Review Metode Analisis Rantai Nilai

Penilaian kinerja menjadi penting, sebab 1 merupakan ukuran keberhasilan suatu kegiatan usaha dalam kurun waktu tertentu dan 2 merupakan masukan untuk perbaikan atau peningkatan kinerja kegiatan usaha selanjutnya Riyanti, 2003. Kinerja rantai nilai di nilai berdasarkan kemampuan produsen untuk mengakses lingkungan pendukung dan perolehan nilai tambah. Pada tahap analisis kinerja ini, terdapat indikator penilaian kinerja rantai nilai, indikator tersebut adalah sebagai berikut Ton 2012, Baloyi 2010, Muchara 2010, Martin and Jagadish 2006 1 Infrastruktur Fisik dan Ketersediaan Transportasi Ketersediaan infrastruktur dan transportasi merupakan salah satu aspek yang krusial dalam pemasaran suatu produk pertanian. Infrastruktur yang dimaksudkan adalah fasilitas jalan yang baik proper road network, fasilitas pasar hewan, dan fasilitas rumah potong hewan seperti timbangan, peralatan, lahan parker, sanitasi dan sebagainya. Keterbatasan akses infrastruktur akan sangat mempengaruhi transaksi terutama dalam hal biaya transaksi. Jalan yang kurang baik akan mempengaruhi kemampuan peternakaktor dalam mengakses pasar secara tepat dan mempengaruhi kualitas ternak, akibatnya biaya transportasi semakin tinggi. Keterbatasan terhadap akses fasilitas akan mempengaruhi kondisi ternak kualitas produk.Sedangkan transportasi atau logistik penting untuk mengankut ternak sampai ke tujuan. Tanpa adanya alat transportasi, peternak atau aktor lain akan memiliki kendala dalam biaya transportasi dan kualitas produk susut berat badan 2 Akses Informasi dan Pengetahuan Peternak atau petani memiliki sejumlah karakteristik yang dapat mempengaruhi perilaku peternak dalam mengakses pasar. Karakteristik tersebut dipengaruhi oleh pendapatan, tingkat pendidikan, jenis ternak, ketersediaan informasi dan jarak dengan pasar. Informasi dan pengetahuan merupakan aspek yang krusial dalam pengembangan usaha ternaktani. Aliran informasi dalam kerangka rantai nilai adalah aliran informasi mengenai harga, spesifikasi produk baik produk sebelum maupun sesudah, informasi tentang pasar tempat dan waktu yang tepat untuk menjual produk, dan pembeli potensial dan informasi tentang kebijakan yang sedang berpengaruh. Semakin pendek saluran rantai nilai, maka aliran informasi akan menyebar sebakin baik Martin and Jagadish 2006. 3 Akses terhadap keberadaan organisasi Organisasi dalam pertanian seringkali di identikan dengan kelompok taniternak. Mosher 1987 menyatakan bahwa salah satu syarat sukses terlaksananya kekuatan pembangunan pertanian yaitu adanya suatu kegiatan kelompok tani. Kelompok tani dibentuk untuk mensejahterakan masyarakat petaniternak melalui kenaikan produktifitas serta distribusi pendapatan yang lebih merata. Abbas 1995 menyatakan bahwa terdapat beberapa peranan kelompok tani, yaitu: 1 sebagai kelas belajar bagi para petani agar terjadi interaksi, guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam berusahatani yang lebih baik serta berperilaku lebih mandiri untuk mencpai kehidupan yang lebih sejahtera, 2 sebagai unit produksi dalam pengertian kelompok tani merupakan kesatuan unit usaha untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan dan 3 sebagai wahana kerjasama antara anggota dan antara kelompok tani dengn pihak lain untuk memperkuat kerjasama dalam menghadapi berbagai macam ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan. Berdasarkan uraian di atas, keterlibatan peternak atau aktor lainnya dalam kelompok akan mempengaruhi kinerja rantai nilai. Semakin sering proses interaksi terjadi antara sesama anggota, maka proses pertukaran dan distribusi pengalaman akan berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pengelolaan usaha sapi potong termasuk di dalam nya produksi dan pemasaran. Terkait dengan sistem kemitraan yang ada, organisasi juga diidentikan dengan keterlibatan peternak dalam sistem kemitraan. 4. Governance structure dan hubungan antar aktor Pada pemetaan governance ini berhubungan erat dengan hubungan antar aktor. Menurut Williamson 1985, perintah governance ekonomi merujuk ke bagaimana institusi ekonomi yang berbeda memberikan kontribusi dalam memfasilitasi produksi dan perdagangan.Governance berhubungan erat dengan hubungan kontraktual dalam setiap hubungan yang berkelanjutan dan merupakan salah satu bagian dari nilai. Berdasarkan Spithoven dan Van and berg 2010 governance structure berhubungan dengan langkah penting untuk mengkoordinasikan transaksi dimana para aktor dapat menggunakan cara negosiasi didalam pasar, dimana aktor dalam pasar diidentifikasikan secara autonomous. Dalam konteks rantai nilai, governance terjadi dalam setiap hubungan yang terbentuk di sepanjang rantai. Kaplinsky dan Morris 2001 mendeskripsikan governance structure sebagai interaksi antar perusahaan sepanjang rantai nilai. Interaksi ini menunjukan level organisasi secara lebih teratur dalam hal pengaturan rules dan kekuatan. Rantai nilai memiliki governance structure apabila parameter persyaratan kualifikasi produk, proses dan logistic merupakan konsekuensi bagi keselurhan bagian dari rantai nilai baik produsen, distributor maupun pedagang untuk memenuhi keinginan pelanggan tersebut sesuai dengan aktifitas, peran, dan fungsi dari masing- masing aktor atau lembaga dalam rantai nilai. Atau dalam hal ini, rantai nilai akan ter govern dengan baik apabila tercipta suatu hubungan yang berkelanjutan antar aktor sehingga kualifikasi persyaratan pelanggan dapat dipenuhi bersama-sama. Legitimasi kekuatan governance tersebut diukur dari seberapa kuat hubungan antar aktor dengan parameter penilaian sebagai berikut : panjangnya kontrak, tipe prosedur pemesanan, tipe hubungan kontraktual, tipe titik inspeksi yang digunakan dalam menerima penerimaan, tingkatan keterikatan perusahaan satu dengan yang lain, tipe pendampingan secara teknik yang mengalir sepanjang rantai, tipe dan cara berkomunikasi, pembayaran serta penentuan harga.

3.2 Konsep Kemitraan

Menurut Pasal 1 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997, kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha besar atau usaha menengah disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling memiliki. Sehingga kemitraan adalah suatu jalinan kerjasama antara pelaku agribisnis mulai dari kegiatan pra produksi, produksi, pemasaran maupun lingkungan pendukung. Kemitraan dilandasi oleh azas kesetaraan, kedudukan, saling membutuhkan dan saling menguntungkan serta adanya persetujuan diantara kedua belah pihak yang bermitra untuk saling berbagi biaya, resiko dan manfaat. Lahirnya konsep kemitraan usaha antara perusahaan pertanian BUMN, swasta, koperasi dengan pertanian rakyat petani kecil menurut Saptana 2005 didasarkan atas dua argument, pertama, adanya perbedaan dalam penguasaaan sumberdaya lahan dan capital atara masyarakat industrial dan masyarakat petani di pedesaan. Masyarakat industrial memiliki sumberdaya modal dan pengetahuan yang besar, namun kurang dalam lahan dan tenaga kerja, dan sebaliknya. Argumen kedua adalah perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha pada masing-masing sistem agribisnis. Sehingga dalam hal ini, lahirnya konsep kemitraan didasarkan pada kondisi setiap pelaku usaha yang memiliki potensi, kemampuan, dan keistimewaan masing-masing dengan perbedaan jenis, sifat dan tempat usahanya. Dari pelaku usaha yang memiliki kelebihan dan kekurangan diharapkan dapat saling menutupi kekurangan masing- masing dengan kondisi demikian akan timbul suatu kebutuhan untuk melakukan kerjasama melalui hubungan kemitraan. Menurut Suryana 2009 sedikitnya ada lima manfaat pembangunan pertanian yang berkelanjutan melalui pendekatan agribisnis dan kemitraan, yaitu 1 mengoptimalkan alokasi sumberdaya pada satu titik waktu dan lintas generasi, 2 meningkatkan efisiensi dan produktifitas produk peternakan karena adanya keterpaduan produk berdasarkan tarika permintaan demand driven, 3 meningkatkan efisiensi masing-masing subsistem agribisnis dan harmonisasi keterkaitan antara subsistem melalui keterpaduan antarpelaku, 4 terbangunnya kemitraan usaha agribisnis yang saling memperkuat dan menguntungkan, dan 5 adanya kesinambungan usaha yang menjamin stabilitas dan kontinuitas pendapatan seluruh pelaku agribsinis. Berdasarkan Keputusan Mentri Pertanian Nomor 940 Tahun 1997, kemitraan usaha pertanian dapat dilaksanakan dengan pola berikut ini: 1 Pola Kemitraan Inti Plasma Pola inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Salah satu contoh pola inti plasma adalah pola Perusahaan Inti Rakyat PIR. Perusahaan inti menyediakan input produksi, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengelola, dan memasarkan hasil produksi. Kelompok mitra memenuhi kebutuhan perusahaan dengan menjual hasil produksi kepada perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati dan mematuhi aturan atau petunjuk yang diberikan oleh perusahaan inti. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Pasal 3, perusahaan inti berkewajiban untuk membina dan mengembangkan plasmanya dalam hal: a penyediaan dan penyiapan lahan; b penyediaan sarana produksi; c pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi; d perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan; e pembiayaan; dan f pemberian bantuan lainnya yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. 2 Pola Kemitraan Sub Kontrak Pola sub kontrak merupakan bentuk kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra yang memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Bentuk kemitraan ini ditandai dengan adanya kesepakatan kontrak bersama yang diantaranya mencakup volume, harga, mutu, dan waktu. Pola kemitraan ini sangat bermanfaat dan kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, ketrampilan dan produktivitas, serta terjaminnya pemasaran produk dari kelompok mitra. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Pasal 4, perusahaan besar memberikan bantuan kepada perusahaan mitranya berupa: a kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen; b kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperoleh bahan baku yang diproduksinya secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar; c bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen; d perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan; e pembiayaan. 3 Pola Kemitraan Dagang Umum Pola kemitraan dagang umum merupakan bentuk hubungan usaha dalam pemasaran hasil antara pihak perusahaan pemasar dengan pihak kelompok usaha pemasok kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan pemasar. Beberapa petani atau kelompkok tani bergabung dalam bentuk koperasi atau badan usaha lainnya bermitra dengan perusahaan pemasar untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Peranan kelompok mitra adalah memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra dan perusahaan mitra memasarkan produk dari kelompok mitra tersebut ke konsumen atau industri. 4 Pola Kemitraan Keagenan Pola kemitraan keagenan merupakan bentuk kemitraan dimana perusahaan mitra berskala menengah atau besar memberikan hak khusus kepada perusahaan kecil atau kelompok mitranya untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan mitra. Perusahaan mitra bertanggung jawab atas mutu dan volume produk, sedangkan kelompok mitra berkewajiban memasarkan produk tersebut. Pihak-pihak yang bermitra memiliki kesepakatan tentang target- target yang harus dicapai dan besarnya komisi. 5 Pola Kemitraan Lainnya Contoh pola kemitraan ini adalah kerjasama operasional agribisnis KOA. Pola kemitraan KOA merupakan hubungan bisnis antara kelompok mitra sebagai penyedia lahan, sarana, dan tenaga dengan perusahaan mitra sebagai penyedia biaya, modal, manajemen, dan pengadaaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas tertentu. Perusahaan mitra juga sering berperan sebagai penjamin pasar produk atau pengolah produk tersebut yang kemudian dikemas untuk dipasarkan. Pihak-pihak yang bermitra memiliki kesepakatan tentang pembagian hasil dan risiko usaha.

3.3 Efisiensi Pemasaran

Efisiensi pemasaran dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional. Menurut Dahl dan Hammond 1977 efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi, aktifitas fisik dan fasilitas. Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan rasio dari output-input pemasaran. Untuk menganalisis efisiensi operasional didekati degan menghitung marjin pemasaran, farmer’s share, dan rasio biaya dan keuntungan tataniaga.Sedangkan efisiensi harga adalah bentuk kedua dari efisiensi pemasaran Efisiensi ini menekankan kepada kemampuan dari sistem pemasaran yang diinginkan oleh konsumen. Efisiensi ini dapat dihitung dengan menggunakan analisis keterpaduan atau integrasi pasar.

3.3.1 Konsep Marjin Pemasaran

Kohls dan Uhl 1990 mendefinisikan marjin pemasaran sebagai selisih harga yang dibayarkan konsumen dengan yang diterima oleh petani produsen. Adanya perubahan atau selisih harga tersebut merupakan indikator yang memperlihatkan total biaya yang dikeluarkan, keuntungan serta jasa dan peningkatan nilai tambah yang dilakukan oleh pelaku pemasaran yang terlibat. Sehingga komponen dari marjin ini adalah biaya pemasaran marketing cost dan keuntungan pemasaran marketing profit.Dengan kata lain, marjin pemasaran adalah harga dari keseluruhan aktifitas penambahan nilai serta kinerja dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran. Harga termasuk biaya dalam kinerja pemasaran dan semua biaya yang menggerakan produk dari produsen hingga ke konsumen akhir serta keuntungan dari lembaga pemasaran yang terlibat. Harga yang dibayarkan konsumen menentukan persaingan dan posisi tawar dari petani dan lembaga pemasaran. Harga tersebut merefleksikan biaya dalam memproduksi produk pertanian dan biaya jasa pemasaran. Marjin pemasaran yang rendah tidak selalu merefleksikan tingkat efisiensi pemasaran yang tinggi. Tinggi atau rendahnya marjin pemasaran suatu produk termasuk produk peternakan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik pemasaran seperti pengangkutan, penyimpanan dan sebagainya. Tingginya marjin pemasaran tidak selalu karena banyaknya pedagang perantara yang terlibat sehingga marjin dapat diturunkan dengan cara memperpendek saluran pemasaran. Pada kenyataanya, tinggi atau rendahnya marjin pemasaran bergantung pada banyaknya fungsi yang