Kondisi tutupan lahan Hutan Lahan Kering

Gambar 23 Perubahan luas lahan perkebunan kelapa sawit Tahun 2006 – 2011 2,855.75 3,364.81 7,051.75 10,116.02 10,960.38 11,033.09 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Lu as L ah an h a Sistem Penguasaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Tingkat ketergantungan penduduk di areal perkebunan kelapa sawit terhadap lahan cukup tinggi. Secara umum rata-rata penguasaan lahan pertanianperkebunan per rumah tangga petani adalah seluas 2 haRT rumah tangga. Di beberapa kecamatan, rata-rata lahan per keluarga petani cukup luas, mencapai 3 sampai 8 haRT. Beberapa kelompok masyarakat yang menganggap tanah sebagai aset ekonomi yang penting memiliki lahan lebih dari 10 hektar. Beberapa kelompok masyarakat yang motivasi ekonominya rendah, hanya memiliki lahan 1 hektar per RT. Kelompok masyarakat yang memiliki motivasi ekonomi rendah meskipun hanya memiliki lahan sempit, tetapi mempunyai perilaku yang cukup memprihatinkan berkaitan pelestarian sumberdaya lahan, karena mempunyai kebiasaan menjual tanah kepada pihak lain dan kemudian membuka lahan yang baru lagi dalam kawasan hutan. Bagi mereka yang memiliki modal besar, juga melakukan sistem usaha bagi tanah yaitu dengan menyuruh orang lain untuk mengusahakan lahan mereka, setelah berhasil pekerja tersebut mendapatkan hibah lahan perkebunan. Dengan demikian, perlu adanya pengaturan penguasaan lahan sehingga kawasan hutan tidak menjadi sasaran perambahan dan pembukaan lahan tanpa kendali yang pada akhirnya akan mengakibatkan rendahnya mutu sumberdaya alam dan lingkungan. Status kepemilikanpengusahaan lahan terdiri dari tanah hak milik dengan bukti pemilikan berupa surat segel dari aparat desa. Sesuai dengan ketentuan adat setempat setiap individu boleh mengerjakan sebagian dari lahan yang luas yang dikuasai oleh suatu kelompok masyarakat tertentu dengan syarat harus mendapat izin dari kepala adat dan kepala desa. Saat lahan tersebut digarap oleh individu, maka statusnya berada dibawah kekuasaan individu yang memanfaatkannya. Proses penguasaan lahan dimulai dengan pembukaan hutan untuk areal perladangan yang biasanya dekat atau berada sepanjang jalan Hak Pengelolaan Hutan HPH dan aliran sungai. Kecenderungan pola penguasaan lahan di perkebunan kelapa sawit mengikuti pola kecenderungan sub DAS. Areal perladangan ditanam dengan jenis tanaman budidaya seperti padi ladang, singkong, jagung, sayuran dan buah-buahan. Dalam kegiatan perladangan, sebagian besar masyarakat masih melakukannya dengan 58 Gambar 24 Lahan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Wiwirano Provinsi Sulawesi Tenggara cara tradisional yakni tebang, tebas, tanam dan panen. Lahan yang telah ditanami dua sampai tiga kali, kesuburannya sudah menurun sehingga tidak bisa lagi ditanami tanaman pangan. Biasanya lahan tersebut ditanami tanaman keras seperti karet, kelapa atau buah-buahan seperti durian, cempedak, mangga dan lain-lain, sebelum areal tersebut ditinggalkan dan areal menjadi milik penggarap. Pada kondisi saat ini, hampir semua areal sudah ada yang menguasaimemiliki, maka proses penguasaan lahan tidak bisa lagi dengan cara pembukaan hutan. Proses penguasaan lahan adalah dengan cara membeli dari pemilik yang menguasai lahan tersebut. Proses penguasaan juga bisa melalui warisan dari orang tua atau keluarga mereka. Karakteristik Fisik Hidrologi dan Tanah pada Areal Perkebunan Kelapa Sawit Karakteristik Hidrologi Proses hidrologi suatu DAS secara sederhana digambarkan dengan adanya hubungan antara unsur masukan yakni hujan, proses dan keluaran yaitu berupa aliran. Adanya hujan tertentu akan menghasilkan aliran tertentu pula. Aliran ini dipengaruhi oleh karakteristik DAS meliputi topografi, geologi, tanah, penutup lahanvegetasi, dan pengelolaan lahan serta morfometri DAS. Volume air yang tersedia di sungai lebih sulit diperkirakan dibanding dengan yang tersedia di danau. Dalam perkiraan volume air, selain panjang, dibutuhkan pula informasi rata-rata lebar dan kedalaman untuk setiap sungai dan jumlah dari perkiraan air untuk semua sungai Chang, 2006. Kabupaten Konawe Utara dialiri oleh Daerah Aliran Sungai Lasolo-Sampara. Satuan sungai yang berada di Kabupaten Konawe Utara yaitu yang terdiri dari Sungai Lasolo, Sungai Landawe, Sungai Langgikima, dan Sungai Lalindu. Keempat sungai tersebut bermuara pada kawasan hilir Sungai Lasolo Kecamatan Molawe. Sungai utama yang ada di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Wiwirano adalah Sungai Lalindu. Debit aliran DAS Lalindu sebesar 2,64 m 3 dtk. Observasi lapangan menunjukkan bahwa kondisi sempadan sungai di wilayah tersebut lebih terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan lahan banyak terjadi di sekitar sungai. DAS Lalindu dipergunakan oleh penduduk setempat untuk keperluan mandi dan cuci, sarana transportasi serta untuk mengairi sawah. Lahan perkebunan kelapa sawit di DAS Lalindu, dan salah satu kegiatan transportasi pada DAS tersebut disajikan pada Gambar 23 dan Gambar 24. Gambar 25 Salah satu fungsi DAS Lalindu sebagai sarana transportasi Karakteristik Tanah Tekstur tanah adalah perbandingan antara fraksi-fraksi tanah seperti pasir, debu dan liat. Tekstur tanah menentukan keadaan aerasi tanah. Tekstur tanah yang baik berarti keseimbangan antara bahan penyusun tanah, dalam arti keadaan aerasi tanah yang baik, sehingga memungkinkan pertumbuhan akar tanaman dan kehidupan jasad renik di dalam tanah lebih baik. Untuk lokasi penelitian tekstur tanah terdiri dari lempung berdebu, liat dan liat berdebu. Kedalaman efektif tanah menentukan jauhnyadalamnya jangkauan akar suatu tanaman. Kesempatan akar tanaman untuk menyerap unsur-unsur hara yang tersedia dalam tanah dapat dilihat dari kedalaman efektif tanah. Makin dalam batas kedalaman efektif tanah, kemampuan pertumbuhan tanaman yang tumbuh di atasnya akan lebih baik. Kedalaman efektif tanah pada lokasi penelitian berkisar antara 120-200 cm atau kedalaman efektif tanah lebih dari 50 cm. Kondisi tanah demikian layak dikembangkan untuk kegiatan budidaya. Jenis-jenis tanah yang ditemui pada lokasi penelitian adalah: Anionic Acrudox, Typic Haplohumults dan Fluventic Eutrudepts dengan karakter seperti disajikan pada Tabel 12 dan Lampiran 6. Oxisol merupakan ordo dari Anionic Acrudox dengan subordo udox. Oxisol memiliki horizon oksik. Anionic Acrudox adalah acrudox yang mempunyai delta pH pH KCl-pH H 2 O 1:1 dengan muatan neto nol atau positif, pada lapisan 18 cm atau lebih di dalam 125 cm dari permukaan tanah mineral. Acrudox merupakan udox yang pada satu subhorizon atau lebih dari horizon oksik atau kandik di dalam 150 cm dari permukaan tanah mineral, mempunyai KTK-efektif sebesar kurang dari 1,5 cmol wkg liat dan nilai pH dalam KCl 1N 5 atau lebih. Ordo dari Typic Haplohumults adalah ultisol yang memiliki horizon argilik atau kandik dan kejenuhan basa berdasarkan jumlah kation sebesar kurang dari 35. Subordonya yaitu Humults yang mempunyai karbon organik sebesar 0,9 persen berdasarkan rata-rata tertimbang atau lebih di dalam 15 cm bagian atas horizon argilikkandik atau mempunyai karbon organik sebesar 12 kgm 2 atau lebih di antara permukaan tanah mineral dan kedalaman 100 cm. Haplohumults adalah humults yang lain. 60 Ordo dari Fluventic Eutrudepts adalah inseptisol dan subordonya adalah udept. Eutrudepts memiliki ciri-ciri karbonat bebas di dalam tanah atau kejenuhan basa sebesar 60 atau lebih pada satu horizon atau lebih diantara kedalaman 25 cm dan 75 cm dari permukaan tanah. Berbagai jenis tanah memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda, bahkan satu jenis tanah yang sama dengan lokasi berbeda dapat menyebabkan sifat tanah menjadi berbeda pula. Gerakan dan aliran air dalam tanah dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran ruang pori tanah serta arah aliran air yang mengalir di dalam tanah. Tjiptasmara et al. 2004 mengemukakan bahan distribusi ukuran zarah tanah merupakan sifat dasar yang sangat penting, karena dapat menentukan jumlah dan distribusi, ukuran pori tanah, sehingga akan menentukan kemampuan menahan dan mengalirkan air. Jenis tanah dikombinasikan dengan pengelolaan sangat menentukan produktivitas lahan pada lokasi penelitian. Pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik tanah meliputi bibit, pemeliharaan, panen dan penanganan pasca panen bisa meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan. Hal ini berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan sumberdaya manusia petani. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui bimbingan dan pelatihan oleh pihak terkait menjadi kunci utama untuk mencapai kondisi perkebunan kelapa sawit yang optimal. Tabel 12 Karakteristik jenis-jenis tanah di areal perkebunan kelapa sawit dan sekitarnya Jenis Tanah Kelerengan Tutupan lahan Kedalaman cm pH Tekstur Kelas Tekstur Tanah USDA Bahan organik H 2 O KCl Pasir Debu Liat C Organik N Total CN Anionic Acrudox 30 Hutan 0-15 4,9 4,8 22 57 21 Lempung berdebu 4,24 0,32 13 15-65 5,8 5,6 24 41 35 Lempung berdebu 1,58 0,18 9 65-115 5,8 5,0 13 44 43 Liat berdebu 0,86 0,08 11 115-200 5,8 5,0 14 40 46 Liat 0,54 0,05 11 Fluventic Eutrudepts 15 Alang-alang 0-15 5,9 5,2 13 34 53 Liat 2,68 0,20 13 15-55 6,2 5,8 10 34 56 Liat 1,06 0,12 9 55-95 6,4 6,0 7 31 62 Liat 0,83 0,11 8 95-120 5,5 5,1 6 22 60 Liat 0,57 0,07 8 Anionic Acrudox 15 Perkebunan Kelapa Sawit 0-20 6,1 5,6 6 54 40 Liat berdebu 3,10 0,33 9 20-55 6,3 5,6 6 36 58 Liat 1,18 0,15 8 55-90 6,1 5,4 14 37 49 Liat 0,76 0,09 8 90-120 6,8 6,4 11 39 50 Liat 0,85 0,10 9 120-170 6,0 5,6 10 34 48 Liat 0,57 0,07 8 Typic Haplohumults 6 Perkebunan Kelapa Sawit 0-10 5,1 4,1 17 36 47 Liat 3,33 0,29 11 10-55 4,9 4,2 13 31 56 Liat 1,21 0,10 12 55-80 4,9 4,2 12 18 70 Liat 0,57 0,07 8 8-120 4,9 4,1 6 22 72 Liat 0,38 0,05 8 Sumber : PT. Damai Jaya Lestari 2011. Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat pada sub DAS Lalindu

1. Penduduk

Struktur penduduk berdasarkan kelompok umur di Kecamatan Wiwirano menunjukkan bahwa struktur umur penduduk yang lebih muda lebih besar dari penduduk yang lebih tua. Struktur penduduk berdasarkan kelompok umur di Kecamatan Wiwirano, Tahun 2010 disajikan pada Tabel 13. 1. Ekonomi a. Mata Pencaharian Penduduk Untuk melihat komposisi mata pencaharian penduduk di Kecamatan Wiwirano dilakukan dengan pencatatan data sekunder melalui data Kantor Camat Wiwirano dan data primer melalui wawancara langsung dengan responden di kecamatan tersebut. Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Wiwirano berdasarkan kepala keluarga disajikan pada Tabel 14. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebagian besar penduduk di Kecamatan Wiwirano berprofesi sebagai petani sekaligus perambah hutan dengan persentase 77 dan PNSTNIPolri 6,42, sedangkan yang lainnya adalah nelayan dengan persentase 11,51 dan wiraswasta dengan persentase 4,98 . b. Tingkat Pendapatan Masyarakat Hasil wawancara terhadap responden yang berada di lokasi perkebunan kelapa sawit menunjukkan bahwa penghasilan penduduk rata-rata perbulannya berkisar antara Rp. 200.000,- sampai dengan Rp. 1.500.000,- KKbulan. Tingkat pendapatan masyarakat di lokasi perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Wiwirano disajikan pada Tabel 13 Struktur penduduk berdasarkan kelompok umur di Kecamatan Wiwirano, Tahun 2010. No Kelompok Umur thn Laki-laki Perempuan Jumlah 1 – 14 2.161 1.865 4.026 58 2 15 – 64 1.431 1.259 2.690 38,8 3 65 – keatas 120 101 221 3,2 Jumlah 3.712 3.225 6.937 100 Sumber : Kantor Kecamatan Wiwirano, 2011 Tabel 14 Mata pencaharian penduduk berdasarkan pekerjaan No. Pekerjaan Kepala Keluarga 1 2 3 4 Nelayan Taniperambah PNSTNIPolri Wiraswasta 312 2.090 174 135 11,51 77,09 6,42 4,98 Total 2.711 100 Sumber : Kantor Camat Wiwirano, 2011 dan Hasil Analisis, 2011 Tabel 15. Dari tabel tersebut nampak bahwa pendapatan dibawah Rp. 1.000.000,- cukup banyak dibandingkan dengan mereka yang rata-rata pendapatannya diatas Rp. 1.000.000,-. Hal ini disebabkan oleh sumber pendapatan hanya dari hasil kebunperkebunan secara tradisional ataupun sebagai nelayan tradisional atau melakukan perambahan dengan hasil yang tidak menentu. Pendapatan diatas upah minimum regional UMR atau diatas Rp. 1.000.000,- umumnya hanya terjadi pada masyarakat pedagang, pegawai serta wiraswasta. Pendapatan masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit dengan hadirnya perusahaan-perusahaan perkebunan diprediksi akan mengalami peningkatan. Kenaikan pendapatan ini akan diperoleh melalui kesempatan menjadi karyawan, terbukanya peluang berusaha dan ganti rugi atas hak milik masyarakat yang terkena kegiatan perkebunan tersebut. c. Jenis dan Jumlah Aktivitas Ekonomi Non Formal Pengembangan industri hilir kelapa sawit akan menciptakan multiplier effect ekonomi untuk sektor angkutan, perdagangan, hotel dan restoran, serta peningkatan sumber pendapatan daerah dari sektor industri. Jenis dan jumlah aktivitas non formal disajikan pada Tabel 16. Aktivitas non formal yang dimaksudkan adalah aktivitas ekonomi sampingan selain pekerjaan utamapokok. Terlihat bahwa ekonomi non formal di lokasi penelitian didominasi oleh pedagang warung dan jasa transportasi ojek. d. Pusat Pertumbuhan Ekonomi Kegiatan ekonomi masyarakat saat ini berpusat di Andowia ibukota Wiwirano. Wilayah ini merupakan daerah yang sudah cukup maju dengan pendapatan dan tingkat kehidupan yang cukup baik. Hal ini ditunjang oleh berbagai sarana dan prasarana seperti pasar, koperasi, bengkel dan industri kecil. Sementara desa-desa lainnya tumbuh secara alami. Tabel 15 Tingkat pendapatan masyarakat di lokasi perkebunan kelapa sawit Pendapatan Rp Jumlah 300.000,- 300.000,- sampai 1.000.000,- 1.000.000,- 6 26 18 15 46 39 Total 50 100 Sumber: Hasil Analisis, 2011 Tabel 16 Jenis dan jumlah aktivitas non formal Jenis aktivitas non formal Jumlah Pedagang buah musiman 10 Pertukangan tukang kayubatu 8 Warung makanankios 125 Jasa transportasi sepeda motor ojek 50 Total 193 Sumber: Hasil Analisis, 2011 64

2. Sosial Budaya a. Etnisitas dan Sejarah Masyarakat

Masyarakat Wiwirano pada awalnya adalah penduduk yang bermukim di daerah-daerah hulu Sungai Lalindu. Dilihat dari segi etnisitas, kelompok-kelompok masyarakat tersebut termasuk dalam keluarga besar Suku Tolaki, yaitu penduduk asli jazirah tenggara Pulau Sulawesi. Selain itu, terdapat pula kelompok masyarakat di antaranya yang menamakan dirinya sebagai orang Culambacu yang bermukim di Desa Tetewatu yang dianggap sebagai salah satu sub etnik orang Tolaki. Orang Tolaki yang berada di bagian utara bekas Kerajaan Mekongga dan Kerajaan Konawe menamakan dirinya sebagai To Laiwoi sama halnya dengan sebutan bagi mereka yang bermukim di daerah sekitar pusat kedua kerajaan tersebut sebagai orang Mekongga dan orang Konawe. b. Interaksi Sosial Bahasa. Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat di Kecamatan Wiwirano menggunakan bahasa daerah yakni bahasa Tolaki, bahasa Culambacu, dan bahasa Indonesia serta beberapa bahasa etnik lainnya. Bahasa Tolaki dan bahasa Culambacu dipergunakan dalam berbagai aktifitas masyarakat baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan umum. Sedangkan bahasa Indonesia hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang luar atau tempat-tempat tertentu seperti di sekolah, mesjid, dan dalam kegiatan pemerintahan. Transformasi Sosial . Orang Tolaki di Wiwirano sebagaimana halnya dengan orang Tolaki lainnya telah mengalami proses transformasi dan perubahan sosial budaya. Menurut Li et al. 2006, proses itu terjadi seiring dengan perkembangan dunia secara global yang memungkinkan hubungan antara daerah-daerah pedalaman dengan daerah- daerah maju saling berinteraksi satu-sama lain. Proses transformasi dan perubahan sosial budaya di Wiwirano terjadi semakin intensif, karena: 1 Dibukanya jalan trans Sulawesi yang menghubungkan antara daerah kota dan daerah-daerah lainnya dengan Kecamatan Wiwirano; 2 Ekspansi usaha perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit oleh PTPN XIV; 3 Ekspansi usaha HPH PT. Intisixta; 4 Semakin banyak kalangan terpelajar yang mengenyam pendidikan di daerah ini, khususnya yang bersekolah di Kota Kendari; dan 5 Transmigrasi Jawa di Hialu dan sebagian migran Bugis yang datang. Proses transformasi dan perubahan sosial budaya tersebut terjadi dan nampak dalam wujud bahasa, mata pencaharian, sistem teknologi, organisasi sosial, sistem kosmologi dan keagamaan, dan kesenian. Konflik dan Dinamika Sosial. Potensi konflik yang terdapat di Kabupaten Konawe ataupun di Kecamatan Wiwirano meliputi konflik etnik antara penduduk asli dan pendatang dan konflik lahan dan sumberdaya antara penduduk pendatang, dunia usaha, penduduk asli, dan pemerintah. Keberadaan penduduk pendatang baik sebagai migran yakni orang Bugis maupun sebagai transmigran yakni orang Jawa dan Bali mulai menjadi masalah tersendiri bagi penduduk asli. Banyaknya migran di Kabupaten Konawe dan juga di Kecamatan Wiwirano telah menyebabkan perebutan sumberdaya semakin meningkat. Dalam banyak kasus, penduduk asli kalah bersaing dengan penduduk migran, baik secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, penduduk migran memiliki modal yang relatif cukup untuk membeli tanah, membeli usaha dagang, dan dengan modal relatif cukup itu pula mereka mampu mempengaruhi kebijakan di pemerintahan. Sementara itu, penduduk transmigran dengan beberapa fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka berupa tanah pemukiman dan tanah perkebunan telah menimbulkan kecemburuan tersendiri di kalangan penduduk asli. Di saat penduduk transmigran mendapatkan berbagai insentif dari pemerintah secara bersamaan penduduk asli harus kehilangan hak-hak atas tanah adatnya yang diperuntukkan bagi penduduk transmigran tersebut. Selain akibat kekalahan dalam segi ekonomi dan politik di atas, keberadaan penduduk asli semakin dipersulit dengan mentalitas ekonomi pedesaan yang masih sangat kuat melekat dikalangan penduduk asli yakni pola hidup subsisten, mencari dan berusaha memenuhi hanya untuk kebutuhan makan hari ini saja. Konflik lahan dan sumberdaya baik antar penduduk pendatang dan penduduk asli maupun antar penduduk asli dengan dunia usaha dan pemerintah juga telah menjadi persoalan tersendiri di Kabupaten Konawe, termasuk di Kecamatan Wiwirano. Konflik antar penduduk asli dan penduduk pendatang banyak dipicu akibat ulah sebagian penduduk pendatang yang sering mengklaim tanah-tanah penduduk asli yang keadaannya kosong. Selain itu pula konflik tersebut diakibatkan proses jual beli yang tidak tuntas, seperti pengukuran luas batas dan bukti-bukti administrasi jual beli yang tidak memadai. Konflik antar dunia usaha dan pemerintah dan penduduk asli lebih banyak disebabkan oleh penegasan hak-hak penduduk asli atas sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pemerintah dalam memberikan lahan konsesi kepada suatu perusahan tertentu seringkali tidak menghiraukan bahwa kawasan itu adalah kawasan yang bertuan. Bahkan seringkali tanah-tanah pertanian dan perkebunan masyarakat yang nyata-nyata sedang diusahakan oleh penduduk asli dikuasai begitu saja.

3. Pola Ketergantungan terhadap Sumberdaya Alam a. Berkebun

Sebagai makanan tambahan selain beras, orang Tolaki di Kecamatan Wiwirano juga menanam sagu. Sagu ditanam pada tanah-tanah berlumpur di pinggir-pinggir sungai dan rawa. Tanaman jangka panjang lainnya, seperti: kelapa, mangga, durian, langsat, kopi, pinang, dan lain-lain ditanam pada pada halaman rumah. Penanamannya tidak dilakukan pada areal tersendiri untuk tiap jenis tanaman tetapi ditanam bercampur secara berselang seling. Pemeliharaan tanaman ini tidak dilakukan secara terus menerus tetapi bila hanya ada kesempatan sisa waktu bekerja di ladang sehingga kurang produktif dalam segi ekonomi. Buah kelapa hanya diproses sampai menjadi minyak goreng atau kopra. Durian, langsat dan mangga hanya dijual ke pasar. Pinang hanya sebagai bahan untuk makan sirih dan batangnya dijadikan lantai rumah. b. Berburu dan Beternak Berburu dan beternak merupakan suatu bentuk mata pencaharian sampingan orang Tolaki di Kecamatan Wiwirano. Mereka beternak kerbau, kambing dan ayam, dan menangkap ikan di rawa-rawa dan sungai, berburu rusa, dan anoa serta menangkap unggas seperti ayam hutan dan berjenis-jenis burung yang dapat dimakan. Kuda dipelihara untuk angkutan dan sebagai kuda tunggangan, juga dipergunakan untuk berburu rusa. Anjing dipelihara semata-mata untuk berburu. Ternak besar dan kecil yang ada di Kabupaten Konawe Utara meliputi sapi, kerbau, kuda, kambing dan babi. Pada tahun 2009 ternak sapi masih menduduki peringkat pertama kemudian diikuti oleh ternak kambing, yang nilainya masing-masing