yaitu konsentrasi klorofil-a 0,3
mgm
3
termasuk kategori rendah, 0,31-1
mgm
3
termasuk kategori sedang, dan 1
mgm
3
termasuk kategori tinggi Tabel 12. Gabrik dan Parslow 1989 mengemukakan bahwa laju produktifitas
primer di lingkungan ditentukan oleh faktor fisik. Faktor fisik utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran
vertikal, penetrasi cahaya di dalam kolom air dan laju tenggelam sel fitoplankton. Percampuran vertikal massa air sangat berperan dalam menyuburkan kolom
perairan yaitu dengan mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu
dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju produktifitas primer melalui aktifitas fotosintesis fitoplankton.
Selanjutnya Parson et al. 1984 mengemukakan bahwa, tidak mudah untuk menjelaskan kondisi yang berlaku umum tentang penyebaran fitoplankton
secara horizontal di laut. Disebabkan oleh perbedaan kondisi ekologi pada bagian- bagian laut yang berbeda, seperti di daerah pantai dan estuari, pesisir dan laut
lepas. Ada kecenderungan penyebaran fitoplankton bersifat lebih mengelompok di daerah neritik dibanding dengan daerah oseanik lepas pantai. Hal ini juga
dinyatakan Lorenzen 1971 dan Venrick 1972 dalam Levinton 1982 yakni umumnya fitoplankton di laut terbuka kurang melimpah dan distribusinya lebih
merata dibandingkan dengan fitoplankton dekat pantai.
Mann dan lazier 1991 menyatakan bahwa secara umum produktivitas primer fitoplankton dipengaruhi oleh berbagai aspek fisika di laut. Pengaruh
tersebut dapat terjadi pada beberapa skala luasan mulai dari sirkulasi dasar laut dalam wilayah yang luas, daerah upwelling hingga skala kecil pada daerah
turbulen yang berpengaruh pada sel individu fitoplankton. Distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, seperti cahaya, temperatur,
salinitas, nutrien dan faktor-faktor lainnya. Faktor tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan spesies plankton di suatu lingkungan Parsons et al.
1984; Valiela 1984.
5.3 Variabilitas CPUE Ikan Layang
Gambaran tentang variabilitas CPUE yang terbentuk dengan adanya kelompok penangkapan menunjukkan bahwa walaupun proses penangkapan ikan
pada suatu lokasi penangkapan menggunakan alat tangkap dengan ukuran yang relatif sama ternyata mempunyai hasil tangkapan yang sangat bervariasi pada
setiap unit penangkapan yang beroperasi, baik jenis maupun jumlah hasil tangkapan. Keadaan ini menunjukkan bahwa ikan tidak pernah tersebar merata
pada suatu perairan dalam kurun waktu yang sama, sehingga peluang tertangkapnya akan berbeda pada skala ruang dan waktu.
Variabilitas hasil tangkapan yang tercermin dari adanya pengelompokkan unit penangkapan berdasarkan CPUE memberikan gambaran bahwa dalam proses
penangkapan ikan sangat di pengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: manusia menyangkut pengetahuan lokasi penangkapan ikan yang ideal, kemampuan unit
penangkapan dalam proses operasi penangkapan, kondisi lingkungan perairan yang menjadi lokasi penangkapan, dan tingkah laku ikan yang menjadi target
penangkapan, baik secara fisik maupun biologis Laevastu dan hayes 1982.
Rata-rata CPUE ikan layang bulanan periode Januari 2011-Maret 2012 di perairan Utara Aceh sangat bervariasi Gambar 15. CPUE ikan layang yang
bervariasi ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya perbedaan upaya penangkapan yang dilakukan, keadaan cuaca yang berbeda setiap bulannya,
ada tidaknya sumber makanan, serta faktor-faktor lainnya yang telah di dijelaskan diatas.
Rata-rata CPUE ikan layang tertinggi berdasarkan periode musim terjadi pada musim peralihan Timur-Barat September-November sebesar 474 kgtrip
dan terendah pada musim Timur Juni-Agustus sebesar 279 kgtrip Gambar 16. Tingginya CPUE ikan layang pada musim peralihan Timur-Barat diduga karena
pada musim ini merupakan masa ikan layang beruaya untuk menemukan tempat atau kondisi lingkungan yang tepat untuk melakukan pemijahan. Ikan layang
melakukan pemijahan pada bulan Agustus dan September yaitu pada masa musim Timur dan hendak memasuki musim peralihan Timur-Barat. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Amri 2002 menyatakan bahwa ikan layang umumnya memiliki dua kali masa pemijahan per tahun dengan puncak pemijahan pada bulan MaretApril
musim peralihan Barat-Timur dan AgustusSeptember musim Timur menuju ke musim peralihan Timur-Barat. Penyebab lainnya kemungkinan disebabkan oleh
besarnya schooling ikan layang yang terjadi pada musim barat sehingga berpengaruh terhadap CPUE ikan layang. besar kecilnya schooling diduga
berkaitan dengan keadaan lingkungan, yaitu keadaan perairan dan ketersediaan makanan.
Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa nilai CPUE ikan layang berdasarkan periode musim berfluktuatif setiap musimnya. Nilai CPUE tertinggi
berada pada musim peralihan Timur-Barat dan diikuti oleh musim peralihan Barat-Timur, sedangkan nilai CPUE terendah berada pada musim Timur dan
diikuti oleh musim Barat. Berdasarkan hasil yang diperoleh diharapkan nelayan untuk dapat melakukan operasi penangkapan ikan layang yaitu pada musim
peralihan Timur Barat dan musim peralihan Barat-Timur, sedangkan pada musim Timur dan musim Barat bila nelayan tetap melakukan operasi penangkapan hal ini
akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan yang diperoleh dan pada akhirnya akan mengalami kerugian karenan biaya operasional lebih besar daripada
pendapatan .
Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa nilai CPUE ikan layang pada masing-masing daerah penangkapan ikan berfluktuatif setiap bulannya. Pada
bulan Januari nilai CPUE tertinggi terdapat pada Pulo Beras dan diikuti oleh Lhok Nga dan Pulo Nasi, sedangkan nilai CPUE terendah berada pada Laot Aceh dan
diikuti oleh Sabang dan Peukan Bada. Nilai CPUE tertinggi pada bulan Februari berada pada Sabang dan diikuti oleh Pulo Beras dan Pulo Nasi, sedangkan nilai
CPUE terendah berada pada Lhok Nga dan diikuti oleh Peukan Bada dan Laut Aceh. Pada bulan Maret nilai CPUE tertinggi berada pada Pulo Beras dan diikuti
oleh Sabang dan Pulo Nasi, sedangkan nilai CPUE terendah berada pada Peukan Bada dan diikuti oleh Lhok Nga dan Laot Aceh. Secara keseluruhan dapat
dikatakan bahwa daerah penangkapan Pulo Beras dan Sabang termasuk kedalam kategori yang patut direkomendasikan kepada nelayan untuk perencanaan operasi
penangkapan ikan layang selanjutnya dimasa yang akan datang bila dibandingkan dengan daerah-daerah penangkapan lainnya. Akan tetapi selama penelitian
Januari-Maret diperoleh hasil tangkapan ikan layang dengan ukuran yang tidak
layak tangkap pada kedua daerah tersebut. Jika hal ini terus dibiarkan berlangsung akan berpengaruh terhadap tingkat keramahan lingkungan yang dilihat dari segi
perbandingan panjang total TL dan length of maturity Lm. Atas dasar inilah diharapkan adanya penelitian yang lebih lama untuk mengetahui waktu dan
musim yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan ikan layang dengan komposisi ukuran panjang ikan yang layak tangkap pada perairan Utara Aceh.
5.4 Hubungan SPL dan Klorofil-a terhadap Hasil Tangkapan dan Ukuran
Panjang Ikan Layang
Hasil tangkapan ikan layang terbanyak ditemukan pada Pulo Beras, Sabang, Pulo Nasi, Lhok Nga. Sedangkan Laot Aceh dan Peukan Bada hasil
tangkapan ikan layang lebih sedikit. Hal ini mengidentifikasikan bahwa penyebaran ikan layang bervariasi secara temporal dan spasial di perairan Utara
Aceh. Namun penyebaran ini tidak dipengaruhi oleh SPL dan klorofil-a. Hal ini mungkin disebabkan adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil
tangkapan ikan layang di perairan Utara Aceh. Begitu juga terlihat pada hubungan SPL dan klorofil-a juga tidak berpengaruh signifikan terhadap ukuran panjang
ikan layang Gambar 23 dan 24. Untuk itu perlu dilakukan pengamatan terhadap parameter-parameter yang lain seperti arus dan salinitas.
Arus adalah faktor penting yang menyebabkan perubahan lokal pada lingkungan laut. Ikan diduga mempunyai respons secara langsung pada perubahan
tersebut, baik disebabkan oleh arus maupun orientasi ikan terhadap arus. Laevastu dan Hayes 1981 menyatakan bahwa, arus berpengaruh terhadap penyebaran ikan
yaitu arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan pelagis dari spawning ground daerah pemijahan ke nursery ground daerah pembesaran dan ke
feeding ground tempat mencari makan, migrasi ikan-ikan dewasa dapat disebabkan oleh arus sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami,
tingkah laku diurnal ikan dapat disebabkan oleh arus khususnya arus pasut, dan arus secara langsung dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan dan secara tidak
langsung mempengaruhi pengelompokkan makanan atau faktor lain yang membatasinya suhu. Asikin 1971 juga mengatakan bahwa pola arus berperan
secara tidak langsung dalam migrasi ikan layang, karena sebenarnya arus