhadap

Artemia salina dilakukan berdasarkan metode Michael et al. (1956), diacu dalam Carballo et al. (2002).

• Penetasan Artemia salina

Artemia salina yang digunakan dalam bentuk telur istirahat yang disebut kista sehingga perlu proses penetasan terhadap kista Artemia salina tersebut. Sebanyak 1,2 gram kista kering Artemia salina ditetaskan dalam 500 ml air laut, salinitas 30 ppt dengan pH air laut 7,5. Kultur Artemia salina diaerasi selama 48 jam dengan diberi pencahayaan yang cukup.

• Uji Toksisitas

Pada uji toksisitas, ekstrak yang digunakan adalah ekstrak- metanol daging ikan dalam. Selanjutnya, 15 ekor larva Artemia salina dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 20 ml air laut yang telah diberi 20 µl ekstrak kasar dengan berbagai konsentrasi dan juga pada tabung yang hanya berisi air laut sebagai kontrol. Konsentrasi ekstrak kasar yang digunakan adalah 0,1 µg/ml, 1 µg/ml, 10 µg/ml dan 50 µg/ml. Larva Artemia salina dibiarkan berkontak langsung dengan bahan yang diuji selama 24 jam dengan pencahayaan dan aerasi yang cukup. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah Artemia salina yang mati kemudian data diolah dengan menggunakan persamaan regresi. Diagram alir uji toksisitas dengan Artemia salina dapat dilihat pada Gambar 6.


(42)

Gambar 6. Diagram alir uji toksisitas dengan Artemia salina (metode Michael et al., 1956, diacu dalam Carballo et al., 2002).

Artemia salina diambil 15 ekor dengan pipet tetes dimasukkan ke dalam wadah yang berisi 20 ml air laut

Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah Artemia

salina yang mati

Aerasi dan pencahayaan yang cukup

Tingkat toksisitas ditentukan dengan LC50

1,2 gram kista Artemia salina

Penetasan artemia dalam 500 ml air laut, 30 ppt, pH 7,5 dg aerasi dan pencahayaan yang cukup selama 48 jam sampai kista menetas

Ekstrak sebanyak 20 µl dengan masing- masing konsentrasi 0,1 µg/ml, 1 µg/ml, 10 µg/ml dan 50 µg/ml


(43)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Beberapa Ikan Laut Dalam

Ikan laut dalam adalah ikan yang hidup di bawah kedalaman yang dapat diterangi sinar matahari di laut terbuka dan lebih dalam dari paparan benua (>200 m). Sampel ikan laut dalam ditangkap dari perairan selatan Jawa pada bulan September 2004 dengan menggunakan jaring trawl yang berukuran besar pada tingkat kedalaman yang berbeda-beda, yaitu antara 250-1000 m. Oleh karena itu, diduga bahwa sampel beberapa ikan laut dalam yang ditangkap merupakan ikan- ikan mesopelagis. Panjang ikan dan tingkat kedalaman beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa dapat dilihat pada Tabel 5.

Ikan hasil tangkapan dimasukkan dalam cold storage kapal dengan suhu -5 oC. Adapun waktu pengambilan beberapa ikan laut dalam yang diteliti dilakukan pada tanggal 21 September 2004 langsung dari kapal Baruna Jaya IV yang singgah di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Selatan. Selanjutnya ikan dimasukkan dalam freezer dengan suhu -18 oC di laboratorium Preservasi dan Rekayasa, Departemen Teknologi Hasil Perairan. Ikan laut dalam yang diteliti berjumlah 11 jenis dengan masing- masing jenis berjumlah 1-4 ekor yang terdiri dari ikan Coelorincus longissimus, Coryphaenoides sp., Parascolopsis sp., Diapus fragillis, Hydrolagus sp., Glytophidian sp., Ophidiidae sp., ikan famili Pereichthydae, famili Nomeidae, famili Ophidiidae, dan satu jenis ikan yang belum teridentifikasi. Identifikasi ikan dilakukan oleh pihak BRKP yang bekerjasama dengan pihak Jepang.

Beberapa ikan laut dalam yang ditangkap sebagian besar mempunyai warna abu-abu keperakan atau hitam kelam seperti ikan Coelorincus longissimus, Coryphaenoides sp., Diapus fragillis, Hydrolagus sp., Ophidiidae sp., ikan famili Pereichthydae, famili Nomeidae, famili Ophidiidae, dan satu jenis ikan yang belum teridentifikasi. Selain itu, ada juga ikan laut dalam yang berwarna merah seperti pada ikan jenis Glyptophidian sp. dan Parascoplopsis sp.


(44)

Tabel 5. Panjang ikan dan tingkat kedalaman beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa

Nama Ikan Panjang ikan (cm) Kedalaman (m)

Coelorincus longissimus 16 710

Coryphaenoides sp. 13 500

Famili Pereichthydae 16 250-500

Ophidiidae sp. 17,5 800

Famili Nomeidae 15,5 250-500

Diapus fragillis 12 250-500

Parascolopsis sp. 12,2 250-500

Glytophidian sp. 18 800

Hydrolagus sp. 72,5 590

Famili Ophidiidae 42,5 800

Belum teridentifikasi 24 710

Selain itu, beberapa ikan laut dalam yang ditangkap, rata-rata mempunyai ukuran mata yang besar. Jika dibandingkan dengan besar tubuhnya, ukuran mata ikan-ikan ini jauh lebih besar daripada ikan-ikan epipelagis. Mata yang besar memberikan kemampuan maksimum untuk mendeteksi cahaya di dalam perairan dimana intensitas cahaya sangat rendah, dan mungkin diperlukan untuk mendeteksi cahaya berintensitas rendah yang dihasilkan oleh organ-organ penghasil cahaya (Nybakken, 1992).

4.2 Tingkat Kesegaran Beberapa Ikan Laut Dalam

Kesegaran adalah parameter untuk membedakan ikan yang jelek dan ikan yang baik kualitasnya. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia, mikrobiologi dan fisika yang terjadi belum menyebabkan kerusakan pada ikan. Istilah “segar“ tercakup dua pengertian yaitu yang pertama, “baru saja ditangkap, tidak disimpan atau diawetkan”, dan yang kedua, “mutu masih original, belum mengalami kemunduran” (Ilyas, 1983).

Pengujian kesegaran ikan laut dalam dalam penelitian ini menggunakan uji organoleptik. Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk mengukur daya penerimaannya terhadap ikan. Untuk uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-1991), sasaran alat indera ini adalah konsistensi, penampakan mata, insang. Metode yang digunakan dalam pengujian organoleptik adalah scoring test yaitu


(45)

menggunakan skala angka. Skala angka terdiri dari angka 1-9 dengan spesifikasi untuk tiap angka yang dapat memberi pengertian tertentu bagi panelis. Nilai pengujian dicantumkan oleh panelis pada score sheet (lembar penilaian). Hasil uji organoleptik beberapa ikan laut dalam perairan selatan Jawa dapat dilihat pada Tabel 6 sedangkan hasil rata-rata uji organoleptik beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 6. Hasil uji organoleptik beberapa ikan laut dalam perairan selatan Jawa

Kode Ikan A B 3 5 C D 11 12 13 14 15 Mata 4,1 3,2 2,4 4,6 4,0 5,8 4,1 1,9 1,3 2,5 3,4 Insang 3,8 4,1 5,8 2,5 5,5 2,8 5,5 3,1 3,4 4,1 5,2 Lendir di permukaan kulit 5,6 4,5 5,5 5,5 7,4 5,8 7,7 4,6 7,6 4,9 5,8 Tekstur 4,3 4,4 3,4 4,0 5,2 4,0 7,0 3,7 3,7 3,7 4,0 Bau 3,5 3,8 6,2 6,3 6,5 6,3 6,7 6,1 6,0 5,9 5,4

Keterangan (kode ikan) :

A : Coelorinchus longissimus B : Coryphaenoides sp.

C : Famili Pereichthydae D : Ophidiidae sp.

3 : Famili Nomeidae 5 : Diapus fragilis

11 : Parascolopsis sp. 12 : Glytophidian sp.

13 : Hydrolagus sp. 14 : Famili Ophidiidae

15 : Belum teridentifikasi

Tabel 7. Hasil rata-rata uji organoleptik beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa

Organoleptik Rata-rata

Mata 3,4

Insang 4,2

Lendir di permukaan kulit 5,9

Tekstur 4,4

Bau 5,7

Keterangan :

Segar : bila nilai organoleptik berkisar antara 7 – 9

Agak segar : bila nilai organoleptik berkisar antara 5 – 7

Tidak segar : bila nilai organoleptik berkisar antara 1 – 5

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan laut dalam ikan Coelorincus longissimus, Coryphaenoides sp., Parascolopsis sp., Diapus fragillis, Hydrolagus sp., Glytophidian sp., Ophidiidae sp., ikan famili Pereichthydae, famili Nomeidae,


(46)

famili Ophidiidae, dan satu jenis ikan yang belum teridentifikasi rata-rata berada pada kisaran nilai organoleptik 3-6. Hal ini berarti kesegaran ikan berada dalam kondisi antara agak segar dan tidak segar. Faktor yang mempengaruhi mutu kesegaran ikan, adalah daerah penangkapan ikan, metode atau cara penangkapan dan pendaratan hasil perikanan termasuk juga jarak pengangkutan dari tempat penangkapan ke tempat pendaratan, cara penangkapan pasca panen hasil

perikanan, cara penyimpanan dan keadaan cuaca, terutama suhu (Hadiwiyato, 1993).

4.3 Hasil Analisis Proksimat

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi yang terdapat pada ikan laut dalam. Kandungan gizi tersebut melip uti protein, lemak, abu dan air. Kadar protein diketahui dengan menggunakan metode Kjeldal, kadar lemak dengan metode Soxhlet, kadar air dan abu dengan menggunakan metode Oven (Apriyantono et al., 1989). Tingkat kesegaran beberapa ikan laut dalam yang dianalisis mempunyai kisaran antara agak segar dan tidak segar. Hasil analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 7 sampai Gambar 10.

Tabel 8. Hasil analisis proksimat dari beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa

Nama Ikan Kadar

Protein (%)

Kadar Lemak (%)

Kadar Abu

(%)

Kadar Air (%)

Kadar Karbohidrat

(%) Coelorincus longissimus

13,17 1,96 3,51 80,50 0,86 Coryphaenoides sp. 16,72 2,16 2,30 78,80 0,02 Famili Pereichthydae 15,43 2,45 3,46 75,40 3,26 Ophidiidae sp. 17,67 1,59 2,86 76,90 0,98 Famili Nomeidae 18,16 6,95 2,62 70,49 1,78 Diapus fragillis 16,70 4,92 1,56 75,71 1,11 Parascolopsis sp. 17,72 1,91 3,92 75,11 1,34 Glytophidian sp. 16,18 1,14 3,11 79,50 0,07 Hydrolagus sp. 17,30 2,59 0,57 78,33 1,21 Famili Ophidiidae 11,18 1,28 1,36 86,10 0,08 Belum teridentifikasi 16,65 1,44 0,86 80,20 0,85


(47)

13.17 16.72 15.43 17.67 18.16 16.7 17.72 16.18 17.3 11.18 16.65 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Coelo rincu

s long

issim us Coryp haen oides sp. Famili Pereichthydae Ophid

iidae s

p.

Famili NomeidaeDiapus fragillisParascolopsis sp.Glytophidian sp.Hydrolagus sp.Famili Ophidiidae

Belum teridentifikasi Spesies Ikan Laut Dalam

Kadar Protein (%)

Gambar 7. Diagram batang kadar protein beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa

1.96 2.16 2.45 1.59 6.95 4.92 1.91 1.14 2.59 1.28 1.44 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Coelo rincu

s long

issim us Coryp haen oides sp. Famili Pereichthydae Ophid

iidae s

p.

Famili NomeidaeDiapus fragillis

Paras

colop

sis sp

.

Glyto

phidia

n sp.

Hydrolagus sp.Famili O

phidii

dae

Belum teridentifikasi Spesies Ikan Laut Dalam

Kadar Lemak (%)

Gambar 8. Diagram batang kadar lemak beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa

3.51 2.3 3.46 2.86 2.62 1.56 3.92 3.11 0.57 1.36 0.86 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 Coelorincus longissimus Coryp haen oides sp. Famili Pereichthydae

Ophidiidae sp.Famili N

omeid

ae Diapus fragillis

Parascolopsis sp.Glytophidian sp.H

ydrola

gus s

p.

Famili Ophidiidae Belum teridentifikasi Spesies Ikan Laut Dalam

Kadar Abu (%)

Gambar 9. Diagram batang kadar abu beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa


(48)

80.5 78.8

75.4 76.9

70.49 75.71 75.11

79.5 78.33 86.1 80.2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Coelo rincu

s long

issim us Coryp haen oides sp. Famili Pereichthydae

Ophidiidae sp.Famili NomeidaeDiapus fragillis

Paras

colop

sis sp

.

Glytophidian sp.Hyd

rolagu

s sp.

Famili Ophidiidae Belum teridentifikasi Spesies Ikan Laut Dalam

Kadar Air (%)

Gambar 10. Diagram batang kadar air beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa

Tabel 8 dan Gambar 7 sampai Gambar 10 menunjukkan bahwa beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa dengan tingkat kesegaran antara agak segar dan tidak segar mempunyai kandungan gizi yang berbeda-beda. Kandungan protein beberapa ikan laut dalam berkisar antara 11,18-18,16%. Protein ikan merupakan komponen terbesar dalam jumlahnya setelah air, dan merupakan bagian yang sangat berguna bagi manusia. Protein ikan mengandung 10 jenis asam amino yang diperlukan oleh tubuh, yaitu asam amino esensial dan 10 jenis asam amino non esensial. Jumlah asam amino pada ikan lebih banyak dibandingkan jumlah asam amino yang ada pada daging sapi atau daging ayam (Hadiwiyoto, 1988). Selain itu, daging ikan mempunyai serat protein lebih pendek daripada serat protein daging sapi atau daging ayam, sehingga ikan lebih mudah dicerna dan diabsorpsi oleh tubuh.

Kandungan lemak beberapa ikan laut dalam berkisar antara 1,28-6,95%. Kandungan lemak pada beberapa jenis ikan tergolong tinggi, sehingga sering pula berbagai jenis ikan merupakan sumber lemak yang baik. Di dalam daging ikan selalu terdapat asam lemak dalam keadaan bebas, artinya tidak terikat sebagai ester, yang jumlahnya sedikit, kurang lebih 0,1-0,4% saja. Asam-asam lemak yang terikat oleh gliserol merupakan berbagai jenis asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Keseluruhannya lebih dari 25 macam asam lemak terdapat dalam daging ikan. Jumlah asam lemak jenuh adalah 17-21% dan asam lemak


(1)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang memberikan kekuatan dan keistiqomahan pada diri ini untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Dan sholawat serta salam pada suri tauladan umat manusia nabi Muhammad SAW yang membawakan islam pada diri ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Sugeng Heri Suseno, S.Pi. M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak tugas pada diri ini , baik itu tugas yang berkaitan dengan penelitian ini maupun tidak. Tapi diri ini senang karena dari tugas-tugas tersebut sangat sekali pelajaran yang berharga bagi diri saya terutama dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan pada ibu Ir. Iriani Setyaningsih, MS., dan ibu Desniar, S.Pi,m M.Si. selaku dosen penguji. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada ibu, ayah (semoga Allah memuliakan mereka berdua di dunia dan diakhirat), seluruh anggota keluarga (mbak Laila, cak Husnul, mbak Fit, cak Barok, mbak Mila, dek Arfis dan spesial adikku “Mimin” yang lucu, semoga jadi anak yang sholehah), semua teman-teman THP spesial A’38 (Rameh banget dan semoga selalu kompak selalu) dan teman-teman seperjuangku di FPIK dan IPB yang mempunyai telah andil besar dalam menjaga diri untuk tetap berada dijalan-Nya, serta adik-adik di FORCES D’Tuko, D’Kani, D’Nanang, D’Ocha, D’Widya dll tolong jaga FORCES- ya). Dan tak lupa, saya ucapkan salam terima kasih pada crew Al-IZZAH (selamat atas prestasinya juara I nasyid dalam festival ramadhan).

Saya harap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya umat manusia dan Allah SWT ridloi karya ilmiah ini.

Bogor, September 2005


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gresik, tanggal 08 Desember 1982 dari ayah Achmad Jamil dan ibu Cholifah. Penulis merupakan putra keenam dari delapan bersaudara. Penulis sekolah dasar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah 1 Ujungpangkah, Gresik dan sekolah menengah pertama di Madrasah Tsana wiyah Muhammadiyah 3 Ujungpangkah, Gresik. Kemudian penulis melanjutkan sekolah menengah umum di SMU Negeri 14 Bandung.

Penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama sebagai mahasiswa di IPB, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Ekologi Perairan, asisten mata kuliah Dasar-Dasar Mikrobiologi Hasil Perikanan, koordinator asisten mata kuliah Fisiologi Hasil Perikanan, koordinator asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional, koordinator asisten mata kuliah Teknologi Hasil Samping Pangan Perikanan dan asisten Pendidikan Agama Islam. Penulis pernah meraih juara III Lombah Karya Tulis Ilmiah Bidang Seni tingkat Rayon D. Selain di bidang non akademik, penulis juga pernah aktif di berbagai organisasi, seperti Fish Processing Club, FKM-C, Himasilkan, IAAS dan FORCES.


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ... ...v

DAFTAR TABEL ...vii

DAFTAR GAMBAR ...viii

DAFTAR LAMPIRAN ...x

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ...1

1.2 Tujuan Penelitian ...2

1.3 Waktu dan Tempat ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Laut Dalam ...3

2.2 Ikan Laut Dalam ...5

2.3 Mutu Ikan ...10

2.4 Asam Amino ...11

2.5 Analisis Asam Amino dengan High Ferformance Liquid Chromatography (HPLC) ...13

2.6 Bakteri ...13

2.6.1 Escherichia coli ...14

2.6.2 Staphylococcus aureus ...15

2.7 Ekstraksi ...15

2.8 Antimikroba ...16

2.9 Uji Toksisitas ...17

2.9.1 Uji toksisitas dengan Artemia salina ...17

3. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat ...19

3.2 Metode Penelitian ...20

3.2.1 Uji organoleptik ...21

3.2.2 Analisis proksimat ...21

3.2.3 Analisis asam amino ...24

3.2.4 Ekstrasi senyawa antibakteri ikan laut dalam ...25

3.2.5 Uji senyawa antibakteri ...26


(4)

Halaman 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Beberapa Ikan Laut Dalam ...32

4.2 Tingkat Kesegaran Beberapa Ikan Laut Dalam ...33

4.3 Hasil Analisis Proksimat ...35

4.4 Hasil Analisis Asam Amino ...41

4.5 Ekstraksi Daging Ikan Laut Dalam ...45

4.6 Uji Aktivitas Antibakteri ...47

4.7 Uji Toksisitas ...52

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...58

5.2 Saran ...59

DAFTAR PUSTAKA ...60

LAMPIRAN ...64


(5)

Nomor Halaman

1. Zona-zona fauna laut dalam ...3

2. Karakteristik lingkungan laut (daerah beriklim sedang dan tropika) ...4

3. Kandungan proksimat beberapa ikan laut dalam di New Zealand ...10

4. Kategori toksisitas bahan ...18

5. Panjang ikan dan tingkat kedalaman beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa ...33

6. Hasil uji organoleptik beberapa ikan laut dalam perairan selatan Jawa ...34

7. Hasil rata-rata uji organoleptik beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa ...34

8. Hasil analisis proksimat dari beberapa ikan laut dalam di perairan selatan Jawa ... ...35

9. Komposisi gizi beberapa ikan pelagis dalam 100 g BDD ... 38

10. Karakteristik zona epipelagis dan mesopelagis ...39

11. Tipe-tipe ikan berdasarkan kandungan protein dan lemaknya ...40

12. Tipe-tipe beberapa ikan laut dalam berdasarkan kandungan protein dan lemaknya ...40

13. Hasil Analisis asam amino dari beberapa ikan laut dalam selatan Jawa ...42

14. Rendemen hasil ekstraksi daging beberapa ikan laut dalam ...47

15. Diameter hambatan yang terbentuk pada uji aktivitas antibakteri ...48

16. Hasil uji toksisitas terhadap Artemia salina dengan ekstrak kasar daging ikan laut dalam pada pelarut metanol ...53


(6)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bakteri Eschericiha coli ...14

2. Bakteri Staphylococcus aureus ...15

3. Beberapa ikan laut dalam perairan selatan Jawa ...20

4. Diagram alir proses ekstraksi senyawa bioaktif daging ikan laut dalam ...27

5. Diagram alir proses penentuan aktifitas antibakteri pada berbagai ekstrak daging ikan laut dalam ...29

6. Diagram alir uji toksisitas dengan Artemia salina ...31

7. Diagram batang kadar protein ikan laut dalam di perairan selatan Jawa ...36

8. Diagram batang kadar lemak ikan laut dalam di perairan selatan Jawa ...36

9. Diagram batang kadar abu ikan laut dalam di perairan selatan Jawa ...36

10. Diagram batang kadar air ikan laut dalam di periran selatan Jawa ...37

11. Diagram batang asam amino pada ikan famili Nomeidae ...43

12. Diagram batang asam amino pada ikan Hydrolagus sp ...43

13. Diagram batang asam amino ikan famili Ophidiidae ...43

14. Diagram batang asam amino ikan Parascolopsisi sp ...44

15. Diagram batang asam amino ikan famili Perechthydae ...44

16. Diagram batang asam amino ikan (belum teridentifikasi) ...44

17. Diagram batang asam amino ikan Tuna ...45

18. Aktivitas antibakteri ekstrak kasar daging beberapa ikan laut dalam dari perairan selatan Jawa bakteri Staphylococcus aureus ...49

19. Aktivitas antibakteri ekstrak kasar daging beberapa ikan laut dalam dari perairan selatan Jawa bakteri Escherichia coli ...49

20. Grafik kematian Artemia salina pada ekstraksi daging ikan Nomeidae pada pelarut metanol ...53

21. Grafik kematian Artemia salina pada ekstraksi daging ikan Pereichthydae pada pelarut metanol ...54

22. Grafik kematian Artemia salina pada ekstraksi daging ikan Hydrolagus sp. pada pelarut metanol ...55

23. Grafik kematian Artemia salina pada ekstraksi daging ikan Ophididae pada pelarut metanol ...55

24. Grafik kematian Artemia salina pada ekstraksi daging ikan (belum teridentifikasi) pada pelarut metanol ...56