Status kawasan Water resource conservation model on sustainable palm oil (Case study Sub watershed Lalindu, North Konawe, South East Sulawesi province )

5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Lalindu Kabupaten Konawe Utara 1. Klasifikasi tutupan lahan Hasil klasifikasi tutupan lahan land cover di Sub DAS Lalindu pada Tahun 2006 dan Tahun 2011 terbagi atas 9 tipe tutupan lahan yaitu sawah tadah hujan, hutan rawa, pemukiman, badan air, perkebunan kelapa sawit, savanaalang-alang, semak belukartanaman penutup tanah, pertanian lahan kering agroekosistem dan hutan. Terbentuknya tutupan lahan ini disebabkan oleh kondisi topografi areal penelitian yang sangat bervariasi mulai dari datar, bergelombang dan berbukit. Hasil klasifikasi tutupan lahan berdasarkan interpretasi citra landsat Tahun 2006 dan 2011 disajikan pada Lampiran 3. Luasan masing-masing tipe tutupan lahan disajikan pada Tabel 11 dan Lampiran 4. Hasil tabulasi luas tutupan lahan menunjukkan bahwa tutupan lahan untuk sawah, hutan rawa, pemukiman, dan badan air menjadi bagian terkecil dalam tutupan lahan pada sub DAS Lalindu yaitu sebesar 1,15 pada Tahun 2006 kemudian berkurang menjadi 1,11 pada Tahun 2011. Pada ekosistem budidaya banyak ditemukan tanaman-tanaman budidaya baik sawah maupun kebun masyarakat. Sebagian agroekosistem merupakan lahan transmigrasi. Sawah tadah hujan dijumpai di Desa Rauta dan Desa Tirowanua termasuk di daerah Wiwirano yang jaraknya cukup jauh dari Rauta. Sejumlah areal sawah di Desa Rauta diairi melalui jaringan irigasi sederhana yang dibuat pada Tahun 1995 yang lalu. Tabel 11 Tutupan lahan di sub DAS Lalindu Kabupaten Konawe Utara Tahun 2006 dan 2011 No. Kelas tutupan lahan 2006 2011 Perubahan ha ha ha 1 Sawah 268,61 0,08 268,61 0,08 2 Hutan Rawa 709,89 0,22 709,89 0,22 3 Pemukiman 758,07 0,24 623,66 0,20 -134,41 4 Badan Air 1.931,25 0,61 1.925,22 0,61 -6,03 5 Perkebunan kelapa sawit 2.855,75 0,90 11.033,09 3,48 +8.177,34 6 Savana 4.484,86 1,42 3.253,08 1,03 -1.231,78 7 Semak Belukar 13.302,13 4,20 11.821,30 3,73 -1.480,83 8 Pertanian Lahan Kering 30.043,91 9,49 27.308,12 8,62 -2.735,79 9 Hutan 260.298,70 82,20 257.724,19 81,38 -2.574,51 Keterangan : + peningkatan luas area, - penurunan luas area

2. Kondisi tutupan lahan Hutan Lahan Kering

Tutupan lahan hutan lahan kering di sub DAS Lalindu pada Tahun 2006 adalah seluas 260.298,699 hektar 82,20. Luas tersebut berubah menjadi 257.724,19 hektar 81,38 pada Tahun 2011 atau terjadi pengurangan luas kawasan hutan sebesar 0,82. Perubahan luas lahan hutan disajikan pada Gambar 19. Gambar 20 Perubahan luas lahan hutan lahan kering Tahun 2006 – 2011 Lahan hutan pada lokasi penelitian merupakan daerah tangkapan air water catchment area bagi sungai-sungai yang ada di sekitarnya. Sungai-sungai ini banyak membentuk anak sungai. Sempadan sungai sebagian besar merupakan areal bekas pertanian masyarakat yang telah ditinggalkan. Salah satu indikator utama lahan hutan adalah penutupan vegetasi. Semakin jarang kondisi penutupan vegetasi atau kerapan antar tajuk pohon pada kawasan hutan semakin kurang fungsinya dalam perlindungan hidro-orologis. Kondisi penutupan vegetasi di lahan hutan pada sub DAS Lalindu menunjukkan penutupan vegetasi yang kurang baik. Hal ini terjadi akibat berbagai tindakan seperti penebangan liar, ditinggalkan perusahaan HPH yang tidak bertanggung jawab, peladang berpindahperambah hutan, dan pemukiman di kawasan hutanenclave. Sejak mulai beroperasinya Hak Penguasaan Hutan HPH PT. Intisixta Tahun 1992 memiliki kawasan konsesi dengan luas 296.000 hektar. Sejak saat itu pula hutan Asera sebelum pemekaran wilayah Kecamatan Asera berada di bawah tekanan luar biasa. Kehancuran ekosistem mulai nampak, kearifan lokal yang dipelihara secara turun-temurun mulai terusik, kondisi ekonomi masyarakat menurun akibat terbatasnya aktifitas masyarakat di sekitar wilayah konsesi perusahaan. Kondisi ini, apabila berlangsung lama akan menjadikan kawasan hutan tersebut menjadi lahan kritis yang tidak berfungsi lagi dalam melakukan fungsinya sebagai pengatur tata air pada suatu DAS. Dengan demikian salah satu tindakan konservasi pada kawasan hutan adalah mengurangi lahan kritis di kawasan hutan baik pada hutan produksi tetap HP, hutan produksi terbatas HPT, hutan lindung HL, hutan suaka alam HSA, hutan produksi yang dapat dikonversi atau areal penggunaan lain APL. Selain itu, rendahnya konversi lahan wilayah hutan menjadi areal terbangun disebabkan karena wilayah hutan yang tersebar berada pada daerah berlereng dan kawasan lainnya telah menjadi hutan produksi tetap HP. Kondisi perubahan tutupan lahan sampai Tahun 2011 memberikan pemahaman bahwa konversi lahan hutan menjadi kawasan terbangun dan areal perkebunan tidak dapat lagi dilakukan dalam 260,298.70 260,296.69 259,297.75 258,044.55 257,746.19 257,724.19 257,000 258,000 259,000 260,000 261,000 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Luas La h an h a Gambar 21 Perubahan luas lahan savanaalang-alang Tahun 2006 – 2011 4,484.86 4,484.86 4,411.00 3,445.83 3,253.08 3,253.08 3,000 3,500 4,000 4,500 5,000 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Lu as L ah an h a luasan yang besar karena hutan yang tersisa sangat sedikit dan berada pada kelerengan lebih dari 45. Masyarakat di sekitar hutan pada umumnya memiliki pendapatan yang kurang mencukupi sehingga guna meningkatkan pendapatannya, masyarakat masuk ke dalam kawasan hutan untuk mencari berbagai hasil hutan berupa kayu dan non kayu. Hasil hutan non kayu yang dominan yang banyak diambil penduduk di kawasan hutan DAS Lalindu, antara lain rotan dan kulit manis. SavanaAlang-alang Vegetasi savanaalang-alang biasanya tumbuh dan berkembang pada lahan yang diterlantarkan sebagai akibat dari penebangan hutan, perladangan berpindah dan kebakaran hutan. Vegetasi savanaalang-alang yang dijumpai pada lokasi penelitian umumnya di daerah datar dimana sekitar 37 pernah dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai areal perladangan. Adiningsih dan Mulyadi 2002 mengemukakan bahwa lahan alang-alang umumnya terjadi sebagai akibat perladangan berpindah atau karena penurunan produktivitas tanahnya sehingga ditinggalkan oleh petani. Petani peladang berpindah yang dalam kegiatan usaha taninya tidak memperhatikan prinsip konservasi tanah akan mengakibatkan penurunan kesuburan tanahnya sehingga lahan menjadi tidak produktif. Lahan yang demikian biasanya ditinggalkan menjadi lahan tidur, kemudian petani membuka lahan baru. Lahan yang ditinggalkan tersebut biasanya ditumbuhi alang-alang dan menjadi lahan alang-alang Sitorus 2002. Dari data yang ada, terlihat luasan tutupan lahan alang-alang pada sub DAS Lalindu di Kecamatan Wiwirano pada Tahun 2006 adalah seluas 4.484,86 hektar 1,42. Luasan tersebut menjadi 3.253,08 hektar 1,03 pada Tahun 2011 atau terjadi penurunan luas kawasan alang-alang selama 5 tahun sebesar 0,38. Perubahan luas lahan savana dapat dilihat pada Gambar 20. SemakBelukar Semakbelukar adalah lahan yang ditumbuhi rerumputan, tanaman kecil yang ketinggiannya kurang dari dua meter dan juga paku-pakuan serta tumbuhan menjalar. Tanaman ini cukup padat dan menutupi permukaan tanah sehingga dapat berfungsi sebagai penahan erosi dan mempertinggi resapan air Arsyad 2000. Perubahan luas lahan semakbelukar disajikan pada Gambar 21. 56 Gambar 22 Perubahan luas lahan semakbelukar Tahun 2006 – 2011 Dari data yang ada, terlihat bahwa luasan tutupan lahan semakbelukar pada sub DAS Lalindu di Kecamatan Wiwirano pada Tahun 2006 adalah seluas 13.302,13 hektar 4,20. Luas tersebut menjadi 11.821,30 hektar 3,73 pada Tahun 2011 atau terjadi peningkatan luas kawasan semakbelukar selama lima tahun sebesar 0,47. Perkebunan kelapa sawit Berdasarkan sifat pengelolaannya, kegiatan perkebunan di Kabupaten Konawe Utara dapat dibedakan menjadi 2 dua yaitu perkebunan rakyat dan perkebunan umum berbadan hukum. Kegiatan perkebunan rakyat umumnya dikembangkan di dalam dan di sekitar kawasan permukiman tempat tinggal dengan produk tanaman perkebunan adalah kakao, jambu mete, kelapa, cengkeh, kopi, lada, vanili, dan sagu. Sedangkan kegiatan perkebunan berbadan hukum umumnya cenderung tertutup dan berada di sekitar atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan dengan produk tanaman perkebunan berupa kopi, jambu mete, cengkeh, dan kelapa sawit. Perluasan perkebunan kelapa sawit terus terjadi, termasuk di Provinsi Sulawesi Tenggara yang menyebar hampir di seluruh kabupaten. Kabupaten Konawe Utara, khususnya Kecamatan Wiwirano merupakan wilayah yang dijadikan sebagai salah satu kawasan prioritas pengembangan komoditi ini. Hal ini dapat dilihat dari luas lahan kelapa sawit yang terus meningkat selama lima tahun terakhir, baik yang diusahakan oleh masyarakat maupun oleh perkebunan swasta. Perubahan tutupan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit pada Tahun 2006 – 2011 berasal dari lahan belukar, hutan lahan kering, pertanian lahan kering dan savana. Luasan dari masing-masing perubahan tutupan lahan tersebut menjadi perkebunan kelapa sawit dapat dilihat pada Lampiran 5. Luas areal perkebunan kelapa sawit akan terus berkembang di wilayah ini mengingat masih banyaknya hutan-hutan sekunder yang berpotensi untuk dijadikan perkebunankelapa sawit. Pada Tabel 10 menunjukkan luasan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Wiwirano pada Tahun 2006 adalah seluas 2.855,75 hektar 0,90. Luasan tersebut menjadi 11.033,09 hektar 3,48 pada Tahun 2011 atau terjadi peningkatan luas kawasan perkebunan kelapa sawit sebesar 2,58. Hal ini disebabkan oleh tingginya minat masyarakat terhadap pengusahaan kelapa sawit. Kondisi ini pula ditunjang oleh tingginya pertumbuhan sektor perkebunan kelapa sawit yang berorientasi eksport Syahza 2008. Secara rinci perubahan luas lahan perkebunan kelapa sawit disajikan pada Gambar 22. 13,302.13 12,975.92 12,396.89 11,917.07 11,832.35 11,821.30 11,500 12,000 12,500 13,000 13,500 2006 2007 2008 2009 2010 2011 L u as L ah an h a Gambar 23 Perubahan luas lahan perkebunan kelapa sawit Tahun 2006 – 2011 2,855.75 3,364.81 7,051.75 10,116.02 10,960.38 11,033.09 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Lu as L ah an h a Sistem Penguasaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Tingkat ketergantungan penduduk di areal perkebunan kelapa sawit terhadap lahan cukup tinggi. Secara umum rata-rata penguasaan lahan pertanianperkebunan per rumah tangga petani adalah seluas 2 haRT rumah tangga. Di beberapa kecamatan, rata-rata lahan per keluarga petani cukup luas, mencapai 3 sampai 8 haRT. Beberapa kelompok masyarakat yang menganggap tanah sebagai aset ekonomi yang penting memiliki lahan lebih dari 10 hektar. Beberapa kelompok masyarakat yang motivasi ekonominya rendah, hanya memiliki lahan 1 hektar per RT. Kelompok masyarakat yang memiliki motivasi ekonomi rendah meskipun hanya memiliki lahan sempit, tetapi mempunyai perilaku yang cukup memprihatinkan berkaitan pelestarian sumberdaya lahan, karena mempunyai kebiasaan menjual tanah kepada pihak lain dan kemudian membuka lahan yang baru lagi dalam kawasan hutan. Bagi mereka yang memiliki modal besar, juga melakukan sistem usaha bagi tanah yaitu dengan menyuruh orang lain untuk mengusahakan lahan mereka, setelah berhasil pekerja tersebut mendapatkan hibah lahan perkebunan. Dengan demikian, perlu adanya pengaturan penguasaan lahan sehingga kawasan hutan tidak menjadi sasaran perambahan dan pembukaan lahan tanpa kendali yang pada akhirnya akan mengakibatkan rendahnya mutu sumberdaya alam dan lingkungan. Status kepemilikanpengusahaan lahan terdiri dari tanah hak milik dengan bukti pemilikan berupa surat segel dari aparat desa. Sesuai dengan ketentuan adat setempat setiap individu boleh mengerjakan sebagian dari lahan yang luas yang dikuasai oleh suatu kelompok masyarakat tertentu dengan syarat harus mendapat izin dari kepala adat dan kepala desa. Saat lahan tersebut digarap oleh individu, maka statusnya berada dibawah kekuasaan individu yang memanfaatkannya. Proses penguasaan lahan dimulai dengan pembukaan hutan untuk areal perladangan yang biasanya dekat atau berada sepanjang jalan Hak Pengelolaan Hutan HPH dan aliran sungai. Kecenderungan pola penguasaan lahan di perkebunan kelapa sawit mengikuti pola kecenderungan sub DAS. Areal perladangan ditanam dengan jenis tanaman budidaya seperti padi ladang, singkong, jagung, sayuran dan buah-buahan. Dalam kegiatan perladangan, sebagian besar masyarakat masih melakukannya dengan