Kearifan Lokal Adat To Lotang

59 tidak berjalan maksimal, karena banyaknya jenis hama penyakit kecuali tikus berdasarkan naskah I Lagaligo. Pada saat musim panen tiba, akan dimulai dengan upacara panen pertama mappamula. Pemanenan padi tidak menggunakan sabit melainkan ani-ani yang memungkinkan petani menuai padi yang matang secara selektif dan menghindari kehilangan bulir-bulir padi. Sebagaimana halnya menanam, masa panen merupakan kerja kolektif yang melibatkan seluruh anggota keluarga, tetangga dan kerabat baik laki-laki, perempuan tanpa mengenal batasan umur. Eforia kebersamaan dan rasa syukur mulai memuncak, mereka yang tidak memiliki sawah turut membantu dan akan memperoleh upah. Kegiatan panen yang dilakukan secara serentak yang dikontrol oleh sanro wanua dan setelah menghasilkan beras maka dia akan mengumpulkan beras dari masing-masing petani dengan ukuran 1 kaleng. Hasil pengumpulan tersebut tidak dikonsumsi secara pribadi oleh sanro wanua, melainkan akan dimakan bersama pada saat pesta panen yang dikenal dengan mappadendang, yaitu proses adat menumbuk padi di lesung yang diselingi dengan atraksi ketangkasan, musik tradisonal dan permainan lokal. Esensi utama dari mappadendang adalah sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya sehingga petani dapat memetik hasil panen yang memuaskan. Upacara adat tersebut juga dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat dan menjadi daya tarik wisata di kawasan Danau Tempe. Konsep kearifan lokal dalam komunitas petani tradisional merupakan komunitas mempertahankan sistem pertanian yang bersumber dari naskah I Lagaligo . Pesatnya perkembangan modernisasi pertanian, tidak mengubah tatanan tradisional dalam sistem pertanian. Sistem larangan dan upacara adat attudang-tudangeng, mappano bine atau mappadendang menjadi wujud kebersamaan antar petani maupun hubungan dengan pemerintah. Berbagai bentuk praktek kearifan lokal yang tetap bertahan pada prinsipnya merupakan modal sosial masyarakat komunitas tersebut dalam rangka memaksimalkan hasil pertanian setiap musim tanam berlangsung.

4. Kearifan Lokal Komunitas Pattenung

Keberadaan tradisi menenun dalam komunitas pattenung di kawasan Danau Tempe merupakan bagian dari peninggalan hubungan dagangan Nusantara dengan China hingga masuknya pedagang Arab yang menjadi saksi lintas sejarah. Sebagai aktivitas budaya dan ekonomi, kegiatan tenun di Wajo telah mengalami proses transformasi yang cukup panjang sejak abad ke-13 sampai saat sekarang ini. Kegiatan menenun pada abad ke-14 dan ke-15 bermula dengan teknik tenun pakan dan lungsi. Benang sutera pada awalnya merupakan barang yang diimpor dari Cina, India dan Siam. Kontak dagang inilah benang dan kain sutera mulai dikenal di Sulawesi Selatan termasuk di Kabupaten Wajo. Masyarakat Bugis menyerap budaya dari luar dan selanjutnya dikembangkan pada masyarakat Bugis. Berbagai peristiwa penting telah dilalui sejak masa kerajaan sampai masa sekarang, dimana para penenun tetap mampu mengikuti perkembangan zaman. Pengaruh asing yang banyak mempengaruhi seni tenunan di Nusantara antara lain; China, Eropa, India, dan Arab. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil-hasil tenunan yang sebelumnya terkesan sederhana yang kemudian berkembang menjadi tenunan yang kompleks, rumit, dan indah. Kemampuan untuk tetap eksis sampai pada saat itu 60 terletak pada kemampuan para penenun untuk bertransformasi dengan terbuka menerima pengaruh dari luar sambil memadukan unsur dari dalam yaitu kreatifitas dan kecerdasan lokal local genius yang dimiliki oleh penenun Wajo Syukur 2013 Produk menenun pada awalnya berbentuk sarung lipa sabbe dan baju waju ponco untuk menutupi tubuh, perlahan sistem menenun mengalami perkembangan. Lipa sabbe dan waju ponco kemudian menjadi pakaian tradisional dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Penggunaan warna dan motif yang beragam pada akhirnya diidentikkan dengan berbagai penanda status sosial masyarakat seperti merah dan hijau untuk golongan bangsawan, warna muda dan lembut merah muda, hijau muda dan lain-lain untuk golongan gadis dan remaja, warna jingga dan ungu untuk kaum janda dan warna gelap seperti hitam diperuntukkan untuk orang tua atau mereka yang sudah berkeluarga. Proses berikutnya menjadikan lipa sabbe dan waju ponco menjadi benda yang sangat berharga dan mulai menjadi benda penting dalam proses upacara adat terutama perkawinan. Perkembangan zaman menciptakan modernisasi dan perubahan makna dan penggunaan kain tenun tetapi mulai dimanfaatkan sebagai pakaian tradisional dan formal seperti penggunaan untuk pakaian kantor dan seragam sekolah. Pusat pengrajin tenun di kawasan Danau Tempe berada di Desa Pakkanna dan Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo. Kebijakan pemerintah setempat menetapkan kawasan sebagai sentra produksi tenun sekaligus sebagai tujuan wisata dengan atraksi menenun sebagai daya tarik utama. Kegiatan menenun umumnya dilakukan oleh wanita mulai dari usia remaja, kegiatan tersebut telah menjadi warisan berupa keahlian dengan nilai karya seni yang tinggi. Kelestarian tradisi menenun oleh para wanita di kedua desa tersebut diwariskan secara turun temurun, keterampilan diwariskan oleh ibunya sebagai adat yang harus diketahui oleh para remaja wanita. Menenun adalah tanda bukti seorang telah mencapai titik kedewasaan dan cerminan feminisme, namun saat ini tradisi tersebut telah hilang dan tidak lagi menjadi tolak ukur kedewasaan wanita. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aminah 51 tahun yang mengemukakan bahwa : “riolo riasengngi makundrai narekko maccai mattennung, nasaba alebbrina makundrei engkai ri amacangenna mattenung ” dahulu remaja perempuan baru dikatakan dewasa jika sudah memiliki keahlian menenun, karena sisi kewanitaan dan feminim dicerminkan dengan menenun. Pemahaman tentang kegiatan menenun sebagai tolak ukur kedewasaan wanita pada prinsipnya adalah bentuk upaya pelestarian nilai tradisi lokal dan menjaga eksistensi lipa sabbe yang kemudian dibentuk menjadi sebuah mitos atau pandangan khusus. Kegiatan menenun oleh para wanita dimulai sekitar pukul 09.00 pagi setelah para wanita melakukan aktivitas utama seperti mencuci, memasak dan kegiatan rumah tangga lainnya, menjelang shalat Dzuhur mereka akan beristirahat dan kembali menenun mulai pukul 14.00 hingga pukul 15.00 dan dilanjutkan hingga sebelum magrib. Proses efisiensi waktu dan tempat menenun, maka alat tenun walida akan ditempatkan di kolong rumah ataupun di dekat dapur, untuk memudahkan mereka mengerjakan kegiatan rumah tangga seperti pada Gambar 9. Berbagai 61 rangkaian kegiatan penenun tersebut mencerminkan adanya etos kerja reso dan ketekunan tinulu yang terbentuk dalam rangkaian kegiatan yang dijalani oleh penenun setiap harinya Syukur 2013. Proses menenun dari bahan baku sampai menjadi sarung dilakukan secara terus menerus dengan penuh keterampilan dan kecermatan. Tahap awal proses menenun adalah apparisi yaitu memasukkan benang dalam benang utama yang sudah dianai satu persatu dengan menggunakan sisir tenun dan menghasilkan bunyi hentakan yang keras, proses tersebut terus berlangsung hingga menjadi sarung. Proses menenun hingga menjadi sarung membutuhkan waktu 2 hingga 3 minggu, tergantung dari motif dan corak yang diinginkan. Bahan baku benang saat ini menggunakan benang impor dari Cina dan India, walaupun masyarakat tetap mempertahankan proses pembuatan bahan baku dari benang yang diproduksi setempat, tetapi kalah bersaing dengan bahan baku impor yang lebih murah. Kegiatan menenun menciptakan jaringan sosial yang kompak antara punggawa diposisikan oleh pengusaha benang dan ana guru’ diposisikan pada mereka yang menenun. Jaringan sosial tersebut umumnya berdasar dari hubungan kekerabatan maupun tetangga. Kearifan lokal komunitas pattenung memiliki aturan dan larangan dalam proses menenun yang diinterpretasikan sebagai sebuah mitos yang tidak boleh dilakukan, antara lain jika seorang laki-laki terkena pukulan dari walida alat tenun dari wanita karena dalam kondisi yang tidak aman, maka laki-laki tersebut akan mendapat musibah. Hal ini mengandung pesan moral terhadap penghargaan penenun wanita oleh kaum lelaki sebagai bagian dari kesetaraan gender. Selanjutnya larangan berbicara sebelum sampai putaran ketujuh kali benang. Hal ini sebagai pesan kepada penenun untuk berkonsentrasi menyelesaikan tenunnya. Penghargaan terhadap peralatan menenun juga menjadi bagian kearifan lokal dimana tidak boleh menyentuh tanah. Kegiatan menenun memiliki aturan waktu untuk memulai dan menyelesaikan sesuai dengan kalender Bugis kuno. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kegiatan menenun sarat akan pesan moral disamping sebagai pendidikan kepada anggota keluarga, juga sebagai sumber penghasilan masyarakat setempat. Hingga saat ini kerajinan tenun sutera telah diekspor ke luar Sulawesi hingga ke mancanegara seperti Malaysia, Brunei hingga ke Eropa. Potensi kearifan lokal komunitas penenun sutera ini selanjutnya menjadi bagian dari penataan ruang berkearifan lokal dari sudut kepentingan sosial budaya yang harus dijaga kelestariannya. Kearifan lokal komunitas pattenung Gambar 9 Aktivitas menenun sebagai kegiatan usaha ekonomi 62 merupakan simbol sejarah peradaban di kawasan Danau Tempe pada khususnya dan etnis Bugis pada umumnya. Komunitas pattenung lebih berorientasi pada memposisikan kearifan lokal dalam konteks ekonomi dengan pembentukan jaringan sosial. Kegiatan menenun merupakan alternatif dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari atau sebagai sumber ekonomi utama dan tidak lagi menjadi tolak ukur kedewasaan wanita seperti awal perkembangannya.

5. Kearifan Lokal Komunitas Pallanro

Komunitas pallanro merupakan komunitas lokal yang masih bertahan dengan karakteristik sebagai pandai besi. Sejak dahulu pusat penempaan besi di seluruh wilayah Bugis hanya terdapat di Massepe. Kelurahan Massepe merupakan bekas ibukota kerajaan Sidenreng, sehingga berbagai situs sejarah kerajaan masih tersisa dan mampu terbaca di masa sekarang ini Pelras 2006. Komunitas pallanro dianggap salah satu peninggalan masa-masa kerajaan yang masih aktif dan produktif hingga saat ini. Sejak dahulu komunitas ini memiliki keahlian yang diwariskan secara turun temurun lewat pesan lisan yang terbungkus dalam kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para pengrajin. Hasil kerajinan tersebut antara lain parang, cangkul, kapak, sabit, mata bajak, pedang, pisau hingga badik senjata tradisional Bugis. Kegiatan pandai besi umumnya dilakukan oleh para lelaki dan menjadi penghasilan utama keluarga. Proses pembuatan kerajinan besi sarat akan unsur-unsur magis yang memerlukan ritual khusus. Oleh karena itu, pandai besi khususnya di Kelurahan Massepe dianggap memiliki kekuatan luar biasa dalam tahap pembuatannya. Berawal dari tradisi turun-temurun kini telah menjadi sumber penghasilan utama keluarga, yang pada akhirnya membentuk sistem jaringan sosial tersendiri. Bentuk jaringan sosial ada di dalam komunitas pallanro yaitu hubungan antara punggawa sebagai pemilik unit kerja dan ana’ guru sebagai anak buah. Pada 1 unit kerja, diketuai oleh seorang punggawa dan biasanya memiliki 4-5 ana guru’. Sistem perekrutan ana’ guru masing-masing kelompok kerja cukup sederhana, biasanya direkrut dari keluarga atau anak dari punggawa pallanro, ada juga kelompok kerja yang merekrut ana’ guru diluar dari keluarga sendiri. Masing-masing unit kerja memiliki jenis kerajinan yang berbeda-beda tergantung keahliannya, seperti bapak Azis 50 memproduksi kerajinan kapak wase sebanyak 10 biji perhari dengan ana guru berjumlah 2 orang. Kegiatan komunitas pallanro berlangsung mulai dari pukul 08.00 pagi hingga menjelang magrib, sistem kerjanya berlangung dari Senin hingga Sabtu, sedangkan pada hari Minggu dimanfaatkan untuk istirahat dan menerima orderan untuk dikerjakan dalam 1 minggu kedepan. Sistem kerja dilakukan di sebuah pondokan kecil biasanya di sampingkolong rumah, untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu kerja. Peralatan menempa besi masih menggunakan sistem sederhana, dengan terlebih dahulu mencairkan bahan baku kemudian dicetak dan dibentuk sesuai pesanan dengan menggunakan pemukul sederhana. Kegiatan membuat kerajinan besi selalu diawali dan diakhiri dengan mantra khusus, tujuannya agar hasil yang diciptakan sesuai dengan permintaan dan selanjutnya memohon agar selama pengerjaannya tetap diberi keselamatan, karena ancaman terhadap benda tajam dan cairan panas. 63 Para pengrajin pandai besi memperoleh bahan baku dari Makassar dan Kalimantan, karena pasokan bahan baku dari ibukota kabupaten sudah semakin sulit untuk mencukupi kebutuhan mereka. Bahan baku yang dibutuhkan untuk pembuatan barang-barang kerajinan pandai besi tergantung dari barang kerajinan yang dihasilkan, misalnya untuk membuat parang, sabit dan kapak adalah besi atau baja bekas, sedangkan untuk membuat parut, bahan baku yang dibutuhkan adalah drum bekas. Wilayah pemasaran mencapai kabupaten tetangga, seperti Wajo, Soppeng, Pinrang hingga ke Makassar, pengrajin juga mampu memasarkan hingga ke provinsi tetangga, seperti Kalimantan Timur dan Papua. Komunitas pallanro sebagai satu-satunya komunitas di etnis Bugis yang mempunyai keahlian dalam membuat kerajinan dari besi, eksistensinya sebagai pewaris budaya patut dilestarikan. Nilai-nilai kearifan lokal terbungkus dalam bentuk permohonan keselamatan selama proses pengerjaan. Sistem kerja yang masih sangat sederhana dan mengandalkan kekerabatan sebagai jaringan sosial untuk mempertahankan produksi. Pada dasarnya kearifan lokal komunitas tersebut tidak jauh berbeda dengan komunitas pattenung mereka memanfaatkan kearifan lokal sebagai sumber pendapatan ekonomi keluarga yang membentuk sebuah jaringan sosial antara punggawa dan ana guru’.

6. Kearifan Lokal Komunitas Baalawiyah

Komunitas Baalawiyah merupakan komunitas yang mewariskan aliran dalam ajaran Islam yang diperkenalkan oleh salah satu keturunan langsung Nabi Muhammad SAW dan kakek beberapa wali di Jawa yang bernama Syech Jamaluddin Al Akbar Al Husaini yang kemudian dikenal Syech To Sagena. Beliau berhijrah dari kampung halamannya Jawa menuju Wajo pada saat itu dan mengembangkan alirannya di Belawa. Aliran Baalawiyah pada dasarnya adalah asimilasi dari asal-usul nama Belawa Belawa : nama pohon yang banyak tumbuh di daerah tersebut, datangnya Syech Jamaluddin Al Akbar Al Husaini kemudian menamakan alirannya sebagai Baalawiyah dari kata Belawa yang ditambahkan penekanan huruf arab. Masuknya aliran tersebut pada akhirnya diterima oleh Kedatuan Belawa. Perkembangan aliran ini mengubah pola kehidupan masyarakat setempat yang awalnya mengenal kepercayaan animisme dan kemudian beliau mengembangkan ajarannya dengan pendekatan budaya dan agama. Kemudian tradisi seperti maccera tappareng, maccera bola dan mappadendang digantikan dengan perayaan yang lebih bersifat Islami. Berbagai tradisi lokal yang masih bertahan dalam komunitas Baalawiyah yang merupakan asimilasi kebudayaan Bugis dan Islam yang kuat. Tradisi sikkri rabbana adalah salah satu kesenian tradisional dengan melantunkan syair barazanji yang diiringi oleh irama rebana tradisional. Tradisi tersebut adalah wujud perpaduan antara nilai agama dan nilai budaya yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Saat ini tradisi ini menjadi salah satu objek wisata budaya yang mulai diperkenalkan oleh Pemerintah Kabupaten Wajo. Pada umumnya masyarakat dalam komunitas tersebut bekerja di bidang pertanian. Aliran Baalawiyah merupakan aliran yang tidak berbeda dengan Islam pada umumnya, hanya saja penamaannya yang khas dan telah berkarater dengan masyarakat Belawa. Ajaran Islam yang begitu kuat tersebut melahirkan ulama-ulama besar di Belawa yang kemudian memegang peran penting dalam