Konsep Kemitraan The Role of Partnership Analysis to Value Chain of Small-scale Beef Cattle farming in Banjarnegara District, Central Java Province

5 Pola Kemitraan Lainnya Contoh pola kemitraan ini adalah kerjasama operasional agribisnis KOA. Pola kemitraan KOA merupakan hubungan bisnis antara kelompok mitra sebagai penyedia lahan, sarana, dan tenaga dengan perusahaan mitra sebagai penyedia biaya, modal, manajemen, dan pengadaaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas tertentu. Perusahaan mitra juga sering berperan sebagai penjamin pasar produk atau pengolah produk tersebut yang kemudian dikemas untuk dipasarkan. Pihak-pihak yang bermitra memiliki kesepakatan tentang pembagian hasil dan risiko usaha.

3.3 Efisiensi Pemasaran

Efisiensi pemasaran dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional. Menurut Dahl dan Hammond 1977 efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi, aktifitas fisik dan fasilitas. Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan rasio dari output-input pemasaran. Untuk menganalisis efisiensi operasional didekati degan menghitung marjin pemasaran, farmer’s share, dan rasio biaya dan keuntungan tataniaga.Sedangkan efisiensi harga adalah bentuk kedua dari efisiensi pemasaran Efisiensi ini menekankan kepada kemampuan dari sistem pemasaran yang diinginkan oleh konsumen. Efisiensi ini dapat dihitung dengan menggunakan analisis keterpaduan atau integrasi pasar.

3.3.1 Konsep Marjin Pemasaran

Kohls dan Uhl 1990 mendefinisikan marjin pemasaran sebagai selisih harga yang dibayarkan konsumen dengan yang diterima oleh petani produsen. Adanya perubahan atau selisih harga tersebut merupakan indikator yang memperlihatkan total biaya yang dikeluarkan, keuntungan serta jasa dan peningkatan nilai tambah yang dilakukan oleh pelaku pemasaran yang terlibat. Sehingga komponen dari marjin ini adalah biaya pemasaran marketing cost dan keuntungan pemasaran marketing profit.Dengan kata lain, marjin pemasaran adalah harga dari keseluruhan aktifitas penambahan nilai serta kinerja dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran. Harga termasuk biaya dalam kinerja pemasaran dan semua biaya yang menggerakan produk dari produsen hingga ke konsumen akhir serta keuntungan dari lembaga pemasaran yang terlibat. Harga yang dibayarkan konsumen menentukan persaingan dan posisi tawar dari petani dan lembaga pemasaran. Harga tersebut merefleksikan biaya dalam memproduksi produk pertanian dan biaya jasa pemasaran. Marjin pemasaran yang rendah tidak selalu merefleksikan tingkat efisiensi pemasaran yang tinggi. Tinggi atau rendahnya marjin pemasaran suatu produk termasuk produk peternakan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik pemasaran seperti pengangkutan, penyimpanan dan sebagainya. Tingginya marjin pemasaran tidak selalu karena banyaknya pedagang perantara yang terlibat sehingga marjin dapat diturunkan dengan cara memperpendek saluran pemasaran. Pada kenyataanya, tinggi atau rendahnya marjin pemasaran bergantung pada banyaknya fungsi yang Sf Df Dr Pr Pf Qr.f Q dilakukan oleh lembaga pemasaran bukan pada banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat. Pada gambar 3.2 marjin pemasaran digambarkan sebagai perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran Pr dengan harga di tingkat produsen Pf. Nilai marjin pemasaran value of marketing margin merupakan perkalian antara marjin pemasaran dengan volume produk yang terjual [Pr-PfQrf]. Gambar 3.3 Konsep Marjin Pemasaran Sumber : Hammond and Dahl, 1977

3.3.2 Farmer’s Share

Farmer’s share merupakan perbandingan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani. Farmer’s share biasanya dinyatakan dalam presentase dan memiliki hubungan yang negatif dengan marjin pemasaran. Semakin tinggi marjin pemasaran suatu produk, maka semakin rendah farmer’s share yang diterima petani dan sebaliknya, semakin rendah marjin pemasaran suatu produk maka semakin tinggi farmer’s share yang diterima petani. Kohl dan Uhl 2002 menyatakan bahwa farmer’s share adalah selisih antara harga ditingkat akhir dengan marjin pemasaran. Bagian dari harga yang dibayarkan oleh konsumen yang diterima oleh petani dinyatakan dalam persentase harga konsumen. Komoditas yang diberi nilai tambah yang lebih banyak oleh lembaga pemasaran selain petani akan memiliki farmer’s share yang lebih rendah.

3.3.3. Rasio Keuntungan dan Biaya

Tingkat efisiensi suatu sistem pemasaran dapat dilihat dari rasio keuntungn terhadap biaya pemasaran. Rasio keuntungan dan biaya menunjukkan perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dengan keuntungan yang dihasilkan. Angka rasio keuntungan dan biaya sama satu menunjukkan bahwa keuntungan yang dihasilkan sama besar dengan biaya yang dikeluarkan dan lebih besar daripada satu menunjukkan baha keuntungan lebih besar daripada biaya yang ikeluarkan. Semakin meratanya marjin pemasaran dan rasio keuntungan terhadap P Sr biaya pemasaran, mnunjukkan bahwa secara operasional sistem pemasaran tersebut semakin efisien.

3.4 Kerangka Konseptual

Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan rantai nilai produk peternakan termasuk sapi potong semakin panjang dan komplek.Sebaliknya, aktifitas agroindustri sapi potong pada saat ini masih belum terintegrasi dan bersinergi dengan kegiatan di sektor hulunya Bappenas 2010.Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja rantai nilai adalah melalui sebuah hubungan baik vertikal maupun horizontal atau yang biasa disebut kemitraan. Adanya konsep kemitraan ini akan membentuk suatu organisasi pemasaran yang berbeda dengan organisasi pemasaran yang dibentuk oleh peternak yang bekerja secara mandiri. Rantai nilai sapi potong di Indonesia merupakan rantai nilai yang cukup panjang dan komplek. Peternak sapi potong khususnya di Pulau Jawa melakukan usaha ternak dalam dua sistem yaitu sistem kemitraan dan non kemitraan. Kedua sistem tersebut akan membentuk organisasi pasar dan mempengaruhi kinerja rantai nilai sapi potong peternakan rakyat di Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam menganalisis rantai nilai. Analisis rantai nilai dilakukan melalui tiga tahap, yaitu mengidentifikasi entry point, dimana entry point analisis ini adalah karakteristik peternak mitra dan peternak tidak bermitra. Hasil dari analisis entry point tersebut kemudian digunakan untuk mengidentifikasi saluran pemasaran dan peran aktor dalam analisis pemetaan rantai nilai dan menganalisis kinerja rantai nilai. Analisis kinerja rantai nilai dideskripsikan sebagai analisis kapasitas masing-masing aktor atau lembaga dalam mengakses lingkungan pendukung seperti akses terhadap infrastruktur dan transportasi, akses terhadap informasi dan pengetahuan, akses terhadap keberadaan organisasi, dan akses terhadap pembentukan governance structure dan hubungan antar aktor. Analisis kinerja juga dilakukan dengan cara menganalisis struktur biaya dan besarnya marjin yang diperoleh masing-masing saluran yang terbentuk. Keseluruhan analisis baik analisis entry point, analisis pemetaan dan analisis kinerja membandingkan dua sistem yaitu sistem kemitraan dan sistem tidak bermitra. Oleh karena itu, berdasarkan analisis perbandingan dua sistem yaitu sistem kemitraan dan tidak bermitra dapat diambil kesimpulan mengenai sejauh mana peran kemitraan dalam memetakan rantai nilai, meningkatkan kinerja dan pembentukan struktur biaya serta besarnya marjin rantai nilai Gambar 3.3