Suhu udara dan ketinggian tempat. Secara umum kelapa sawit membutuhkan suhu
3. Secara sosial tidak mengganggu kondisi sosial yang sudah ada seperti kearifan lokal, adat istiadat dan budaya setempat
4. Secara ekologi tidak menimbulkan kerusakan lingkungan hidup setempat berupa penurunan kualitas lahan, air dan udara, pengurangan biodiversitas dan plasma
nutfah lokal. Dari semua konsep keberlanjutan tersebut nampak bahwa aspek pengelolaan pada
proses produksi masih dominan dibandingkan dengan pengelolaan pasca panen. Hal ini disebabkan oleh kontribusi terhadap dampak kepada lingkungan, ekonomi dan sosial
didominasi oleh proses produksi, yang sejalan dengan luasnya areal produksi, banyaknya petani dan tenaga kerja yang dioperasikan dibandingkan dengan pengolahan
pasca panen. Dengan demikian, usaha peningkatan efisiensi penggunaan sarana produksi, tenaga kerja dan mitigasi polusi terhadap lingkungan pada proses produksi
akan berimbas jauh lebih besar dibandingkan pengolahan pasca panen Ng 2005. Untuk kasus di Indonesia, dimana kebun kelapa sawit sudah luas dan akan terus
ditingkatkan untuk masa mendatang maka aspek produksi ini menjadi semakin penting untuk dikelola dengan lebih profesional sesuai dengan konsep dari RSPO tersebut.
Interaksi semua kegiatan tersebut akan mampu mendukung tercapainya perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang menurut Reijntjes et al. 2005 dicirikan
oleh: 1. Mantap secara ekologis: pola yang dianjurkan mampu memelihara kualitas
lingkungan dan kemampuan agro-ekosistem secara keseluruhan, dan manusia, hewan, tanaman, sampai ke organisme tanah dan air bisa ditingkatkan.
2. Bisa berlanjut secara ekonomis, kebutuhan petani bisa tercukupi dari hasil usahatani kelapa sawit meliputi kebutuhan petani sendiri dan pengembalian
tenaga dan biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan kelapa sawit. 3. Mantap secara sosial yang meliputi : a Adil, bahwa semua sumberdaya dan
kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga semua kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi serta hak-hak mereka dalam penggunaan
lahan, modal, bantuan teknis dan peluang pemasaran terjamin; b Manusiawi, semua bentuk kehidupan dasar semua makhluk dihargai, dihormati, dan
hubungan institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar seperti : kearifan lokal, kepercayaan, kejujuran, kerjasama dan lain-lain; dan c Luwes,
kondisi dimana masyarakat desa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang terus berlangsung, misalnya : pertambahan penduduk,
kebijakan pemerintah, dan permintaan pasar.
Indonesian Sustainable Palm Oil System ISPO
Indonesian Sustainable Palm Oil System ISPO adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian. Tujuan
kebijakan ini adalah untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia, ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik
Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan.
Peraturan ini diharapkan menjadi jawaban atas keraguan pasar dunia atas produk kelapa sawit Indonesia, bahwa produk kelapa sawit Indonesia juga memperhatikan
kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup sebagaimana dapat dilihat dalam Prinsip dan Kriteria ISPO. Berbeda dengan RSPO Roundtable Sustainable Palm Oil yang
sudah terlebih dahulu ada, ISPO merupakan mandatory kewajiban yang harus
18
dijalankan oleh pelaku usaha perkebunan. Untuk menjadi perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, harus memenuhi 7 tujuh prinsip dan kriteria yang tercantum dalam
ISPO. Misalnya, memenuhi sistem perizinan dan manajemen perkebunan hingga tanggung jawab sosial dan komunitas, pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat,
dan peningkatan usaha secara berkelanjutan. Menurut Suharto 2012, bagi perkebunan besar, tidak sulit untuk menerapkan sertifikasi ISPO, namun bagi petani plasma,
kemungkinan agak sulit untuk menerapkannya. Karena itu perlu dilakukan kerjasama antara petani plasma melalui koperasi KUD dengan perusahaan perkebunan dan
lembaga pendukung lainnya sebagai mitra untuk membantu petani plasma dalam mengimplementasikan ISPO. Kerjasama ini bisa diwujudkan dalam pemberdayaan
organisasi petani yang efektif dan efisien.
Pelaksanaan ISPO akan dilakukan dengan memegang teguh prinsip pembinaan dan advokasi serta bimbingan kepada perkebunan kelapa sawit yang merupakan tugas
pemerintah. Oleh karena itu tahap pertama dari pelaksanaan sertifikasi ISPO adalah klasifikasi. Klasifikasi ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian 07 Tahun 2009
tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan sedangkan sertifikasi merupakan tuntutan perdagangan internasional yang dilaksanakan sesuai ketentuan internasional
yang antara lain memenuhi kaedah International Standard Organization ISO. Kementerian Pertanian akan melaksanakan penilaian untuk sertifikasi ISPO secara
transparan dan independen. Persyaratan dari ISPO disajikan pada Lampiran 2. Adapun perbedaan antara RSPO dan ISPO disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Perbedaan RSPO dan ISPO
RSPO ISPO
Standar yang disusun oleh asosiasi nirlaba pemangku kepentingan terkait kelapa sawit atas desakan
konsumen Uni Eropa. Di luar Uni Eropa, belum ada tuntutan konsumen untuk menerapkan sustainability
seperti RSPO. Standar yang mengacu pada Peraturan Menteri
Pertanian Republik Indonesia No.19Permentan OT.14032011 tanggal 29 Maret 2011 yang
diterbitkan dalam
rangka pemenuhan
sustainability sebagai amanah UUD 1945. RSPO bersifat voluntarily sukarela, sehingga
kurang kuat penegakannya enforcement, dan tidak berbasis peraturan pemerintah .
ISPO adalah mandatory wajib bagi seluruh perusahaan
kelapa sawit
di Indonesia·
Penegakannya kuat enforcement , karena didasarkan atas peraturan dan ketentuan
Pemerintah . Seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia wajib menaati ketentuan ISPO mulai dari hulu kebun hingga hilir pengolahan
hasil paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014
Tidak ada prasyarat bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk sertifikasi RSPO.
Ada prasyarat yakni penilaian usaha perkebunan Kelas I, Kelas II, dan Kelas III hanya yang
dapat mengajukan permohonan sertifikasi ISPO. RSPO memiliki 8 prinsip, 39 kriteria dan 139
indikator 65 indikator mayor dan 74 indikator minor.
ISPO memiliki 7 prinsip, 41 kriteria dan 126 indikator. Tidak ada indikator mayor dan minor,
karena seluruh indikator merupakan hal hal yang diminta oleh peraturan perundangan yang
berlaku di Indonesia, sehingga bersifat wajib dipenuhi.
Sumber: http:sawit-indonesia.comindex.php
HCV = High Conservation Value atau Nilai Konservasi Tinggi
Konsep HCV saat ini sering disebut sebagai „pendekatan HCV‟ atau “proses HCV” HCV = High Conservation Value atau Nilai Konservasi Tinggi untuk
mencerminkan pemakaian istilah ini dalam bidang-bidang diluar bidang kehutanan Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia 2008. Salah satu prinsip dasar dari konsep
HCV adalah bahwa wilayah-wilayah dimana dijumpai atribut yang mempunyai nilai konservasi tinggi tidak selalu harus menjadi daerah dimana pembangunan tidak boleh
dilakukan. Sebaliknya, konsep HCV mensyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan danatau peningkatan HCV tersebut. Dalam
hal ini, pendekatan HCV berupaya membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka
panjang.
Meski konsep HCV pada awalnya didisain dan diaplikasikan untuk pengelolaan huta
n produksi „areal HPH‟ dalam istilah Bahasa Indonesia, dengan cepat konsep ini menjadi populer dan digunakan dalam berbagai konteks yang lain. Di sektor publik,
HCV digunakan dalam perencanaan pada tingkat nasional dan propinsi, antara lain di negara-negara seperti Bolivia, Bulgaria dan Indonesia. Di sektor sumberdaya terbaharui,
HCV digunakan sebagai alat perencanaan untuk meminimalisasi dampak-dampak ekologi dan sosial yang negatif dalam pembangunan perkebunan. Sebagai contoh,
kriteria kelapa sawit yang terbaru yang digunakan oleh organisasi multipihak Roundtable on Sustainable Palm Oil RSPO mensyaratkan bahwa untuk mendapatkan
sertifikasi pengelolaan yang keberlanjutan dari RSPO, pembangunan perkebunan baru harus menghindari konversi kawasan yang diperlukan untuk mengelola HCV yang ada.
Menurut Muhtaman 2011, areal-areal yang terdapat di dalam kawasan perkebunan kelapa sawit HGU yang perlu dicadangkan danatau dipertahankan serta dikelola
untuk melindungi fungsi-fungsi produksi, ekologi, sosial budaya. Konsep HCV bahkan telah memperoleh kekuatan di sektor keuangan, dengan banyaknya pemberi
pinjaman dana komersil yang mensyaratkan penilaian HCV sebagai bagian dari kewajiban peminjam dalam evaluasi pinjaman kepada sektor-sektor yang memiliki
riwayat dampak-dampak negatif pada lingkungan hidup dan komunitas-komunitas lokal.
Dengan demikian konsep HCV yang berawal sebagai alat untuk meningkatkan keberlanjutan produksi kayu dengan memperhatikan aspek-aspek sosial, budaya dan
keanekaragaman hayati telah berkembang menjadi konsep yang memiliki implikasi luas bagi masyarakat. Di sektor swasta, penggunaan konsep HCV menunjukkan komitmen
perusahaan untuk melakukan praktek terbaik best practice yang seringkali melebihi apa yang disyaratkan oleh peraturan atau undang-undang, dan sekaligus memberikan
jalan bagi perusahaan untuk menunjukan diri sebagai warga dunia usaha swasta yang bertanggung-jawab. Di sektor pemerintahan HCV merupakan alat yang dapat digunakan
untuk mencapai perencanaan tata guna lahan yang menjaga keberlanjutan fungsí dan manfaat biologi, sosial, dan ekologis yang tidak terpisahkan berada pada alam. Di sektor
keuangan, penilaian HCV merupakan cara yang memungkinkan pihak penanam modal komersil yang progresif untuk menghindari praktek pemberian pinjaman yang
mendukung perusakan lingkungan hidup ataupun ketimpangan sosial ekonomi. Keragaman kegunaan HCV ini melukiskan betapa luwesnya konsep ini yang menjadi
ciri kunci popularitasnya Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia 2008.
20
Gambar 4 Beberapa bentuk daerah aliran sungai Browne 1999
Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai yang biasa disingkat dengan DAS dalam beberapa literatur menggunakan istilah yang berbeda dan arti yang sama, diantaranya menggunakan
istilah: watershed, river basin, catchment atau drainage basin. Istilah watershed biasanya dihubungkan dengan batas aliran, sedang istilah river basin, catchment atau
drainage basin dikaitkan dengan daerah aliran. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang
menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama Asdak 2007.
Chow et al. 1988, mengemukakan bahwa DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi dimana curah hujan merupakan input dari aliran sungai serta
evapotranspirasi adalah output sistem. Selanjutnya dikatakan bahwa DAS merupakan tempat terjadinya proses-proses yang berangkaian dan menjadi bagian dari siklus
hidrologi.
Dalam perkiraan volume air, selain panjang, dibutuhkan pula informasi rata-rata lebar dan kedalaman untuk setiap sungai dan jumlah dari perkiraan air untuk semua
sungai Chang 2006. Pada umumnya DAS kira-kira berbentuk seperti buah pir seperti pada Gambar 4a tetapi ketika keluaran DAS berubah-ubah sama sekali dari bentuk ini,
maka DAS perlu dibagi menjadi beberapa sub-area, seperti pada Gambar 4b.
Menurut Seyhan 1990 faktor utama di dalam DAS yang sangat mempengaruhi
ketersediaan sumberdaya air adalah: 1. Vegetasi, merupakan pelindung bagi permukaan bumi terhadap hempasan air
hujan, hembusan angin dan terikan sinar matahari. Fungsi utama dari vegetasi adalah melindungi tanah. Perlindungan ini berlangsung dengan cara: a
melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, b melindungi tanah dari daya merusak aliran air di atas permukaan tanah, dan c
memperbaiki kapasitas infiltrasi dan struktur tanah serta daya absorpsi atau daya simpan air.
2. Tanah, berfungsi sebagai media tumbuhnya vegetasi dan pengatur tata air. Peranan tanah dalam mengatur tata air tergantung pada tingkat kemampuan
tanah untuk meresapkan air yang dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah.
a b
Sumberdaya Air
Air merupakan sumberdaya yang sangat vital bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka suatu saat
air mungkin tidak dapat mencukupi kebutuhan manusia apabila tidak diupayakan cara untuk melestarikannya. Para ahli memprediksikan menjelang Tahun 2025 sekitar dua
pertiga penduduk dunia akan kekurangan air maka akan terjadi persaingan yang sangat ketat antar pengguna dalam pemanfaatan sumberdaya air Sutawan 2001.
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2004, Sumberdaya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Air adalah semua air yang terdapat pada,
di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Sumber air adalah
tempat atau wadah air alami danatau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Pengelolaan sumberdaya air adalah upaya merencanakan,
melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air, dan pengendalian daya rusak air.
Dalam konteks Indonesia dewasa ini, berbagai masalah terkait dengan sumberdaya air dapat diidentifikasi antara lain: adanya gejala krisis air, degradasi
sumberdaya air, konflik akibat persaingan antar pengguna air, menciutnya lahan beririgasi karena alih fungsi, kurang jelasnya ketentuan hak penguasaan air, lemahnya
koordinasi antar instansi dalam menangani sumberdaya air dan kelemahan kebijakan sumberdaya air Sutawan 2001. Masalah-masalah ini tentunya menuntut adanya opsi
kebijakan yang tepat sehingga pemanfaatan sumberdaya air bisa berkelanjutan.
Siklus Hidrologi
Secara alami, apabila tidak mengalami gangguan daur atau siklus, sumberdaya air dapat melalui perubahan bentuk, fasa dan distribusi secara berkesinambungan tanpa
terputus sehingga proses ini akan berulang secara pasti. Proses siklus tersebut suatu saat akan berinteraksi dengan bagian alam yang kondisinya dipengaruhi berbagai kegiatan
manusia, terutama bagian alam yang berada di permukaan bumi. Proses daur atau siklus air tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh dinamika manusia. Seluruh sumberdaya air
di muka bumi ini dengan berbagai awal mula fasa siklus air tidak dapat ditentukan secara pasti, hanya saja untuk mempermudah dalam memahami siklus tersebut dapat
dijelaskan pada Gambar 5.
Pada Gambar 5 terlihat bahwa satu-satunya sumber air yang masuk ke sistem DAS berasal dari presipitasi berbentuk air hujan, salju maupun titik-titik air. Hujan
yang turun ke bumi mengalami siklus dari daerah topografi tinggi seperti pegunungan menuju ke tempat yang lebih rendah hingga akhirnya bermuara ke laut. Air yang
mengalir di permukaan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah disebut aliran permukaan. Aliran permukaan akan terkumpul pada suatu jaringan sungai atau
terkumpul pada reservoir alami seperti danau ataupun cekungan air. Pada reservoir alami tersebut air tertahan untuk beberapa waktu dan umumnya digunakan manusia
untuk berbagai keperluan, misalnya irigasi, perikanan dan pembangkit listrik tenaga air. Sinar matahari mengubah air dari daratan dan lautan menjadi uap melalui proses
evaporasi, namun air yang menguap melalui tumbuhan disebut transpirasi. Gabungan penguapan dari tanah dan tumbuhan disebut evapotranspirasi. Uap air tersebut
mengalami kondensasi di atmosfir dan terkumpul menjadi awan hingga turun kembali
22
Gambar 5 Siklus hidrologi Sumber: Raharjo dan Saifudin 2009.
ke bumi dalam bentuk hujan, salju maupun embun. Selain menjadi aliran permukaan, air meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Di dalam tanah air akan mengalami
perkolasi dan berkontribusi pada aliran air tanah yang nantinya mengalir ke sungai sebagai base flow aliran dasar. Air sungai kemudian mengalir menuju outlet titik
keluar di muara sungai
Linsley dan Franzini 1991 .
Peristiwa-peristiwa alam tersebut terjadi terus menerus dan berulang membentuk suatu siklus hidrologi, dimana terbentuk prinsip keseimbangan air secara global di
bumi. Siklus tersebut merupakan siklus tertutup karena secara keseluruhan, jumlah fraksi air tanah dan air yang mengalir di permukaan sungai, run off dan danau serta
penguapan mengalami keseimbangan yang dinamis Kodoatie 1996.
Menurut Suyono 2006, dalam siklus hidrologi ini terdapat beberapa proses yang saling terkait, yaitu antara proses hujan presipitation, penguapan evaporation,
transpirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran limpasan run off, dan aliran bawah tanah. Penjabarannya sebagai berikut:
1. Presipitasi, merupakan curahan atau jatuhan air dari atmosfer ke permukaan bumi
dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di daerah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang.
2. Intersepsi air hujan. merupakan proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi di atas permukaan tanah, tertahan beberapa saat, untuk kemudian diuapkan
kembali ke atmosfer atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan. 3. Evaporasi, merupakan penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk
permukaan bukan vegetasi lainnya oleh proses fisika. 4. Transpirasi, merupakan penguapan air dari daun dan cabang tanaman melalui pori-
pori daun oleh proses fisiologi. 5. Evapotranspirasi, merupakan peristiwa evaporasi dan transpirasi dari permukaan
tanah yang terjadi secara bersamaan atau kebutuhan air consumptive use. Faktor-
faktor yang mempengaruhi evaporasi dan evapotranspirasi adalah suhu air, suhu udara atmosfir, kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari dan
lain-lain yang saling berhubungan satu sama lain. Evapotranspirasi adalah faktor dasar untuk menentukan kebutuhan air dalam rencana irigasi dan merupakan proses
yang penting dalam siklus hidrologi
Kodoatie dan Sjarief 2008 .
Chang 2006 menyatakan bahwa evapotranspirasi potensial adalah batas atas dari evapotranspirasi di bawah yang diberikan oleh kondisi iklim dan tidak dapat
melebihi evaporasi air bebas. Dalam prakteknya, evapotranspirasi potensial sama dengan evapotranspirasi jika suplai air ke tanaman tidak terbatas. Ketika suplai air
untuk penguapan kurang atau kandungan uap tanah di bawah kapasitas lapang, maka penguapan tidak dapat berlangsung dalam tingkat potensial. Jadi
evapotranspirasi potensial aktual adalah hanya bagian yang sangat kecil dari evapotranspirasi potensial, dimana bagian yang sangat kecil ini tidak hanya
dipengaruhi oleh kandungan uap tanah tetapi juga oleh iklim dan jenis tanaman, atau biasa disebut sebagai koefisien tanaman dalam irigasi pertanian.
6. Infiltrasi, merupakan proses aliran air umumnya berasal dari curah hujan masuk ke dalam tanah. Air yang menginfiltrasi itu pertama-tama diabsorpsi untuk
meningkatkan kelembaban tanah, selebihnya akan turun ke permukaan air tanah dan mengalir ke samping. Mori 1987, menyebutkan beberapa faktor yang
mempengaruhi infiltrasi, yaitu dalamnya genangan di atas permukaan tanah dan tebal lapisan yang jenuh, kelembaban tanah, pemampatan oleh curah hujan,
penyumbatan oleh bahan-bahan yang halus, pemampatan oleh orang dan hewan, struktur tanah, tumbuh-tumbuhan, udara yang terdapat dalam tanah, dan lain-lain.
Kapasitas peresapan infiltrasi suatu tanah pada suatu saat adalah kecepatan maksimum bagi air untuk menembus tanah itu. Suatu tanah yang renggang dan
lulus air akan mempunyai kapasitas yang lebih besar dibandingkan dengan tanah lempung yang ketat. Bila sebagian besar ruang pori-pori telah terisi air, kapasitas
peresapan biasanya menjadi lebih kecil daripada bila tanhnya masih kering. Bila ruang pori-pori tanah telah sepenuhnya terisi air, maka gerakan air lebih ke bawah
lagi akan bergantung pada permeabilitas tanah bagian bawah Linsley dan Franzini 1991.
7. Perkolasi. Linsey et al. 1982 menyatakan bahwa infiltrasi dan perkolasi merupakan proses hidrologi yang berhubungan erat. Infiltrasi tidak akan menjadi
perkolasi apabila terdapat lapisan kedap air walaupun di bawah lapisan tersebut tersedia cukup ruang untuk proses perkolasi. Air perkolasi yang terus masuk ke
bawah lapisan tanah dikarenakan gaya grafitasi bumi lebih besar daripada gaya tarik tanah terhadap air matric suction disebut sebagai perkolasi dalam, yang
selanjutnya akan menjadi aliran air bawah tanah groundwater flow.
Pada lapisan air tanah, air bergerak secara vertikal baik dengan cara evapotranspirasi ke permukaan maupun dengan cara perkolasi yang merupakan
pergerakan menurun kelembaban tanah dari lapisan air tanah tak jenuh ke lapisan jenuh menuju muka air tanah. Air perkolasi yang sampai ke bawah jangkauan akar
tanaman memasuki suatu lapisan peralihan dimana kapilaritas dan osmosis tidak begitu penting. Pada lapisan ini air ditahan sebagai simpanan berupa selaput pada
partikel tanah individual dengan gaya permukaan yang disebut air perikuler atau berperkolasi ke bawah karena gaya gravitasi. Pada lapisan kapiler, sebagian air
berperkolasi ke bawah ke muka air tanah dan sebagian dari air itu ditahan melawan gaya gravitasi dengan cara kerja kapiler Seyhan 1990.
24
Dampak Perubahan Tutupan Lahan terhadap Sumberdaya Air
Perubahan tutupan lahan merupakan perubahan penggunaan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya yang diikuti dengan berkurangnya tipe tutupan lahan dari suatu
waktu ke waktu berikutnya. Perubahan atau perkembangan tutupan lahan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor alami dan faktor manusia Vink 1975.
Perubahan tutupan lahan suatu wilayah dapat berdampak positif dan juga negatif terhadap ketersediaan dan kualitas sumberdaya alam. Sulit untuk membuat suatu
pernyataan universal mengenai dampak tutupan lahan terhadap sumberdaya air untuk beberapa alasan. Dampak tutupan lahan terhadap sumberdaya air bergantung pada
faktor biofisik lahan iklim, topografi, dan tanah dan faktor sosial ekonomi termasuk kesadaran dan kemampuan ekonomi economicability and awareness dari petani,
praktek pengelolaan, dan membangun infrastruktur, misalnya jalan. Kemudian dampak dari tutupan lahan pertanian mungkin sulit untuk diprediksi apakah akibat faktor alam
atau pengaruh manusia, seperti degradasi lahan yang berdampak pada sumberdaya air air permukaan dan air tanah
Tuhumury 2003 .
Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah
dan air seringkali mengarah pada kondisi yang kurang diinginkan, yaitu peningkatan erosi dan sedimentasi, penurunan produktivitas lahan, dan percepatan degradasi lahan
Dirjen RLPS 2009. Hasil akhir perubahan ini tidak hanya berdampak nyata secara biofisik berupa peningkatan luas lahan kritis dan penurunan daya dukung lahan, namun
juga secara sosial ekonomi menyebabkan masyarakat menjadi semakin kehilangan kemampuan untuk berusaha di lahannya. Oleh karena itu, peningkatan fungsi kawasan
budidaya memerlukan perencanaan terpadu agar beberapa tujuan dan sasaran pengelolaan dapat tercapai, seperti erosi tanah terkendali, hasil air optimal, dan
produktivitas dan daya dukung lahan terjaga, dengan demikian degradasi lahan dapat terkendali dan kesejahteraan masyarakat dapat terjamin.
Perubahan tutupan lahan yang sifatnya negatif akan berdampak pada degradasi lahan. Menurut Sinukaban 2008, degradasi lahan akan mengakibatkan rusaknya fungsi
hidrologis DAS yang terlihat dari penurunan kapasitas infiltrasi DAS dan meningkatnya koefisien aliran permukaan. Terjadinya degradasi lahan dan rusaknya fungsi hidrologis
disebabkan oleh beberapa faktor: 1. Penggunaan dan peruntukan lahan menyimpang dari kemampuan lahan misalnya,
daerah yang kemampuan lahan sebagai hutan dialihfungsikan menjadi pertanian. 2. Penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Banyak lahan yang
semestinya hanya untuk cagar alam, tetapi sudah diolah menjadi pertanian, atau lahan yang hanya cocok untuk hutan dijadikan lahan pertanian, bahkan
permukiman. Banyak lahan yang kemiringan lerengnya lebih dari 30 bahkan 45 masih dijadikan pertanian yang intensif atau menjadi permukiman.
3. Perlakuan terhadap lahan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh lahan atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah, serta teknik
konservasi tanah dan air yang diterapkan tidak memadai. Setiap tutupan lahan hutan, pertanian, industri, permukiman harus sesuai dengan syarat, yakni
menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai. Teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan belum tentu memadai di lahan yang lain.
Pemilihan teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan sangat dipengaruhi oleh faktor bio-fisik tanah, topografi, penggunaan lahan, hujaniklim
lahan yang bersangkutan. Jenis teknik konservasi tanah dan air yang tersedia untuk dipilih dan diterapkan mulai dari yang paling ringan sampai berat, antara lain,
penggunaan mulsa, penanaman mengikuti kontur, pengolahan mengikuti kontur, pengolahan tanah konservasi tanpa olah tanah, pengolahan tanah minimum,
pengaturan jarak tanam, penanaman dalam strip strip cropping, dan penanaman berurutan rotasi.
4. Belum adanya undang-undang konservasi tanah dan air yang mengharuskan masyarakat menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara memadai di setiap
penggunaan lahan. Dengan tidak adanya undang-undang ini maka masyarakat tidak merasa berkewajiban untuk melaksanakan teknik konservasi tanah dan air, sehingga
degradasi lahan terus meningkat.
5. Kesungguhan pemerintah mencegah degradasi lahan kurang memadai. Hal ini terindikasi dari tidak jelasnya program pencegahan degradasi lahan atau penerapan
teknik konservasi tanah dan air di setiap tipe penggunaan lahan. Departemen yang berkaitan dengan penggunaan lahan, seperti Departemen Pertanian, Departemen
Pekerjaan Umum, dan Departemen Dalam Negeri, kurang memprioritaskan program pencegahan degradasi lahan dan penerapan teknologi konservasi tanah dan
air.
Asdak 2007, mengemukakan bahwa kegiatan yang bersifat mengubah tipe maupun jenis tutupan lahan dapat memperbesar atau memperkecil panen air water
yield. Perubahan tutupan lahan dengan memperluas permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunkan pengisian air bawah tanah recharge dan
meningkatkan aliran permukaan Pawitan 2002. Penurunan muka air tanah secara langsung mempengaruhi penurunan debit. Sebaliknya, peningkatan run off secara
langsung mempengaruhi peningkatan debit.
Siriwardena et al. 2006 melakukan penelitian tentang dampak perubahan tutupan lahan terhadap kondisi hidrologi Daerah Aliran Sungai di DAS Comet, Central
Queensland, Australia dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh hasil akhir air dari Daerah Aliran Sungai Comet akibat konversi hutan menjadi padang rumput. Penelitian
tersebut menunjukan bahwa dampak pembukaan vegetasi hutan dari luasan 83 menjadi 38 menyebabkan kenaikan limpasan sebesar 40.
Konservasi Sumberdaya Air
Konservasi sendiri secara harifiah berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con together dan servare keepsave yang memiliki pengertian mengenai upaya
memelihara apa yang kita punya keepsave what you have, namun secara bijaksana wise use. Ide ini dikemukakan oleh Roosevelt 1902, orang Amerika pertama yang
mengemukakan tentang konsep konservasi. Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan, sebagai berikut :
1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama.
2. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk
generasi-generasi yang akan datang. Sumberdaya air merupakan bagian dari kekayaan alam yang dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat secara lestari, sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Ketetapan ini ditegaskan kembali dalam pasal 1
26
Undang Undang Pokok Agraria tahun 1960 bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah merupakan kekayaan nasional. Sumberdaya air ini memberikan manfaat serbaguna untuk mewujudkan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat di segala bidang baik sosial, ekonomi, budaya, politik maupun bidang ketahanan nasional. Secara keseluruhan definisi konservasi sumberdaya air
adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumberdaya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.
Konservasi air dapat diartikan sebagai usaha-usaha untuk meningkatkan jumlah air tanah yang masuk ke dalam tanah dan untuk menciptakan penggunaan air yang
efisien. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat hilirnya. Konservasi tanah dan konservasi air
merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat, sehingga boleh dikatakan bahwa berbagai tindakan konservasi tanah merupakan juga tindakan konservasi air Arsyad
2000.
Menurut Sugandhy 1997, perlindungan dan pelestarian fungsi sumberdaya air untuk menjamin keberlanjutan tata air perlu dilakukan melalui pendekatan tata ruang.
Pada skala wilayah, upaya konservasi dilakukan dengan penetapan dan pengelolaan kawasan lindung khususnya kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah tangkapan
air, daerah resapan air, daerah aliran sungai, danau dan situ.
Model Tangki
Model adalah suatu perangkat elemen yang saling berhubungan yang diorganisir untuk mencapai satu tujuan atau beberapa tujuan atau model adalah suatu gambaran
abstrak dari sistem dunia nyata real wold system yang mempunyai kelakuan seperti sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu. Suatu model yang baik akan menggambarkan
dengan baik semua aspek yang penting dari kelakuan dunia nyata dalam masalah- masalah tertentu Menetsch dan Park 1976. Keuntungan dari model adalah lebih
sederhana jika dibandingkan dengan keadaan sebenarnya dan model masih dapat digunakan untuk menduga dan menerangkan fenomena fenomena dengan akurat. Jika
terdapat ketidak-sesuaian antara model dengan sistem yang sebenarnya, maka model masih mungkin untuk disesuaikan Wit 1982 diacu dalam Purwanto 2012.
Model banyak menggunakan variabel dan parameter baik sebagai suatu masukan maupun sebagai suatu keluaran. Menurut Clarke 1973 diacu dalam Harto 1993,
parameter adalah besaran yang menandai suatu sistem hidrologi yang memiliki nilai tetap tidak tergantung waktu, sedangkan variabel adalah besaran yang menandai suatu
sistem yang dapat diukur dan memiliki nilai berbeda pada waktu berbeda.
Model tangki atau loop model adalah metode yang didasarkan kepada hipotesis bahwa aliran limpasan dan infiltrasi merupakan fungsi dari jumlah air yang ada di
dalam tanah Sugawara 1995. Model tangki tersebut dapat disusun sedemikian rupa sehingga lebih mewakili sub-sub DAS daerah tersebut, ataupun mewakili perbedaan
strukturjenis tanah pada setiap lapisan. Susunan model tangki tersebut selain dapat menjelaskan kehilangan awal curah hujan, dan ketergantungan terhadap hujan
sebelumnya, juga mempresentasikan beberapa komponen pembentuk aliran limpasan,
yang memiliki periode dan time lag tersendiri. Ditambahkan oleh Sugawara 1961 bahwa susunan model tangki adalah model yang paling mendekati setiap DAS.
Sebuah tangki dengan saluran pengeluaran di sisi mewakili limpasan, saluran pengeluaran bawah mewakili infiltrasi, dan komponen simpanan dapat mewakili proses
limpasan di dalam suatu atau sebagian daerah aliran sungai. Beberapa tangki serupa yang paralel dapat mewakili suatu daerah aliran sungai yang luas Purwanto et al.
2000.
Struktur model tangki dianalogikan sebagai bentuk struktur air bawah permukaan yang dapat menunjukkan beberapa komponen dari debit sungai atau total limpasan
Sugawara 1961. Banyak penelitian telah dilakukan dengan menggunakan model tangki . Selain oleh Sugawara sendiri sebagai penemunya yang menganalisa limpasan
pada beberapa sungai di Jepang 1961 dan berhasil dengan baik, model tangki secara luas digunakan pada berbagai DAS, seperti DAS Ciliwung dan DAS Cidanau. Purwanto
et al. 2000, melakukan analisis drainase dengan model penelusuran banjir di DAS Ciliwung. Sar 2000, melakukan analisis hubungan rainfall run off dengan
menggunakan model tangki di DAS Ciliwung Hulu dengan menghasilkan kesimpulan bahwa debit yang dihitung dengan model tangki mendekati debit aktual dengan nilai
koefisien determinasi R
2
sebesar 0.67. Sutoyo 1999, menggunakan model tangki untuk menduga debit sungai
berdasarkan hujan pada DAS Cidanau. Harmailis 2001, melakukan analisis pengaruh pengelolaan lahan berdasarkan ketersediaan air dengan menggunakan model tangki.
Hasil dari penelitian Harmailis 2001, menyatakan bahwa memperbanyak tata guna lahan hutan merupakan tindakan yang efektif untuk meningkatkan ketersediaan air.
Penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan air telah dilakukan oleh Wibisono 1991, pada daerah aliran waduk Selorejo, Jawa Timur. Berdasarkan hasil simulasi ternyata
perubahan tutupan lahan mempengaruhi tingkat ketersediaan air. 1. Proses terjadinya limpasan dalam model tangki termodifikasi
Program model tangki yang dimodifikasi disusun dengan menggunakan bahasa program visual basic application VBA for microsoft excel. Program ini terdiri dari
persamaan-persamaan matematik yang menggambarkan proses komponen limpasan hujan yang jatuh di atas tanah pada suatu DAS.