Akses Terhadap Informasi dan Pengetahuan

Tabel 7.3 menunjukkan bahwa akses peternak mitra terhadap informasi dan pengetahuan memiliki akses sedang 53 persen, tinggi 27 persen dan rendah 20 persen. Akses tinggi yang dimiliki oleh peternak yaitu ketika peternak memiliki akses informasi dan pengetahuan dari pihak pemilik modal dan menggunakannya untuk meningkatkan produktifitas usanya. Peternak yang memiliki akses sedang adalah peternak yang memiliki kemampuan untuk mengakses informasi dan pengetahuan, akan tetapi peternak tersebut tidak memiliki kemauan untuk menggunakan informasi dan pengetahuan tersebut dalam mengelola usaha ternaknya. Peternak dengan akses rendah berarti peternak tersebut tidak memiliki kemampuan mengakses informasi karena ketidak tauan akan informasi dan pengetahuan apa yang harus ia akses. Akses terhadap informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh peternak tidak bermitra tipe 1 adalah rendah 86 persen dan sedang 14 persen. Kemampuan akses ini dipengaruhi oleh bagaimana hubungan dan frekuensi interaksi peternak dan pedagang, serta bagaimana kemampuan pedagang desa dalam mengakses informasi dan pengetahuan. Berikut pernyataan peternak tidak bermitra tipe 2 ketika mengakses informasi dan pengetahuan: “Saya mengetahui harga dan perkembangan kondisi pemasaran sapi dari peternak besar atau pedagang kecamatan. Pedagang kecamatan biasanya membawa informasi yang mereka dapat dan kemudian membagikannya kepada kami. Begitu juga dengan pengetahuan terutama pemberian pakan dan manajemen budidaya yang lain. Peternak besar atau pedagang kecamatan yang menjadi langganan saya, tidak segan untuk membagi komposisi pakan dan mengajarkan saya bagaimana memelihara sapi agar bobot yang didapat maksimal ” –Peternak Tidak Bermitra tipe 2. Akses informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh pedagang desa tergolong rendah, hal ini disebabkan interaksi dan komunikasi pedagang desa serta kemungkinan pedagang desa untuk melakukan transaksi dengan pihak luar selain di wilayah tersebut sangat kecil. Sedangkan akses tinggi dimiliki oleh pedagang kecamatan maupun pedagang pemotong. Hal ini disebabkan oleh kecakapan, kemampuan, dan frekuensi pedagang dalam menjaring hubungan dengan pihak luar di liar wilayahnya terutama antar sesame pedagang di Pasar Hewan Banjarnegara dan Pasar Hewan Wonosobo. Semakin sering pedagang bertransaksi di pasar tersebut, maka aliran informasi akan semakin banya dan sebaliknya. “saya banyak memperoleh informasi karena pergaulan di pasar hewan dengan sesame pedagang dari berbagai daerah dan dari penyuluh serta petugas di pasar hewan. Contohnya ketika import sapi dibatasi, maka ketersediaan pasokan bakalan menurun, saya mengubah strategi dengan membeli bakalan dari luar daerah..” _pedagang kecamatan. Menurut Martin dan Jagadish 2006, bahwa semakin pendek rantai, maka akan semakin mungkin informasi dan pengetahuan tersebar. Hal ini dapat dilihat dari identifikasi rantai dalam saluran 1 dan saluran tiga yang melibatkan peternak mitra dan peternak non mitra tipe 2. Dalam rantai yang cenderung pendek, pedagang langsung berhubungan dengan peternak mitra. Sebaliknya dengan rantai yang lebih panjang, pedagang dan peternak akan mengalami kesulitan dalam menyebarkan informasi, karena informasi tersebut harus melewati beberapa lembaga pemasaran.

7.3.3 Akses Terhadap Keberadaan Organisasi

Keterlibatan peternak maupun pedagang dalam organisasi akan mempengaruhi tingkat kompetensi dalam mengelola usaha ternak sapi potong. Semakin sering proses interaksi yang terjadi antar anggota, maka proses pertukaran atau distribusi pengetahuan serta pengalaman akan berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan peternak maupun pedagang dalam mengelola usahanya. Selain itu, ketersediaan organisasi dapat membantu peternak dan pedagang dalam mengakses lingkungan pendukung lain. Tabel 7.4 Sebaran penilaian peternak terhadap akses keberadaan organisasi Tingkat Akses Nilai Akses Jumlah Persentase 1.Peternak mitra n=30 Tinggi 24 80 Sedang 6 20 Rendah 2.Peternak NM tipe 1 n=22 Tinggi Sedang Rendah 22 100 3.Peternak NM tipe 2 n=8 Tinggi 3 38 Sedang 5 63 Rendah 4.Pedagang desa n=5 Tinggi Sedang Rendah 5 100 5.Pedagang kecamatann=2 Tinggi Sedang Rendah 2 100 6.Pedagang pemotong n=3 Tinggi 2 67 Sedang Rendah 1 33 Peternak. Selah satu organisasi yang ditemukan ditingkat peternak adalah kelompok ternak. Mosher 1987 menyatakan bahwa salah satu syarat sukses terlaksananya kekuatan pembangunan pertanian yaitu adanya suatu kegiatan kelompok tani. Kelompok tani atau kelompok ternak ini dibentuk untuk mensejahterakan masyarakat petani melalui kenaikan produktifitas serta distribusi pendapatan yang lebih merata. . Hal ini sejalan dengan pernyataan Abbas 1995, peran kelompok tani dalam memajukan petani adalah sebagai beriku 1 sebagai kelas belajar bagi para petani agar terjadi interaksi, guna meningkatkan pengetahuan,sikap dan ketrampilan dalam berusaha tani yang lebih baik serta berperilaku lebih mandiri untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera, 2 sebagai unit produksi dalam pengertian kelompok tani merupakan kesatuan unit usaha untuk mewujudkan kerja sama dalam mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan dan 3 sebagai wahana kerjasama antara anggota dan antara kelompok tani dengan pihak lain untuk memperkuat kerjasama dalam menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Selain itu adanya organisasi juga memudahkan penyuluh mengontrol dan mengevaluasi usahaternak, serta mendistribusikan informasi mengenai program bantuan dan kebijakan terutama kebijakan Program Percepatan Swasembada Sapi 2014. Beberapa parameter yang digunakan untuk mengetahui keterlibatan peternak dalam kelompok petani adalah : a tingkat keterlibatan peternak pada pertemuan dan kegiatan kelompok tani dalam sebulan, b tingkat hubungan komunikasi dengan sesame anggota peternak dalam sebulan, c jumlah tugas dan peran yang dilaksanakan anggota kelompok dalam sebulan dan d pendapat anggota dalam menilai kekompakan kelompoknya. Yusuf, 2010 Tabel 7.4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keterlibatan peternak dalam organisasi dari kedua pola. Akses peternak mitra terhadap keberadaan organisasi adalah tinggi sebesar 80 persen dan sedang sebesar 20 persen. Akses tinggi berarti peternak aktif bergabung dan berinteraksi antar sesame dalam sebuah lebaga kemitraan. Akses yang sedang berarti peternak memiliki keanggotaan suatu organisasi akan tetapi tidak aktif bergabung sebagai anggota. Akses peternak tiak bermitra tipe 1 terhadap keberadaan organisasi terglong rendah 100 persen, peternaik tipe ini tidak memiliki akses sama sekali terhadap keberadaan organisasi. Akses peternak tidak bermitra tipe 2 tergolong tinggi 38 persen dan rendah sebanyak 63 persen. Ada tidakny organisasi di tingkat peternak berpengaruh terhadap perilaku peternak dalam menyerap informasi dan pengetahuan, serta dalam mengakses pasar. Peternak yang aktif di organisasi, mampu menapatkan informasi dan mengelolanya untuk memajukan usahanya. Akan tetapi, keberadaan organisasi formal di Kecamatan Wanayasa tidak terlalu diminati karena persayaratan yang susah an terkadang organisasi bersifat temporal. Peternak ini tergabung dalam kelompok ternak yang baru terbentuk pada bulan diadakan penelitian ini. Kelompok ternak tersebut dibentuk atas dasar kebutuhan peternak akan pengelolaan ternak yang lebih baik dan persyaratan yang diberikan pemerintah agar peternak dapat mengakses bantuan berupa ternak bakalan dan kandang. Keberadaan organisasi ini membuat peternak lebih giat dalam mengusahakan ternaknya “Saya memutuskan bergabung dengan kelompok tani, karena adanya program yang memungkinkan saya menambah jumlah ternak yang saya pelihara…” Peternak Tidak bermitra yang tergabung dalam organisasi Akses pedagang desa terhaap keberadaan organisasi tergolong rendah, hal ini disebabkan oleh ketiadaan organisai. Akses pedagang kecamatan rendah terhadap keberadaan organisasi. Pedagang kecamatan tidak memiliki organisasi pedagang di tingkat Kecamatan Wanayasa maupun Kabupaten. Pedagang Kecamatan berpendapat bahwa, proses penyerapan informasi dan pengetahuan bisa didapatkan dengan cara menjaring jaringan yang seluas luasnya antar seama pedagang. Pedagang Pemotong memiliki akses tinggi terhadap organisasi. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya asosiasi pedagang daging di Kabupaten. Asosiasi tersebut mengatur tentang harga dan memberikan banyak informasi yang berguna bagi keberlangsungn usaha pedagang pemotong. 7.3.4 Governance dan Hubungan yang terbentuk antar aktor Strukutur governance adalah jaringan antar aktor atau lembaga, yang digambarkan melalui koordinasi pemasaran marketing coordination. Struktur governance ditentukan oleh jumlah input bakalan dan output sapi siap potong. Jumlah input dan output ini dipertimbangkan berdasarkan bobot dan jumlah. Menurut Humprey 2005, Governance terjadi ketika lembaga di sepanjang rantai menyepakati peraturan yang ditetapkan oleh pihak lain. Kesepakatan tersebut ditandai dengan adanya pasokan produk yang berkelanjutan atau jumlah pasokan yang lebih besar daripada sebelumnya. Governance dalam rantai nilai sapi potong ditempatkan pada tiga kategori 1 adanya aliran informasi sepanjang rantai, informasi ini penting untuk mengkoordinasikan aktifitas perdagangan sapi potong di sepanjang rantai. 2 level dimana informasi tersebut mudah untuk di komunikasikan dan di kode oleh pedagang dan peternak, 3 Level dimana peternak memiliki kemampuan untuk dapat mencapai apa yang diinginkan oleh konsumen dan pasar. Sehingga, aktifitas struktur governance dapat dinilai melalui pola hubungan yang terjadi antar lembaga pemasaran. Hubungan termasuk didalamnya informasi yang terjadi di antara lembaga pemasaran dapat mempengaruhi penciptaan nilai di sepanjang rantai. Tipe-tipe hubungan yang terbentuk dipengaruhi oleh karakteristik produk dan segmen pemasaran. Dalam penelitian ini, karakteristik produk cenderung homogen, yaitu sapi jantan siap potong. Perbedaan yang dapat dilihat dari produk ini adalah perbedaan jenis sapi bakalan : PO, Limmousine, Brahmancross dan perbedaan bobot sapi. Segmen pasar yang terdapat dalam rantai nilai cenderung homogen. Hal ini ditandai dengan tidak adanya standardisasi dan grading daging. Tidak adanya segmen pasar ini mempengaruhi tersedianya kontrak formal mengenai kualitas dan kuantitas sapi potong atau daging sapi serta pembentukan harga . Menurut Martin dan Jagadish 2006 ketika tidak terjadi hubungan, maka akan tercipta perbedaan besarnya kekuatan yang dimiliki oleh petani dan pedagang. Pada kenyataanya, ada tidaknya hubungan dapat mempengaruhi keputusan yang terjadi dalam transaksi sapi potong.