layak tangkap pada kedua daerah tersebut. Jika hal ini terus dibiarkan berlangsung akan berpengaruh terhadap tingkat keramahan lingkungan yang dilihat dari segi
perbandingan panjang total TL dan length of maturity Lm. Atas dasar inilah diharapkan adanya penelitian yang lebih lama untuk mengetahui waktu dan
musim yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan ikan layang dengan komposisi ukuran panjang ikan yang layak tangkap pada perairan Utara Aceh.
5.4 Hubungan SPL dan Klorofil-a terhadap Hasil Tangkapan dan Ukuran
Panjang Ikan Layang
Hasil tangkapan ikan layang terbanyak ditemukan pada Pulo Beras, Sabang, Pulo Nasi, Lhok Nga. Sedangkan Laot Aceh dan Peukan Bada hasil
tangkapan ikan layang lebih sedikit. Hal ini mengidentifikasikan bahwa penyebaran ikan layang bervariasi secara temporal dan spasial di perairan Utara
Aceh. Namun penyebaran ini tidak dipengaruhi oleh SPL dan klorofil-a. Hal ini mungkin disebabkan adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil
tangkapan ikan layang di perairan Utara Aceh. Begitu juga terlihat pada hubungan SPL dan klorofil-a juga tidak berpengaruh signifikan terhadap ukuran panjang
ikan layang Gambar 23 dan 24. Untuk itu perlu dilakukan pengamatan terhadap parameter-parameter yang lain seperti arus dan salinitas.
Arus adalah faktor penting yang menyebabkan perubahan lokal pada lingkungan laut. Ikan diduga mempunyai respons secara langsung pada perubahan
tersebut, baik disebabkan oleh arus maupun orientasi ikan terhadap arus. Laevastu dan Hayes 1981 menyatakan bahwa, arus berpengaruh terhadap penyebaran ikan
yaitu arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan pelagis dari spawning ground daerah pemijahan ke nursery ground daerah pembesaran dan ke
feeding ground tempat mencari makan, migrasi ikan-ikan dewasa dapat disebabkan oleh arus sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami,
tingkah laku diurnal ikan dapat disebabkan oleh arus khususnya arus pasut, dan arus secara langsung dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan dan secara tidak
langsung mempengaruhi pengelompokkan makanan atau faktor lain yang membatasinya suhu. Asikin 1971 juga mengatakan bahwa pola arus berperan
secara tidak langsung dalam migrasi ikan layang, karena sebenarnya arus
membawa massa air laut dengan kadar salinitas tertentu yang sesuai dengan ikan layang.
Ikan layang melakukan ruaya migrasi mengikuti kadar garam bersalinitas tinggi Burhanuddin et al. 1984. Menurut pendapat Djamali 1995 ikan layang
sangat menyukai salinitas antara 32-34 ‰. Asikin 1971 menyatakan bahwa pada musim Timur ikan layang bergerak mengikuti massa air bersalinitas tinggi antara
32-33,75‰. Selanjutnya, Lussinap et al. 1970 megatakan bahwa salinitas optimum bagi ikan layang berkisar antara 32-32,5 ‰.
Berdasarkan Gambar 19 dan 21 menunjukkan bahwa fluktuasi SPL tidak begitu signifikan dalam menentukan banyak atau tidaknya hasil tangkapan. Hal ini
dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya SPL dengan kelimpahan dan distribusi ikan tidak dapat dimutlakkan sebagai suatu hubungan linear, akan tetapi setiap
ikan mempunyai batas toleransi atau kondisi optimum terhadap lingkungan yang ditempatinya. Laevastu dan Hayes 1981 mengatakan bahwa, perubahan suhu
perairan menjadi di bawah suhu normalsuhu optimum menyebabkan penurunan aktifitas gerakan dan aktifitas makan serta menghambat berlangsungnya
pemijahan. Dalam hal ini suhu perairan sangat berperan penting dalam fekunditas dan pemijahan, masa inkubasi dan penetasan telur, pertumbuhan ikan, aktifitas
pergerakan, ruaya, penyebaran dan kelimpahan serta penggerombolan. Fluktuasi hasil tangkapan ikan pada suatu daerah penangkapan ditentukan oleh kondisi
oseanografi optimum pada perairan baik SPL, klorofil-a maupun parameter lainnya. Oleh karena itu, setiap organisme perairan akan bergerak mengikuti
sebaran kondisi yang sesuai, disamping faktor mencari makanan. Kondisi optimum suatu perairan juga dapat meningkatkan preferensi untuk jenis ataupun
schooling ikan yang selanjutnya akan mendorong peningkatan intensitas armada penangkapan karena dianggap merupakan daerah penangkapan ikan potensial.
Menurut pendapat Baskoro et al. 2004, suhu dapat mempengaruhi penyebaran ikan dikarenakan yaitu sebagai pengatur proses metabolisme dapat
mempengaruhi permintaan kebutuhan makanan dan tingkat penerimaan serta tingkat pertumbuhan, sebagai pengatur aktifitas gerakan tubuh kecepatan
renang dan sebagai stimulus syaraf. Namun dalam penelitian ini suhu perairan tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan
karena variasi suhu yang terjadi masih dapat ditolerir oleh ikan yang ada di perairan Utara Aceh, sehingga ikan-ikan tersebut tidak perlu bermigrasi akibat
perubahan suhu yang terjadi.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya mengenai hubungan ukuran panjang ikan terhadap SPL diperoleh bahwa ikan pada ukuran tertentu menyukai
suhu pada kisaran tertentu pula. Hasil penelitian Silvia 2009 terlihat bahwa SPL berpengaruh terhadap ukuran ikan cakalang, dimana ikan cakalang yang
berukuran kecil lebih menyukai suhu yang hangat dan ikan cakalang yang berukuran besar lebih menyukai suhu yang lebih panas. Akan tetapi pada
penelitian ini tidak dijumpai kisaran berapa yang disukai oleh ikan layang dengan ukuran tertentu. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini ukuran panjang ikan
layang yang tertangkap memiliki ukuran yang relatif sama dan termasuk kedalam ukuran yang tidak layak tangkap. Atas dasar inilah diperlukan suatu pengelolaan
yang serius baik dari masyarakat atau pun pemerintah setempat untuk penanggulangan terjadinya usaha tangkapan ikan yang berlebih over fishing
dengan ukuran panjang yang tidak layak tangkap demi menjaga keberlangsungan adanya populasi ikan di perairan Utara Aceh.
Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a pada perairan Utara Aceh berada pada kisaran 0,2 mgm
3
. Kisaran ini cukup memadai bagi suatu perairan, sehingga walaupun ada fluktuasi klorofil-a yang terjadi di
suatu perairan tidak akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gower 1992, yang menjelaskan bahwa konsentrasi dari
pigmen-pigmen klorofil-a di perairan dapat dikaitkan dengan produksi ikan, dimana konsentrasi klorofil-a 0,2 mgm
3
menunjukkan kehidupan fitoplankton memadai untuk menopang atau mempertahankan kelangsungan perkembangan
perikanan komersial. Klorofil sebesar 0,2 mgm
3
mampu menunjang untuk penangkapan ikan dalam skala ekonomis Anonim 2003 dalam Almuas 2005.
Safruddin dan Zainuddin 2008 juga berpendapat bahwa keberadaan konsentrasi klorofil-a sebesar 0,2 mgm
3
mengindikasikan keberadaan plankton yang cukup untuk menjadi kelangsungan hidup ikan-ikan ekonomis penting.
Dalam kontek hubungan antara klorofil-a terhadap hasil tangkapan, disini konsentrasi klorofil yang terdapat di suatu perairan tidak akan langsung