Implikasi Kebijakan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga terhadap

Tabel 36 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi produk domestik regional bruto PDRB di Provinsi Jawa Barat Variabel Bebas Koefisien Std.Error t-statistik Prob. constanta 16,45 1.5242 2,382 0.1037 pertumbuhan penduduk 0,002 0.4203 0,130 0.3402 kredit 0,148 4.1991 4,893 0.0001 pengeluaran 2,747 1.8088 1,244 0.2300 Jumlah bank 1,135 8.7481 4,592 0.0002 pendapatan -3,530 1.2011 -1,413 0.0000 tabungan 0,462 5.3091 3,979 0.0013 R-squared 0.85 ProbF-statistic 0.00001

6.4 Implikasi Kebijakan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga terhadap

Kesejaheraan Masyarakat dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat Hasil tinjauan Kebijakan Moneter tahun 2007 menunjukkan kinerja perekonomian Indonesia di awal tahun 2007 berpeluang cukup tinggi dan bahkan berpeluang untuk tumbuh lebih tinggi lagi. Peningkatan kegiatan perekonomian terlihat antara lain dari adanya tanda-tanda awal kenaikan minat investasi, perbaikan persepsi bisnis, peningkatan impor barang modal, peningkatan penjualan dan penurunan inventori. Namun, respon sisi penawaran tampak masih terkendala baik untuk peningkatan kapasitas karena adanya masalah infrastruktur, energi dan iklim investasi maupun untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas karena biaya tinggi dalam perekonomian, rendahnya kualitas tenaga kerja dan semakin menurunnya usia produktif kapital. Selain daripada itu kondisi industri lembaga keuangan selama tahun 2006 cukup membaik, tercermin dari perkembangan positif berbagai indikator utama kinerja lembaga keuangan. Pertumbuhan kredit sudah menunjukkan beberapa hasil yang menggembirakan seperti yang tercermin pada pertumbuhan kredit yang cukup tinggi di awal tahun 2007. Sebagaimana yang dikemukakan dalam Laporan Kebijakan Moneter LKM Triwulan IV-2006, selama tahun 2006 perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan yang semakin membaik disertai dengan stabilitas makroekonomi dan keuangan yang tetap terjaga. Untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi, sinergi kebijakan antara Bank Indonesia dan Pemerintah perlu terus ditempuh guna mempercepat pembalikan siklus ekonomi atau mengurangi akselerasi perlambatan pertumbuhan. Demikian pula, upaya mendorong perekonomian menuju keseimbangan internal dan eksternal perlu diprioritaskan dengan menerapkan kebijakan fiskal dan moneter secara lebih konsisten. Baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal perlu terus diarahkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Begitupula, pada Provinsi Jawa Barat program-program akselerasi pemulihan ekonomi sudah berjalan cukup baik meskipun belum begitu optimal terutama dalam mengembangkan struktur perekonomian regional yang tangguh guna meningkatkan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, perlunya sektor lembaga keuangan lebih meningkatkan komitmennya untuk berperan dalam mendorong perekonomian, khususnya perekonomian daerah. Hal itu dilandasi dengan masih rendahnya tingkat pertumbuhan kredit yang disalurkan dalam rangka pembiayaan sektor-sektor produktif berupa kredit investasi dan modal kerja Sedangkan peranan lembaga keuangan sangat strategis sebagai pemicu bagi berkembangnya iklim investasi dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi daerah yang meningkat. Bilamana kredit yang disalurkan tumbuh dengan pertumbuhan yang tinggi, dapat dipastikan akselerasi peningkatan kegiatan ekonomi daerah akan mengalami pergerakan yang signifikan terutama dalam menciptakan iklim perekonomian daerah yang berpeluang menjanjikan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat. Hal yang menyebabkan agak tersendatnya perekonomian Jawa Barat dan bahkan tidak memberikan perubahan yang berarti pada sektor riil, diindikasikan oleh BI rate yang berfungsi sebagai monetary tool yang menghubungkan antara sektor riil dengan moneter tidak dapat memberikan insentif kepada sektor riil untuk bergerak. Fenomena ini mengindikasikan telah terjadi disintermediasi lembaga keuangan yang diindikasikan oleh sedikitnya kucuran dana pihak ketiga DPK dalam bentuk kredit investasi dan tidak adanya peningkatan investasi yang signifikan mulai pertengahan tahun 2006 sampai awal tahun 2007. Bahkan kecenderungan investasi pada periode tersebut malah menurun. Padahal dalam tataran teori jika suku bunga turun maka Investasi akan meningkat. Hal ini menjadi salah satu penyebab pergerakan di sektor riil masih terhambat. Indikator lain terhambatnya pergerakan sektor riil adalah pertumbuhan GDP per sektor masih rendah terhadap sektor yang memiliki sumbangan yang cukup besar dalam penerapan tenaga kerja contohnya pertanian dan industri tekstil. Efeknya adalah pengangguran dan kemiskinan yang semakin meningkat di tahun 2006. Salah satu indikasi adanya hambatan di sektor riil adalah terjadinya disintermediasi lembaga keuangan. Bank sebagai pihak intermediasi antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak kekurangan dana diharapkan mampu untuk menjadi pemacu pembangunan ekonomi. Dana pihak ketiga yang dikumpulkan oleh bank jika disalurkan dengan baik kepada debitur akan menjadi pemacu pertumbuhan dan stimulus disektor riil. Tetapi yang terjadi di Jawa Barat adalah penurunan BI rate masih belum dapat meningkatkan investasi. Besarnya dana pihak ketiga yang disalurkan lembaga keuangan dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu pada saat sebelum krisis pada tahun 1997 dimana terjadi excess demand kredit lembaga keuangan dan periode setelah krisis dimana terjadi excess supply kredit seperti terlihat pada Gambar 24. Pada periode sebelum krisis 1993 sampai 1996 di mana perekonomian mengalami booming, penyaluran kredit lembaga keuangan lebih banyak didorong oleh permintaan kredit demand driven. Kredit lembaga keuangan mengalami pertumbuhan yang relatif cepat rata-rata sebesar 25,58 persen per tahun, atau lebih tinggi dari pertumbuhan lending capacity sektor lembaga keuangan yang tumbuh sebesar 22,05 persen per tahun. Pertumbuhan kredit yang pesat di atas pertumbuhan lending capacity tercermin dari tingginya tingkat LDR selama periode tersebut yakni mencapai rata-rata 108,72 persen. Keadaan tersebut didorong oleh euphoria , keadaan yang mengagumkan karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu lama, yang digambarkan sebagai economic miracle. Permintaan kredit yang tinggi ini disebabkan juga oleh ketergantungan sektor riil kepada lembaga keuangan yang sangat tinggi untuk membiayai usaha di sektor riil. Hal ini diindikasikan oleh debt to equity ratio yang tinggi pada perusahaan- perusahaan di sektor riil. Sumber: Bank Indonesia 2004 Gambar 24 Periode excess demand credit dan excess supply credit di Indonesia. Dimasa krisis ekonomi, kapasitas untuk memberikan kredit oleh lembaga keuangan turun, karena disamping risiko yang tinggi bank tidak mempunyai cukup liquiditas dalam menyalurkan kreditnya kepada sektor riil diamping itu DPK yang ada di bank sangat rendah, karena pada saat krisis terjadi rush di sektor lembaga keuangan. Oleh karena itu bank lebih memilih untuk memperbaiki modalnya dalam bentuk penambahan credit adequacy ratio CAR. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penuruan kredit disebabkan oleh faktor penawaran kredit lembaga keuangan yang biasa disebut dengan credit crunch. Pasca krisis ekonomi sampai dengan saat ini masalah penyaluran kredit adalah terjadinya kelebihan penawaran pada penyaluran kredit. Hal ini dikarenakan peningkatan DPK yang cukup signifikan sampai tahun 2006. Pada tahun 2006 DPK mencapai 10,4 persen namun akibat dari penanggulangan pasca krisis, BI rate yang tinggi menyebabkan DPK lebih banyak disimpan dalam bentuk SBI. Implikasi dari hal ini adalah bank lebih suka menanamkan DPK yang telah dikumpulkan kedalam bentuk SBI dan cenderung enggan untuk menyalurkan kreditnya ke sektor riil. Hal ini juga terjadi karena pemerintah belum menerapkan regulasi yang mengatur tentang berapa besar proporsi penyimpanan DPK kedalam SBI oleh bank. Pergeseran paradigma SBI dari penyangga likuiditas kepada investasi menyebabkan penurunan BI rate tidak berpengaruh banyak kepada sektor riil. SBI dijadikan alat investasi oleh bank-bank komersial untuk mendapatkan untuk melalui DPK yang telah mereka kumpulkan. Hal ini menyebabkan loan to deposit ratio LDR lembaga keuangan komersial kini rendah, secara keseluruhan DPK bank-bank komersil di Indonesia sekitar 64 persen. Padahal LDR suatu bank yang baik adalah sekitar 80-110 persen. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya ada dana yang siap untuk dikucurkan untuk kredit tetapi lembaga keuangan enggan untuk menyalurkannya kepada sektor riil. Belum optimalnya fenomena penurunan BI rate juga diindikasikan oleh penurunan BI rate tidak didukung oleh penurunan sukubunga kredit lembaga keuangan sehingga sulit untuk mentransmisikan kebijakan ini kepada sektor riil. Yang pada akhirnya terjadi kelebihan penawaran kredit akibat sedikitnya kredit yang diambil oleh sektor riil, walaupun sebenarnya sektor riil sangat mengharapkan kucuran kredit tersebut. Sehingga dalam pemulihan ekonomi Jawa Barat diperlukan suatu pendekatan interpolasi horizontal dan diagonal yang berlandaskan pada iklim partisipasional antara kelompok lembaga keuangan, kelompok dunia usaha, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, kabupaten dan kota, serta komponen pendukung lainnya untuk menciptakan suatu program big push dengan sasaran menciptakan nilai tambah yang menguntungkan. Untuk mendukung pendekatan tersebut hendaknya sektor lembaga keuangan lebih membuka diri melalui suatu peran dialogis yang intens bagi perluasan akses dalam mendapatkan kredit investasi dan modal kerja. Pertimbangan sektor lembaga keuangan atas potensi terjadinya kredit macet hendaknya tidak menjadi dasar bagi tertahannya laju pengucuran kredit, melainkan harus dilihat secara proporsional dengan tidak menyamaratakan generalisasi posisi debitur berpredikat baik dengan debitur berpotensi bermasalah. Sektor lembaga keuangan seharusnya lebih meningkatkan profesionalisme dan kepiawaiannya dalam merumuskan skema penyaluran kreditnya kepada para calon debitur namun tetap pada jalur manajemen yang berbasis risiko. Selain daripada itu lembaga keuangan perlu lebih menggalakkan penyaluran kreditnya khususnya pada wilayah kabupaten-kabupaten dalam kredit produktif baik kredit modal kerja atau produksi. Kredit konsumtif juga dipertahankan bahkan ditingkatkan penyalurannya sehingga dapat meningkatkan konsumsi rumahtangga sektor riil di Jawa Barat.

6.5. Keterkaitan Kesejahteraan Rumah Tangga dengan Pembangunan Perekonomian di Jawa Barat