The Role of Partnership Analysis to Value Chain of Small-scale Beef Cattle farming in Banjarnegara District, Central Java Province

(1)

KABUPATEN BANJARNEGARA, PROVINSI JAWA TENGAH

HEPI RISENASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Peranan Kemitraan Terhadap Rantai Nilai Usaha Peternakan Sapi Potong Rakyat di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Hepi Risenasari NIM H45100051


(4)

Peternakan Sapi Potong Rakyat di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. (NUNUNG KUSNADI sebagai Ketua, dan RACHMAT PAMBUDY sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Sub-sektor peternakan, khususnya sapi potong, di dominasi oleh peternak rakyat. Peternak rakyat tersebut menyumbang sebesar 70 persen kebutuhan daging sapi nasional, sedangkan 30 persen sisanya disumbang oleh industri peternakan sapi skala besar (Ditjennak 2008). Banyaknya proporsi usaha ternak rakyat dibandingkan peternakan skala besar berpotensi menjadi penyebab belum terpenuhinya kebutuhan daging sapi nasional yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Peternak rakyat memiliki karakteristik khusus yaitu memelihara ternak secara tradisional dengan skala usaha yang terbatas. Sebagian besar peternak rakyat beromisili di daerah pedesaan yang jauh dari sentra konsumsi daging sapi. Adanya karakteristik yang demikian dapat menyebabkan munculnya permasalahan dalam rantai pemasaran sapi potong. Rantai pemasaran sapi potong domestik di Indonesia diidentifikasikan sebagai rantai pemasaran yang panjang dengan jumlah pedagang perantara yang banyak. Banyaknya pelaku pasar dari sentra produksi ke sentra konsumsi menyebabkan besarnya marjin dan tingginya biaya transaksi. Dengan demikian, pemasaran sapi potong menjadi tidak efisien dan mengakibatkan tingginya harga daging sapi.

Analisis rantai nilai merupakan analisis yang merangkum aktifitas pemasaran dan kemampuan para lembaga pemasar dalam mengakses lingkungan pendukung. Hal yang paling penting dalam analisis rantai nilai adalah adanya pengelolaan hubungan/koordinasi antar aktor dari mulai bahan mentah sampai ke produk jadi (Porter 1985). Salah satu strategi yang dapat meningkatkan kualitas hubungan/koordinasi adalah kemitraan. Dengan adanya kemitraan, rantai pemasaran menjadi lebih pendek dan kinerja rantai nilai bisa ditingkatkan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah : 1) mendeskripsikan peranan rantai nilai terhadap pembentukan rantai pemasaran sapi potong, 2) menganalisis peranan kemitraan terhadap kinerja pelaku pemasaran dalam rantai nilai sapi potong, 3) menganalisis struktur biaya dan marjin pemasaran yang terbentuk di rantai nilai sapi potong.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.Peternak dipilih berdasarkan skala usaha, waktu dan transaksi yang dilakukan selama transaksi. Analisis yang digunakan adalah analisis rantai nilai dengan mengadaptasi model rantai nilai Kaplinsy&Morris (2000). Tahap pertama analisis adalah analisis entry point yaitu analisis karakteristik usaha peternak sapi potong, selanjutnya adalah mapping value chain, dalam analisis ini di petakan saluran pemasaran dan lembaga atau aktor yang terlibat, analisis yang terakhir adalah analisis kinerja rantai nilai (performance) yaitu analisis kinerja aktor dalam mengakses lingkungan pendukung dan efisiensi pemasaran dihitung melalui marjin pemasaran, farmers share, hitungan profit/biaya, dan ratio R/C.

Berdasarkan analisis karakteristik peternak (entry point), peternak tidak bermitra adalah peternak yang mengusahakan ternaknya secara mandiri baik dari


(5)

produksi maupun pemasaran, sehingga seluruh resiko maupun keuntungan ditanggung sendiri. Peternak dengan sistem kemitraan adalah peternak yang memelihara sapi milik pemilik modal. Sistem kemitraan yang berkembang di Kecamatan Wanayasa adalah sistem Gaduh atau dapat digolongkan sebagai pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Hubungan kemitraan ini memposisikan pemilik modal sebagai penyedia bakalan dan penjamin pasar, sedangkan peternak memiliki kewajiban untuk memelihara atau menggemukan sapi, menyediakan sapronak, dan menyerahkan sapi pada waktu tertentu untuk kemudian di jual oleh pemilik modal.

Lebih lanjut, karakteristik peternak baik yang bekerja dalam sistem kemitraan maupun tidak bermitra menentukan jumlah lembaga dan panjang-pendeknya saluran yang terbentuk. Berdasarkan analisis saluran pemasaran, terdapat empat saluran yang teridentifikasi. Saluran 1 atau saluran kemitraan adalah saluran yang melibatkan tiga lembaga pemasar, yaitu peternak dan pemilik modal sekaligus pedagang, dan pedagang pemotong. Saluran 2 adalah saluran yang melibatkan empat lembaga yaitu peternak (tipe satu), pedagang desa, pedagang kecamatan, dan pedagang pemotong. Saluran 3 adalah saluran yang melibatkan 3 lembaga yaitu peternak (tipe 2), pedagang kecamatan, dan pedagang pemotong. Sedangkan saluran 4 melibatkan tiga lembaga, yaitu peternak (tipe 1), pedagang desa, dan pedagang pemotong.

Kinerja rantai nilai merupakan penilaian kemampuan aktor/lembaga pemasaran dalam mengakses lingkungan pendukung yaitu akses terhadap infrastruktur, transportasi, informasi dan pengetahuan serta akses terhadap organisasi. Peternak mitra memiliki akses yang lebih baik terhadap lingkungan pendukung dibandingkan peternak tidak bermitra. Pedagang kecamatan memiliki akses yang lebih baik dibandingkan dengan pedagang desa. Sedangkan pedagang pemotong memiliki akses yang paling baik diantara seluruh lembaga pemasar. Peternak mitra dan pedagang/peternak besar memiliki hubungan yang erat dan dilandasi dengan perjanjian sehingga memudahkan kedua belah pihak dalam mengkontrol kualitas dan kuantitas sapi potong serta tata cara pembayaran.

Berdasarkan analisis struktur biaya dan marjin, saluran satu memiiki total

marjin paling kecil, total biaya paling kecil, dan farmer’s share yang paling tinggi,

rasio keuntungan dan biaya yang paling besar, dan R/C rasio yang paling besar. Dari hasil analisis tesebut, maka saluran satu diientifikasikan sebagai saluran yang paling efisien, sedangkan saluran dua merupakan saluran yang paling tidak efisien.Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem kemitraan memiliki kinerja rantai nilai yang lebih baik dibandingkan dengan sistem tidak bermitra. Perbaikan sistem kemitraan secara lebih professional diharapkan mampu meningkatkan kinerja rantai nilai sehingga aktifitas pasokan daging sapi dapat menjadi lebih baik.


(6)

SUMMARY

HEPI RISENASARI. The Role of Partnership Analysis to Value Chain of Small-scale Beef Cattle farming in Banjarnegara District, Central Java Province (NUNUNG KUSNADI as a Chairman, and RACHMAT PAMBUDY as a Member of the Advisory Committee)

The smallscale domestic beef catte producers have supplied only 70 percent of the national neeed (Ditjennak 2008).This condition potentially caused problem to meet the increasing demand of beef. Smallholder farmers have special characteristics that raise livestock traditionally with a limited scale. The existence of such characteristics can cause problems in the beef marketing chain. Domestic beef marketing chain in Indonesia is identified as a long marketing chain by the number of middlemen. Many market participants from centers of production to centers of consumption causes the magnitude margins and high transaction costs. Thus, the performance of marketing system is inefficient and lead to higher beef prices.

Value chain analysis is an analysis that summarizes the marketing activities and the ability of the institutions supporting marketers in accessing environment. The most important thing in the value chain analysis is a relationship management / coordination among the actors of the starting raw material to the finished product. One strategy that can improve the quality of the relationship / coordination is a partnership. With the partnership, the chain becomes shorter marketing so that value chain performance can be improved. Therefore, the purpose of this study is to: 1) describe the role of the value chain of the beef marketing chain formation, 2) analyze the role of marketing partnerships on the performance of actors in the value chain of beef cattle, 3) analyze the cost structure and marketing margins are formed in chains value of beef cattle.

The research was conducted in the District Wanayasa, Banjarnegara, Java Tengah.Peternak selected based on the scale of effort, time and transactions made during the transaction. The analysis used is the value chain model adapting Kaplinsy & Morris (2000). The first phase of the analysis is the entry point of analysis is the analysis of the business characteristics of the cattle farmers, the next is the mapping value chain, in this analysis mapped marketing channels and institutions or actors involved, the final analysis is the analysis of value chain performance (performance) that analyzes the performance of actor in accessing supportive environment and marketing efficiency was calculated through marketing margins, farmers share, a matter of profit / cost, and the ratio R / C.

Based on the analysis of the characteristics of farmers (entry point), farmers are not partnered cattle ranchers seek independent both of production and marketing, so that all risks and benefits borne alone. Parnership farmers are keeping cattle, meanwhilethe other party provided the capital such as breeding . System developed in partnership Wanayasa District is rowdy or systems can be classified as a partnership Operational Sustainability (KOA). In tis partnership type, there are to parties, farmers and capital owner. Capital owner is a big farmers/traders who provide cattle and guarantee the marketing of beef cattle. Meanwhile farmers obligate to provide input of beef cattle farming and sell cattle to te capital owners. Furthermore, the characteristics of both farmers who work in partnership system and farmers who do not work in the partnership scheme


(7)

specify the number of partner agencies and the length of the channel is formed. Based on the analysis of marketing channels, four channels are identified. Channel 1 or channel is a partnership involving three institutions channel marketers, the breeders and owners of capital and as a merchant, and the merchant cutters. Channel 2 is channel involving four institutions, namely farmers (type one), traders village, district merchants, and traders cutters. Channel 3 is the channel that involves three institutions namely farmers (type 2), district merchants, and processors traders. While channels 4 is channel involving three institutions, namely farmers (type 1), village merchants, and processor traders.

Performance assessment of the value chain is the ability of an actor / marketing agencies in accessing supportive environment that access to infrastructure, transportation, information and knowledge as well as access to the organization. Breeder partners have better access to the enabling environment than farmers not partnered. Merchant districts have better access than the village merchants. While processor traders have access to the most among all institutions. Farmer and merchant partners / large farmers have a close relationship and based on the agreement making it easier for both parties in controlling the quality and quantity of beef cattle as well as methods of payment.

Based on the analysis of the cost structure and margin, total margin line one coined the smallest, least total cost, and the farmer's share of the most high, and the cost benefit ratio of the greatest, and the R / C ratio of the greatest. From the analysis of proficiency level, then line one diientifikasikan as the most efficient channel, while channel two is the most channels efisien.Sehingga not be concluded that the system has a performance value chain partnership better than a system with no partner. Repair system in a more professional partnership is expected to improve the performance of the value chain so that the beef supply activities can be better.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

ANALISIS PERANAN KEMITRAAN TERHADAP RANTAI

NILAI SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT DI

KABUPATEN BANJARNEGARA, PROVINSI JAWA TENGAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013 Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

HEPI RISENASARI


(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Heny K Daryanto M Ec


(11)

Judul Tesis : Analisis Peranan Kemitraan terhadap Rantai Nilai Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

Nama : Hepi Risenasari

NIM : H451100051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua

Dr Ir Rachmat Pambudy, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(12)

PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian

ini yang berjudul : “ Analisis Peranan Kemitraan terhadap Rantai Nilai Peternakan Rakyat Sapi Potong di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penulisan tesis unuk memperoleh gelar Magister pada Mayor Agrbisnis, Departemen Agribisnis, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada komisi pembimbing Dr.Ir.. Nunung Kusnadi,MS selaku pembimbing utama dan Dr.Ir.Rachmat Pambudy selaku anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan memberikan arahan serta saran yang sangat bermanfaat dalam proses penelitian dan penulisan tess ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah mensponsori penulis baik dalam studinya di IPB maupun di Goettingen University Germanny melalui Beasiswa Unggulan (BPKLN) dan Beasiswa Unggulan Luar Negeri.

2. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina Suryana, MS selaku ketua mayor Agribisnis dan Dr.Ir. Suharno, MAdev selaku sekertaris program studi dan Dr.Ir.Andriono Kilat Adhi,MS yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan studi program double degree ini serta seluruh staf pengajat yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama perkuliahan pada Mayor Agribisnis IPB. Prof. Stephan Von Cramon, Frau Greta Thinggaard, Prof Matin Qaim dan Christoph Saenger, Phd yang telah memberikan bimbingan, arahan selama penulis menyelesaikan studi di Goettingen University.

3. Dr.Ir. Heny KS Daryanto, M.Ec selaku Penguji Luar Biasa Komisi dan Siti Jahroh, Phd selaku Penguji Wakil Mayor, yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan tesis ini.

4. Kepala UPT Kesehatan Hewan Pasar Banjarnegara (Pak Bowo) dan Pasar Hewan Wonosobo serta tenaga penyuluh Kecamatan Wanayasa (Pak Haryono) yang telah membantu selama penelitian dan memberikan informasi dalam penulisan tesis ini.

5. Para peternak dan pedagang Sapi Potong di Wilayah Kecamatan Wanayasa yang telah bersedia membantu dan memberikan informasi tentang usaha penggemukan sapi potong. Bapak H. Agus, Bapak H. Wandi dan Bapak H. Suparno yang telah banyak memberikan informasi seputar perdagangan sapi potong.

6.. Andrianto Pratama yang telah membantu penulis megumpulkan data di lapangan.

7. Seluruh staf Mayor Agribisnis (Mbak Yuni, Teteh Nia, Bu Yoyoh, Pak Yusuf) yang selalu meluangkan waktu membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan studi di Mayor Agribisnis 8. Teman-teman MSA angkatan 1, terima kasih atas bimbingan dan

persahabatan bapak/ibu terutama untuk setiap diskusi dan bantuan yang diberikan.


(13)

9. Teman-teman Goettinger Sieben (Cila, Ratna Mega, Ratna Sogian, Anisa Dwi Utami, Efita FL) terima kasih atas dukungan moral, fisik, dan doa yang diberikan kepada penulis baik selama di IPB maupun selama di Goettingen. Kalian adalah teman seperjuangan sekaligus teman diskusi yang tiada duanya.

10. Teman-teman di Goettingen (Kak Essy, Dwi,Mbak Ira, Mbak Besti, Bang Firman, Bang Ichsan, Bang Rezky, Ami, Bang Adnan, Mbak Nura) yang telah membantu selama penulis menjalankan studi di Goettingen dan melakukan persiapan penulisan thesis. Saudara pondok iwan dan cici, yusda, ika , wening, dan Eja yang telah seringkali mengingatkan penulis untuk menyelesaikan studi tepat waktu.

Secara khusus dengan penuh rasa cinta kasih dan hormat, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Bapak Drs. Suseno dan Mama Dra. Rishi Mardiningsih, MPd dan Bapak Agus Ristianto dan Ibu Ita Kristanti yang telah berkorban dan senantiasa memberikan dukungan, cinta dan doa untuk kelancaean penyelesaian studi penulis. Terima kasih yang dalam juga penulis ucapkan pada suami Penulis Bayu Kristianto, SE yang telah memberikan semangat,kesabaran, doa, dan diskusi untuk menyelesaikan studi magister ini.

Besar harapan penulis bahwa penelitan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan sektor pertanian, khususnya peternakan sapi potong di Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal kebaikan dan tanda syukur penulis. Amin.

Bogor, Juni 2013 Penulis


(14)

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xviii

1 PENDAHULUAN Latar belakang 1

Rumusan masalah 4

Tujuan 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Karakteristik peternak rakyat 6

Penelitian tentang rantai nilai 7

Metode pengukuran rantai nilai 7

Pemasaran sapi potong peternakan rakyat 8

Kinerja rantai nilai 10

Peran kemitraan dalam rantai nilai 12

3 KERANGKA PEMIKIRAN 14

Perkembangan teori rantai nilai (Value Chain) 13

Deskripsi konsep rantai nilai (Value Chain) 13

Review metode analisis rantai 16

Konsep Kemitraan 19

Konsep efisensi pemasaran 21

Konsep marjin pemasaran 21

Konsep farmer’s share 22

Rasio keuntungan dan biaya 23

Kerangka konseptual 23

4 METODE PENELITIAN 25

Lokasi dan waktu penelitian 25

Jenis dan sumber data 25

Metode penentuan responden 25

Metode pengolahan dan analisis data 26

Analisis entry point 26

Analisis peranan kemitraan terhadap rantai pemasaran 27

Analisis peranan kemitraaan terhadapkinerja rantai nilai 27

Analsis marjin pemasaran 29

Analisis Farmer’s Share 30

Rasio keuntugan dari biaya pemasaran 30

Rasio penerimaan dari biaya pemasaran 30

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PETERNAK SAPI POTONG 31

Kondisi topografi 35

Kondisi penduduk 34

Karakteristik usaha ternak sapi potong (entry point) 36

Perbedaan kemitraan dan tidak bermitra 36

Karakteristik rumah tangga peternak 37


(16)

6 PERANAN KEMITRAAN DALAM PEMETAAN DAN

PENINGKATANKINERJA RANTAI NILAI 50

Organisasi dalam rantai nilai 50

Saluran pemasaran sapi potong 52

Saluran pemasaran sistem kemitraan 51

Saluran pemasaran sistem tidak bermitra 54

Akses terhadap lingkungan 60

Akses terhadap infrastruktur dan ketersediaan transportasi 60

Akses informasi dan pengetahuan 63

Akses terhadap keberadaan organisasi 66

Governance structure dan hubungan yang terbentuk antar aktor 68

Sistem pembayaran dan pembentukan harga 71

Analisis biaya dan marjin pemasaran 72

Analisis biaya pemasaran 72

Analisis marjin pemasaran 73

Efisiensi pemasaran 77

Hubungan karakteristik peternak, saluran kemitraan, dan kinerja Rantai nilai sapi potong 78

KESIMPULAN 84

Kesimpulan 84

Saran 85 DAFTAR PUSTAKA


(17)

DAFTAR TABEL

1. Kondisi peternakan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara 2007 33 2. Jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Banjarnegera 2008 34 3. Penggunaan lahan di Kecamatan Wanayasa tahun 2008 34 4. Tarnak, luas panen, dan produksi pertanian Kecamatan

Wanayasa 35

5. Data kependudukan kecamatan wanayasa tahun 2008 36 6. Perbedaan peternak mitra dan tidak bermitra 36 7. Karakteristik rumah tangga peternak di Kecamatan

Wanayasa Tahun 2012 38

8. Karakteristik usaha penggemukan sapi potong 41 9. Sebaran karakteristik pemeliharaan tarnak sapi potong 47 10. Sebaran penilaian kemampuan aktor terhadap akses ketersediaan

infrstruktur 62

11. Sebaran penilaian kemampun aktor terhadap akses ketersediaan

transportasi 63 12. Sebaran penilaian kemampuan aktor terhadap akses terhadap

kemampuan mengakses informasi dan pengetahuan 64 13. Sebaran penilaian kemampuan aktor terhadap akses keberadaan

Orgnisasi 66

14. Pola hubungan yang terbentuk di masing-masing sistem 69 15. Sistem pembayaran transaksi jual-beli sapi potong oleh

lembaga/aktor pemasaran sapi potong 72 16. Struktur biaya pemasaran di masing-masing lembaga pemasaran 73 17. Marjin pemasaran di masing-masing lembaga pemasaran

Lembaga dan saluran pemasran ternak sapi potong di wilayah

Kabupaten Banjarnegara per Juni 2012 (Pola Kemitraan) 74 18. Marjin pemasaran pada setiap lembaga dan saluran pemasran

ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara per(Pola Mandiri) 76 19. Sebaran biaya, marjin pemasaran dan farmer’s share 77


(18)

DAFTAR GAMBAR

1. Saluran pemasaran daging sapi di Pulau Jawa tahun 2001 10

2. Rantai nilai sederhana dalam pertanian 15

3. Konsep marjin pemasaran 22

4. Kerangka pemikiran konseptual 24

5. Peta Kabupaten Banjarnegara 33

6. Distribusi pemasaran ternak sapi potong dan karkas kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara Mei-Juni 2012 51

7. Saluran pemasaran tarnak sapi potong dengan sistem kemitraan di wilayah Kecamatan Wanayasa 52

8. Saluran pemasaran ternak sapi potong dengan sistem tidak kemitraan di wilayah Kecamatan Wanayasa 54


(19)

Daging merupakan salah satu sumber pangan yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat serta merupakan salah satu komoditas ekonomi yang memiliki nilai strategis. Secara nasional, konsumsi daging di Indonesia selalu meningkat sejalan dengan bertambanya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat, serta semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebutuhan protein hewani. Salah satu jenis ternak yang memiliki andil cukup besar dalam pemenuhan kebutuhan daging nasional, adalah sapi potong. Rata-rata kontribusi daging sapi terhadap kebutuhan daging nasional selama kurun waktu lima tahun terakhir mencapai 18.92 persen dari total jumlah produksi daging ternak di Indonesia pada tahun 2007-2009.

Tingginya kontribusi daging sapi di Indonesia disebabkan oleh peningkatan konsumsi daging sapi dari beberapa tahun terakhir. Konsumsi daging sapi meningkat sebesar 1,95 persen perkapita pada tahun 2007, dan meningkat sebesar 2 kg perkapita pada tahun 2008, selanjutnya meningkat 2.24 kg perkapita pada tahun 2009 (Data Ditjennak 2009a). Peningkatan konsumsi ini berperan dalam peningkatan kebutuhan daging dan jeroan dari 455.755 ton pada tahun 2008 dan 2,746 ton pada tahun 2009. Kebutuhan jumlah sapi tersebut setara dengan jumlah sapi sebanyak 2,432 juta ekor sapi pada tahun 2008 dan 2,746 ekor sapi pada tahun 2009 (Bappenas 2010). Sedangkan produksi daging sapi lokal selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2009 sangat fluktuatif yang menunjukkan bahwa ketersediaan daging yang berasal dari dalam negeri tidak konsisten. Periode tahun 2005-2006 produksi daging mengalami peningkatan yaitu sebesar 19.2 persen, kemudian terjadi penurunan pada tahun 2007 sebesar 18.8 persen dan meningkat lagi sampai dengan tahun 2009 dengan rata-rata peningkatan sebesar 9.1 persen. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka impor sapi dan jeroan meningkat sebesar 110.246 ton serta sapi bakalan meningkat sebesar 768.133 mensuplai daging sapi sebesar 49 persen dari total kebutuhan daging sapi nasional pada tahun 2009 (BPS dan Statistik Peternakan 2009).

Sejalan dengan hal tersebut di atas, pemerintah berusaha mencapai swasembada ternak berbasis sumberdaya lokal melalui Program Percepatan Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS 2014). Program swasembada tersebut diujudkan melalui pencapaian pemenuhan 90 persen dari kebutuhan daging sapi nasional. Harapannya dengan adanya program tersebut, Indonesia akan mencapai kemandirian dalam penyediaan daging sapi melalui pengembangan agribisnis yang secara simultan dapat beriringan dengan terjadinya peningkatan kesejahteraan peternak kecil yang mendominasi penyediaan daging sapi lokal. (Bappenas 2010). Pada kenyataanya, pencapaian program tersebut tidaklah ringan. Pada tahun 2009, impor daging sapi mencapai 30 persen dari total kebutuhan daging sapi nasional. Impor daging sapi kemudian menurun sebesar 20


(20)

persen pada tahun 2011. Berdasarkan data dugaaan model ramalan konsumsi-produksi daging sapi tahun 2009-2013 (Bappenas 2010) konsumsi dan penawaran daging diperkirakan akan berfluktuasi, dan cenderung meningkat dengan laju peningkatan yang lebih cepat dibandingkan dengan penawaran. Fenomena ini memicu peningkatan harga daging, yang selanjutnya dapat merangsang peternak rakyat untuk menjual sapinya, termasuk sapi yang masih produktif. Peningkatan harga daging selama kurun waktu 2008-2012 meningkat rata-rata sebesar 18.94 persen, dengan harga daging tertinggi terjadi pada akhir tahun 2012 yaitu sebesar Rp.85.000-Rp.105.000,- kg.

Kenaikan harga daging seharusnya dapat memberikan insentif kepada peternak sapi potong untuk meningkatkan penawaran daging sapi yang salahsatunya ditunjukan dari peningkatan populasi sapi potong domestik. Pada kenyataanya, besarnya populasi sapi potong domestik belum mampu mencukupi kebutuhan daging sapi nasional. Menurut data dari Kementrian Pertanian proyeksi kebutuhan daging sapi tahun 2013 mencapai 549,7 ribu ton, dimana 474,4 ribu ton dipenuhi dari populasi ternak sapi domestik, sedangkan sisanya sekitar 80 ribu ton (14,6 persen) harus di impor. (www.setkab.go.id). Hal ini sejalan dengan penelitian Bappenas (2010) dan Sukanata (2008) yang menyatakan bahwa harga daging domestik tidak berpengaruh pada penawaran sapi peternak, hal ini disebabkan oleh tidak responsifnya peternak terhadap peningkatan harga daging sapi domestik.

Salah satu penyebab tidak responsifnya peternak terhadap kenaikan harga adalah karakterisitik usaha ternak di Indonesia dimana sebagian besar merupakan usaha ternak rakyat. Peternakan sapi rakyat diperkirakan menyumbang sekitar 70 persen produk daging nasional, sedangkan 30 persen sisanya merupakan peternakan komersial (Ditjennak 2008). Apabila dibandingkan dengan peternakan komersial, peternak rakyat tidak memiliki sumberdaya untuk menghasilkan daging sapi sesuai dengan yang diproyeksikan dalam program Swasembada Daging 2014. Hal ini sejalan dengan karakteristik peternak rakyat yang mengusahakan usaha ternaknya secara subsisten dengan skala usaha yang terbatas. Sebagian besar peternak rakyat tinggal di daerah pedesaan dan berjarak cukup jauh dengan lokasi konsumen daging sapi. Selain itu, usaha ternak sapi potong peternakan rakyat bukan merupakan usaha utama dalam rumah tangga peternak, melainkan sebagai usaha sampingan.

Peternak rakyat lebih responsif terhadap produksi dari pada harga sapi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini menunjukkn bahwa dalam penjualan ternaknya, sebagian besar peternak lebih mengedepankan produksi dari pada harganya. Peternak dengan karakteristik tersebut cenderung tidak memiliki orientasi pasar sehingga peternak seringkali tidak mengharapkan ternaknya sebagai penghasil daging, melainkan sebagai tabungan pada saat peternak membutuhkan uang tunai (Priyanti et al 2012). Sejalan dengan hal tersebut diatas, peternak kurang responsif terhadap perubahan harga sapi potong


(21)

di pusat konsumsi (seperti Jakarta), sehingga peningkatan harga daging di pusat konsumsi lebih banyak dinikmati pedagang. Hal ini menunjukkan bahwa peternak menjadi pihak yang lebih lemah dalam perdagangan sapi potong. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Syahyuti (1999) dan Rahmanto (2004) bahwa pedagang memiliki bargaining position yang lebih tinggi dihadapan peternak terutama dalam penentuan harga.

Dengan demikian, peternak sangat tergantung pada jasa pedagang dan tidak memiliki akses pasar termasuk akses informasi didalamnya. Adanya ketergantungan peternak terhadap pedagang perantara membuat rantai pemasaran sapi potong menjadi panjang . Rantai yang panjang juga ditunjukan dari jumlah pedagang perantara yang tinggi di sepanjang rantai dari sentra produksi ke sentra konsumsi. Banyaknya pelaku pasar sejak dari sentra produksi dan konsumsi menyebabkan besarnya marjin keuntungan, tingginya biaya pemasaran, dan penurunan berat badan sapi sehingga konsumen harus membayar daging lebih mahal. Hal ini menjadikan pemasaran tidak efisien dan harga daging sapi menjadi lebih mahal dari pada daging sapi impor apabila dibandingkan denga perbandingan kualitas daging.

Sistem pemasaran dapat dikatakan efisien apabila dapat memberikan suatu balas jasa yang seimbang kepada semua pelaku pemasaran yang terlibat yaitu peternak sebagai produsen, pedagang perantara dan konsumen akhir. Efisiensi pemasaran dapat diukur dengan optimasi dari nisbah ouput dan input. Suatu perubahan yang dapat perubahan yang dapat mengurangi biaya input dalam suatu kegiatan pemasaran tanpa mengurangi kepuasan konsumen dari output menunjukan tingkat efisiensi yang lebih baik. Sehingga, penciptaan hubungan/koordinasi antara peternak sebagai produsen, processor dan pedagang perantara sangat penting untuk dilakukan. Dengan adanya hubungan yang tercipta antara ketiga elemen tersebut, biaya transaksi dapat diturunkan dan pemasaran menjadi semakin efisien.

Salah satu analisis yang dapat merangkum aktifitas rantai pemasaran sapi potong adalah analisis rantai nilai. Analisis rantai nilai memandang perusahaan sebagai suatu bagian dari rantai nilai produk. Rantai nilai merupakan aktifitas yang berawal dari bahan mentah sampai dengan penanganan purna jual yang terjadi karena adanya hubungan dengan pemasok (supplier linkages) dan dengan konsumen (customer linkages). Poter (1998) membagi aktifitas rantai nilai menjadi dua aktifitas yang berbeda, yaitu : aktifitas primer atau aktifitas rantai pasok dan aktifitas sekunder yang berupa lingkungan pendukung. Dalam kasus Industri sapi potong di Indonesia, aktifitas rantai nilai digambarkan sebagai aktifitas aliran sapi potong sampai menjadi daging sapi dan produk turunannya.

Kinerja rantai nilai, sangat didukung oleh kinerja yang dilakukan oleh lembaga atau aktor dan terlibat dalam mengakses aktifitas pemasaran dan lingkungan pendukung seperti ketersediaan infrastruktur dan logistik, ketersediaan akses informasi dan pengetahuan dan ketersediaan akses organisasi. Kinerja


(22)

pemasaran peternakan seringkali terganggu oleh adanya infrastruktur yang buruk, jasa pendukung lain yang tidak memadai dan kelembagaan yang lemah sehingga meningkatan biaya transaksi dan menyebabkan volatilitas harga. Sehingga, baik buruknya kinerja dinilai dari seberapa besar seluruh aktor mampu berkoordinasi membentuk sebuah hubungan yang terintegrasi untuk menciptakan nilai tambah dan memperkecil biaya. Kualitas dan kuantitas standar yang diberikan oleh konsumen daging sapi sulit dilakukan apbila peternak rakyat bekerja secara sendiri-sendiri.

Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja rantai nilai adalah melalui pengelolaan hubungan melalui kemitraan. Kemitraan usaha dalam manajemen rantai nilai menjadi sesuatu yang penting dilakukan untuk menjamin kesinambungan usaha, meningkatkan sumberdaya kelompok mitra dan peningkatan skala usaha dalam rangka menubuhkan dan meningkatkan kelompok mitra secara mandiri. Dengan adanya kemitraan usaha berarti menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan ekonomi kepada pihak lain. Hal ini akan mengurangi pelanggaran dalam manajemen rantai nilai dan meningkatkan koordinasi antar level dalam rantai nilai produk peternakan. Karena itu, kemitran yang terjalin dengan baik menciptakan ketergantungan yang saling menguntungkan. Kemitraan yang dilakukan peternak dan pihak lain juga dapat membangun spesialisasi kerja yang meningkatkan efisiensi usaha, pembagian resiko (sharing risk), adanya jaminan pemasaran dan dapat meningkatkan kemampuan peternak dalam mengakses program pemerintah.1

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan penyebaran populasi, sapi potong menyebar di seluruh propinsi di Indonesia. Ada 8 wilayah propinsi dengan populasi tertinggi sebagai kawasan pengembangan sapi potong yaitu Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, NTT, Bali, dan beberapa wilayah di Sumatera. Propinsi Jawa Tengah, adalah kawasan sentra pengembangan sapi potong terbesar nomor dua setelah Propinsi Jawa Timur. Berdasarkan data DITJENNAK (2009) Propinsi Jawa Tengah menyumbang 12 persen dari total keseluruhan populasi sapi potong. Hal ini disebabkan kondisi geografis dan iklim yang mendukung pengembangan sapi potong, terutama untuk penggemukan sapi potong.

Peternakan sapi potong di Propinsi Jawa Tengah didominasi oleh peternak rakyat yang mengusahakan sapi potong sebagai usaha sampingan untuk mendukung pendapatan keluarga. Peternak tersebut bekerja secara mandiri (menggunkan modal sendiri) maupun bekerja dengan cara memelihara ternak sapi orang lain (Gaduh). Sejak jaman dahulu, sistem kemitraan gaduh sudah dikenal di kalangan peternak sapi potong. Gaduh berasal dari bahasa Jawa yang secara

1

Arief Daryanto, Kemitraan dan Rantai Nilai. Artikel dapat diakses di majalah Trobos, edisi Mei 2009


(23)

sederhana dapat diartikan sebagai seseorang yang memberikan modal yang dimilikinya untuk dikembangkan orang lain. Gaduh berasal dari bahasa Jawa yang secara sederhana dapat diartikan sebagai seseorang yang memiliki modalnya untuk dikembangkan orang lain. Sistem Gaduh dilaksanakan melalui mekanisme bagi hasil antara pemilik modal dan peternak. Mekanisme gaduh ini kemungkinan terbukti menguntungkan kedua belah pihak terutama peternak. Peternak bertanggung jawab atas penyediaan pakan, kandang, dan tenaga kerja. Sedangkan perusahaan bertanggung jawab atas sapi (bakalan) dan pemasaran sapi.

Menurut Ilham (2009) adanya organisasi (roles) dan aturan main (rules) akan menentukan seberapa banyak pelaku yang terlibat dan bagaimana proses transaksi terjadi. Dengan demikian walaupun komoditas yang diperdagangkan sama, perbedaan jumlah organisasi (roles) dan aturan main (rules) akan membedakan bagaimana kinerja rantai nilai sapi potong. Adanya pola kemitraan akan membuat suatu bentuk orgaisasi (roles) dan aturan main (rules) yang berbeda dengan pola tidak bermitra. Adanya keterkaitan hubungan antara peternak dengan perusahaan membuat saluran pemasaran yang terbentuk menjadi lebih pendek. Saluran kemitraan cenderung lebih pendek apabila dibandingkan dengan saluran yang terbentuk pada pola tidak bermitra. Hal ini sehubungan dengan jumlah pelaku yang terlibat di pola kemitraan yag cenderung lebih sedikit dibandingkan saluran tidak bermitra. Saluran yang lebih pendek ini berarti mengurangi marjin, dan memperkecil biaya pemasaran sehingga saluran tersebut kemungkinan menjadi saluran yang lebih efisien dibandingkan dengan saluran tidak bermitra yang cenderung melibatkan banyak organisasi/pelaku pemasaran.

Sejalan dengan hal tersebut, saluran yang lebih pendek menyebabkan produsen atau peternak dapat mengakses lingkungan pendukung lebih baik dari pada peternak pada pola tidak bermitra. Dengan rantai yang lebih pendek, peternak dapat dengan mudah mengakses lingkungan pendukung seperti infrastruktur, informasi dan pengetahuan melalui kemampuan perusahaan pemilik modal dalam mengakses lingkungan pendukung tersebut. Dengan demikian, adanya kontrak kemitraan kemungkinan dapat mendorong peternak untuk meningkatkan produktifitas, dan kualitas produk yang lebih baik dan mampu mengakses pasar yang lebih luas. Dengan kata lain, pola kemitraan dapat meningkatkan kinerja rantai nilai secara keseluruhan. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka penting untuk mempelajari rantai nilai sapi potong dari sisi keterlibatan peternak, atau pelaku pemasaran dalam pola kemitraan. Permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana peranan kemitraan terhadap pembentukan rantai pemasaran sapi potong.

2. Bagaimana peranan kemitraan terhadap kinerja pelaku pemasaran dalam rantai nilai sapi potong

3. Berapa besar struktur biaya dan marjin pemasaran yang terbentuk di rantai nilai sapi potong


(24)

1.4. Tujuan

Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang melandasi dilakukannya penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan peranan kemitraan terhadap pembentukan rantai pemasaran sapi potong.

2. Menganalisis peranan kemitraan terhadap kinerja pelaku pemasaran dalam rantai nilai sapi potong

3. Menganalisis struktur biaya dan marjin pemasaran yang terbentuk di rantai nilai sapi potong.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Peternak Rakyat

Menurut Wahyuni (2007) eksistensi “usahaternak sapi potong pola rakyat (USPPR) secara intensif baru dikenal, yaitu mulai tahun 1990 melalui program panca usaha ternak sapi potong yang menekankan pada pertambahan berat badan yang dikenal dengan nama sapi kereman. Usaha ternak rakyat banyak dilakukan secara terintegrasi dengan usaha tani lainnya,baik usaha tani pangan seperti sayuran dan padi-padian maupun usaha tani non pangan seperti sawit. Peternakan rakyat di identifikasikan dengan usaha dengan skala usaha yang relatif kecil, merupakan usaha rumah tangga, cara pemeliharaan yang masih tradisional dan ternak sering digunakan sebagai tenaga kerja di usaha tani lainnya. (Yusdza dan Ilham 2004).

Terdapat dua tipe peternak yang dikenal di masyarakat, yaitu peternak yang mengarahkan usahanya secara komersial, dan peternak yang mengarahkan usahanya secara non- komersial. Peternak dengan jumlah kepemilikan sapi 1-4 ekor cenderung mengarahkan usahanya ke arah non komersial dan atau semi komersial dimana peternak tidak terlalu berorientasi pasar dan keuntungan. Sementara itu, peternak dengan jumlah kepemilikan sapi lebih dari 25 ekor termasuk peternak yang cenderung mengarahkan usahanya secara lebih komersial dan cenderung lebih memperhitungkan keuntungan secara ekonomis. (Priyanti et al 2012).

Karena keterbatasan skala usaha tersebut, peternak rakyat memiliki beberapa kendala dalam mengakses faktor produksi. Baloyi (2010) menyebutkan bahwa dalam mengakses faktor produksinya petani atau peternak rakyat memiliki keterbatasan dalam hal akses lahan, akses terhadap saluran irigasi dan pengairan, akses terhadap input produksi, akses terhadap mekanisasi dan teknologi serta keterbatasan akses finansial sehubungan dengan keterbatasan asset.

Adanya kendala akses terhadap sumber daya produksi tersebut mempengaruhi perilaku peternak dalam mengusahakan ternaknya. Menurut Marthin dan Jagadish (2006), pada musim-musim tanam yang berbeda, dimana petani ternak harus mengusahakan dua jenis usaha yaitu ternak sapi potong dan tanaman, peternak cenderung memiliki preferensi mengusahakan produk yang lebih menguntungkan dari pada produk lainnya. Preferensi peternak untuk mengusahakan dua komoditas atau lebih tersebut sangat mempengaruhi


(25)

ketersediaan produk. Salah satu faktor yang mempengaruhi preferensi peternak, adalah harga komoditas tertentu dan keterkaitannya dengan keterbatasan akses produksi. Ketika harga komoditas tertentu, pada waktu tertentu diprediksikan mengalami kenaikan, maka peternak akan cenderung mengalokasikan lahan dan modal untuk mengusahakan komoditas tersebut dan mengurangi jumlah alokasi untuk komoditas lainnya sejalan dengan keterbatasan modal, lahan dan tenaga kerja yang dimiliki oleh satu rumah tangga peternak.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut Marsetyo et al (2009) dengan keterbatasan modal, lahan dan tenaga kerja akan sangat mempengaruhi ketersediaan pakan terutama pakan hijauan dan konsentrat. Pakan merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk pertumbuhan berat badan ternak. Selain kendala tersebut, peternak menghadapi kendala lain dalam pemenuhan hijauan sebagai pakan utama bagi peternak rakyat seperti keterbatasan peternak dalam mengakses pengetahuan tentang pakan yang baik dan berkualitas, keterbatasan peternak rakyat terhadap spesies hijauan yang produktif, keterbatasan peternak dalam penyediaan lahan yang produktif untuk pertumbuhan pakan hijauan, dan ketidaksesuaian musim.

2.2 Penelitian Tentang Rantai Nilai 2.2. Metode Pengukuran Rantai Nilai

Langkah awal yang perlu dilakukan untuk menganalisis rantai nilai adalah analisis entry point atau analisis titik masuk. Analisis entry point adalah analisis kasus pembuka atau isu utama yang dapat dijadikan awal analisis rantai nilai. Analisis berikutnya adalah analisis rantai pemasaran, atau beberapa literature menyebutnya sebagai rantai pasok (Supply Chain Management atau SCM). Aktivitas yang menjadi landasan adalah mengkoordinasi organisasi, orang, aktivitas, informasi, dan sumberdaya yang terlibat secara fisik atau virtual dari supplier ke tangan konsumen (Andri 2009). Penelitian Ton (2012) meneliti tentang analisis rantai nilai peternakan rakyat di afrika. Analisis entry point yang digunakan adalah analisis isu mengenai kondisi peternak dan peternakan rakyat di Afrika. Model yang digunakan adalah model kompilasi dimana analisis pemasaran peternakan digunakan sebagai analisis awal, kemudian di dukung dengan analisis faktor yang mempengaruhi keseluruhan perdagangan ternak, seperti analisis ketersediaan infrastruktur dan analisis governance. Sedangkan analisis yang digunakan untuk menganalisis rantai nilai adalah analisis kualitatif. Kelemahan dari analisis ini adalah tidak terlihatnya nilai tambah yang terjadi sepanjang rantai.

Pendekatan kualitatif juga digunakan oleh Schipmann (2007). Penelitian ini menggunakan isu kondisi petani dan produsen cabai merah skala kecil ketika harus menghadapi persaingan global. Model rantai nilai dianalisis dengan cara membandingkan situasi pasar, aliran produk, aktor yang terlibat, struktur governance di pasar Internasional dan pasar lokal, dari mulai produk segar sampai ke produk olahan. Kinerja rantai nilai dinilai dengan menggunakan analisis nilai tambah atau dalam hal ini adalah analisis profit yang diperoleh masing-masing aktor dengan menggunakan analisis rasio input-output


(26)

Selain analisis kualitatif, penelitian tentang rantai nilai juga bisa dilengkapi dengan analsis kuantitatif. Muchara (2010) melakukan penelitian analisis rantai nilai peternak skala kecil di Afrika dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif yang digunakan adalah analisis rantai nilai yang berdasarkan pada analisis pemetaan rantai nilai dengan menggunakan pendekatan berdasarkan komoditas. Pemetaan rantai nilai disini sama dengan analisis saluran pemasaran dimana analisis dilakukan dengan menganalisis producer (petani skala kecil), pedagang, dan konsumen. Untuk melengkapi analisis pemetaan rantai nilai atau analisis kinerja, digunakan analisis kuantitatif yaitu menggunakan analisis efisiensi teknis dengan Stocastic Frontier Analysis.

Pendekatan lain digunakan oleh Spies (2011) yang melakukan penelitian rantai nilai peternakan rakyat (smallholder) daging sapi dan domba dengan menggunakan pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP), pemetaan commodities (mapping) dan “lean thingking” analisis. Metode ini adalah metode pengukuran kinerja dengan cara membuang “Waste” berupa biaya tambahan akan tetapi tidak penting untuk meningkatkan nilai tambah. Analisis kinerja ini digunakan untuk melihat efisiensi ekonomi dan termasuk komponen nilai tambah didalamnya, seperti: biaya produksi, penerimaan di level dan jalur distribusi (rantai pemasaran) yang berbeda, biaya transaksi, pengumpulan dan distribusi informasi dan pemberlakuan kontrak, benchmarking dan upgrading.

Penelitian diatas menggunakan dua analisis yaitu analisis kualitatif untuk menyajikan informasi mengenai isu peternak atau petani skala kecil dalam menghadapi situasi pasar atau permintaan terkait kualitas dan kuantitas, saluran pemasaran produk, dan identifikasi aktor dari produser sampai ke tangan konsumen dan analisis kuantitatif untuk menilai kinerja dari rantai serta analisis nilai tambah. Pada penelitian rantai nilai sapi potong peternakan rakyat ini, analisis dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Hellin and Meijer (2006), dimana analisis rantai nilai dapat dianalisis melalui dua pendekatan yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Tidak ada pendekatan yang lebih baik daripada pendekatan lainnya. Pendekatan kuantitatif yang dinilai berdasarkan hasil pengolahan kuesioner yang mendekati kejadian sesungguhnya dan pendekatan kualitatif dapat melengkapi informasi yang tidak dapat di hasilkan melalui hasil pengolahan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dapat menggambarkan kondisi rantai nilai baik aktor dan kesempatan maupun tantangan yang didapatkan masing-masing aktor dalam setiap rantai.

Dengan demikian analisis rantai nilai peternakan sapi potong rakyat di Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara ini menggunakan metode analisis rantai nilai yang dimulai dengan analisis karakteristik peternak sebagai analisis entry point, analisis rantai pasok atau rantai pemasaran dan analisis kinerja rantai pemasaran. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan cara mendeskripsikan ketiga komponen analisis rantai nilai.

2.2.2 Pemasaran Sapi Potong Peternakan Rakyat

Karakteristik pemasaran produk pertanian adalah saluran pemasaran produk dari petani sampai ke tingkat konsumen akhir yang panjang. Adanya saluran yang panjang tersebut, mengindikasikan banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat. Selain panjang, keterlibatan lembaga pemasaran juga membentuk


(27)

saluran pemasaran yang bervariasi antar petani satu dengan petani lain dalam satu wilayah.Ton (2012) dam Spies (2011) menyebutkan rantai pemasaran yang terbentuk adalah sapi potong dari peternak di pedesaan (rural area) dijual ke pedagang perantara, baik pedagang perantara yang datang ke desa, maupun pedagang yang lebih besar yang menguasai wilayah lebih luas. Dari pedagang perantara, sapi potong dalam keadaan hidup dibawa ke pasar hewan di wilayah kecamatan maupun district untuk kemudian dijual ke pedagang pemotong atau langsung dibawa ke pemotongan hewan. Dari pemotongan hewan, sapi telah berubah bentuk menjadi daging, dan siap untuk dipasarkan di pasar-pasar lokal atau tradisional.

Sullivan dan Dwiyanto (2007), Ilham (2009) menyebutkan bahwa pada pasar sapi potong, pelaku yang terlibat dalam pemasaran ternak dan daging sapi bervariasi antar daerah. Pelaku yang terlibat adalah : peternak/feedlotter, pedagang pengumpul desa, makelar di pasar hewan tertentu, pedagang antar provinsi (antar pulau), importir daging/pedagang pejagal, pengecer di pasar tradisional, supermarket, meatshop dan pedagang keliling. Pola saluran tataniaga di daerah sentra produksi sapi potong relatif lebih banyak melibatkan pedagang ternak sapi, sebaliknya, di sentra konsumsi relatif lebih banyak melibatkan pedagang sapi.

Pemasaran peternak rakyat di daerah tertentu. hanya mencapai pasar tradisional lokal dan sangat tergantung pada pedagang. Rahmanto (2004) menyebutkan bahwa pola peternak dalam memasarkan ternaknya sangat tergantung pada jasa pedagang, baik pedagang pengumpul ke blantik dadung dan kemudian ke pedagang antar daerah. Akan tetapi tidak semua peternak tergantung kepada pedagang, peternak yang memiliki peran peternak atau pedagang dapat menjual secara langsung sapi tanpa melalui pedagang perantara, seperti yang dijelaskan oleh Wahyuni (2007) menyebutkan ada tiga jenis variasi peternak rakyat, yaitu peternak yang telah melakukan manajemen kandang yang intensif yaitu dengan menggunakan kandang permanen, mmiliki pakan khusus untuk penggemukan dan memiliki standar pertambahan berat badan.

Peternak tipe ini umumya hanya bersifat sebagai produsen yang menjual ternak ke blantik atau pedagang pengumpul. Tipe peternak kedua adalah gabungan tipe peternak pertama ditambah dengan adanya usaha untuk pengadaan pakan. Tipe peternak kedua berperan ganda yaitu sebagai peternak sekaligus sebagai pedagang sapi dan pedagang pakan. Tipe peternak selanjutnya adalah gabungan peternak tipe dua yang memiliki rumah potong hewan. Tipe peternak ke tiga ini memiliki multiperan yaitu selain sebagai produsen, mereka juga berperan sebagai pedagang yang melakukan jual beli sapi dalam keaadaan hidup di pasar hewan dan daging sapi melalui pemotongan sapi. Garis besar aliran pemasaran sapi dapat dilihat pada gambar 2.1


(28)

Gambar 2.1 Saluran pemasaran daging sapi di Pulau Jawa tahun 2001 (Hadi et al 2002) 2.2.3 Kinerja Rantai Nilai

Kinerja dalam analisis rantai nilai dapat di identifikasikan sebagai kapasitas lembaga atau aktor dalam mengakses pasar dan lingkungan pendukung. Aktivitas pendukung ini senantiasa akan menyatukan fungsi-fungsi yang melintasi aktivitas primer yang beraneka ragam, serta bermanfaat untuk membagi lebih lanjut aktivitas primer yang ada di sepanjang rantai untuk kemudian menciptakan nilai tambah. Adanya revolusi peternakan seiring dengan peningkatan pendapatan dan perubahan gaya hidup membuat peternak sapi potong menghadapi tantangan dalam mengakses pasar.

Secara umum, aktor dalam rantai nilai menghadapi kendala dalam mengakses pasar terkait dengan kemampuan peternak dalam mengakses pasar. Baloyi (2010) menyebutkan peternak rakyat menghadapi kendala dalam mengakses transportasi, menghasilkan produk dengan kualitas dan kuantitas yang kecil dan tidak konsisten sehingga harga produk menjadi rendah, keterbatasan dalam usaha untuk bekerja secara bersama-sama, keterbatasan jarak yang jauh antara domisili peternak dan pasar, dan keterbatasan market informasi. Sedangkan Ton (2012), menyebutkan tiga hal yang mempengaruhi kinerja peternak yaitu kemampuan peternak dalam mengakses pengetahuan dan modal, tidak tersedianya infrastruktur fisik yang memadai, dan lemahnya kelembagaan yang bekerja disepanjang rantai pasar.

Sementara itu, menurut Martin dan Jagadish (2006), dalam mengakses kinerja sistem pemasaran petani dengan menggunakan standar penghitungan pemasaran dan kinerja rantai pasok untuk meciptakan nilai. Peneliti menilai

Pasar Daging

Peternak Rakyat (Penggemukan)

Peternak Rakyat (Breeding)

Pasar Hewan Hidup Pedagang perantara

(Pedagang Desa)

Pedagang Perantara

Pedagang Kabupaten

Pedagang antar provinsi

Rumah Potong hewan

Pedagang Daging Besar

Retailler Pasar Tradisional

Retailler Supermarket

Retailler Meatshop


(29)

kinerja petani kecil dalam menciptakan nilai dengan cara melihat bagaimana petani dan aktor lain dalam satu rantai nilai memperoleh keuntungan dan margin yang sedikit dibandingkan aktor lainnya, yaitu: (1) akses terhadap manajemen kualitas, dimana semakin panjang rantai, semakin komplek manajemen kualitas yang harus dilakukan masing masing aktor, (2) akses terhadap infrastruktur dan logistik, dalam hal ini petani yang berada jauh di pedesaan memiliki akses yang rendah terhadap infrastruktur dan logistik, hal ini akan sangat mempengaruhi biaya yang dikeluarkan petani., (3) Akses terhadap informasi. Semakin panjang rantai yang terbentuk, maka akan semakin kecil akses informasi yang didapatkan peternak, (4) Hubungan yang terbentuk, dimana keeratan hubungan tergantung pada market segmen dan karakteristik produk.

Hubungan yang tepat akan mempengaruhi peternak maupun pemasar mengatasi kendala dalam ketiga aspek penilaian kinerja yang sebelumnya. Kinerja selanjutnya yang dapat dinilai dalam rantai nilai adalah adanya governance structure yang dipengaruhi keterikatan hubungan antar aktor. Schipman (2006) menunjukan bahwa semakin kompleks segmen dan kriteria pasar yang akan dituju, maka governance structure akan semakin komplek, sehingga membutuhkan keterikatan hubungan yang semakin kuat. Semakin kuat keterikatan hubungan antara petani dan pedagang, maka akan semakin banyak keuntungan yang akan didapatkan petani dari segi akses pasar. Semakin erat hubungan, penentuan harga akan semakin mudah,informasi akan semakin tersebar dan pada akhirnya keuntungan akan semakin tinggi.

Adanya kinerja di atas selanjutnya mempengaruhi nilai tambah atau marjin yang didapatkan oleh peternak. (Martin and Jagadish 2006, Schipman 2006, Spies 2011). Nilai tambah atau margin terdiri dari berbagai macam komponen biaya pemasaran. Ilham (2009) menyebutkan dua komponen utama marjin pemasaran adalah keuntungan dan biaya pemasaran. Sedangkan Rahmanto (2004) menyebutkan bahwa biaya pemasaran terdiri dari biaya-biaya angkut, biaya akomodasi, pakan ternak, komisi blantik, dan retribusi pasar. Biaya-biaya tersebut memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap biaya total.Menurut Ilham dan yusdja (2004) persentase biaya pemasaran terhadap biaya total adalah sebesar 2,30-9.08 persen, dimana biaya transportasi merupakan komponen utama dalam biaya pemasaran. Sehingga semakin panjang rantai, kemungkinan akan mempertinggi biaya transaksi (transaction cost) dan akan menyebabkan rantai pemasaran bekerja tidak efisien.

Menurut Ilham (2009), besarnya biaya pemasaran tergantung pada banyaknya pelaku pasar sejak dari sentra produksi dan konsumsi. Peternak memiliki ketergantungan tinggi terhadap jasa pedagang pengumpul dalam memasarkan ternaknya, meskipun tersedia fasilitas pasar ternak yang cukup memadai. Hal ini karena beberapa faktor diantaranya : (1) tingkat skala usaha yang relatif kecil sehingga pengeluaran biaya angkutan yang tidak efisien, (2) peternak tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kondisi pasar, (3) transaksi didasarkan atas taksiran pembeli sehingga tidak ada standard tertentu untuk mengukur berat badan, (4) adanya blantik yang berpotensi mengurangi pendapatan peternak.

Dengan demikian, kinerja peternak rakyat dinilai dari bagaimana peternak mengakses lingkungan pendukung baik peternak yang bekerja secara bermitra maupun tidak bermitra. Kemampuan peternak dalam mengakses lingkungan


(30)

pendukung mencerminkan baik atau tidaknya kinerja peternak rakyat. Kinerja peternak rakyat juga didukung dengan adanya analisis marjin pemasaran dan efisiensi pemasaran. Sehingga, semakin baik kinerja pemasaran dalam rantai nilai sapi potong, semakin meningkatkan kinerja rantai nilai yang dimiliki oleh masing-masing aktor. Semakin panjang rantai pemasaran, maka marjin pemasaran juga akan semakin kecil.

3.2.4 Peran Kemitraan dalam Rantai Nilai

Kemitraan dimaksudkan sebagai upaya pengembanan usaha yang dilandasi kerja sama antara perusahaan dan peternakan rakyat, yang pada dasarnya merupakan kerja sama vertikal. Kerja sama tersebut mengandung pengertian bahwa ke dua belah pihak harus memperoleh keuntungan dan manfaat. Menurut Saptana (2006) kemitraan adalah suatu jalinan kerja sama berbaai plaku agribisnis, mulai dari kegiatan pra produksi sampai dengan pemasaran. Kemitraan dilandasi oleh asas kesetaraan kedudukan, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan serta adanya persetujuan di antara pihak yang bermitra untuk saling berbagi biaya, resiko, dan manfaat.

Penarapan konsep kemitraan antara peternak sebagai mitra dan pihak perusahaan perlu diakukan sebagai upaya khusus agar usaha ternak sapi potong, baik sebagai usaha pokok maupun pendukung dapat berjalan seimbang. Upaya khusus tersebut, meliputi pembinaan finansial dan teknik serta aspek manajemen. Pembinaan manajemen yang baik, terarah, dan konsisten terhadap peternak sapi potong sebagai mitra akan meningkatkan kinerja usaha, yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, melaui kemitraan baik yang dilakukan secara pasif maupun aktif akan menumbuhkan jalinan kerja saa dan membentuk hubungan bisnis yang sehat.

Kemitraan antara peternak dan perusahaan memiliki peran penting terhadap jalannya aktifitas rantai nilai sapi potong. Peran kemitraan dalam aktifitas rantai nilai dapat terlihat dari kemudahaan pengadaan produk sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang diminta oleh pasar sejalan dengan hubungan yang terbentuk antara peternak dengan perusahaan. Melalui hubungan kemitraan, resiko produksi, resiko harga, dan resiko pasar dapat diatasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Baloyi (2010), Kinerja rantai nilai, terutama dalam hal perbaikan produksi dan akses pasar, dapat ditingkatkan melalui pembentukan kelompok atau organisasi kerja peternak. Peningkatan kinerja pola kemitraan dapat memberikan pengaruh yang positif pada peningkatan kinerja rantai nilai sapi potong peternak skala kecil. Meningkatnya kinerja rantai nilai pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan peternak sejalan dengan peningkatan kemampuan peternak untuk memenuhi permintaan sapi potong baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Peternak maupun aktor yang lain dalam rantai nilai dapat mengambil manfaat dengan adanya pola kemitraan ini baik dari segi pemasaran dan produksi.

Panjangnya rantai pada pola kemitraan dapat diputus dengan cara menciptakan keterkaitan hubungan yang terjadi antara peternak mitra dan perusahaan. Peternak mitra mendapatkan jaminan pasar dari perusahaan sehingga peternak tidak perlu berhubungan dengan pedagang perantara. Hasil penelitian Supriyatna (2006), peternak yang memiliki hubungan kemitraan dapat mengakses langsung ke pasar yang lebih modern dan konvensional


(31)

sekaligus. Sementara itu, peternak mandiri umumnya melakukan penjualan melalui pedagang pengumpul. Hal ini menunjukan bahwa rantai yang terbentuk di pola kemitraan lebih pendek dibandingkan dengan pola mandiri. Dengan kata lain, pola kemitraan ini lebih menguntungkan dalam hal perolehan marjin dibandingkan peternak mandiri.

Kemitraan memiliki manfaat untuk meningkatkan kinerja,baik bagi peternak maupun perusahaan. Peternak mudah mengakses lingkungan pendukung sejalan dengan kemampuan perusahaan inti dalam mengakses lingkungan pendukung. Penelitian Kumar, et al (2011) menyebutkan bahwa dengan adanya rantai nilai yang terintegrasi antar aktor, produsen akan mendapatkan manfaat dari peningkatan informasi dan pengetahuan, kualitas dan keamanan pangan yang lebih baik, mengurangi biaya dan kerugian, mempertinggi penjualan dan adanya pertambahan nilai yang lebih baik dalam proses produksi.

Akan tetapi, adanya kemitraan tersebut juga memiliki dampak negatif bagi para pelaku ternak. Hal ini dijelaskan dalam Vanzetti (2010), bahwa sisi negatif dari penerapan pola kemitraan ini adalah adanya pembagian keuntungan yang tidak sesuai diantara kedua belah pihak. Peternak memiliki resiko tinggi dalam produksi sementara inti memiliki resiko lebih tinggi dari produksi dan pemasaran sejalan dengan karakterestik peternak kecil. Hal ini sejalan dengan penelitian Hadi et al (2002) dimana kinerja kemitraan antara feedlotter dan peternak rakyat dinilai kurang berhasil akibat adanya perilaku peternak yang melanggar perjanjian seperti proses operasi yang tidak standar dan ketidak mampuan perusahaan untuk mendampingi peternak secara intensif.

Dengan demikian, adanya sistem kemitraan dapat meningkatkan kinerja rantai nilai para aktor atau lembaga yang terlibat. Melalui kemitraan, rantai pemasaran akan dipotong dimana ternak dari peternak langsung di jual ke pedagang atau perusahaan yang memiliki mitra. Ternak dari perusahaan akan dijual ke pemotongan. Selain itu, kemitraan juga dapat meningkatkan kinerja lembaga dalam mengakses lingkungan pendukung terutama untuk peternak mitra. Peternak akan lebih mudah mengakses lingkungan pendukung sehubungan dengan hubungan yang terbentuk antara peternak mitra dengan perusahaan.


(32)

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Perkembangan Teori Rantai Nilai (Value Chain) 3.1.1 Deskripsi Konsep Rantai Nilai (Value Chain)

Pengertian rantai nilai menurut Kaplinsky dan Moris (2001) adalah : ….“full range of activities which are required to bring a product or service from conception, through the intermediary phases of production, delivery to final consumers and final disposal after use”

Dari pengertian tersebut, Analisis Rantai Nilai memandang suatu perusahaan sebagai salah satu bagian dari rantai nilai produk. Analisis rantai nilai memandang perusahaan sebagai salah satu bagian dari rantai nilai produk. Rantai nilai produk merupakan aktifitas yang berawal dari pengadaan bahan mentah (raw material) sampai dengan penanganan purna jual. Rantai nilai ini mencakup aktivitas yang terjadi karena adanya hubungan antara perusahaan dengan pemasok (supplier linkages), dan hubungan dengan konsumen (Consumer linkages). Sehingga dalam hal ini analisis rantai nilai membantu suatu perusahaan memahami posisi perusahaan pada rantai nilai produk untuk meningkatkan keunggulan kompetitif.Sedangkan menurut Stringer (2009) rantai nilai adalah salah satu konsep pendekatan bagaimana menambah nilai suatu aktifitas dan memperbesar nilai produk secara maksimal dalam tatanan suatu rantai pasok.

Porter (1985) mengidentifikasikan aktifitas rantai nilai sebagai satu set kombinasi Sembilan aktifitas generic dalam suatu perusahaan. Kesembilan aktifitas tersebut kemudian dibagi menjadi dua aktifitas yaitu aktifitas primer dan aktifitas pendukung. Aktifitas primer yaitu serangkaian aktifitas yang terdiri dari proses logistic inbound (pengadaan input), operasi, outbound logistic, pemasaran dan penjualan serta pelayanan setelah penjualan. Sedangkan aktifitas pendukung adaah infrastruktur, manajemen sumberdaya manusia, pengembangan teknologi dan pengadaan. Aktifitas pendukung ini senantiasa akan menyatukan fungsi-fungsi yang melintasi aktifitas primer serta bermanfaat untuk membagi lebih lanjut aktifitas spesifik yang ada di dalam rantai. Kedua aktifitas tersebut kemudian di satukan dalam penilaian nilai tambah. Aktifitas rantai nilai yang dideskripsikan porter ini kemudian dikembangkan oleh beberapa peneliti yang men

Untuk lebih memahami konsep rantai nilai, perlu diketahui secara lebih mendalam penggunaan istilah rantai nilai dan rantai pasok (Hoobs and Young 1999). Analisis rantai nilai berbeda dengan analsis rantai pasok dalam beberapa hal. Analisis rantai pasok berhubungan dengan rantai atau aktivitas hubungan vertikal dari rangkaian aktivitas-aktivitas dalam industri. Rantai pasok adalah aktifitas untuk mentransmit sinyal dari konsumen ke perusahaan pangan serta mengirimkan produk dari petani ke meja konsumen. Komponen utama dari rantai pasok ini adalah pasokan, produksi, proses atau manufactur dan retailing.

Menurut Kaplinsky dan Morris (2001) membedakan antara rantai nilai dan rantai pasok dalam hal hubungan dan keterikatan antar aktor dalam satu tingkat produksi. Hubungan tersebut didefinisikan oleh KIT et al (2006) dimana aktor dalam rantai nilai memiliki kekuatan untuk melakukan negosiasi dan menawar harga, dengan demikian mereka mampu untuk melakukan suatu investasi dalam


(33)

rantai dan mendukung aktivitas aktor lain didalam rantai nilai, dan demikian sebaliknya dengan aktor dalam rantai pasok.

Aktivitas rantai pasok dan rantai nilai dibedakan dari fungsi nya . Webber dan Labaste (2009) Analisis rantai pasok digunakan untuk menganalisis setiap aktivitas logistic dan aktivitas procedural yang berkaitan dengan produksi dan pengiriman produk atau jasa, oleh karena itu analisis rantai pasok ini dideskripsikan sebagai “from supplier’s supplier to the customer’s customer”. Fokus utama analisis rantai pasok adalah management untuk mengatur over-stock, biaya transaksi yang lebih murah, dan meningkatkan persyaratan dan kepuasan konsumen. Akan tetapi dalam beberapa literature rantai nilai mengintegrasikan aktivitas rantai pasok dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen melalui pengembangan produk dan jasa konsumen, produksi, dan operasi distribusi. (Altenburg 2007, Stringer 2009).

Analisis rantai nilai di sektor pertanian dibedakan menjadi dua hubungan, yaitu hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Hubungan vertikal terjadi ketika sebuah usaha tani melakukan spesialisasi di bagian khusus dari rantai nilai dan mempererat hubungan dengan para pemasok (supplier), processor dan distributor. Sedangkan hubungan horizontal terjadi ketika ada hubungan dengan perusahaan atau usaha yang sama dalam satu level di value chain (Kaplinsky dan Morris 2001). Sedangkan Boelje et al (1999) menyebutkan bahwa produksi pertanian di negara maju telah mengalami perubahan dari industri yang didominasi oleh keluarga, petani kecil dan perusahaan ke satu industri yang lebih ketat keterikatanya dari proses produksi dan distribusi dalam satu rantai nilai. Di satu sisi, di negara berkembang, aktor dalam rantai nilai dideskripsikan sebagai petani dan perusahaan, tradisional maupun modern, akses pasar lokal maupun global.

Dari deskripsi rantai nilai diatas, dalam konteks penelitian dibidang pertanian, rantai nilai memiliki fungsi untuk menumbuhkan kekuatan petani kecil (smallholder) untuk dapat lebih bersaing dan mengakses pasar global (Humphrey and Schmitz 2000). Aktor dalam analisis rantai nilai dalam pertanian dideskripsikan oleh Heillen dan Meijer (2006) adalah orang-orang yang melakukan transaksi dengan produk yang sama yang berpindah dalam satu rantai nilai, dari mulai input (supplier), petani, pedagang, processor, pengangkut/distributor, pedagang besar, pedagang retail dan sampai produk ke tangan konsumen akhir. Gambar 3.1 menunjukan bagaimana struktur rantai nilai bekerja pada sektor pertanian secara umum.

Gambar 3.1 Rantai nilai sederhana dalam pertanian (Sumber : Heillen dan Meijer 2006)

3.1.2 Review Metode Analisis Rantai Nilai

Sebagaimana disebutkan di atas, rantai nilai dapat dianalisis dengan snalisis rantai nilai (VCA) (Heillen and Meijer 2006). Rantai nilai dalam setiap industri memiliki kharakteristik khusus untuk menganalisisnya. Setiap analisis


(34)

harus melihat karakter secara spesifik tentang objek yang akan diteliti berdasarkan tujuan penelitian

untuk dijadikan sebuah pertimbangan. Pada penelitian ini, dimana subjek penelitian adalah peternak rakyat dan komoditasnya adalah sapi hidup, maka analisis yang dilakukan tentu saja berbeda dengan penelitian yang menggunakan sistem transaksi yang lebih modern seperti di industri pangan lainnya.

Tahap-tahap dalam menganalisis rantai nilai dapat dilihat melalui framework Global Comodity Chain yang dikembangkan oleh Kaplinsky dan Morris (2000) yaitu aalisis entry point, analisis pemetaan rantai nilai, analisis segment pasar dan critical success factor, analisis pemetaan governance, proses up gradding dan analisis isu-isu distribusi. Dalam penelitian ini, ke lima tahap tersebut disesuaikan dengan entry point yaitu peternak skala kecil. Beberapa penelitian menyederhanakan analisis tersebut menjadi analisis pemetaan komoditas (Schipman,2006;Muchara, 2010;Spies 2011;Ton 2012). Penyederhanaan juga dilakukan oleh Rich et al (2009) Analisis rantai nilai kemudian dianalisis dalam tiga tahap yaitu tahapan pengidentifikasian entry point atau identifikasi isu, tahapan identifikasi pemetaan rantai nilai atau dalam hal ini identifikasi saluran pemasaran, dan tahap identifikasi kinerja, yaitu kapabilitas atau kemampuan setiap aktor dalam melakukan transaksi dan mengakses lingkungan pendukung, tahap analisis governance structure dan isu distribusi penerimaan. Sehingga analisis rantai nilai melalui tahap-tahap sebagai berikut : 1. Identifikasi The point of entry. Memilih entry point adalah titik awal untuk

mengeksekusi metodologi analisis rantai nilai. Entry point meliputi isu-isu yang spesifik atau terkait dengan aktor-aktor yang spesifik. Kaplinsky dan Morris (2000) menyebutkan ada dua belas kasus yang mungkin menjadi entry point dalam penelitian , yaitu : distribusi pendapatan pada pemasaran global, retailers, pembeli spesifik, produsen kunci, produser spesifik komoditas tertentu, produser dalam bidang pertanian (smallholder), usaha skala kecil, produsen dan pedagang yang informal secara ekonomi, perempuan, anak-anak dan kelompok lain yang termarjinalisasi yang dieskploitasi dalam suatu grup.

Entry point dalam penelitian ini adalah karakteristik peternak rakyat yang bekerja di dua sistem yaitu sistem kemitraan dan sistem tidak bermitra. 2. Pemetaan rantai nilai (mapping the value chain). Tahap pemetaan rantai

nilai dalam beberapa penelitian diidentifikasikan sebagai tahap mengidentifikasikan rantai pemasaran.Tahap kedua ini adalah tahap untuk memetakan informasi yang terkait dengan aktor atau lembaga yang teridentifikasi membentuk rantai pemasaran. Informasi tersebut terkait dengan aktor kunci di setiap saluran yang terbentuk, mengidentifikasi aliran produk, termasuk didalamnya informasi, tujuan pemasaran dari tangan produsen sampai ke tangan konsumen.

3. Tahapan selanjutnya adalah analisis kinerja. Kinerja sendiri adalah tingkat keberhasilan didalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dikatakan baik dan sukses apabila tujuan yang diinginkan dapat dicapai denganbaik (Gibson et al 1984). Selanjutnya Griffin (1985) menjelaskan bahwa kinerja merupakan suatu kumpulan total dari perilaku kerja yang ada pada pekerja. Suatu kegiatan usaha pasti ingin mencapai sasaran yang telah ditetapkan atau ingin dicapai.


(35)

Penilaian kinerja menjadi penting, sebab (1) merupakan ukuran keberhasilan suatu kegiatan usaha dalam kurun waktu tertentu dan (2) merupakan masukan untuk perbaikan atau peningkatan kinerja kegiatan usaha selanjutnya (Riyanti, 2003). Kinerja rantai nilai di nilai berdasarkan kemampuan produsen untuk mengakses lingkungan pendukung dan perolehan nilai tambah.

Pada tahap analisis kinerja ini, terdapat indikator penilaian kinerja rantai nilai, indikator tersebut adalah sebagai berikut (Ton 2012, Baloyi 2010, Muchara 2010, Martin and Jagadish 2006)

1) Infrastruktur Fisik dan Ketersediaan Transportasi

Ketersediaan infrastruktur dan transportasi merupakan salah satu aspek yang krusial dalam pemasaran suatu produk pertanian. Infrastruktur yang dimaksudkan adalah fasilitas jalan yang baik proper road network), fasilitas pasar hewan, dan fasilitas rumah potong hewan seperti timbangan, peralatan, lahan parker, sanitasi dan sebagainya. Keterbatasan akses infrastruktur akan sangat mempengaruhi transaksi terutama dalam hal biaya transaksi. Jalan yang kurang baik akan mempengaruhi kemampuan peternak/aktor dalam mengakses pasar secara tepat dan mempengaruhi kualitas ternak, akibatnya biaya transportasi semakin tinggi. Keterbatasan terhadap akses fasilitas akan mempengaruhi kondisi ternak (kualitas produk).Sedangkan transportasi atau logistik penting untuk mengankut ternak sampai ke tujuan. Tanpa adanya alat transportasi, peternak atau aktor lain akan memiliki kendala dalam biaya transportasi dan kualitas produk (susut berat badan)

2) Akses Informasi dan Pengetahuan

Peternak atau petani memiliki sejumlah karakteristik yang dapat mempengaruhi perilaku peternak dalam mengakses pasar. Karakteristik tersebut dipengaruhi oleh pendapatan, tingkat pendidikan, jenis ternak, ketersediaan informasi dan jarak dengan pasar. Informasi dan pengetahuan merupakan aspek yang krusial dalam pengembangan usaha ternak/tani. Aliran informasi dalam kerangka rantai nilai adalah aliran informasi mengenai harga, spesifikasi produk baik produk sebelum maupun sesudah, informasi tentang pasar (tempat dan waktu yang tepat untuk menjual produk, dan pembeli potensial) dan informasi tentang kebijakan yang sedang berpengaruh. Semakin pendek saluran rantai nilai, maka aliran informasi akan menyebar sebakin baik (Martin and Jagadish 2006).

3) Akses terhadap keberadaan organisasi

Organisasi dalam pertanian seringkali di identikan dengan kelompok tani/ternak. Mosher (1987) menyatakan bahwa salah satu syarat sukses terlaksananya kekuatan pembangunan pertanian yaitu adanya suatu kegiatan kelompok tani. Kelompok tani dibentuk untuk mensejahterakan masyarakat petani/ternak melalui kenaikan produktifitas serta distribusi pendapatan yang lebih merata. Abbas (1995) menyatakan bahwa terdapat beberapa peranan kelompok tani, yaitu: (1) sebagai kelas belajar bagi para petani agar terjadi interaksi, guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam


(36)

berusahatani yang lebih baik serta berperilaku lebih mandiri untuk mencpai kehidupan yang lebih sejahtera, (2) sebagai unit produksi dalam pengertian kelompok tani merupakan kesatuan unit usaha untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan dan (3) sebagai wahana kerjasama antara anggota dan antara kelompok tani dengn pihak lain untuk memperkuat kerjasama dalam menghadapi berbagai macam ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan.

Berdasarkan uraian di atas, keterlibatan peternak atau aktor lainnya dalam kelompok akan mempengaruhi kinerja rantai nilai. Semakin sering proses interaksi terjadi antara sesama anggota, maka proses pertukaran dan distribusi pengalaman akan berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pengelolaan usaha sapi potong termasuk di dalam nya produksi dan pemasaran. Terkait dengan sistem kemitraan yang ada, organisasi juga diidentikan dengan keterlibatan peternak dalam sistem kemitraan.

4. Governance structure dan hubungan antar aktor

Pada pemetaan governance ini berhubungan erat dengan hubungan antar aktor. Menurut Williamson (1985), perintah (governance) ekonomi merujuk ke bagaimana institusi ekonomi yang berbeda memberikan kontribusi dalam memfasilitasi produksi dan perdagangan.Governance berhubungan erat dengan hubungan kontraktual dalam setiap hubungan yang berkelanjutan dan merupakan salah satu bagian dari nilai. Berdasarkan Spithoven dan Van and berg (2010) governance structure berhubungan dengan langkah penting untuk mengkoordinasikan transaksi dimana para aktor dapat menggunakan cara negosiasi didalam pasar, dimana aktor dalam pasar diidentifikasikan secara autonomous.

Dalam konteks rantai nilai, governance terjadi dalam setiap hubungan yang terbentuk di sepanjang rantai. Kaplinsky dan Morris (2001) mendeskripsikan governance structure sebagai interaksi antar perusahaan sepanjang rantai nilai. Interaksi ini menunjukan level organisasi secara lebih teratur dalam hal pengaturan rules dan kekuatan. Rantai nilai memiliki governance structure apabila parameter persyaratan kualifikasi produk, proses dan logistic merupakan konsekuensi bagi keselurhan bagian dari rantai nilai baik produsen, distributor maupun pedagang untuk memenuhi keinginan pelanggan tersebut sesuai dengan aktifitas, peran, dan fungsi dari masing-masing aktor atau lembaga dalam rantai nilai. Atau dalam hal ini, rantai nilai akan ter govern dengan baik apabila tercipta suatu hubungan yang berkelanjutan antar aktor sehingga kualifikasi persyaratan pelanggan dapat dipenuhi bersama-sama. Legitimasi kekuatan governance tersebut diukur dari seberapa kuat hubungan antar aktor dengan parameter penilaian sebagai berikut : panjangnya kontrak, tipe prosedur pemesanan, tipe hubungan kontraktual, tipe titik inspeksi yang digunakan dalam menerima penerimaan, tingkatan keterikatan perusahaan satu dengan yang lain, tipe pendampingan secara teknik yang mengalir sepanjang rantai, tipe dan cara berkomunikasi, pembayaran serta penentuan harga.


(1)

Hadi, P.U. N, Ilham, A. Thahar, B. Winarso, D. Vincent and D. Quierke.2002. Improving Indonesian’s beef industry [laporan penelitian] Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR) Monograph 35:128.

Harijati S.2007. Potensi dan pengembangan kompetensi agribisnis petani berlahan sempit : kasus petani sayuran di kota dan pinggiran Jakarta dan Bandung [disertasi]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana IPB

Hasanah, M.2000.Anlisis sistem tata niaga sapi potong Kecamatan Jenkrik, Madura [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

Hellin, Jon. Meijer Madelon.2006. Guidelines for Value Chain Analysis.

Hermawan, A. Sarjana dan Subiharta.2006. Tingkat efisiensi dan kontribusi pendapatan usaha ternak bagi petani miskin di Kabupaten Blora dan Temanggung. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

Veteriner.2006. Tersedia online di :

http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/semnas/Pro06-56pdf (6 Januari 2013)

Hoobs , J.E and Young, L.M.1999.Increasing vertical linkages in agrifood supply chains : A conceptual model and some preliminary evidence. Paper presented at the Canadian Agricultural Economics Society and The World Agricultural Economic Society. Fargo. North Dakota, USA, 10-14 July 1999.

Humphrey, J Gereffi .2005. Is Commercial Agriculture Becoming too Challenging for Smallholders?Institut Of Development Studies. Diunduh : 19 Juni 2012. Tersedia online : www.princeton.edu

Humphrey,J and Scmitz, H.2000.Governance in global value chains. Institute of Development Studies, University of Sussex.

Indrayani, Ida. 2011. Analisis produksi dan daya saing usaha penggemukan sapi potong di kabupaten agam, provinsi sumatera barat [thesis]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana IPB.

Kalamkar S.S. 2010.Poultry value chain, food security and poverty allevation in India [jurnal] Agricultural economic research review,Vol.23

Kaplinsky R, Morris, M. 2001. A handbook for value chain research. prepared for the idrc. Diunduh: 14 April 2012. Tersedia online di : wwww.ids.ac.uk Kariyasa, K. 2004. Analisis penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia

sebelum dan sesudah krisis ekonomi : suatu analisis proyeksi swasembada daging 2005 [jurnal] Jurnal SOCA 4(3) : 283-293


(2)

KIT and IRR.2008.”Trading up: Building Cooperation Between Farmers and Trader in Africa”.Royal Tropical Institute, Amsterdam, The Netherlands and International Institute of rural reconstruction, Nairobi, Kenya.

Kohl, L.R. and Uhls, J.N.2002. Marketing of Agricultural Products. New York (US): Macmillan Publishing Company.

Mahyudi, Ichsan.2009.Perbandingan Pendapatan Peternak dari dua sistem kemitraan inti plasma yang berbeda pada usaha pembesaran ayam ras pedaging [tesis]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Markelova, et al. 2008. Collective Action For Smallholder Market Access [internet]. Diunduh pada 13 Agustus 2012. Food policy issues Volume 34, February 2009, Issue 1 : 1-7. Tersedia online: http://www.sciencedirect.com/

Martin, Sandra and Jagadish, Ayyamani. 2006. Agricultural Marketing and Agribusiness Supply Chain Issues in Developing Economics : The Case of Fresh Produce in Papua New Guinea. Paper Presented at New Zeland Agricultural and Resource Economics Society Confrence, 25-27 August 2006.

Mc.Dermott,JJ et all.2010. Sustaining Intensification of Smallholder Livestock System in Tropics. Diunduh pada 13 Agustus 2012. Food and agriculture review. Tersedia online di Science Direct. www.elsevier.com/locate//lvsci Muchara, Binganidzo. 2011. Analysis of food value chain in smallholder crop and

livestock enterprises in eastern cape province cape province of south Africa. [thesis] Fort hare (tZA) : Faculty of Agricultural Ecoomic. University of Fort Hare.

Porter, Michael E. 1985.Competitive Advantage : Creating And Sustaining Superior Performance With New Introduction. New York (US): Free Press Puspitawati, eka. 2004. Analisis Kemitraan antara PT Pertani (Persero) dengan

petani penangkar benih padi di Kabupaten Karawang [tesis] Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, IPB

Rachmatia, Nur Rizky,2013.Struktur biaya dan pendapatan usaha ternak ayam ras pedaging pola mandiri dan kemitraan perusahaan inti rakyat, kecamatan pamijahan, kabupaten bogor [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

Rahardi, F (2003).Agribisnis Peternakan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Rahmanto, Bambang.2004.Analisis usaha peternakan sapi potong rakyat [makalah] ICASERD Working Paper No.59. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian RI.


(3)

Ratniati, Ni Ketut.2007.Analisis sistem pemasaran sapi potong PT Great Giant Liveztock Company Lampung Tengah [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

Rich, Karl M. Baker Derek, et all. 2009. Concept, spplication, of value chain analysis to livestock system in developing countries Contributed For Paper prepared for presentation at the international Assosiation of agricultural economist Conference, Beijing China, August 2009.

Saptana dan Ashari,2007.Pembangunan pertanian berkelanjutan melalui kemitraan usaha Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26(4)

Sarwanto, Catur. 2004. Kemitraan, Produksi dan pendapatan peternak rakyat pada ayam ras pedaging. (Studi ksus di Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sarwono dan Arianto. 2006.Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Jakarta (ID) :Penebar Swadaya

Schipmann, Christin.2006. Value Chains for A Better Integration of Smallholders to trader-the Case of Chili in Ghana [thesis]. Berlin (DE) : Departement of Agricultural Economics and Social Science University of Berlin

Siregar, M. dan Ilham, N.2003. Upaya penigkatan efisiensi usaha ternak ditinjau dari aspek agribisnis yang berdaya saing. Forum Penelitian Agro-Ekonomi 21(1) 44-56.

Soekartawi AS, Dillon L, Hardaker J.1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. Soekartawi.2005.Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta (ID) : Universitas

Indonesia Press

Spies, David Cornellius.2011.Analysis and quantification of the south African red meat value chain [disertasi] Bloemfontein (DE): Faculty of natural and agricultural sciences, University of free state,.

Sudaryanto T, Agustian A.2003. Peningkatan daya saing usahatani padi : aspek kelembagaan “ [makalah] Analisis Kebijakan Pertanian

Supriyatna, Yana. Wahyuni, Sri. Dan Rusastra, I Wayan. 2006. Analisis kelembagaan kemitraan usahaternak ayam ras pedaging : studi kasus di Propindsi Bali” [makalaj]. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006.

Suryana.2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis dengan Kemitraan [jurnal]. Jurnal Litbang Pertanian 28 (1) 2009.


(4)

Syahyuti.1999.Keragaan subsistem tata niaga peternakan di Indonesia : suatu analisis sosiologis pelaku pemasaran commodities peternakan. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia, Wartazoa, 8(1) : 1-8.

Tamba M, 2007. Kebutuhan informasi pertanian dan aksesnya bagi petani sayuran : pengembangan model penyediaan informasi pertanian pemberdayaan petani, kasus di Provinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana, IPB.

Tawaf,R.2009.Dampak impor daging sapi dari Australia terhadap bisnis Feedlot di Indonesia [makalah]. Bandung (ID) :Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran.Bandung

Ton, Anna F.2012. Livestock for Development” [thesis]. Utrcecht (NL): International of Development studies University Utrecht

Upton, Martin.2000.The livestock revolution’. implication for smallholder agriculture : A case study of milk and poultry production In Kenya” [jurnal]. Food and Argicultural Organization (FAO). Livestock Information and Policy Branch, AGAL.

Vanzetti, David. et al. 2010. The Revival of Interest in Self Sufficiency in Indonesia and Its Likely Consequences. Thirteen Annual conferences on Global Economic Analysis, Penang Malaysia, June 9-11, 2010.

Yusuf.2010. Kompetensi Peternak dalam Mengelola Sapi Potong di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara [thesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB

Zubair, Annas. 2003. Analisis Kelembagaan Kelayakan Usaha Sistem Kontrak Tani Informal (Contract Farming) pada tata niaga sayuran [tesis]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(5)

Lampiran 1

Tabel Sebaran penerimaan, pengeluaran dan R/C berdasarkan penerimaan /kg bobot hidup

Lembaga Pemasaran

Saluran Pemasaran

1 2 3 4

1. Pedagang Desa

a. Penerimaan (Revenue) (Rp/kg bobot hidup) 22375 21279 b. Pengeluaran (Cost) (Rp/Kg bobot hidup)

1) Pengeluaran (Rp/Kg bobot hidup) 21082 20192

2) Biaya Pemasaran (Rp/kg bobot hidup) 301.1 341.1

Total 21383.1 20533.1

c. R/C Ratio 1.05 1.04

2. Pedagang Kecamatan

a. Penerimaan (Revenue) (Rp/kg bobot hidup) 23950 23800 b. Pengeluaran (Cost) (Rp/Kg bobot hidup)

1) Pengeluaran (Rp/Kg bobot hidup) 21082 22225 2) Biaya Pemasaran (Rp/kg bobot hidup) 275.62 280.82

Total 21357.6 22505.82

c. R/C Ratio 1.12 1.06

3. Pedagang Pemotong/Pengecer

a. Penerimaan (Revenue) (Rp/kg bobot hidup) 25500 25250 24950 23309

Penerimaan produk sampingan 5963 5963 5963 5963

Total 31463 31213 30913 29272

b. Pengeluaran (Cost) (Rp/Kg bobot hidup)

1) Pengeluaran (Rp/Kg bobot hidup) 23950 23950 23800 21279 2) Biaya Pemasaran (Rp/kg bobot hidup) 397.92 394.1 397.92 424.35

Total 24348 24344 24198 21703

c. R/C Ratio 1.29 1.28 1.28 1.35

4. Total (1+2+3)

a. Penerimaan (Revenue) (Rp/kg bobot hidup) 25500 71575 48750 44588

Penerimaan produk sampingan 5963 5963 5963 5963

Total 31463 77538 54713 50551

b. Pengeluaran (Cost) (Rp/Kg bobot hidup)

1) Pengeluaran (Rp/Kg bobot hidup) 23950 66114 46025 41471 2) Biaya Pemasaran (Rp/kg bobot hidup) 397.92 970.82 678.74 765.45

Total 24348 67085 46704 42236


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah pada tanggal 29 September 1987 dari pasangan Bapak Suseno dan Ibu Rishi Mardiningsih. Penulis merupakan putrri kedua dari dua bersaudara. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pemalang dan melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor pada jurusan Agribisnis lewat jalur PMDK dan lulus pada bulan Agustus tahun 2009. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan studi pascasarjana program Magister Sains Agribisnis (MSA) Institut Pertanian Bogor dengan sponsor Beasiswa Unggulan (BU) BPKLN. Pada tahun 2011-2012 penulis melanjutkan studi ke Sustainable International Agriculture (SIA), Georg August Goettingen University Germany melalui program Double Degree dengan sponsor Beasiswa Unggulan (BU) Luar Negeri.