Organisasi Rantai Nilai The Role of Partnership Analysis to Value Chain of Small-scale Beef Cattle farming in Banjarnegara District, Central Java Province

tingkat Kabupaten untuk kemudian di potong di Rumah Potong Hewan RPH di masing-masing wilayah. Setelah pemotongan berlangsung, sapi hidup berubah bentuk menjadi karkas sebelum akhirnya berubah bentuk menjadi daging sapi siap jual. Saluran pemasaran sapi potong dengan sistem kemitraan dapat di lihat pada gambar 7.2. Gambar 7.2. Saluran pemasaran ternak sapi potong dengan sistem kemitraan Gambar 7.2 menunjukkan bahwa produsen peternak dan peternak besar sekaligus sebagai pemilik modal dan pedagang merupakan satu kesatuan organisasi pemasaran. Peternak dan pemilik modal kemudian menjual sapi potong ke pedagang pemotongpengecer dan pedagang pemotongpengecer langsung menjual produknya ke konsumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sinaga 2002 yang menyatakan bahwa secara umum terdapat dua kombinasi pemasaran yaitu saluran pemasaran yang tidak memiliki tingkat perantara dan sauran pemasaran tidak langsung yaitu saluran yang memiliki satu atau lebih tingkat perantara. Ada atau tidaknya tingkat perantara kemungkinan dapat mempengaruhi harga dan informasi yang dimiliki oleh peternak. Pada saluran pemasaran sistem kemitraan, wilayah domisili dari pedagang perantara adalah di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, dimana wilayah tersebut merupakan wilayah dengan jumlah konsumen paling banyak dibandingkan wilayah lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, persyaratan kuantitas dan kualitas daging menjadi prioritas bagi pedagang pemotongritel. Fungsi dan peran yang dimiliki oleh kedua belah pihak sesuai dengan hak dan kewajiban yang terdapat pada sistem kemitraan. Fungsi dan peran peternak mitra adalah peternak mendapatkan sapi bakalan dari peternak besarpedagang untuk kemudian digemukan selama beberapa waktu tertentu. Selama periode penggemukan, peternak mengeluarkan biaya pakan, tenaga kerja dan biaya input lainnya. Selain mengeluarkan biaya, peternak juga mendapatkan pinjaman modal untuk modal pembelian sapronak apabila dibuutuhkan, penyuluhan tentang budidaya dan kesehatan. Setelah cukup waktu atau cukup umur, sapi yang sudah siap jual kemudian diserahkan ke pedagangpeternak besar. Penyerahan sapi tersebut dengan cara peternak mitra menghubungi pemilik modal untuk mengambil sapi di tempat tinggal peternak. Pengangkutan disediakan oleh pemilik modal. Sehingga dalam hal ini peternak tidak memiliki fungsi pertukaran,fungsi penyimpanan maupun fungsi pengangkutan. Fungsi dan peran selanjutnya adalah fungsi dan peran yang dimiliki oleh pedagangpeternak besar atau pemilik modal. Pemilik modal membeli bakalan dari Pasar Hewan Wonosobo atau Pasar Hewan Banjarnegara pada hari-hari pasaran tertentu sesuai dengan permintaan peternak. Sapi bakalan kemudian diberikan kepada peternak mitra. Setelah 8-15 bulan periode masa pemeliharaan, peternak menghubungi pemilik modal untuk mengambil sapi siap jual tersebut. Sapi yang berasal dari peternak kemudian sebagian besar di simpan terlebih dahulu di kandang pemilik modal sampai hari tertentu, dimana pemilik modal atau pedagang melakukan transaksi dengan pedagang pemotong di Kabupaten. Biaya Peternak Pedagang Peternak besar Pedagang pemotongPegecer yang dikeluarkan oleh pedagang atau pemilik modal adalah biaya transportasi, tenaga kerja, biaya retribusi dan biaya penyimpanan. Sapi potong dari pemilik modal atau pedagang kemudian di standarisasi berdasarkan bobot sapi dan kondisi sapi dari segi fisik maupun kesehatan. Sapi denga bobot badan cukup lebih dari 357 KgST kemudian di jual ke pedagang pemotong di Kabupaten. Sedangkan sisanya, sapi dengan kondisi sakit atau berat badan kurang di jual ke pedagang pemotong di tingkat Kecamatan. Fungsi dan peran selanjutnya adalah fungsi dan peran yang dimiliki oleh pedagang pemotong. Pedagang pemotong melakukan pembelian langsung dari peternak maupun pedagang perantara di bawahnya. Pedagang pemotong memiliki karakteristik khusus, yaitu pedagang yang memiki banyak unit usaha. Unit usaha tersebut adalah peternakan penggemukan sapi potong, perdagangan sapi bakalan, usaha pemotongan, dan usaha pengecer daging. Beberapa usaha tersebut di kelola dalam satu manajemen yang bersifat professional dalam hal ini jelas pembagian tugas dan peran tenaga kerjanya. Sapi potong yang telah disepakati, akan di antar oleh pedagang perantara ke rumah pemotongan hewa milik pemerintah. Rumah pemotongan hewan ini adalah rumah pemotongan hewan tipe B, dimana rumah pemotongan hewan tipe B adalah RPH berkapasitas leih dari 500 ekor sapi dan sudah dilengkapi dengan fasilitas pemotongan dan sanitasi yang baik. Rata-rata jumlah transaksi yang dilakukan pedagang pemotong adalah 7 kali transaksi, masing-masing transaksi 1- 2 ekor sapi dalam satu minggu pada saat hari biasa, dan 2-4 ekor sapi pada saat hari-hari menjelang ramadhan, hari raya dan hari menjelang idul adha. Pedagang pemotong tidak melakukan penyimpanan sapi potong hidup karena penyimpanan dilakukan di RPH sebelum pemotongan dilakukan. Pedagang pemotong juga tidak melakukan penyimpanan hasil pemotongan, karena daging hasil pemotongan sudah terjual di tempat atau langsung dijual ke pasar daging. Standarisasi yang dilakukan oleh pedagang pemotong adalah kualitas daging, bagian daging has dalam, daging sirloin, dan produk sampingan. Standar pemotongan lain adalah standar nilai persentase karkass. Dalam hal pengepakan, pedagang perantara tidak melakukan pengepakan khusus. Daging yang telah siap jual kemudian langsung di packing dalam plastik sesuai grading sebelum dijual ke pasar daging. Setiap proses transaksi pasti memilki peluang dan hambatan untuk di kelola. Permasalahan yang terjadi di saluran kemitraan ini terkait dengan permasalahan yang terjadi di tingkat peternak terkait dengan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh peternak dan pedagang. Peternak mitra seringkali tidak mematuhi perjanjian terutama terkait perjanjian sistem penggemukan periode pemeliharaan, pemberian pakan konsentrat, dan kebersihan. Oleh karena itu, peternak mitra rentan memiliki resiko penyakit pada ternaknya. Adanya penyakit tersebut mempegaruhi berat badan dan kondisi fisik yang dimiliki oleh sapi sehingga nantinya mempengaruhi kualitas karkass dan daging. Permasalahan selanjutnya adalah terkait dengan pembayaran dan presentase karkass dari pedagang pemotong ke pedagang perantara. Resiko pembayran berupa kemacetan pembayaran yang seharusnya dilakukan satu minggu setelah pemotongan di lakukan, kemacetan tersebut bisa terjadi karena beberapa hal, diantaranya karena kelalaian pedaang pemotong maupun disebabkan oleh keterlambatan pembayaran ditingkat pembeli. Resiko seanjutnya adalah persentase karkass, karkass dari pedagang pemotong seringkali tidak sesuai dengan penghitungan pedagang perantara. Hal ini merugikan pedagang perantara karena harga yang diterima pedagang perantara bisa saja lebih kecil dari harga yang seharusnya.

7.1.3 Saluran Pemasaran Sistem Tidak Bermitra

Tipe saluran berikutnya adalah tipe saluran tidak bermitra atau saluran dimana sapi potong berasal dari produsen atau peternak yang bekerja secara mandiri. Lembaga pemasaran atau aktor yang terlibat dalam sistem pemasaran sapi potong tipe mandiri meliputi pedagang penerima pedagang desa, pedagang kecamatan, pedagang pemotong dan pedagang kecamatan yang sekaligus memiliki peran sebagai pedagang pemotong dan retailer. Berdasarkan lembaga pemasaran yang terlibat, maka terdapat 3 saluran pemasaran ternak sapi potong di tipe mandiri. Gambar 7.3. Gambar 7.3 Saluran pemasaran ternak sapi potong Kecamatan Wanayasa sistem tidak bermitra Berdasarkan gambar 7.3, terdapat 3 saluran pemasaran yang terbentuk : 1. Saluran 2. Pada saluran 2, ada empat aktor yang terlibat, yaitu peternak, pedagang desa, pedagang kecamatan, dan pedagang pemotong sekaligus retailer. Peternak menjual sapi ke pedagang desa yang datang ke lokasi atau desa tempat peternak berdomisili. Pedagang desa kemudian melakukan tawar-menawar dengan peternak dengan informasi harga yang berasal dari peternak desa. Dari pedagang desa, sapi potong kemudian dijual ke pedagang tingkat kecamatan. Sapi potong dari pedagang kecamatan, kemudian di potong di pedagang pemotong. Sapi potong di pedagang pemotong mengalami perubahan bentuk, dari sapi hidup ke karkass sebelum menjadi daging sapi siap jual. Dari pedagang pemotong, daging sapi kemudian di salurkan ke konsumen individu maupun konsumen yang memiliki usaha pengolahan daging sapi. Sedangkan produk sampingan dari sapi, akan dibeli oleh pedagang pemborong yang sudah berlangganan. Sistem pembayaran di saluran dua ini dibagi menjadi dua yaitu sistem pembayaran tunai dan piutang. Peternak yang menjual ke pedagang desa akan cenderung memilih untuk di bayar tunai apabila pedagang desa yang datang adalah pedagang yang tidak ia kenal. Sedangkan apabila pedagang desa yang datang adalah pedagang Peternak Pedagang Kecamatan Pedagang pemotongPegecer Pedagang Desa Pedagang pemotongPegecer Tingkat Kecamatan yang mereka kenal, peternak bersedia dibayar satu minggu setelah transaksi berlangsung atau ditukar dengan sapi bakalan dan akan dibayar selisih harga nya. Sedangkan pedagang pemotong atau pengecer melakukan pembayaran secara bertahap setelah seluruh hasil potonganya laku di jual kepada pedagang kecamatan, sehingga pedagang kecamatan terkadang harus membayar pedagang desa satu minggu setelah transaksi. 2. Saluran 3. Pada saluran 3, terdapat tiga aktor atau lembaga pemasaran yang terlibat, yaitu peternak, pedagang kecamatan, dan pedagang pemotong. Peternak menjual sapi potong hidup ke pedagang kecamatan. Dari pedagang kecamatan, sapi potong kemudian dijual ke pedagang pemotong di tingkat Kabupaten.. Pembayaran yang terjadi antara peternak dan pedagang kecamatan adalah sistem pembayaran tunai, sedangkan pembayaran antara pedagang pemotong dan pedagang kecamatan adalah sistem pembayaran tidak tunai. Pada tipe saluran ini, para aktor sudah saling mengenal dalam jangka waktu yang lama, sehingga sudah ada kepercayaan antar aktor. 3. Saluran 4. Pada saluran 4, terdapat tiga lembaga pemasar, yaitu peternak, pedagang desa dan pedagang kecamatan yang memiliki usaha sekaligus sebagai pedagang pemotong. Peternak menjual sapi potong hidup ke pedagang desa, kemudian pedagang desa menjual sapi potong kepada pedagang kecamatan sekaligus sebagai pedagang pemotong dan retailer. Pembayaran pada saluran ini dilakukan dengan pembayaran kredit atau satu minggu setelah transaksi dilakukan. Hal ini mengingat antara peternak, pedagang desa dan pedagang pemotong biasanya sudah saling mengenal. Peran dan fungsi masing-masing aktor di saluran tidak bermitra di jelaskan sebagai berikut : Peternak Peternak tidak bermitra yang teridentifikasi dibagi kedalam dua tipe, yaitu tipe satu atau tipe peternak yang menjual sapi potong ke pedagang desa, dan tipe dua yaitu tipe peternak yang menjual sapi potong ke pedagang kecamatan. Perbedaan peternak mitra dengan peternak yang tidak bermitra adalah dari segi penyidiaan faktor produksi dan Dari 30 responden peternak tidak bermitra yang teridentifikasi, sejumlah empat orang peternak menjual sapinya langsung ke pedagang kecamatan tanpa melalui pedagang perantara. Mereka adalah peternak yang memiliki akses baik dari segi jarak maupun ketersediaan transportasi dengan pedagang kecamatan.Sedangkan ke dua puluh enam peternak lainnya adalah peternak yang menjual ternak sapi potong ke pedagang desa. Mereka adalah peternak yang memiliki lokasi cukup jauh dari pedagang kecamatan maupun peternak yang tidak diterima produknya oleh pedagang kecamatan meskipun lokasinya berdekatan. Peternak tipe satu membeli sapi bakalan dari pedagang desa yang keliling dari satu rumah peternak ke peternak lainnya pada hari-hari tertentu. Pedagang desa yang datang , menawarkan sapi dengan harga yang sudah di sepakati. Penimbangan sapi dihitung berdasarkan lingkar dada dan judging dari peternak maupun pedagang. Dalam sistem judging ini masing-masing pedagang sudah memiliki rumus yang mereka peroleh berdasarkan kebiasaan. Ada kalanya rumus tersebut sesuai dengan bobot badan sapi yang sebenarnya, akan tetapi seringkali rumus tersebut tidak sesuai dengan bobot sapi yang sebenarnya. Pembelian sapi dilakukan secara tunai, maupun tidak tunai. Sebelumnya, pedagang lebih memilih membayar dengan sistem utang akan tetapi beberapa saat belakangan, peternak enggan menunda pembayaran karena pedagang seringkali tidak datang lagi atau menghilang. Sistem lainnya adalah sistem tukar tambah, dimana peternak mendapatkan bakalan yang ditukar dengan sapi yang akan dijual dengan pembayaran selisih dari harga kedua sapi tersebut. Peternak ini memiliki karakteristik lain yaitu sangat tergantung kepada pedagang desa yang datang. Sehingga berapapun tawaran yang diberikan pedagang desa, peternak biasanya menyetujui. Peternak tipe dua membeli sapi bakalan dari pedagang desa maupun pedagang kecamatan. Peternak datang ke lokasi penjualan sapi atau kandang pedagang kecamatan dan mulai menaksir beberapa sapi yang di jual. Penimbangan sapi dihitung berdasarkan lingkar dada yang dimiliki oleh sapi. Harga jual sapi potong dibedakan berdasarkan kondisi sapi mapun jenis sapi. Sapi Brahman cross akan di jual lebih tinggi dibandingkan sapi lainnya. Kondisi sapi yang sehat dan tegak juga dihargai lebih tinggi dari pada sapi yang memiliki kondisi tidak prima. Selanjutnya, setelah sapi di gemukan, pada jangka waktu 6- 18 bulan, sapi yang siap potong kemudian di jual pada pedagang kecamatan. Penimbangan atau penentuan bobot sapi juga didasarkan pada sistem judging lingkar dada dan kondisi luar sapi. Penentuan harga jual sapi oleh peternak didasarkan pada : 1 biaya produksi, 2 frekuensi pembelian dan penjualan, 3kualitas sapi, 4 kondisi permintaan dan penawaran pasar Pengangkutan ternak sapi potong untuk tipe satu dilakukan dengan menggunakan angkutan yang dimiliki oleh pedagang desa, atau dengan cara membayar sewa angkutan. Sedangkan untuk peternak tipe dua, pengangkutan dilakukan dengan cara menyewa angkutan dengan biaya sewa Rp.50.000 sekali jalan atau menggunakan angkutan milik sendiri. Resiko yang dihadapi oleh peternak tipe satu adalah resiko penyakit dan kematian. Adanya penyakit maupun kematian sapi membuat peternak mengalami kerugian yang cukup besar. Selain itu peternak tipe satu lebih rentan terhadap resiko pembayaran yang macet dari pedagang desa dari pada peternak tipe dua. Peternak tipe dua memiliki kepercayaan yang tinggi kepada pedagang kecamatan, karena pedagang kecamatan mudah ditemukan. Pedagang perantara Aktor yang berikutnya adalah pedagang perantara. Pedagang perantara dibedakan menjadi pedagang desa dan pedagang kecamatan. Pedagang desa adalah pedagang perantara yang melakukan penjualan bakalan dan pembelian sapi potong secar berkeliling dari satu desa ke desa lainnya.Sapi potong dari peternak kemudian di jual ke pedagang kecamatan baik pedagang kecamatan yang langsung memotong maupun pedang kecamatan yang berfungsi sebagai pedagang penerima atau pedagang perantara tipe kedua.Pedagang perantara tipe satu atau pedagang desa dapat digolongkan menjadi pedagang kecil. Karakterstik pedagang ini adalah jumlah pedagang yang banyak, domisili biasanya jauh dari lokasi ternak berbeda desa, membeli sapi dengan kualitas yang sama dan tidak terlalu memperhatikan standar. Karakteristik ini sesuai yang di jelaskan Martin and Jagadish 2006 dimana pedagang kecil menyuplai sejumlah produk segar dengan kualitas yang relatif rendah, harga yang rendah, berpindah dan menyimpan produk dengan sangat cepat dan sering, dibiayai atau dimodali oleh diri sendiri, dan memiliki sangat sedikit investasi dalam hal investasi aset tetap, membayar pekerja dengan bayaran yang rendah, dan menjalankan usaha dengan biaya rendag, resiko rendah akan tetapi keuntungan cukup tinggi. Pada kenyataanya, pedagang desa memiliki resiko dalam hal modal dan pembayaran. Banyak pedagang desa yang kehabisan modal, sehingga terjadi keterlambatan dalam hal pembayaran ke peternak. Hal ini membuat kepercayaan peternak terhadap pedagang desa menurun. Resiko lainya adalah ketidak mampuan pedagang desa untuk memenuhi kualitas yang dipersyaratkan pedagang kecamatan, meskipun demikian hal tersebut tidak menjadi masalah bagi pedagang desa. Pedagang desa bisa memilih pembeli dimanapun, meskipun dengan harga yang lebih murah daripada pedagang kecamatan. Pedagang perantara berikutnya adalah pedagang kecamatan. Pedagang ini di golongkan menjadi pedagang besar, karena frekuensi pembelian yang cukup besar setiap minggunya, yaitu 3-5 ekor sapi ST. Pedagang kecamatan menjual bakalan ke peternak dan membeli sapi dari peternak. Pedagang kecamatan membeli bakalan di Pasar Hewan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara setiap hari-hari pasaran tertentu. Pembelian dilakukan dalam dua hari dalam seminggu.Setelah pembelian dilakukan, pedagang menghubungi beberapa pembeli atau peternak yang sudah memesan sebelumnya atau menjual dengan cara membuka sistem lelang dengan beberapa peternak. Sapi-sapi dari peternak maupun pedagang desa yang telah di gemukan kemudian di jual kembali ke pedagang kecamatan. Pedagang kecamatan memiliki karakteristik menjual atau membeli produk dengan kualitas yang lebih baik daripada pedagang desa. Martin dan Jagadish 2006 menjelaskan bahwa pedagang besar memiliki karakteristik menjual produk dengan kualitas yang lebih baik dari pedagang kecil. Mereka memiliki aset tetap seperti truk maupun kandang, dan mereka menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Mereka mengenal baik pemasok yaitu peternak sekaligus mengenal baik pembeli, pedagang kecamatan memiliki usaha yang spesifik serta mudah di temukan karena usahanya diketahui setiap orang. Pada kenyataanya, pedagang kecamatan di Kecamatan Wanayasa tidak banyak menggunakan tenaga kerja keluarga dan memiliki sejumlah alat transportasi serta kandang untung penyimpanan. Pengangkutan dilakukan oleh pedagang kecamatan dengan menggunakan mobil pick up berkapasitas dua ekor sapi dewasa ST. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang kecamatan adalah biasa transportasi, biaya simpan, dan biaya bongkar muat. Penyimpanan dilakukan di kandang permanen yang dimiliki oleh pedagang. Masa penyimpanan biasaya dalam jangka waktu 1-3 hari sebelum sapi di jual ke pedagang pemotong. Resiko yang dihadapi pedagang kecamatan adalah ketidak konsistenan kualitas sapi potong dari peternak.Resiko lain adalah resiko pembayaran dari peternak yang macet maupun resiko pembayaran dari pedagang pemotong yang macet. Resiko ini harus didukung dengan kepemilikan modal yang cukup besar. Pedagang kecamatan juga menghadapi resiko berkurangnya bobot sapi,dan kaki sapi yang patah saat pengangkutan.Hal ini mengakibatkan berkurangnya keuntungan yang didapatkan oleh pedagang.Selain resiko diatas,beberapa tahun terakhir ini, pedagang mengeluhkan adanya fluktuasi harga daging maupun bakalan yang sulit dipresidiksi, hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah pembelian bakalan. Pedagang pemotong kecamatan Pedagang pemotong di Kecamatan Wanayasa melakukan pembelian langsung kepada peternak maupun pedagang desa di wilayah Kecamatan Wanayasa. Pedagang pemotong tipe ini adalah pedagang yang memiliki berbagai macam usaha sekaligus, yaitu sebagai peternak, pedagang perantara, pedagang pemotong serta pedagang pengecer. Pembelian ternak sapi potong dari pedagang desa atau dari peternak dalam bentuk ternak hidup dengan bobot hidup rata-rata 255 Kg dan frekuensi pembelian dan pemotongan rata-rata 1-2 ekor per hari.Pemotongan di lakukan di Rumah Potong Hewan milik Kecamatan Wanayasa. Pedagang pemotong kemudian menjual dalam bentuk daging, tulang, jeroan, dan tetelan, sedangkan untuk kulit dijual kepada penampung kulit yang datang ke RPH. Pedagang pemotongpengecer juga melakukan penjualan daging sapi potong kepada sesama pedagang pengecer, akan tetapi dalam jumlah kecil yaitu sebesar 12-15 kg per hari. Dengan tipe bisnis ganda, pedagang pemotongpengecer tipe ini melakukan aktifitas penyimpanan ternak sapi potong sehubungan dengan pembelian ternak yang dilakukan satu atau dua hari sebelum pemotongan.Tempat penyimpanan ini berbentuk kandang permanen dengan ukuran 2x2 m persegi.Oleh karena itu, pedagang pemotong mengeluarkan biaya untuk penyimpanan berupa biaya pakan dan tenaga kerja. Pedagang pemotong juga memiliki alat penyimpanan daging selaku fungsinya sebagai pedagang pengecer. Alat penyimpanan itu berupa mesin pendingin. Penyimpanan dilakukan apabila daging tidak laku, dan atau apabila ada pemesanan khusus yang dilakukan oleh konsumen akhir. Pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang pemotongpengecer di wilayah kecamatan wanayasa adalah satu kali pengangkutan dengan menggunakan mobil pick up sendiri berkapasitas 8 kg karkas. Selanjutnya pengangkutan daging yang dilakukan oleh pedagang pemotongpengecer ke pasar tradisional di Kecamatan menggunakan mobil atau motor. Standarisasi yang dilakukan oleh pedagang pemotongpengecer digolongkan berdasarkan jenis sapi, bobot badan dan penampilan luar. Standar pemotongan sapi potong di wilayah kecamatan wanayasa ini berbeda dengan standar pemotongan di wilayah Kabupaten, penghitungan bobot sapi tidak menggunakan berat karkas akan tetapi berat ke empat kaki atau disebut sampir empat. Penghitungan dengan menggunakan sistem sampir empat membuat prosentase daging yang dimiliki oleh sapi lebih kecil dari pada penghitungan karkas, sehingga banyak peternak atau pedagang yang lebih besar enggan untuk memotong ke pemotongan Wanayasa. Penggolongan untuk potongan hasil ternak yang di jual ke konsumen di Wilayah Kecamatan Wanayasa dibedakan menjadi daging, usus, limpa, tetelan, paru, babat, tulang, hati, buntut serta kulit. Penggolongan daging yang dijual di Wilayah ini hanya membedakan daging has dalam dan bukan daging has dalam. Resiko yang biasa dialami oleh pedagang pemotongpengecer kecamatan adalah presentase hasil sampir empat yang rendah, segingga total harga jual yang diperoleh lebih rendah daripada harga beli ternak hidup karena pembelian dilakukan dalam bentuk ternak hidup. Selain itu, kualitas sapi yang di jual oleh peternak atau pedagang desa kurang, sehingga bobot daging yang di peroleh sangat kecil. Pedagang pemotongpengecer kecamatan juga meghadapi resiko keterlambatan atau bahkan macetnya pemabayaran karena sebagian besar pembeli melakukan pembayaran secara tidak tunai, hal ini dikarenakan pedagang pengecer tidak secara langsung menjual habis dagangannya pada waktu tersebut. Pedagang Pemotong di Wilayah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara Tipe pedagang pemotong yang kedua adalah pedagang pemotong di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Pedagang pemotongpengecer di kedua wilayah ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Pedagang pemotong atau pengecer adalah pedagang pemotong yang memotong di RPH milik pemerintah Kabupaten Wonosobo maupun Kabupaten Banjarnegara. Pedagang pemotongpengecer melakukan pembelian ternak sapi potong dari pedagangpeternak besar dalam bentuk ternak hidup, dengan bobot hidup rata-rata 280 Kgekor dan frekuensi pembelian rata-rata 2 sampai 3 ekor per minggu dari dua peternak di Kecamatan Wanayasa atau rata-rata 2 ekor perhari pemotongan di RPH pada hari-hari biasa, dan lebih dari 2 ekorhari pada hari-hari tertentu seperti hari besar dan hari libur. Pedagang pemotong ini kemudian melakukan penjualan di pasar, baik itu penjualan daging kepada konsumen maupun pedagang pengecer. Harga beli yang ditetapkan oleh pedagang pemotong adalah harga per kg bobot hidup yang kemudian di kalkulasikan menjadi bobot karkas. Harga ini pula yang kemudian menjadi patokan dalam penentuan harga ke peternak mitra. Penjualan potongan hasil ternak dilakukan di pasar. Penjualan dilakukan dalam bentuk daging, tulang, tetelan, jeroan di jual pada pemborong jeroan. Sedangkan kulit akan dijual langsung kepada para pengepul yang datang ke RPH. Pedagang pemotong tidak melakukan penyimpanan ternak sapi potong karena penyimpanan ternak sapi potong di lakukan di RPH dan langsung di lakukan pemotongan setelah proses pembelian dilakukan. Pedagang pemotongpengecer juga tidak melakukan penyimpanan atau pemotongan terhadap hasil ternak sapi potong, karena begitu pemotongan selesai dilakukan, maka hasil pemotongan langsung dijual di tempat maupun diangkut ke pasar. Pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang pemotongpengecer di wilayah Wonosobo maupun Banjarnegara dengan menggunakan mobik pick up sendiri dengan kapasitas 8 ekor karkas. Selanjutnya pengangkutan dilakukan ke wilayah pasar di masing-masing kabupaten dengan menggunakan kendaraan dari masing- masing pembeli. Standarisasi yang dilakukan oleh pedagang pemotong di setiap wilayah digolongkan berdasarkan jenis sapi, jenis kelamin, bobot badan dan penampilan luar sapi seperti kondisi kesehatan mulut, telinga serta kaki. Jenis sapi yang banyak di beli adalah sapi Limousine, simental, dan Brahman cross. Standar pemotongan di kedua wilayah ini memiliki standar yang hampir sama, akan tetapi di wilayah Kabupaten Wonosobo pada proses pemotongan dan pembersihan lebih baik dari pada di kabupaten Banjarnegara. Pemotongan di Wilayah Wonosobo lebih bersih dibandingkan dengan di Kabupaten Banjarnegara karena semua lemak dibersihkan hingga lemak yang melekat pada daging. Hal ini menyebabkan presentase karkas yang keluar juga berbeda dengan selisih 4-7 . Penggolongan untuk potongan hasil ternak yang dijual ke konsumen di kedua wilayah dibedakan menjadi daging, usus, tetelan, paru, babat, tulang, hati, buntut dan kulit dengan harga yang berbeda. Penggolongan harga daging dibedakan berdasarkan daging paha depan dan daging paha belakang dengan harga yang berbeda. Pedagang pengecer tidak melakukan pengepakan khusus, hanya digunakan pengepakan secara sederhana yaitu dengan menggunakan plastic. Resiko yang dihadapi oleh pedagang pemotongpengecer di kedua wilayah adalah presentase karkas yang rendah, sehingga total harga jual yang diterima lebih rendah dari pada harga beli ternak hidup, karena pembelian dilakukan dalam bentuk ternak hidup. Resiko tersebut biasa dialami oleh pedagang pemotongpengecer yang kurang berpengalaman dalam memperkirakan presentase karkas. Selain itu, resiko lain adalah resiko keterlambatan pembayaran yang dilakukan oleh konsumen baik konsumen lembaga maupun konsumen individu karena sebagian besar konsumen adalah konsumen pemiliki rumah makan atau usaha pengolahan daging terutama bakso. Selain itu resiko daging tidak terjual habis di pasar, namun pedagang menyiasatinya dengan melakukan penyimpanan untuk kemudian di jual dengan harga yang lebih renda

7.2 Akses Terhadap Lingkungan Pendukung

Aktivitas rantai nilai dikategorikan menjadi dua jenis,yaitu aktivitas pemasaran yang kemudian di sebut aktivitas primer dan aktivitas pendukung seperti akses terhadap infrastruktur, manajemen sumberdaya manusia, pengembangan teknologi dan pengadaan. Aktivitas pendukung ini senantiasa akan menyatukan fungsi-fungsi yang melintasi aktivitas primer yang beraneka ragam, serta bermanfaat untuk membagi lebih lanjut aktivitas primer yang ada di sepanjang rantai untuk kemudian menciptakan nilai tambah. 7.3.1 Akses Terhadap Infrastruktur dan Ketersediaan Transportasi Ketersediaan infrastruktur dan transportasi merupakan akses yang memiliki peran signifikan terhadap kemampuan lembaga pemasaran dalam mengakses pasar Muchara 2011. Infrastruktur dalam usaha ternak penggemukan sapi potong yang dimaksudkan di sini adalah ketersediaan akses jalan, akses terhadap lembaga kesehatan hewan, akses pasar hewan, akses rumah potong hewan yang memadai, dan akses terhadap pusat informasi harga. Ton 2012 menyebutkan bahwa dalam rantai nilai, keterbatasan akses infrastruktur yang dimiliki aktor dapat diartikan sebagai ketiadaaan fasilitas pemasaran seperti jalan penghubung yang baik, pasar yang baik, dan rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan kualias. Selain itu keberadaan sarana transportasi dapat diartikan sebagai ketersediaan alat angkut untuk mengangkut ternak. Adanya infstruktur yang baik ditunjang dengan ketersediaan alat transportasi sangat membantu peternak dan pedagang dalam meningkatkan kinerjanya. Pada table 7.1, kemampuan aktor dalam mengakses infrastruktur bervariasi tergantung kepada lokasi aktor tersebut berada dan tipe aktor atau lembaga yang diidentifiksi di bab sebelumnya. Kemampuan akses infrastruktur yang dimiliki oleh peternak mitra tergolong sedang 53 persen. Kemampuan akses sedang dapat diartikan bahwa peternak mitra memiliki akses terhadap keberadaan jalan yang baik aspal karena lokasi tempat tinggal atau kandang peternak berada dekat dengan akses Jalan Raya. Akan tetapi, peternak mitra tidak memilki akses terhadap keberadaan fasilitas lain, seperti fasilitas pasar hewan dan fasilitas RPH. Kemampuan peternak mitra rendah 47 persen disebabkan peternak berada di lokasi jauh dari pusat Kecamatan dan tidak memiliki akses langsung terhadap pasar. Kemampuan peternak tidak bermitra tipe satu tergolong rendah 31 persen, peternak dengan akses rendah ini berarti tidak memiliki akses terhadap keberadaan infrastruktur fisik yang memadai. Kemampuan peternak tidak bermitra tipe dua digolongkan memiliki akses sedang terhadap keberadaan infrastruktur 83 persen. Peternak tidak bermitra tipe dua memiliki lokasi tempat tingga dekat dengan pusat kecamatan dan mampu mengakses jalan raya beraspal. Kemampuan peternak dalam mengakses infrastruktur tersebut kemudian mempengaruhi peternak untuk mengakses pasar. Hal ini dapat dibuktikan dengan akses pedagang yang dimiliki oleh peternak. Peternak tidak bermitra tipe satu dengan akses yang rendah menjual ke pedagang desa disebabkan oleh ketidak mampuan peternak membawa ternak ke pusat Kecamatan. Sedangkan peternak tipe dua, dengan akses sedang langsung terhadap pedagang tingkat Kecamatan. Perbedaan kemampuan akses ini kemudian mempengaruhi nilai marjin yang terbetuk di masing-masing rantai. Kemampuan pedagang desa untuk mengakses infrastruktur tergolong sedang 100 persen. Hal ini disebabkan oleh kondisi jalan yang harus dilalui pedagang desa yaitu jalan desa yang berjarak lebih dari 20 Km dari pusat kecamatan, dan hampir 50 Km dari pusat pasar di Kabupaten dengan kondisi infrastruktur jalan yang rusak dan landscape pegunungan yang berkelok-kelok. Meskipun demikian, pedagang desa masih tetap memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengakses jalan yang baik ketika menjual produknya. Kemampuan pedagang kecamatan dan pedagang pemotong dalam mengakses infrastruktur dan transportasi tergolong tinggi dengan skor 3. Kemampuan akses tersebut dapat dilihat dari bagaimana situasi yang dihadapi pedagang dalam menjual dan membeli produknya. Meskipun pedagang kecamatan harus menempuh jarak 30-35 Km ke pusat kota, akan tetapi ketersediaan kendaraan dan infrastruktur jalan yang bagus memungkinkan pedagang kecamatan mengantarkan ternak tepat pada waktunya. Pedagang kecamatan dan pedagang pemotong juga dapat dengan mudah mengakses pasar hewan dan berbagai fasilitas yang tersedia di pasar tersebut. Akses lain adalah akses ke rumah potong hewan di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, dimana RPH di kedua kabupaten tersebut telah dilengkapi fasilitas pemotongan dan tergolong dalam RPH kelas B, sedangkan RPH di kecamatan Wanayasa merupakan RPH tipe C atau tipe RPH dengan daya tamping kurang dari 20 ternak per pemotongan. Tabel 7.1. Sebaran penilaian kemampuan aktor terhadap akses ketersediaan infrastruktur Tingkat Akses Nilai Akses Jumlah Persentase

1. Peternak mitra

n=30 Tinggi - Sedang 16 53 Rendah 14 47 2.Peternak NM tipe 1 n=22 Tinggi 20 31 Sedang 2 3 Rendah 3.Peternak NM tipe 2 n=8 Tinggi Sedang 5 63 Rendah 3 38 4.Pedagang desa n=5 Tinggi Sedang 5 100 Rendah 5.Pedagang kecamatann=2 Tinggi 2 100 Sedang Rendah 6.Pedagang pemotong n=3 Tinggi 2 67 Sedang 1 33 Rendah Akses selanjutnya adalah akses terhadap keberadaan alat transportasi untuk mengangkut ternak. Pada table 7.2 Kemampuan aktor dalam mengakses alat trasportasi bervariasi tergantung pada ketersediaan modal. Kemampuan peternak mitra dalam mengakses transportasi tergolong sedang 93 persen. Peternak tersebut tidak memiliki akses sarana transportasi sendiri, akan tetapi peternak dapat dengan mudah menyediakan alat transportasi sehubungan dengan sistem kemitraan yang diikuti. Peternak yang tidak memiliki akses sama sekali 7 persen yaitu peternak yang mengalami kesulitan baginya untuk menghubungi pemilik modal. Kemampuan akses peternak tidak bermitra tipe satu terhadap transportasi tergolong sedang 63 persen dan tinggi 57 persen. Kemampuan peternak yang sedang adalah peternak yang tidak memiliki alat transportasi akan tetapi dengan mudah menghubungi pedagang kapanpun dia membutuhkan. Kemampuan peternak tinggi dapat diartikan bahwa peternak memiliki alat transportasi. Akses pedagang desa terhadap ketersediaan transportasi yaitu rendah 20 persen, sedang 20 persen dan tinggi 60 persen. Kemampuan pedagang desa yang rendah ketika pedagang desa tidak memiliki ketersediaan transportasi dan