Latar Belakang Analisis keterkaitan kredit dan konsumsi rumah tangga dalam pembangunan ekonomi regional provinsi Jawa Barat

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, juga penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan Todaro 2000. Namun pada kenyataannya yang dihadapi pada daerah-daerah berkembang seperti di Indonesia adalah keterbelakangan dan kemiskinan, sehingga pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sangat ditekankan. Untuk itu paradigma baru pembangunan harus diarahkan kepada terjadinya pemerataan quity, pertumbuhan eficiency, dan keberlanjutan sustainability dalam pembangunan ekonomi. Tujuan utama goal target dari suatu program pembangunan sosial- ekonomi ialah peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berdomisili di wilayah pembangunan tersebut. Suatu fenomena hasil pembangunan ekonomi, sebelum terjadinya krisis moneter 1997, yang tidak dapat dimungkiri oleh berbagai pihak, baik itu kalangan pelaku bisnis, kelompok ilmuwan, kelompok pemerintahan, kelompok masyarakat awam, ialah adanya pergeseran secara nyata struktur perekonomian yang dalam istilah ilmu ekonomi regional disebut transformasi perekonomian di Provinsi Jawa Barat, yaitu dari sektor pertanian ke sektor industri. Dari hasil kompilasi PDRB Jawa Barat tanpa wilayah yang menjadi area Provinsi Banten tahun 2001, kontribusi sektor industri Jawa Barat menunjukkan angka 39,26 persen, yang berarti posisi Jawa Barat masih tetap sebagai daerah industri. Selama ini diakui, bahwa sasaran utama dari keberadaan usaha industri di wilayah ini semata-mata dirancang untuk menghasilkan produk barang ekspor export oriented, dengan bahan baku utama sebagian besar terdiri atas bahan- bahan impor import content. Dengan demikian, pangsa pasar domestik secara relatif terabaikan. Selain daripada itu, akibat terfokusnya sektor industri mengakibatkan sektor lain yang dominan di Jawa Barat, yaitu sektor pertanian terabaikan. Hal ini mengakibatkan terjadinya disparitas kota dan desa atau antara wilayah industri dengan wilayah pertanian disebabkan karena ketidak serasian pertumbuhan ekonomi di antara kedua wilayah tersebut. Perkembangan kota yang pesat dengan industri dan jasa sebagai basis ekonominya menyebabkan sektor formal di wilayah perkotaan bercirikan perkembangan industri yang modern, bisnis besar, upah yang tinggi dan tingkat kehidupan yang nyaman. Berbeda keadaannya dengan sektor informal yang dicirikan dengan kemiskinan dan kekumuhan. Lebih lanjut di wilayah perdesaan yang berbasis ekonomi pertanian, kemiskinan, lahan garapan yang bertambah sempit, pengangguran, pendidikan yang rendah, usaha tani yang tidal efisien, pertumbuhan ekonomi yang rendah, migrasi spasial dan sektoral menyebabkan wilayah perdesaan sangat sulit untuk dikembangkan. Kemampuan suatu wilayah mengelola sumberdaya yang dimiliki akan menentukan laju pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2000 Penerapan UU: 2299 dan diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dipandang sebagai bagian dari upaya mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan antar wilayah inter-regional, termasuk ketidakseimbangan kewenangan antara pusat dan daerah Rustiadi, et al. 2006. Selain itu kebijakan otonomi daerah memberikan pengaruh yang luas dalam penentuan sistem perencanaan pembangunan wilayah. Strategi dan peran pemerintah dalam perekonomian wilayah adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengatur penyediaan barang publik alokasi, mengurangi inflasi dan pengangguran stabilisasi, dan melaksanakan pemerataan keadilan sosial atau distribusi. Peran tersebut dilakukan melalui sektor riil sektor barang, sektor moneter sektor keuangan, sektor internasional perdagangan internasional dan keuangan internasional, dan sektor tenaga kerja serta sektor pemerataan di Indonesia dikenal adanya Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil. Peranan total UKM Jawa Barat pada tahun 2001 terhadap PDRB Jawa Barat adalah 55,60 persen yang terbagi ke dalam peranan usaha kecil 39,79 persen dan usaha menengah 15,81 persen. Jika dilihat lebih jauh sektor-sektor yang punya peranan besar yang dilakukan oleh usaha kecil adalah sektor pertanian 13,57 persen, sektor perdagangan, hotel, dan restoran 10,13 persen dan industri pengolahan 7,16 persen. Di skala usaha menengah, sektor yang dominan adalah sektor industri pengolahan 9,09 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto PDRB Jawa Barat. Namun demikian upaya pemerintah untuk meningkatkan pemerataan di sektor pelaku ekonomi masih rendah, terlihat dari masih adanya gap celah antara kelompok pelaku usaha skala besar dan kelompok Koperasi Usaha Kecil Menengah KUKM. Sehingga perlu ditingkatkannya aktivitas ekonomi kelompok KUKM yang identik dengan meningkatkan nilai tambah value added ekonomi dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan membentuk sentra usaha komoditas unggulan. Selain daripada itu, strategi pembangunan wilayah perlu juga mempertimbangkan keberagaman potensi sesuai potensi yang dimiliki wilayah tersebut guna peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pertumbuhan ekonominya. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah PAD, secara langsung dan tidak langsung dapat dilakukan melalui penggalian dan pengembangan potensi yang ada di daerah yang meliputi sumberdaya manusia, alam, man-made capital, dan social capital. Pembangunan di daerah diselenggarakan dengan memanfaatkan potensi daerah yang ada dan diarahkan untuk pemerataan sosial dan ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjamin keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Potensi dan daya dukung atau sumberdaya yang dimiliki setiap wilayah berbeda antar wilayah, sehingga akan ada hubungan yang saling ketergantungan antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Adanya ketergantungan antar wilayah akan mengakibatkan tejadinya interaksi ekonomi lintas wilayah yang didasarkan atas dasar kebutuhan pemenuhan kebutuhan hidup. Perekonomian lintas wilayah akan membawa pengaruh pada pola konsumsi dan belanja rumah tangga masyarakat yang mempengaruhi laju pertumbuhan suatu ekonomi wilayah. Salah satu kunci keberhasilan pembangunan wilayah adalah adanya keterkaitan lintas sektor, sebab setiap kegiatan di suatu sektor selalu menggunakan input dari sektor yang lain. Tingkat dan pola konsumsi masyarakat pada suatu wilayah dalam waktu tertentu merupakan cerminan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Sedangkan kredit merupakan salah satu input sekaligus insentif bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas baik produktif maupun pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga. Sehingga kredit dan konsumsi memiliki keterkaitan hubungan yang dapat menentukan produktivitas dan mempengaruhi pertumbuhan pembangunan di suatu wilayah. Tingkat dan pola konsumsi serta serapan kredit antara daerah satu dengan daerah yang lain dalam suatu wilayah tentunya berbeda-beda yang dipengaruhi banyak faktor. Kajian komprehensif yang memadukan antara ekonomi dan geografis yang mempengaruhi penawaran dan permintaan kredit, serta mengidentifikasi hambatan-bambatan yang relevan mempengaruhinya merupakan kebutuhan penting dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah. Tingkat serta pola kredit dan konsumsi rumah tangga dalam suatu wilayah dapat dibuat dalam suatu model keterkaitan sehingga dapat dilihat faktor- faktor dominan, baik dari dalam maupun luar, baik terkendali maupun tidak terkendali dalam meningkatkan pendapatan per kapita yang siap dibelanjakan pada suatu wilayah dalam satu tahun tertentu.

1.2 Perumusan Masalah