Perilaku dan Adaptasi TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Kesehatan

Menurut Sanchez 2008 pemeriksaan medis yang utama dilakukan pada saat satwa didatangkan adalah mengidentifikasi status umum seperti mengukur berat badan dan suhu tubuh, menilai tingkat aktifitas aktif atau tidak aktif, memeriksa kondisi kesehatan apakah mengalami dehidrasi, memeriksa warna mukosa dan status rambut. Ciri-ciri yang dapat dilihat ketika kukang mengalami dehidrasi adalah matanya menjorok ke dalam dan kulitnya tidak elastis. Berdasarkan protokol kesehatan satwa, setiap satwa yang baru datang harus melalui prosedur medis, diantaranya adalah tes tuberculin pemeriksaan bakteri tuberculosis, de-worming pemberian obat cacing, pengecekan suhu internal, pengukuran berat badan, identifikasi jenis mengambil gambar wajah dan bagian punggung untuk menentukan jenis satwa dan pengukuran panjang tubuh. Selanjutnya Sanchez 2008 juga menjelaskan bahwa permasalahan kesehatan yang sering terjadi pada kukang adalah infeksi gigi akibat kerusakan atau pemotongan oleh manusia dan harus diobati dengan antibiotik karena dapat menimbulkan pneumonia yang dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba. Gejala awalnya bisa berupa hilangnya bunyi sengau, bersin berkepanjangan atau hilangnya nafsu makan. Internal parasit adalah penyebab kematian yang lain pada kukang dan dapat mempengaruhi kondisi kukang. Kukang juga dapat menderita stres dan mengalami perilaku stereotypical penyimpangan perilaku, salah satu bentuknya adalah mengutui atau menggaruk tubuhnya sendiri selfgrooming. Selain itu, trichobezoar juga dapat menyebabkan kematian yang diakibatkan oleh penyumbatan saluran pencernaan oleh rambut-rambut yang tidak sengaja tertelan kukang saat menjilati tubuhnya lalu mengakibatkan intussusceptions yang mematikan, serta malnutrisi dan defisiensi merupakan salah satu bentuk penyakit pathology yang umum terjadi pada kukang ketika menjadi hewan peliharaan, sehingga penting dilakukan pemberian suplemen vitamin atau protein.

2.5 Perilaku dan Adaptasi

Kukang merupakan satwa yang hidup di pohon arboreal dengan pergerakan menggunakan keempat anggota tubuhnya quadropedal Supriatna dan Wahyono 2000 dan merupakan satwa yang hampir semua aktivitasnya dilakukan pada malam hari nokturnal Asnawi 1991. Ketika siang hari kukang lebih menyukai tidur di lubang, celah di antara pohon atau di rumpun bambu Choudhury 1992. Cara tidur kukang yaitu bergulung seperti bola dengan kepala diantara kaki Supriatna dan Wahyono 2000, dan akan tidur telentang berbaring ketika cuaca panas Tenaza et al. 1969. Asnawi 1991 juga menyatakan bahwa kukang mulai menggulung pukul 04.00 hingga memulai aktivitasnya pada pukul 16.00 jika tidak ada gangguan, serta tidak dipengaruhi oleh suhu dan cahaya pada malam hari. Kukang merupakan satwa yang cara hidupnya menyendiri soliter Bransilver 1999 atau berpasangan monogamous Asnawi 1991. Selanjutnya Asnawi 1991 juga mengungkapkan bahwa cara makan satwa ini pertama-tama dengan cara mencium makanannya dan kemudian mengambilnya dengan satu tangan kemudian menjilat makanannya sebelum dimakan. Selain itu, Bransilver 1999 menambahkan bahwa kukang juga bisa makan dengan kedua tangannya dengan cara menggantungkan kedua kakinya pada dahan. Sedangkan cara minum kukang yaitu dengan sikap membungkuk dan meminum cairan dengan cara menjilat menggunakan lidah Tenaza et al. 1969. Alterman 1995 menjelaskan bahwa kukang memproduksi racun dan polipeptida dari kelenjar brachial pada gigi dan cairan ini akan bersifat racun ketika bercampur dengan air liur saliva, racun ini berfungsi untuk menangkal predator. Bayi kukang dijaga dengan air liur induknya ketika ditinggalkan, kemungkinan untuk menangkal predator dan satwa ini bisa juga menggunakan gigitan sebagai cara mengantarkan racun. Cambell et al. 2004 mengungkapkan bahwa organisme dapat bereaksi terhadap variasi lingkungannya dengan berbagai respons fisiologis, morfologi dan perilaku jangka pendek, dimana semua respons tersebut terjadi di dalam suatu kerangka kerja cara beradaptasi yang dibentuk oleh seleksi alam, yang bekerja selama periode evolusioner. Respon fisologis terhadap variasi lingkungan dapat juga meliputi aklimasi penyesuaian yang melibatkan perubahan mendasar namun masih dapat kembali seperti semula. Respon morfologis merupakan respon yang mengubah bentuk atau anatomi internal tubuh yang dapat berkembang selama masa hidupnya. Respon perilaku merupakan respon yang paling cepat pada banyak hewan terhadap perubahan lingkungan yang tidak menyenangkan atau berpindah ke lokasi baru. Namun beberapa hewan mampu memodifikasi lingkungan sementaranya dengan perilaku sosial yang kooperatif. Cooper dan Albentosa 2005 menyebutkan bahwa adaptasi merupakan kecenderungan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang baru. Perilaku stereotip merupakan salah satu contoh adaptasi satwa yang berada di suatu penangkaran atau di lingkungan baru di luar habitat alaminya. Dan salah satu tantangan yang dihadapi suatu penangkaran yaitu ada aspek dalam lingkungan buatan manusia yang melibatkan satwa tidak mampu beradaptasi, dalam hal ini, adalah tanggung jawab pengelola untuk mengurangi dampak dari tantangan atau memberikan kesempatan untuk beradaptasi. Dampak dari perilaku stereotip ini yaitu akan berpengaruh pada perilaku sosial yang terisolasi serta perilaku makan yang kurang akan konsentrat serat yang tinggi. Sedangkan Kimball 1983 menyatakan bahwa kebanyakan satwa dapat bertahan hanya dengan kisaran suhu, kelembaban, salinitas dan lain-lain, yang kisarannya relatif tergantung dari masing-masing satwa seperti burung dan mamalia yang memiliki mekanisme efisiensi untuk mempertahankan kontrol homeostatis yang melebihi lingkungan internal mereka. Hasil dari adaptasi reseptor akal dapat ditunjukan oleh fakta bahwa respon bersifat tahan lama. Ketika sudah sepenuhnya terbiasa, satwa tidak akan merespon stimulus lain dari luar. Sehingga adaptasi perlu dilakukan untuk menyetahui penyebab langsung mengapa satwa berperilaku tertentu dalam kehidupan satwa yang telah menghasilkan perilaku yang tidak sesuai.

2.6 Pemanfaatan dan Status Perlindungan