Akses Terhadap Keberadaan Organisasi

terhadap keberadaan organisasi. Pedagang kecamatan tidak memiliki organisasi pedagang di tingkat Kecamatan Wanayasa maupun Kabupaten. Pedagang Kecamatan berpendapat bahwa, proses penyerapan informasi dan pengetahuan bisa didapatkan dengan cara menjaring jaringan yang seluas luasnya antar seama pedagang. Pedagang Pemotong memiliki akses tinggi terhadap organisasi. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya asosiasi pedagang daging di Kabupaten. Asosiasi tersebut mengatur tentang harga dan memberikan banyak informasi yang berguna bagi keberlangsungn usaha pedagang pemotong. 7.3.4 Governance dan Hubungan yang terbentuk antar aktor Strukutur governance adalah jaringan antar aktor atau lembaga, yang digambarkan melalui koordinasi pemasaran marketing coordination. Struktur governance ditentukan oleh jumlah input bakalan dan output sapi siap potong. Jumlah input dan output ini dipertimbangkan berdasarkan bobot dan jumlah. Menurut Humprey 2005, Governance terjadi ketika lembaga di sepanjang rantai menyepakati peraturan yang ditetapkan oleh pihak lain. Kesepakatan tersebut ditandai dengan adanya pasokan produk yang berkelanjutan atau jumlah pasokan yang lebih besar daripada sebelumnya. Governance dalam rantai nilai sapi potong ditempatkan pada tiga kategori 1 adanya aliran informasi sepanjang rantai, informasi ini penting untuk mengkoordinasikan aktifitas perdagangan sapi potong di sepanjang rantai. 2 level dimana informasi tersebut mudah untuk di komunikasikan dan di kode oleh pedagang dan peternak, 3 Level dimana peternak memiliki kemampuan untuk dapat mencapai apa yang diinginkan oleh konsumen dan pasar. Sehingga, aktifitas struktur governance dapat dinilai melalui pola hubungan yang terjadi antar lembaga pemasaran. Hubungan termasuk didalamnya informasi yang terjadi di antara lembaga pemasaran dapat mempengaruhi penciptaan nilai di sepanjang rantai. Tipe-tipe hubungan yang terbentuk dipengaruhi oleh karakteristik produk dan segmen pemasaran. Dalam penelitian ini, karakteristik produk cenderung homogen, yaitu sapi jantan siap potong. Perbedaan yang dapat dilihat dari produk ini adalah perbedaan jenis sapi bakalan : PO, Limmousine, Brahmancross dan perbedaan bobot sapi. Segmen pasar yang terdapat dalam rantai nilai cenderung homogen. Hal ini ditandai dengan tidak adanya standardisasi dan grading daging. Tidak adanya segmen pasar ini mempengaruhi tersedianya kontrak formal mengenai kualitas dan kuantitas sapi potong atau daging sapi serta pembentukan harga . Menurut Martin dan Jagadish 2006 ketika tidak terjadi hubungan, maka akan tercipta perbedaan besarnya kekuatan yang dimiliki oleh petani dan pedagang. Pada kenyataanya, ada tidaknya hubungan dapat mempengaruhi keputusan yang terjadi dalam transaksi sapi potong. Tabel 7.5 Pola hubungan yang terbentuk di masing-masing saluran Lembaga Status Lama hubungan th Deskripsi hubungan 1.Pola Kemitraan a. Pt-P Ada Hubungan Formal 12.3 Hubungan persetujuan sistem kemitraan b. P-PmPgc Ada Hubungan Informal 16 Hubungan dalam pengadaan sapi potong, di hari normal maupun hari besarLangganan 2. Pola tidak bermita Saluran 2 a. Pt-Pd Tidak ada hubungan - - b. Pd-P Tidak ada hubungan - - c. P-PmPgc Ada hubungan informal 13.5 Hubungan dalam pengadaan sapi potong, di hari normal maupun hari besarLangganan Saluran 3 a. Pt-P Ada hubungan Informal 9.5 Hubungan dalam pengadaan sapi potong, di hari normal maupun hari besar b. P-PmPgc Ada hubungan Informal 13.5 Hubungan dalam pengadaan sapi potong, di hari normal maupun hari besar Saluran 4 a. Pt-Pd Tidak ada hubungan - - b. Pd-PmPgc Tidak ada hubungan - - Ket : Pt : Peternak, Pd : Pedagang desa, P: Pedagang Kecamatan, PmPgc : Pedagang pemotongpengecer. Hubungan yang terbentuk antara peternak dan pedagang dibedakan ke dalam dua tipe yaitu hubungan yang terbentuk di saluran kemitraan dan saluran tidak bermitra. Tabel 7.5 menunjukkan pola dan keeratan hubungan yang terbentuk diantara peternak dan pedagang. Peternak rata-rata memiliki hubungan yang cukup lama dengan pedagang sekaligus sebagai pemilik modal. Peternak dan pedagang memiliki hubungan paling minimal yaitu dua tahun, atau peternak ini baru bergabung dengan kemitraan dua tahun kebelakang. Hubungan paling lama terjadi selama 16 tahun. Lama tidaknya hubungan sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh pemilik modal untuk melanjutkan kerja sama bagi hasil. Peternak yang memiliki hubungan lebih dari 10 tahun cenderung memiliki kinerja dan kecocokan baik secara personal dan cara kerja terhadap pemilik modal. Peternak ini lebih mudah mendapatkan tambahan modal berupa sapi apabila suatu saat ingin menambah jumlah sapi yang dipelihara. Hubungan yang terjadi antara pedagang dan pedagang pemotong adalah hubungan yang informal. Hubungan ini sudah berlangsung lama yaitu sekitar 14 tahun. Lamanya hubungan ini mempengaruhi sistem penetapan harga, pemenuhan kualitas yang diminta pedagang pemotong dan pembayaran. Permasalahan yang terjadi dalam pola hubungan kemitraan ini adalah, level kemampuan peternak yang kurang dalam mengintepretasikan infomasi mengenai kualitas dan kuantitas, yang ditandai dengan masih rendahnya bobot sapi potong peternak, yaitu rata-rata 387.74 kg bobot hidup untuk peternak mitra dan 385 kg bobot hidup per peternak untuk peternak tidak bemitra tipe 2, 350 kg Bobot hidup untuk peternak tidak bermitra tipe 1. Bobot ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan bobot rata- rata yang dimiliki peternak dengan skala lebih besar yaitu 480 kg. Hubungan pada pola tidak bermitra di bagi berdasarkan karakteristik peternak. Pada tabel 7.5, tidak terdapat hubungan antara peternak dan pedagang desa, maupun pedagang desa dan pedagang kecamatan di saluran 2. Ketiadaan hubungan ini disebabkan oleh banyak nya jumlah pedagang desa yang datang dan pergi ke tempat domisili peternak dan pedagang kecamatan. Meskipun demikian, antara peternak dan pedagang desa, maupun pedagang desa dan pedagang kecamatan memiliki hubungan saling mengenal satu sama lain. Pada saluran 3, hubungan terjadi diantara peternak maupun pedagang kecamatan dan pedagang kecamatan dan pedagang pemotong. Hubungan ini berupa hubungan berlangganan, dimana peternak memiliki keterikatan secara tidak langsung terhadap pedagang kecamatan dan sebaliknya. Pada Saluran 4, tidak terdapat hubungan antara peternak dan pedagang desa, dan pedagang desa dengan pedagang kecamatan. “saya telah mengenal Pak Parno sebagai pedagang pemotong semenjak saya mulai berbisnis jual-beli sapi potong. Pernah suatu ketika, saya mencoba memotong di tempat pemotongan yang berbeda,tetapi ternyata penghitungan karkasnya tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Sedangkan ketika saya memotong di Pak Parno, saya merasa puas dan terus melanjutkan hubungan” Pedagang Kecamatan. Ada dan tidaknya hubungan menciptakan keterikatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada saluran 2 dan saluran 4, ketiadaan hubungan berpengaruh pada permasalahan ketidak konsistenan kualitas dan kuantitas serta ketepatan pembayaran. Peternak mengeluhkan komitmen pedagang desa untuk membayar tepat pada waktunya. Pedagang desa mengeluhkan adanya ketidak konsistenan kondisi sapi di tingkat peternak, begitu juga pedagang kecamatan mengeluhkan kualitas sapi yang tidak sesuai dengan standar yang dia miliki. Hubungan dan penyediaan sapi : “ Sebagai pedagang pemotong dan pengecer, saya membutuhkan pasokan sapi potong secara teratur terutama pada saat sulit seperti pada tahun 2010 dan tahun 2011. Saya sangat mengandalkan pedagang atau peternak besar yang memotong ternaknya pada saya untuk memenuhi permintaan konsumen. Adanya pedagang pemotong yang saya kenal baik sangat membantu saya dalam menentukan jumlah sapi sesuai dengan kebutuhan konsumen saya. Saya juga memiliki kemudahan untuk berkomunikasi dan berbagi informasi dengan pedagang tersebut.” Pedagang Pemotong Wonosobo Hubungan dan ketepatan pembayaran : “Saya bertransaksi dengan pedagang desa karena saya tidak memiliki alat transportasi untuk menjual sapi saya ke pedagang kecamatan. Pedagang desa yang datang dan menawar sapi saya terkadang sampai 3 atau 4 orang, tidak tentu. Dulu saya bertransaksi kepada pedagang mana saja yang datang ke rumah saya, akan tetapi pedagang tersebut terkadang tidak memenuhi janji pembayaran sesuai dengan waktu dan jumlahnya. Sehingga saya memutuskan untuk menjual ke pedagang desa yang saya kenal dan tempat tinggalnya saya ketahui, sehingga mudah bagi saya untuk menagih apabila ada keterlambatan pembayaran” _Peternak tidak bermitra

7.4. Sistem Pembayaran dan pembentukan harga

Sistem pembayaran yang dilakukan pada setiap tingkat lembaga pemasaran berbeda-beda. Berdasarkan table 7.6 rata-rata sistem pembayaran yang dilakukan oleh peternak ketika melakukan transaksi dengan pedagang desa adalah hutangtidak tunai. Pembayaran dilakukan satu atau dua minggu setelah proses pembelian oleh pedagang desa. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh peternak mitra dengan pedagang adalah hutangtidak tunai, dengan masa pembayaran 3 hari sampai satu minggu. Akan tetapi, apabila peternak membutuhkan dana mendesak, pemilik modal bersedia memberikan hasil penjualan dengan menggunakan uang pemilik modal. Rata-rata penjualan peternak tidak bermitra yang melakukan transaksi dengan pedagang kecamatan yaitu dilakukan secara hutangtidak tunai, pembayaran dilakukan dalam jangka waktu 3-7 hari setelah proses pembelian dilkukan. Pembayaran tunai biasanya dilakukan pada saat idul adha, ataupun disebabkan oleh adanya tuntutan dari peternak yang segera membutuhkan uang tunai dalam jangka watu singkat. Lamanya proses pembayaran ditentukan oleh pembayaran ditingkat lembaga pemasaran selanjutnya maupun jumlah modal yang dimiliki oleh masing-masing aktor pemasaran. Resiko dari proses pembayaran secara hutang ini adalah tidak terbayarnya uang hasil penjualan, hal ini terutama terjadi di tingkat pedagang desa dan peternak. Keeratan hubungan dan kepercayaan mempengaruhi proses pembayaran dan keberlangsungan transaksi antar lembaga pemasaran. Penentuan harga sapi berbeda pada setiap tingkat. Menurut Fauzi dan Djajanegara 2004 perilaku, posisi, peran dan kekuatan setiap lembaga pemasaran menentukan arah dan harga sapi. Peternak khususnya peternak tidak bermitra tipe satu adalah lembaga paling lemah dalam penentuan harga. Peternak tidak bermitra tipe satu memiliki keterbatasan dalam informasi harga, sehingga penentuan harga berdasarkan informasi yang dibawa oleh pedagang desa. Sedangkan untuk peternak dengan pola tidak bermitra, memiliki informasi harga yang lebih baik sehingga penentuan harga berdasarkan harga pasar dan tawar-menawar. Harga yang terbentuk di pedagang pemotong dan pedagang kecamatan tidak melakukan penawaran harga karkas, akan tetapi menentukan harga karkas berdasarkan harga yang disepakati sesuai dengan harga pasar. Harga umumnya ditentukan oleh pedagang pemotong dengan selisih harga Rp.500-Rp. 1000 dibawah harga pasar. Posisi yang paling kuat dimiliki oleh pedagang kecamatan dan pedagang pemotong. Selain bermodal besar, pedagang kecamatan dan pedagang pemotong menguasai informasi harga dan mendapatkan dukungan informasi harga dan kebijakan dari pemerintah serta kemudahan akses financial dari perbankan. Pedagang kecamatan dan pedagang pemotong biasanya juga memiliki usaha sebagai peternak besar dan sekaligus jagal sapi dan berdagang daging sendiri sehingga memiliki informasi harga dari hulu ke hilir Tabel 7.6 Sistem Pembayaran Transaksi jual-beli sapi potong oleh lembagaaktor pemasaran sapi potong Pembeli Penjual Jumlah Sapi Transaksi Jual-beli Tunai Hutang Pedagang desa Peternak 27 7 93 Pedagang pemotong mitra 34 21 79 Pedagang Kecamatan Peternak tidak bermitra 21 14 90 Pedagang Kecamatan Pedagang Desa 15 13 87 Pedagang pemotong Pedagang Desa 12 100 Pedagang pemotong Pedagang Kecamatan 37 5 95

7.5 Analisis Biaya dan Marjin Pemasaran

7.5.1. Analisis Biaya Pemasaran

Dalam melaksanakan aktifitas pemasaran, setiap lembaga pemasaran mengeluarkan biaya pemasaran. Jumlah biaya pemasaran yang dikeluarkan berbeda untuk setiap tingkatan lembaga pemasaran. Jumlah biaya tersebut tergantung pada tambahan nilai dari tarmac sapi potong, seperti nilai guna, bentuk dan kepemilikan. Komponen biaya pemasaran juga berbeda untuk setiap lembaga pemasaran tergantung pada fungsi dan peran lembaga tersebut. Komponen biaya pemasaran sapi potong dapat dilihat pada tabel 7.7. Berdasarkan tabel 7.7, komponen biaya untuk pedagang desa adalah biaya pengangkutantransportasi, biaya pakan, tenaga kerja, retribusi rph dan pajak potong. Biaya transportasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pengangkutan ternak sapi potong dari tempat pembelian ke tempat penjualan. Biaya transpostasi dihitung berdasarkan pengeluaran bahan bakar yang digunakan dan biaya sewa kendaraan. Dari ke empat pedagang, proporsi biaya transportasi terbesar dimiliki oleh pedagang desa yaitu 65 persen, selanjutnya pedagang kecamatan 14 persen, pedagang pemotong kecamatan 10 persen dan pedagang pemotong kabupaten 14 persen. Tabel 7.7 Struktur biaya pemasaran di masing-masing tingkat lembaga pemasaran Jenis biaya Pedagang desa Pedagang kecamatan Pedagang pemotong 1 Pedagang pemotong 2 Rpkg Rpkg Rpkg Rpkg Biaya transportasi 210 65 127.6 40 95 23 140 35 tenaga kerja 68.8 21 88.62 28 186.5 45 198 50 Pakan 42.3 13 42.3 13 14.2 3 14.2 4 retribusi rph 62 19 71.01 17 42.85 11 pajak potong 43.5 11 Biaya total 321.1 320.52 410.21 395.05 Biaya tenaga kerja adalah biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran untuk membayar upah pegawai dan pemakaian jasa tenaga selama penjualan sapi maupun pemotongan sapi. Pada tabel 7.7 terlihat bahwa untuk pedagang pemotong biaya tenga kerja merupakan komponen biaya terbesar dari total biaya pemasaran. Hal ini disebabkan oleh fungsi dan peran yang dimiliki oleh pedagang pemotong yaitu mengubah bentuk bobot hidup menjadi karkas dan daging melalui proses pemotongan di RPH.Biaya pakan yang dikeluarkan lembaga pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk pemberian pakan agar kondisi tubuh ternak tidak mengalami penurunan bobot badan. Biaya pakan dikeluarkan sebelum ternak diserahkan ke pedagang selajutnya atau selama dalam masa penampungan. Masa penampungan ternak yaitu sekitar 1-3 hari tergantung dari jadwal pedagang kecamatanpedagang pemotong melakukan penjualanpemotongan. Biaya pakan paling besar dikeluarkan oleh pedagang kecamatan yaitu sebesar 13 persen dari total biaya pemasaran. Hal ini disebabkan oleh jadwal penjualan sapi yang dimiliki pedagang kecamatan yaitu satu minggu dua kali. Komponen biaya lainnya seperti retribusi rph, dan pajak potong dikeluarkan oleh pedagang kecamatan maupun pedagang pemotong yang melakukan aktifitas pemotongan di RPH. Total biaya adalah jumlah seluruh komponen biaya yang dikeluarkan setiap lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran sapi potong. Total biaya pemasaran terbesar dimiliki oleh pedagang pemotong tingkat Kabupaten dengan jumlah biaya sebesar Rp 410.21kg bobot hidup.

7.5.2. Analisis Marjin Pemasaran

Marjin merupakan selisih harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen. Menurut Ilham 2009 dua komponen utama marjin pemasaran adalah keuntungan dan biaya pemasaran. Besar marjin pemasaran dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya-biaya pemasraan dengan besarnya keuntungan pada setiap lembagaaktor. Marjin ini dapat pula ditunjukan dengan perbedaan harga jual dan harga beli pada setiap saluran. Hal ini disebabkan oleh perbedaan harga jual, biaya pemasaran yang dikeluarkan dan keuntungan dari setiap lembaga pemasaran di saluran tersebut. Perbedaan besarnya biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh setiap lembaga berbeda, hal ini tergantung pada nilai tambah yang diberikan terhadap komoditi oleh setiap lembaga pemasaran. Nilai tambah tersebut meliputi nilai guna, bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan.