4.5 Kearifan Lokal Komunitas To Lise

94 pusat pertumbuhan wilayah 17 desakelurahan yang berada di 7 kecamatan dan berpusat pada 2 kecamatan, dari 125 desa atau hanya 17 sekitar 13.6 yang masuk ke dalam hirarki I maka prioritas pembangunan perlu diarahkan untuk membangun desa-desa yang bisa dijadikan pusat pertumbuhan. Pembangunan desa-desa di kawasan Danau Tempe yang berpotensi menjadi wilayah inti perlu menjadi prioritas, karena keberadaan wilayah inti akan mendorong pergerakan ekonomi wilayah yang menjadi hinterland atau pendukung khususnya di kawasan Danau Tempe. Hasil Analisis Skalogram dapat dikaitkan dengan wilayah penyebaran komunitas lokal dengan ciri khasnya masing-masing, terdapat beberapa komunitas justru berada di desakelurahan yang masuk hirarki I dan II seperti yang disajikan pada Tabel 40. Tabel 40 Hirarki tingkat perkembangan desa masing-masing komunitas Komunitas Desakel Kecamatan IPW Pakkaja Pallimae Sabbangparu Hirarki III Laelo Tempe Hirarki III Salomenraleng Tempe Hirarki III Pajalele Tanasitolo Hirarki III Baru Tancung Tanasitolo Hirarki III Limporilau Belawa Hirarki II Wette‟e Panca Lautang Hirarki III Kaca Marioriawa Hirarki III Limpomajang Marioriawa Hirarki III To Lotang Dualimpoe Maniangpajo Hirarki III Kayuara Watang Sidenreng Hirarki II Lautang Benteng Maritengngae Hirarki II Rijang Pittu Maritengngae Hirarki I Tanete Maritengngae Hirarki II Amaprita Tellu Limpoe Hirarki II Baula Tellu Limpoe Hirarki III Toddangpulu Tellu Limpoe Hirarki I Arataeng Tellu Limpoe Hirarki II Paggalung Lalabata Riaja Donri-donri Hirarki II Labokong Donri-donri Hirarki III Tottong Donri-donri Hirarki III Pattennung Pakkanna Tanasitolo Hirarki I Ujunge Tanasitolo Hirarki II Pallanro Massepe Tellu Limpoe Hirarki III Baalawiyah Belawa Belawa Hirarki I Macero Belawa Hirarki III Lautang Belawa Hirarki II Limporilau Belawa Hirarki II Leppangeng Belawa Hirarki II To Lise Lise Panca Lautang Hirarki III Wilayah konsentrasi komunitas To Lotang cenderung berada pada wilayah yang lebih berkembang seperti di Kelurahan Toddangpulu masuk dalam kategori hirarki I dan di Kelurahan Amparita, Arateng dan Kayuara pada hirarki II, hanya di Kelurahan Dualimpoe dan Kelurahan Baula pada hirarki ke III. Tinjauan administratif komunitas To Lotang menempati ibukota Kecamatan Tellu Limpoe yaitu Kelurahan Amparita, dan sekitarnya termasuk Baula, Arataeng dan 95 Toddangpulu yang hanya berjarak 1 km dari pusat kecamatan. Selanjutnya di Kecamatan Maritengngae terkonsentrasi di desakelurahan berhirarki II dan I. Hal tersebut berarti bahwa komunitas To Lotang mampu menjadi driving force untuk wilayah Kecamatan Tellu Limpoe, bermodal kearifan lokal dengan memegang teguh kepercayaan sebagai warisan leluhur. Komunitas To Lotang juga dinilai memiliki kemampuan dalam bidang perdagangan, sebagian besar anggota komunitas memiliki usaha berbasis sumberdaya alam di sekitarnya. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan komunitas pattennung yang terkonsentrasi Desa Pakkanna dan Ujunge Kecamatan Tanasitolo, dimana masing berhirarki I dan II. Komunitas dengan ciri khas masyarakatnya yang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam membuat tenun khas Bugis tersebut mampu menggerakkan ekonomi lokal. Kearifan lokal mereka justru menjadi daya tarik tersendiri, sehingga seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat setempat menjadikan desa mereka berkembang lebih cepat dengan memposisikan nilai-nilai budaya yang selama ini dijunjung tinggi sejajar dengan aspek ekonomi. Kondisi yang sama juga ditemui di komunitas Baalawiyah sebagai komunitas dengan tradisi dan ajaran Islam yang begitu kuat, juga menempati wilayah dengan tingkat hirarki I yaitu Kelurahan Belawa. Kelurahan tersebut merupakan ibukota Kecamatan Belawa, dimana cikal bakal perkembangan kecamatan berasal dari Kelurahan Belawa dan ajaran Baalawiyah berasal dari penamaan Belawa. Keteguhan terhadap nilai-nilai lokal sebagai perpaduan tradisi Bugis dan Islam berkembang seiring perkembangan wilayah di kelurahan tersebut. Keberadaan komunitas To Lotang, pattennung dan Baalawiyah yang umumnya terkonsentrasi di desa berhirarki I, menggambarkan bahwa komunitas tradisional dengan berbagai aturan adat tidak selamanya berada pada daerah pedalaman yang minim infrastruktur dan ketidakterjangkauan modernisasi. Hal tersebut juga membuktikan bahwa kearifan lokal mampu menjadi pokok dan landasan pengembangan wilayah dan sangat relevan dengan prinsip-prinsip pembangunan saat ini. Selain itu komunitas petani tradisional, nelayan pakkaja, pallanro dan To Lise umumnya berada pada desa yang rata-rata berhirarki II dan III, kondisi tersebut menandakan bahwa ketersediaan infrastruktur belum mampu melayani masyarakat secara keseluruhan. Komunitas nelayan pakkaja yang umumnya berada pada desa yang berbatasan langsung dengan Danau Tempe sangat minim infrastruktur, sebagian besar desa mereka berada pada hirarki III. Wilayah geografis desa tersebut menjadi kendala kurang maksimalnya pelayanan infrastruktur, terlebih kawasan tersebut merupakan langganan banjir dari luapan Danau Tempe. Aspek Kearifan Lokal dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Penataan ruang merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang. UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa produk dari tata ruang merupakan produk hukum dalam mengatur pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang yang diharapkan dapat menjadi pedoman dalam proses pembangunan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan keseimbangan fungsi budidaya dan fungsi lingkungan, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya serta fungsi 96 pertahanan keamanan. Selain itu, sebagai bahan pertimbangan dari aspek pengelolaan secara terpadu sebagai sumberdaya, fungsi dan estetika lingkungan secara kualitas ruang. Penyelenggaraan penataan ruang dan kearifan lokal memiliki keterkaitan yang erat. Pada tingkat daerah, kearifan lokal merupakan kunci penguatan penyelenggaraan penataan ruang. Undang-undang Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007 telah memberi kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kotakabupaten untuk merencanakan penataan wilayah masing-masing sesuai dengan potensi sumberdaya, karakteristik, dan budaya kearifan lokal daerah masing-masing. Upaya mengharmonisasikan, menjaga dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dalam konteks penataan ruang, pemerintah perlu melakukan beberapa program pada berbagai aspek yang mampu mendukung penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang Ernawi 2010. Salah satu upaya yang dapat mengakomodasi kearifan lokal dalam regulasi penataan ruang adalah melalui proses adopsi, adaptasi dan asimilasi. Proses adopsi ditandai dengan adanya kepercayaan terhadap kearifan lokal yang menjadi acuan dalam upaya pelestarian lingkungan serta penamaan daerah dengan menggunakan nama-nama dari penamaan zoningnya. Proses adaptasi dicontohkan dengan pertanahan yang terkait hak ulayat. Proses asimilasi adalah yang terkait dengan nilai-nilai religi yang masih melekat pada kehidupan masyarakatnya. Proses telaah prinsip kearifan lokal dalam penataan ruang dibagi berdasarkan dokumen RTRW dari 3 kabupaten yaitu Kabupaten Wajo, Soppeng dan Sidrap.

1. Dokumen RTRW Kabupaten Wajo Tahun 2012-2032

Penyusunan revisi RTRW Kabupaten Wajo tahun 2012-2032 dimaksudkan untuk penyiapan dokumen penataan ruang wilayah kabupaten berjangka waktu perencanaan 20 tahun ke depan. Dokumen tersebut ditinjau kembali kurang dari dan atau 5 lima tahun sekali, apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang wilayah kabupaten; danatau terjadi dinamika internal kabupaten yang mempengaruhi pemanfaatan ruang secara mendasar, seperti bencana alam skala besar atau pemekaran wilayah. Hasil Analisis Isi Content Analysis tentang prinsip kearifan lokal pada RTRW Kabupaten Wajo tahun 2012-2032 dapat dilihat pada Tabel 41. Tabel 41 Hasil pengkodean pada Analisis Isi dokumen RTRW Kabupaten Wajo Bab Kode 1 Kode 2 Kode 3 Jumlah a b a b a b I Pendahuluan 2 1 3 II Tujuan, Kebijakan dan Strategi RTRW 1 1 1 2 5 10 II Rencana Struktur Ruang Wilayah 1 1 1 3 IV Rencana Pola Ruang 1 2 1 6 6 16 V Rencana Penetapan Kawasan Strategis 1 6 2 2 8 19 VI Arahan Pemanfaatan Ruang 1 2 3 6 VII Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang 3 1 4 Jumlah 9 8 7 6 16 15 61 97 Tabel 41 memaparkan bahwa prinsip kearifan lokal dalam RTRW Kabupaten Wajo banyak dibahas pada Bab IV tentang Rencana Pola Ruang 26.23 dan Bab V tentang Rencana Penetapan Kawasan Strategis 31.15. Muatan pesan yang berkaitan dengan prinsip prinsip kearifan lokal hanya sedikit bahas pada Bab I Pendahuluan dan Bab III Rencana Struktur Ruang Wilayah masing-masing 4.92. Hal ini sejalan dengan perubahan penyusunan RTRW tentang akomodasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai bagian dari penataan ruang dalam bentuk penetapan kawasan strategis untuk kepentingan sosial budaya. Muatan RTRW Kabupaten Wajo menetapkan 3 kawasan strategis untuk kepentingan sosial budaya meliputi kawasan Belawae, kawasan Danau Tempe dan kawasan rumah adat Atakkae. Pembahasan setiap bab dalam dokumen RTRW Kabupaten Wajo tahun 2012-2032 yang berkaitan dengan prinsip kearifan lokal dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 Perbandingan jumlah masing-masing aspek pada setiap bab Secara keseluruhan aspek asimilasi menjadi aspek yang paling banyak dibahas dalam dokumen RTRW Kabupaten Wajo, kecuali pada Bab I Pendahuluan. Elemen asimilasi hampir merata untuk pembahasan masing-masing faktornya yaitu faktor 1 penentuan kawasan untuk pariwisata berkearifan lokal sebanyak 16 poin dan faktor 2 penentuan suatu kawasan yang memiliki kepentingan sosial budaya mencapai 15 poin. Aspek asimilasi paling banyak dibahas pada Bab IV tentang Rencana Pola Ruang, hal ini menunjukkan bahwa penentuan pariwisata berkearifan lokal merupakan bentuk akomodasi yang paling strategis dalam penataan ruang berkearifan lokal. Aspek yang paling sedikit dibahas dalam RTRW Kabupaten Wajo aspek adaptasi, karena kedua faktor pentingnya penentuan wilayah pemanfaatan sumberdaya alam dan acuan dalam menghadapi perubahan ekologi lebih berorientasi terhadap pengelolaan lingkungan. Faktor yang paling banyak dibahas dalam aspek adopsi adalah faktor penamaan kawasan atau zonasi dengan nama lokal, seperti Belawae, tudang sipulung , Atakkae dan beberapa nama lokal lainnya. 2 4 6 8 10 12 14 Bab I Bab II Bab III Bab IV Bab V Bab VI Bab VII Adopsi Adaptasi Asimilasi 98 Selanjutnya untuk mengetahui hasil akhir berupa interpretasi pada Analisis Isi dari dokumen RTRW tersebut ditentukan berdasarkan persentase kumulatif pada setiap faktor penting atas 3 aspek adopsi, adaptasi dan asimilasi secara menyeluruh. Perbandingan dari semua faktor pada setiap aspek dapat diketahui bahwa faktor penentuan kawasan yang memiliki kepentingan sosial budaya dan penentuan kawasan untuk pengembangan pariwisata berkearifan lokal aspek asimilasi merupakan faktor yang paling banyak kandungannya dalam dokumen RTRW, masing-masing bernilai 26.23 dan 24.59. Kemudian penentuan wilayah pemanfaatan sumberdaya alam merupakan yang tertinggi dalam aspek adaptasi yang mencapai 11.47 dan faktor acuan dalam menghadapi perubahan ekologi mencapai 9.83, sementara faktor acuan pelestarian lingkungan dalam aspek adopsi memiliki nilai lebih tinggi sekitar 14.75 dibandingkan dengan faktor penamaan kawasan atau zonasi dengan nama lokal hanya 13.11. Apabila ditelaah lebih lanjut dari Tabel 42, dapat diketahui urutan aspek dari prinsip kearifan lokal dalam RTRW Kabupaten Wajo tahun 2012-2025 yaitu asimilasi 50.81, adopsi 27.86 dan adaptasi 21.31. Tabel 42 Interpretasi hasil Analisis Isi RTRW Kabupaten Wajo Aspek Kode Rasio Interpretasi Adopsi 1a 14.75 Pada aspek adopsi, faktor acuan pelestarian lingkungan lebih banyak dibahas dibanding penamaan kawasan atau zonasi dengan nama lokal dalam RTRW Kabupaten Wajo. 1b 13.11 Adaptasi 2a 11.48 Pada aspek adaptasi, faktor penentuan wilayah pemanfaatan sumberdaya alam lebih banyak dibahas dibanding acuan dalam menghadapi perubahan ekologis dalam RTRW Kabupaten Wajo. 2b 9.84 Asimilasi 3a 26.23 Pada aspek asimilasi, faktor penentuan kawasan untuk kepentingan sosial budaya lebih banyak dibahas dibanding penentuan kawasan pariwisata berorientasi kearifan lokal dalam RTRW Kabupaten Wajo. 3b 24.59 Hasil Analisis Isi diperoleh bahwa dalam RTRW Kabupaten Wajo tahun 2012-2032 telah mengakomodasi prinsip kearifan lokal yang lebih dominan pada aspek asmilasi. Faktor penentuan kawasan untuk kepentingan sosial budaya menjadi faktor yang paling banyak dibahas. Hal tersebut berarti bahwa secara konseptual penataan ruang berkearifan lokal di wilayah Kabupaten Wajo telah memiliki dasar pengembangan yang bersumber dari nilai-nilai tradisi lokal setempat.

2. Dokumen RTRW Kabupaten Soppeng Tahun 2010-2030

RTRW Kabupaten Soppeng disusun pada tahun 2006, karena berbagai hal perlu disempurnakan. RTRW Kabupaten Soppeng tahun 2007-2027 disusun belum mengikuti UU nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta Perda nomor 9 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009 - 2029. Selain itu, juga telah dilakukan penyempurnaan tata batas hutan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 434Menhut-112009 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009. RTRW Kabupaten Soppeng hasil revisi tahun 2010 telah mengakomodasi amanat UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, serta UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dokumen RTRW tersebut nantianya akan 99 menjadi acuan selama 20 tahun kedepan dan akan ditinjau kembali setiap 5 tahun. Salah satu kewenangan Pemerintah Kabupaten Soppeng adalah merumuskan RTRW Kabupaten Soppeng yang dapat dijadikan alat penyusunan program dan pengendalian pemanfaatan ruang serta menjadi perangkat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berwawasan tata ruang. Hasil Analisis Isi Content Analysis tentang prinsip kearifan lokal pada RTRW Kabupaten Soppeng tahun 2010-2030 dapat dilihat pada Tabel 43. Tabel 43 Hasil pengkodean Analisis Isi pada RTRW Kabupaten Soppeng Bab Kode 1 Kode 2 Kode 3 Jumlah a b a b a b I Pendahuluan 2 1 1 4 II Tujuan, Kebijakan dan Strategi RTRW 6 1 3 4 14 II Rencana Struktur Ruang Wilayah 1 1 IV Rencana Pola Ruang 2 2 2 2 1 9 V Rencana Penetapan Kawasan Strategis 1 2 1 6 5 15 VI Arahan Pemanfaatan Ruang VII Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang 3 1 1 5 Jumlah 11 1 8 4 12 12 48 Tabel 43 memaparkan bahwa prinsip kearifan lokal dalam RTRW Kabupaten Soppeng paling banyak banyak dibahas pada Bab V tentang Rencana Penetapan Kawasan Strategis 31.25 dan Bab II Tujuan, Kebijakan dan Strategi RTRW 29.17. Muatan pesan yang berkaitan dengan prinsip prinsip kearifan lokal sama sekali tidak dibahas pada Bab VI Arahan Pemanfaatan Ruang. Prinsip kearifan lokal di dalam RTRW Kabupaten Soppeng belum diterjemahkan sebagai bagian dari penataan ruang khususnya pada arahan pemanfaatan ruang. Sejatinya pada bab ini memegang peran penting dalam implementasi kebijakan penataan ruang. Pada Gambar 17 memperlihatkan secara keseluruhan aspek asimilasi menjadi aspek yang paling banyak dibahas dalam dokumen RTRW Kabupaten Soppeng, kecuali pada Bab VI Arahan Pemanfaatan Ruang dan semua aspek tidak dibahas. Gambar 17 Perbandingan jumlah masing-masing aspek pada setiap bab 2 4 6 8 10 12 Bab I Bab II Bab III Bab IV Bab V Bab VI Bab VII Adopsi Adaptasi Asimilasi 100 Aspek asimilasi memiliki pembahasan yang sama untuk masing-masing faktornya yaitu faktor penentuan kawasan untuk pariwisata berkearifan lokal dan faktor penentuan suatu kawasan yang memiliki kepentingan sosial budaya, masing-masing 12 poin. Aspek asimilasi paling banyak dibahas pada Bab V tentang Rencana Penetapan Kawasan Strategis. Aspek yang paling sedikit dibahas dalam RTRW Kabupaten Soppeng adalah aspek adopsi, karena di Kabupaten Soppeng memiliki keterbatasan potensi kearifan lokal berbasis adopsi yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Pada akhirnya untuk melihat hasil akhir berupa interpretasi pada Analisis Isi RTRW Kabupaten Soppeng tahun, ditentukan berdasarkan persentase kumulatif pada setiap faktor penting atas 3 aspek adopsi, adaptasi dan asimilasi secara menyeluruh. Hasil interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 44. Pada masing- masing faktor dalam setiap aspek, faktor penentuan kawasan yang memiliki kepentingan sosial budaya dan penentuan kawasan untuk pengembangan pariwisata berkearifan lokal dalam aspek asimilasi merupakan faktor yang paling banyak kandungannya dalam dokumen RTRW, masing-masing bernilai 25. Acuan pelestarian lingkungan merupakan faktor yang tertinggi dalam aspek adopsi yang mencapai 22.92 dan faktor penamaan kawasan atau zonasi dengan nama lokal hanya mencapai 2.08. Faktor penentuan wilayah pemanfaatan sumberdaya alam dalam aspek adaptasi memiliki nilai lebih tinggi yaitu 16.67, dibandingkan dengan faktor acuan perubahan ekologis hanya 13.11. Apabila ditelaah lebih lanjut dari Tabel 44, urutan aspek dari prinsip kearifan lokal dalam RTRW Kabupaten Soppeng tahun 2010-2030 adalah aspek asimilasi 50, sedangkan adopsi dan adaptasi dalam posisi yang sama masing-masing 25. Tabel 44 Interpretasi hasil Analisis Isi dokumen RTRW Kabupaten Soppeng Aspek Kode Rasio Interpretasi Adopsi 1a 22.92 Pada aspek adopsi, faktor acuan pelestarian lingkungan lebih banyak dibahas dibanding penamaan kawasan atau zonasi dengan nama lokal dalam RTRW Kabupaten Soppeng. 1b 2.08 Adaptasi 2a 16.67 Pada aspek adaptasi, faktor penentuan wilayah pemanfaatan sumberdaya alam lebih banyak dibahas dibanding acuan dalam menghadapi perubahan ekologis dalam RTRW Kabupaten Soppeng. 2b 8.33 Asimilasi 3a 25.00 Pada aspek asimilasi, faktor penentuan kawasan untuk kepentingan sosial budaya memiliki jumlah bahasan yang sama dengan penentuan kawasan pariwisata berorientasi kearifan lokal dalam RTRW Kabupaten Soppeng. 3b 25.00 Hasil Analisis Isi diperoleh bahwa dalam RTRW Kabupaten Soppeng tahun 2010-2030 telah mengakomodasi prinsip kearifan lokal yang umumnya lebih dominan pada aspek asimilasi. Faktor penentuan kawasan untuk kepentingan sosial budaya dan faktor penentuan kawasan pariwisata menjadi faktor yang paling banyak dibahas. Hal tersebut berarti bahwa dalam penyusunan RTRW Kabupaten Soppeng telah mengakomodasi aspek kearifan lokal sebagai bagian dari penataan ruang wilayah. Tinjauan kearifan lokal menjadi pondasi penting dalam implementasi rencana tata ruang khususnya di Kabupaten Soppeng. 101

3. Dokumen RTRW Kabupaten Sidrap Tahun 2012-2032

Pemerintah Daerah Kabupaten Sidrap menyempurnakan maupun menyusun revisi RTRW yang mampu mengakomodasi dinamika pertumbuhan dan perkembangan wilayah, dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Mengevaluasi rencana-rencana yang telah dilakukan sebelumnya, untuk mengetahui sampai seberapa jauh penyimpangan-penyimpangan rencana yang telah terjadi hingga tahun sebelumnya. 2. Merekomendasikan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi penyimpangan deviasi atas rencana yang telah ada. 3. Merevisi rencana-rencana sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan terakhir, terutama menyesuaikan dengan kedudukan masing-masing wilayah perencanaan dalam lingkup Kabupaten Sidrap. 4. Menyusun RTRW Kabupaten Sidrap berdasarkan arahan rencana tata ruang yang telah ada dan menghimpunnya menjadi suatu rencana umum yang sesuai dengan batas administrasi Kabupaten Sidrap. 5. Menyusun RTRW Kabupaten Sidrap berdasarkan arahan peraturan dan perundangan yang berlaku. Hasil Analisis Isi Content Analysis tentang prinsip kearifan lokal pada dokumen RTRW Kabupaten Sidrap tahun 2010-2030 dapat dilihat pada Tabel 45. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa prinsip kearifan lokal di RTRW Kabupaten Sidrap banyak dibahas pada Bab V tentang Rencana Penetapan Kawasan Strategis khususnya kawasan strategis untuk kepenetingan sosial budaya mencapai 28.57 dan Bab IV Rencana Pola Ruang mencapai 25.71. Muatan pesan yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kearifan lokal paling sedikit dibahas pada Bab II Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten Sidrap yang hanya mencapai 4.76. Tabel 45 Hasil pengkodean Analisis Isi pada RTRW Kabupaten Sidrap Aspek asimilasi menjadi aspek yang paling banyak dibahas. Pada aspek asimilasi, faktor penentuan kawasan untuk pariwisata berkearifan lokal memiliki jumlah yang lebih banyak yaitu 34.29 dibandingkan dengan faktor penentuan kawasan untuk kepentingan sosial budaya hanya 22.86. Aspek asimilasi paling banyak dibahas pada Bab V tentang Rencana Penetapan Kawasan Strategis. Aspek yang paling sedikit dibahas adalah aspek adopsi. Perbandingan masing- masing aspek kearifan lokal dapat dilihat pada Gambar 18. Bab Kode 1 Kode 2 Kode 3 Jumlah a b a b a b I Pendahuluan 2 2 2 4 1 11 II Tujuan, Kebijakan dan Strategi RTRW 1 2 2 2 3 4 14 II Rencana Struktur Ruang Wilayah 1 4 5 IV Rencana Pola Ruang 5 2 3 2 5 10 27 V Rencana Penetapan Kawasan Strategis 2 4 4 1 10 9 30 VI Arahan Pemanfaatan Ruang 2 1 1 1 5 10 VII Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang 2 1 1 1 3 8 Jumlah 14 11 13 7 24 36 105 102 Gambar 18 Perbandingan jumlah masing-masing aspek pada setiap bab Interpretasi pada Analisis Isi dalam RTRW Kabupaten Sidrap tahun 2012- 2032 ini ditentukan berdasarkan persentase kumulatif pada setiap faktor penting atas 3 aspek secara menyeluruh. Hasil interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 46. Secara keseluruhan dapat dilihat faktor penentuan kawasan yang memiliki kepentingan sosial budaya dan penentuan kawasan untuk pengembangan pariwisata berkearifan lokal dalam elemen asimilasi merupakan faktor yang paling banyak kandungannya, masing-masing bernilai 34.29 dan 22.86. Kemudian acuan pelestarian lingkungan merupakan faktor yang tertinggi dalam aspek adopsi yang mencapai 13.33 dan faktor penamaan kawasan atau zonasi dengan nama lokal hanya mencapai 10.48, sementara faktor penentuan wilayah pemanfaatan sumberdaya alam dalam aspek adaptasi memiliki nilai lebih tinggi mencapai 12.38 dibandingkan dengan faktor acuan perubahan ekologis hanya 6.67. Oleh karena itu apabila ditelaah lebih lanjut dari Tabel 46, urutan aspek dari prinsip kearifan lokal dalam RTRW Kabupaten Sidrap tahun 2012-2032 yaitu asimilasi mencapai 57.14, adopsi 23.80 dan adaptasi 19.04. Tabel 46 Interpretasi hasil Analisis Isi RTRW Kabupaten Sidrap Aspek Faktor Rasio Interpretasi Adopsi 1 a 13.33 Pada aspek adopsi, faktor acuan pelestarian lingkungan lebih banyak dibahas dibanding penamaan kawasan atau zonasi dengan nama lokal dalam RTRW Kabupaten Sidrap. 1b 10.48 Adaptasi 2a 12.38 Pada aspek adaptasi, faktor penentuan wilayah pemanfaatan sumberdaya alam lebih banyak dibahas dibanding acuan dalam menghadapi perubahan ekologis dalam RTRW Kabupaten Sidrap. 2b 6.67 Asimilasi 3a 22.86 Pada aspek asimilasi, faktor penentuan kawasan pariwisata berorientasi kearifan lokal lebih banyak dibahas dibanding dengan penentuan kawasan untuk kepentingan sosial budaya dalam RTRW Kabupaten Sidrap. 3b 34.29 Berdasarkan hasil Analisis Isi diperoleh bahwa dalam RTRW Kabupaten Sidrap tahun 2012-2032 telah mengakomodasi prinsip kearifan lokal yang lebih dominan pada aspek asmilasi. Faktor penentuan kawasan untuk kepentingan sosial budaya menjadi faktor yang paling banyak dibahas. Hal tersebut berarti bahwa secara konseptual penataan ruang berkearifan lokal di wilayah Kabupaten Wajo 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Bab I Bab II Bab III Bab IV Bab V Bab VI Bab VII Adopsi Adaptasi Asimilasi