VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Keragaan KonsumsiPengeluaran, Pendapatan, Kredit dan Tabungan
Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat
Konsumsi atau pengeluaran rumah tangga adalah seluruh biaya atau pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga,
baik konsumsi pangan maupun konsumsi non pangan. Konsumsi pangan meliputi konsumsi padi-padian, umbi-umbian, daging, telur, ikan, sayur-sayuran, kacang-
kacangan, buah-buahan, minyak, dan konsumsi makanan lainnya. Sedangkan konsumsi non pangan meliputi pengeluaran untuk perumahan, aneka barang dan
jasa, pakaian, barang-barang tahan lama, pajak dan asuransi, serta keperluan lainnya.
- 100,000
200,000 300,000
400,000 500,000
600,000 700,000
Rata-rata Tahun 2002 Rata-rata Tahun 2005
Sumber: data Susenas, olahan 2007
Gambar 10 Pola rata-rata konsumsi atau pengeluaran per kapita sebulan, tahun 2002 dan 2005 di Provinsi Jawa Barat.
Rata-rata konsumsipengeluaran
per kapita sebulan pada tahun 2005 menurut KotaKabupaten di Jawa Barat cenderung meningkat dari tahun 2002.
Pada Gambar 10 dapat dijelaskan bahwa Kota Depok memiliki rumah tangga yang cenderung mengkonsumsi paling besar pada tahun 2005, begitu juga dengan
rumah tangga di Kota Bekasi dan Kota Bandung dalam mengkonsumsi meningkat tajam. Hal ini terjadi karena baik Kota Depok maupun Kota Bekasi memiliki
jumlah share penduduk yang besar di Jawa Barat Tabel 3 akibat dari daerah
Rp Kapita
Bln
perluasan dari Provinsi DKI Jakarta ke pinggiran suburban sehingga diperlukan konsumsi yang besar pula. Sedangkan Kota Bandung Raya merupakan Ibu Kota
Jawa Barat sebagai pusat kegiatan ekonomi dengan berbagai sarana dan prasarananya menjadikan penduduk terkonsentrasi padat di Kota Bandung dan
meningkatkan konsumsipengeluarannya. Konsumsipengeluaran rumah tangga terbagi menjadi dua yaitu konsumsi
pangan dan konsumsi non pangan. Pada tahun 2002, persentase konsumsipengeluaran rumah tangga di KotaKabupaten Jawa Barat cenderung
beragam. Dilihat dari Gambar 11, kabupaten-kabupaten di Jawa Barat masyarakatnya lebih cenderung mengeluarkan pendapatannya untuk konsumsi
yang bersifat pangan daripada non pangan. Sedangkan rumah tangga pada kota- kota di Jawa Barat lebih cenderung sama antara konsumsi pangan dan konsumsi
non pangan.
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00
Wila ya h
Ko nsumsi P angan Ko nsumsi No n P angan
Sumber: data Susenas, olahan 2007
Gambar 11 Pola persentase rata-rata konsumsipengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2002 menurut kotakabupaten di
Provinsi Jawa Barat.
Banyak hal-hal yang mempengaruhi pola konsumsi suatu rumah tangga yaitu tingkat pendidikanpengetahuan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan,
kemudahan memperoleh pinjaman kredit. Karakteristik yang dimiliki masyarakat perdesaan kabupaten umumnya ditandai dengan rendahnya tingkat
pengetahuan, keterikatan tradisi yang masih kuat, sukar menyesuaikan terhadap inovasi yang ada khususnya di negara-negara berkembang ditandai dengan
langkanya modal sehingga pendapatan yang ada hanya cukup untuk memenuhi konsumsi pangannya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut yang mendasari pola
konsumsi rumah tangga kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Berbeda dengan pola konsumsi rumah tangga di perkotaan yang cenderung kebalikan dengan
perdesaan. Kebutuhan akan sarana, prasarana, teknologi dan informasi yang semakin tinggi dan cukupnya modal maka rumah tangga perkotaan lebih
konsumtif terhadap barang-barang sekunder dan tersier setelah konsumsi pangannya terpenuhi. Adapun kota-kota yang memiliki rumah tangga dengan
konsumsi non pangan lebih besar daripada konsumsi pangan adalah Kota Bandung dan Kota Bekasi.
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
Wilayah
Konsumsi Pangan Konsumsi Non Pangan
Sumber: data Susenas, olahan 2007
Gambar 12 Pola persentase rata-rata konsumsipengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2005 menurut kotakabupaten di
Provinsi Jawa Barat.
Pola konsumsipengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2005 pada kotakabupaten di Jawa Barat, baik kabupaten maupun kota memiliki
peningkatan pada konsumsi non pangannya dibandingkan tahun 2002. Walaupun masih sebagian besar rumah tangga pada kabupaten di Jawa Barat cenderung lebih
konsumtif terhadap pangan namun terjadi peningkatan yang berarti khususnya Kabupaten Bekasi yang rumah tangganya lebih konsumtif terhadap konsumsi non
pangan Gambar 12. Rustiadi, et al. 2006, tolak ukur kemiskinan adalah a rasio barang dan jasa yang dikonsumsi Good-service Ratio, GSR, yang menunjukkan
bahwa semakin tinggi kesejahteraan seseorang semakin besar persentase pendapatan income yang digunakan untuk konsumsi jasa, b Persentase atau
rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan, yang bertolok berdasarkan semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total
pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahterannya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Jawa Barat tahun 2005 lebih sejahtera
daripada tahun 2002. Pada tahun 2002 secara umum rumah tangga di Jawa Barat lebih konsumtif terhadap konsumsi pangan daripada konsumsi non pangan yaitu
konsumsi pangan sebesar 60,32 persen. Sedangkan tahun 2005, konsumsi non pangan, mendominasi rumah tangga Jawa Barat pada umumnya sebesar 50,99
persen dari seluruh total konsumsi. Pola perbandingan persentase konsumsipengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2002 dan
2005 di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 13.
60.32 49.01
39.68 50.99
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
rata2 ko nsumsi panganthn rata2 ko nsumsi no n panganthn
Tahun 2002 Tahun 2005
Gambar 13 Pola perbandingan persentase konsumsipengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 di Provinsi Jawa Barat.
Pendapatan atau penerimaan rumah tangga adalah pendapatan yang diperoleh rumah tangga yang bersumber dari pendapatan upahgaji, pendapatan
dari usaha rumah tangga pertanian, pendapatan dari usaha rumah tangga bukan pertanian dan pendapatan kepemilikan dan bukan dari usaha. Gambar 14
menunjukkan pola rata-rata pendapatan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 menurut kotakabupaten di Provinsi Jawa Barat. Dari gambar dapat dilihat
pendapatan masyarakat tahun 2005 lebih besar daripada tahun 2002. Khususnya
Sumber: data Susenas, olahan 2007
pendapatan rumah tangga Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kota Bandung memiliki nilai rata-rata pendapatan rumah tangga yang paling tinggi di Jawa Barat.
Sedangkan rata-rata pendapatan yang terkecil adalah dari rumah tangga Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Banjar. Kota Banjar memiliki rata-rata
pendapatan rumah tangganya rendah karena memiliki jumlah penduduk yang rendah yaitu 0,43 persen dari total jumlah penduduk Jawa Barat. Ketimpangan
rata-rata pendapatan rumah tangga kota dan kabupaten akibat dari pesatnya pertumbuhan di kota dengan dukungan adanya sektor industri yang memberikan
pendapatan bagi tenaga kerjanya lebih besar daripada pendapatan tenaga kerja pada sektor pertanian di perdesaan kabupaten. Dan kota-kota di Jawa Barat
merupakan daerah pusat-pusat perekonomian di Provinsi Jawa Barat.
- 5,000,000
10,000,000 15,000,000
20,000,000 25,000,000
30,000,000 35,000,000
Wilayah
Tahun 2002 Tahun 2005
Sumber: data Susenas, olahan 2007
Gambar 14 Pola rata-rata pendapatan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 menurut kotakabupaten di Provinsi Jawa Barat.
Peningkatan perbaikan ekonomi masyarakat merupakan potensi yang baik bagi pasar uang. Dengan semakin baiknya perekonomian berarti fungsi uang
sebagai mesin perputaran ekonomi menjadi semakin penting, sehingga peran lembaga-lembaga keuangan juga penting. Dalam hal ini lembaga keuangan dapat
membantu masyarakat guna meningkatkan pendapatannya dan memberikan tambahan modal pada masyarakat dengan jalan kredit. Pola rata-rata kredit rumah
tangga semakin meningkat pada tahun 2005 daripada tahun 2002, seperti Kota Depok, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Sukabumi, Kota Bekasi, dan
Kabupaten Ciamis. Dengan demikian dapat dilihat, besarnya permintaan kredit
Rata-rata pendapatan RT
Rp
oleh rumah tangga lebih besar di kota-kota karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari seperti pemenuhan kebutuhan konsumsi non pangan yang
terlihat sangat besar di kota-kota. Sehingga produktivitas rumah tangga khususnya di kabupaten masih sulit untuk ditingkatkan. Pola rata-rata kredit rumah tangga
tahun 2002 dan 2005 menurut kotakabupaten di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 15.
0.00 1000000.00
2000000.00 3000000.00
4000000.00 5000000.00
6000000.00
Wilayah
Tahun 2002 Tahun 2005
Sumber: data Susenas, olahan 2007
Gambar 15 Pola rata-rata kredit rumah tangga tahun 2002 dan 2005 menurut kotakabupaten di Provinsi Jawa Barat.
Menurut teori ekonomi apabila semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga dan suku bunga tabungan maka tabungan akan semakin tinggi. Selanjutnya
apabila tabungan yang diakumulir semakin tinggi maka tingkat investasi semakin tinggi pula.
1050000 1100000
1150000 1200000
1250000 1300000
1350000
ra ta
-r a
ta t
a bu
nga n
R p
2002 2005
tahun
Sumber: data Susenas, olahan 2007
Gambar 16 Perbandingan rata-rata tabungan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 di Provinsi Jawa Barat.
Rata-rata kredit RT
Rp
Dari perbandingan tahun 2002 dan 2005 terjadi peningkatan rata-rata tabungan rumah tangga Gambar 16. Masyarakat Jawa Barat sudah menunjukkan
adanya keinginan untuk menanamkan investasinya dengan cara menabung sehingga secara ekonomi makro sebagai salah satu cara menghimpun dana
melalui proses pasar uang yang digunakan sebagai modal pembangunan melalui fungsi invetasi. Namun demikian, distribusi keinginan menabung rumah tangga di
Jawa Barat masih belum merata. Terlihat pada Gambar 17 sebaran dari menabung hanya pada wilayah-wilayah tertentu yang tinggi, yaitu Kabupaten Sukabumi,
Kabupaten Sumedang, Kabupaten Ciamis. Kelesuan pola menabung pada wilayah-wilayah kota diduga karena semakin besarnya pengeluaran untuk
konsumsi baik konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga Seperti terlihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.
1000000 2000000
3000000 4000000
5000000 6000000
wila ya h
2002 2005
Sumber: data Susenas, olahan 2007
Gambar 17 Perbandingan rata-rata tabungan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 menurut kotakabupaten di Provinsi Jawa Barat.
6.2 Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga dengan Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Lainnya serta Sebaran-Sebarannya di Jawa Barat
6.2.1.1 Kredit Rumah Tangga
Kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang diminta, atau pada waktu yang akan
datang, karena penyerahan barang-barang sekarang Suyatno, et al. 1999. Kredit
dalam sosial ekonomi dinyatakan bahwa suatu usaha kegiatan, antara lain yang dilakukan di bidang perekonomian, akan mempunyai suatu pengaruh terhadap
kegiatan lainnya. Dalam hal ini dapat diperhatikan terjadinya keterkaitan atau dampak disebut sebagai aspek sosio-ekonomi dari suatu usaha Bahsan 2003.
Untuk lebih memahami keterkaitan dalam sosial ekonomi rumah tangga maka dilakukan dugaan model ekonomi rumah tangga. Hal ini didasarkan pada
fenomena yang ada, dimana rumah tangga dicirikan dengan adanya hubungan yang sifatnya saling berkaitan antara pengeluaran dan pendapatan serta faktor
sosial ekonomi lainnya khususnya modal rumah tangga kredit. Kredit rumah tangga diduga dipengaruhi oleh tabungan, pengeluaran dan
pendidikan. Tabel 9 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi berapapun dipercaya bahwa secara umum keempat peubah akan mempengaruhi total kredit
rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan nilai probalititas dari F-statistik yang benilai 0,00058. Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil
estimasi sebesar 0.9756 yang berarti bahwa model dapat menjelaskan keragaman
dari kredit rumah tangga sebanyak 97,56 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model.
Tabel 9 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi kredit rumah tangga di Provinsi Jawa Barat
Peubah Koefisien Std.
Eror t-Statistic Prob. Konstanta -12.05166
8.13487 -1.969
0.0623 Tabungan RT
0.01640 0.09908
4.135 0.0005
Pengeluaran RT 0.17197
1.53906 3.983
0.0007 Lama Pendidikan KRT
0.03867 3.17535
4.453 0.0002
Fixed Effects Cross C_Bogor 0.48972
C_Purwakarta 0.07714
C_Sukabumi 0.53652 C_Karawang
-0.20842 C_Cianjur 0.10297
C_Bekasi 0.79424
C_Bandung 0.74440 C_Kota
Bogor -0.04157
C_Garut -0.30387 C_Kota
Sukabumi 0.36418
C_Tasikmalaya 0.01082 C_Kota
Bandung 1.21951
C_Ciamis 0.07017 C_Kota
Cirebon 0.11200
C_Kuningan -0.16785 C_Kota
Bekasi 1.62547
C_Cirebon 0.02325 C_Kota
Depok 1.66810
C_Majalengka -0.08943 C_Kota
Cimahi 0.28893
C_Sumedang 0.23573 C_Kota
Tasikmalaya 0.09016
C_Indramayu 0.39078 C_Kota
Banjar -0.08981
C_Subang -0.27760 R-squared
0.975621 ProbF-statistic
0.000582
Model estimasi kredit rumah tangga berpengaruh positif terhadap pengeluarankonsumsi rumah tangga dan lamatingkat pendidikan kepala rumah
tangga, sedangkan tabungan berpengaruh positif terhadap kredit RT. Hal ini sesuai dengan harapan. Semakin tinggi pengeluaran diikuti oleh semakin
tingginya tingkat kredit oleh rumah tangga. Hal ini berarti kredit merupakan penambah modal bagi rumah tangga untuk produksi dan konsumsi rumah tangga.
Tingkat pendidikan berpengaruh positif berarti semakin tinggi pengetahuan kepala rumah tangga dalam memanfaatkan input yang ada maka semakin besar pula
kredit yang diambil. Sedangkan tabungan yang berpengaruh positif menunjukkan bahwa rumah tangga yang mengambil kredit memiliki cukup simpanan untuk
memenuhi kegiatan prodiktif dan konsumtifnya. Nilai kredit yang diambil oleh rumah tangga pengguna kredit konsumtif
dan kredit produktif dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11. Terjadi perbedaan yang sangat tinggi antara pengguna kredit konsumtif dan produktif, dimana nilai kredit
konsumtif lebih tinggi daripada nilai kredit produktif. Tabel 10 Jumlah kredit yang diambil rumah tangga pengguna kredit konsumtif
di Provinsi Jawa Barat
Jumlah Kredit rupiah bulan Persentase ≤ 2.000.000
40,0 2.000.001 – 4.000.000
33,3 4.000.001 – 6.000.000
26,7 6.000.000
0,0 Jumlah 100
Sumber : data primer, olahan 2007
Tabel 11 Jumlah kredit yang diambil rumah tangga pengguna kredit produktif di Provinsi Jawa Barat
Jumlah Kredit rupiahper tahun Persentase
5.000.000 60,0
5.000.001 – 10.000.000 16,7
10.000.001 – 20.000.000 16,7
20.000.000 6,7
Jumlah 100
Sumber : data primer, olahan 2007
Perbedaan permintaan nilai kredit oleh rumah tangga disebabkan oleh banyak faktor. Kredit konsumtif merupakan kredit yang digunakan untuk
membiayai pembelian barang-barang dan jasa-jasa yang dapat memberikan kepuasan langsung kepada konsumen. Jenis kredit ini digunakan untuk membiayai
hal-hal yang bersifat konsumtif seperti kredit perumahan, kredit kendaraan, serta kredit untuk membeli makanan dan pakaian. Sedangkan kredit produktif
merupakan kredit yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang produktif. Kredit ini dipakai untuk membeli barang-barang modal yang bersifat tetap maupun untuk
membiayai kegiatan pengadaan barang yang habis dalam sekali produksi. Permintaan terhadap kredit konsumtif oleh rumah tangga dinilai jauh dari resiko
dan mudah dalam proses peminjamnya, sedangkan permintaan terhadap kredit produktif dinilai sangat tinggi resiko dan sulit proses peminjamannya. Dari sisi
penawaran, pihak lembaga keuanganpun lebih memilih menawarkan kredit konsumtif daripada kredit produktif karena kredit konsumtif jauh dari resiko krisis
dan lebih cepat perputaran uangnya karena bersifat konsumtif. Dalam menghasilkan produk atau output hasil pertanianusaha kecil
lainnya diperlukan input antara faktor produksi yang terdiri dari faktor produksi yang tetap dan tidak tetap variabel. Bila sektor pertanianusaha kecil lainnya
ingin meningkatkan produksi, salah satunya adalah dengan meningkatkan penggunaan input. Kredit yang diperoleh petaniusaha kecil lainnya dapat
digunakan sebagai penambah modal untuk membiayai input produksi sehingga petaniusaha kecil lainnya dapat meningkatkan produknya pada tingkat yang lebih
tinggi. Input yang dibiayai dengan kredit juga akan memiliki biaya tambahan sebesar bunga kredit dan biaya transaksi lainnya.
Tabel 12 Suku bunga kredit yang diambil rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat
Suku Bunga persen bulan Kredit konsumtif
Kredit produktif 10
63,3 16,7
10 - 30 36,7
63,3 31 - 40
0,0 6,7
40 0,0
13,3 Jumlah 100
100
Sumber : data primer, olahan 2007
Biaya tambahan dari kredit adalah bunga kredit. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa tingkat suku bunga untuk kredit produktif lebih tinggi dari kredit
konsumtif. Stevens dan Jabara 1988, bunga pinjaman kredit ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran kredit. Bunga pinjaman yang tinggi di
pedesaan disebabkan oleh permintaan dan penawaran kredit yang tidak elastis
inelastis. Seperti yang telah dijelaskan di atas permintaan terhadap kredit konsumtif yang tinggi akan mempengaruhi penawaran lembaga keuangan dalam
tingkat bunga pinjaman. Bunga pinjaman khususnya kredit produktif dapat menjadi lebih rendah dengan cara: 1 Memperluas sumber-sumber kredit di
pedesaan, yang berarti pada tingkat bunga pinjaman yang sama besar maka jumlah kredit yang tersedia akan lebih besar, 2 Memperbanyak jenis-jenis
pelayanan yang sudah ada. Semakin banyak jenis pelayanan yang dapat diberikan bank tabungan, deposito, kredit, pengiriman uang maka semakin besar nasabah
yang dapat dilayani bank, 3 Perubahan teknologi dari kelembagaan kredit. Perubahan teknologi akan membuat produktivitas masukan meningkat, sehingga
biaya marginal semakin rendah. Sebaran kredit dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada
kotakabupaten di Jawa Barat terbesar adalah Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, dan
Kabupaten Bogor. Kota Depok dan Kota Bekasi memiliki rata-rata nilai kredit yang cukup besar pada posisi kredit modal kerja dan investasi Tabel 8. Kredit
modal kerja dan investasi yang disalurkan oleh pihak lembaga keuangan sebagian besar mengarah pada sektor perdagangan, hotel dan restoran serta industri
pengolahan. Dari posisi tertinggi penyaluran kredit oleh bank umum yaitu pada Kota Bandung khususnya kredit modal kerja dan investasi, dimana sektor yang
berkembang dengan kredit tersebut adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran serta industri pengolahan. Pada Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bandung
memiliki posisi kredit tertinggi pada kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Penyaluran kredit modal kerja yang cukup tinggi didukung dengan banyak
berkembangnya sektor industri pengolahan. Sedangkan besarnya posisi kredit konsumsi akibat dari tingginya jumlah penduduk di wilayah tersebut sehingga
besar pula tingkat konsumsinya. Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, masyarakatnya berkembang dengan sektor pertanian. Posisi kredit yang
mendukungpun sesuai yaitu kredit modal kerja. Dan didukung oleh besarnya kredit konsumsi yang disalurkan oleh pihak lembaga keuangan karena merupakan
wilayah pengembangan dari pusat kota dan memiliki jumlah penduduk yang relatif tinggi.
Sebaran kotakabupaten dengan rata-rata kredit terkecil adalah Kabupaten Garut, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Kuningan, dan Kota
Banjar. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa sektor pertanian ataupun usah kecil dengan kredit produktif sangat rendah permintaan dan penawaran kreditnya.
Begitupula pada Kabupaten Garut, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Kuningan, Kota Banjar memiliki potensi sektor pertanian yang sangat
besar tetapi permintaan dan penawaran terhadap kredit relatif kecil, padahal seperti yang diketahui bahwa kredit merupakan salah satu input untuk dapat
meningkatkan produktivitas sehingga dapat meningkatkan hasil usaha dan pendapatan yang diterima dari usaha tersebut. Kabupaten Subang juga memiliki
potensi dari sektor lain yang dapat meningkatkan nilai tambah yaitu sektor pertambangan. Sedangkan pada Kabupaten Karawang juga berkembang sektor
perdagangan, hotel dan restoran. Jika dilihat dari posisi kredit yang disalurkan oleh bank umum pada Kabupaten Garut, Kabupaten Subang, Kabupaten
Karawang, Kabupaten Kuningan, dan Kota Banjar, kredit modal kerja yang disalurkan relatif sama dan bahwa lebih kecil dibandingkan dengan kredit
konsumsi. Sedangkan sektor-sektor yang berkembang pada wilayah tersebut perlu didorong oleh input lain seperti kredit.
6.2.1.2 Pendapatan Rumah Tangga
Pendapatan rumah tangga merupakan hasil dan implikasi dari produktivitas rumah tangga. Pendapatan rumah tangga diduga dipengaruhi oleh
kredit, tabungan, umur dan pendidikan. Dari hasil estimasi Tabel 13 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi berapapun dipercaya bahwa secara umum keempat
peubah akan mempengaruhi total pendapatan rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan nilai probabilitas dari F-statistik yang benilai 0,0000. Tingkat kepercayan
ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar 0,9898 yang berarti bahwa model dapat menjelaskan keragaman dari pendapatan rumah tangga
sebanyak 98,98 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model.
Model tersebut menjelaskan bahwa kredit, tabungan dan pendidikan berpengaruh positif terhadap pendapatan rumah tangga, sedangkan umur
berpengaruh negatif. Hal ini sesuai dengan harapan. Kenaikan kredit 1 rupiah akan menaikkan pendapatan rumah tangga sebesar 0,2067 rupiah. Kondisi ini
sejalan dengan fenomena umum yang sering ditemui, dimana modal akan memberikan pengaruh positif khususnya terhadap produktivitas rumah tangga.
Mengingat salah satu modal rumah tangga berasal dari kredit maka secara tidak langsung dapat dinyatakan bahwa kredit memiliki peranan yang nyata dalam
meningkatkan pendapatan rumah tangga seperti telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya.
Tabel 13 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat
Peubah Koefisien Std.
Eror t-Statistic Prob.
Konstanta 21.9120 5.1843
5.321 0.0000
Kredit RT 0.2067
0.0519 0.211
0.0046 Tabungan RT
0.0445 0.0214
9.057 0.0000
Tingkat Umur KRT -3.7417
1.1481 -12.786
0.0000 Lama Pendidikan KRT
2.0733 2.9426
10.353 0.0000
Fixed Effects Cross C_Bogor -0.05062
C_Purwakarta -0.09958
C_Sukabumi -0.04062 C_Karawang 0.02069
C_Cianjur -0.27336 C_Bekasi 0.18234
C_Bandung 0.18387 C_Kota
Bogor 0.24369
C_Garut -0.16122 C_Kota
Sukabumi 0.10685
C_Tasikmalaya -0.27733 C_Kota
Bandung 0.45194
C_Ciamis -0.05831 C_Kota
Cirebon 0.10930
C_Kuningan -0.13854 C_Kota
Bekasi 0.25268
C_Cirebon -0.22124 C_Kota
Depok 0.27263
C_Majalengka -0.10795 C_Kota
Cimahi 0.06842
C_Sumedang -0.01129 C_Kota
Tasikmalaya 0.27196
C_Indramayu -0.20629 C_Kota
Banjar 0.09966
C_Subang -0.07526
R-squared 0.98983
ProbF-statistic 0.000
Tabungan rumah tangga berpengaruh positif terhadap pendapatan rumah tangga yang menunjukkan perubahan tabungan rumah tangga akan meningkatkan
pendapatan rumah tangga. Pengaruh positif ini disebabkan karena pengelolaan dana yang baik dengan tabungansimpanan akan meningkatkan kualitas
pendapatan di rumah tangga. Dan semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga akan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Dimana tingkat pendidikan kepala
rumah tangga secara langsung dapat meningkatkan kemampuan sumberdaya
manusia human capital untuk selanjutnya dapat mengelola sumberdaya yang dimiliki secara lebih baik.
Sedangkan usia berpengaruh negatif, hal ini terjadi karena usia rata-rata kepala rumah tangga di wilayah Jawa Barat tergolong berada di atas usia
produktif yaitu lebih dari 50 tahun. Oleh karena itu pertambahan usia akan menurunkan pendapatan rumah tangga. Hal ini adalah logis bahwa usia yang akan
berpengaruh positif adalah yang berusia produktif yaitu 15 tahun hingga 50 tahun. Tabel 14 Tingkat pendapatan kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif
dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat
Pendapatan rupiah bulan Kredit konsumtif
Kredit produktif ≤ 2.000.000
23,3 83,3
2.000.001 – 4.000.000 30,0
16,7 4.000.001 – 6.000.000
40,0 0,0
6.000.000 6,7
0,0 Jumlah 100
100
Sumber : data primer, olahan 2007
Tingkat pendapatan rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan produktif dapat dilihat pada Tabel 14. Terdapat kesenjangan yang sangat tinggi,
dimana rata-rata pendapatan pengguna kredit konsumtif terbanyak antara 4 sampai 6 juta rupiah, sedangkan pengguna kredit produktif, rata-rata pendapatan rumah
tangga terbanyak kurang dari 2 juta rupiah. Perbedaan pendapatan rumah tangga antara pengguna kredit konsumtif dan produktif dipengaruhi oleh tingkat umur
kepala rumah tangga dan lama pendidikan kepala rumah tangga Tabel 15 dan 16. Selain daripada itu, pekerjaan utama kepala rumah tangga juga berpengaruh
sangat besar terhadap pendapatan rumah tangga Tabel 17. Tabel 15 Tingkatan umur kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan
kredit produktif di Provinsi Jawa Barat
Umur Kredit konsumtif
Kredit produktif 30
3,3 0,0
31-40 50,0 0,0
41-50 46,7 56,7
50 0,0
43,3 Jumlah 100
100
Sumber : data primer, olahan 2007
Rata-rata umur kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif adalah berusia produktif yaitu antara 30 sampai 50 tahun. Umur kepala rumah tangga
yang produktif akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Semakin tinggi umur dalam usia produktif akan meningkatkan produktivitas usaha dan akan
berdampak pada pendapatannya. Selain daripada itu, kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif sebagian besar berpendidikan di atas S1setara yang
memiliki pengalaman ataupun pemahaman yang lebih guna meningkatkan produktivitasnya.
Tabel 16 Tingkat pendidikan kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat
Pendidikan Kredit konsumtif
Kredit produktif SDSetara 0,0
40,0 SMPSetara 0,0
46,7 SMUSetara 6,7
13,3 D3Setara 20,0
0,0 S1Setara 66,7
0,0 S1Setara
6,7 0,0
Jumlah 100 100
Sumber : data primer, olahan 2007
Sedangkan rata-rata umur kepala rumah tangga pengguna kredit produktif yaitu lebih dari 41 tahun. Umur kepala rumah tangga yang produktif
memungkinkan pemahaman dan pengalaman yang lebih tinggi untuk peningkatan produktivitas usahanya. Tetapi terdapat keterbatasan yaitu dalam tingkat
pendidikan kepala rumah tangga pengguna kredit produktif, dimana sebagian besar berpendidikan hanya sampai SMPsetara, sehingga sulit mengembangkan
diri dalam berbagai bidang usaha. Tabel 17 Jenis pekerjaan utama kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif
dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat
Pekerjaan Kredit konsumtif
Kredit produktif Usaha Tanpa Buruh
0,0 33,3
Usaha Dengan Buruh 0,0
66,7 PNS 26,7
0,0 SwastaBUMN 73,3
0,0 Jumlah 100
100
Sumber : data primer, olahan 2007
Pekerjaan utama kepala rumah tangga sangat mempengaruhi pendapatan kepala rumah tangga. Kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif sebagian
besar memiliki pekerjaan utama swasta dan PNS, sedangkan kepala rumah tangga pengguna kredit produktif sebagian pekerjaan utama adalah usaha baik tanpa
buruh maupun dengan buruh. Dapat dilihat bahwa pada jenis pekerjaan kepala rumah tangga pun terjadi kesenjangan yang besar dan berpengaruh terhadap
pendapatan rumah tangga. Pendapatan selain dari pekerjaan utama untuk meningkatkan produktivitas usahakerjanya, salah satunya didukung oleh input
lain yaitu kredit. Penyaluran kredit konsumtif oleh lembaga keuangan juga memperhitungkan jenis pekerjaan dari pengguna kredit konsumtif tersebut karena
berpengaruh terhadap kemampuan peminjam dalam mengembalikan kreditnya yang sesuai dengan penghasilannya. Dan jenis pekerjaan pengguna kredit
produktif untuk dapat memenuhi dan meningkatkan kegiatan produksinya baik sebagai modal kerja maupun produksi memerlukan dukungan tambahan modal
baik modal kerja maupun investasi. Sebaran kotakabupaten di Jawa Barat yang mempunyai rata-rata
pendapatan rumah tangga terbesar adalah Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten
Bandung. Pada wilayah kotakabupaten tersebut banyak tersedia sektor-sektor baik formal maupun non formal sehingga masyarakat rumah tangga mudah
dalam mendapatkan pekerjaan, guna meningkatkan produktivitas rumah tangganya dan berdampak pada pendapatan yang diperoleh.
Sedangkan sebaran kotakabupaten dengan rata-rata pendapatan terkecil adalah Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cirebon,
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Garut. Kotakabupaten di wilayah tersebut didominasi oleh sektor pertanian, dimana sektor tersebut sulit berkembang
khususnya di pedesaan. Sehingga mangakibatkan rendahnya produktivitas rumah tangga dan berdampak pada pendapatan rumah tangga yang juga rendah.
6.2.1.3 KonsumsiPengeluaran Rumah Tangga
Konsumsipengeluaran rumah tangga merupakan semua total pengeluaran yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam
waktu tertentu dan dapat dikatakan sebagai cerminan dari kesejahteraan rumah tangga. Konsumsipengeluaran rumah tangga dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
1 konsumsipengeluaran rumah tangga untuk pangan, 2 konsumsipengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa, 3 konsumsipengeluaran rumah tangga
untuk perumahan dan fasilitasnya, 4 konsumsipengeluaran rumah tangga untuk barang tahan lama.
a. KonsumsiPengeluaran Rumah Tangga untuk Pangan Konsumsipengeluaran rumah tangga untuk pangan diduga dipengaruhi
oleh jumlah anggota keluarga, pendapatan, pendidikan, kredit dan konsumsi non pangan. Dari hasil estimasi Tabel 18 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi
berapapun dipercaya bahwa secara umum kelima peubah akan mempengaruhi total konsumsi rumah tangga untuk pangan. Hal ini dibuktikan dengan nilai
probalititas dari F-statistik yang benilai 0,0000. Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar 0,9789 yang berarti bahwa model
dapat menjelaskan keragaman dari pengeluaran rumah tangga untuk pangan sebanyak 97,89 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar
model. Tabel 18 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsipengeluaran
rumah tangga untuk pangan di Provinsi Jawa Barat
Peubah Koefisien Std. Eror
t-Statistic Prob.
Konstanta 2.98208 0.42075
1.662 0.0122
Jumlah Anggta Kel 0.47950
0.17364 2.909
0.0165 Pendapatan RT
0.26250 0.10111
4.505 0.0080
Lama Pendidikan KRT 0.51461
2.31661 9.420
0.0000 Kredit RT
0.01039 1.01732
6.152 0.0000
Knsms NonPangan RT -0.15715
1.06688 -3.145
0.0056 Fixed Effects Cross
C_Bogor 0.007056 C_Purwakarta
0.013290 C_Sukabumi 0.003714
C_Karawang 0.009026
C_Cianjur 0.006964 C_Bekasi
0.020016 C_Bandung 0.010393
C_Kota Bogor
0.001014 C_Garut -0.017777
C_Kota Sukabumi
0.014996 C_Tasikmalaya -0.013670
C_Kota Bandung
0.045001 C_Ciamis -0.002456
C_Kota Cirebon
0.018827 C_Kuningan -0.019548
C_Kota Bekasi
0.029938 C_Cirebon 0.003456
C_Kota Depok
0.035013 C_Majalengka 0.008653
C_Kota Cimahi
0.008529 C_Sumedang 0.014597
C_Kota Tasikmalaya
0.001849 C_Indramayu 0.002745
C_Kota Banjar
-0.001037 C_Subang 0.010943
R-squared 0.9788954
ProbF-statistic 0.0000
Konsumsipengeluaran rumah tangga untuk pangan berpengaruh positif dengan jumlah anggota keluarga. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka
akan semakin besar pula konsumsipengeluaran rumah tangga untuk pangan. Pendapatan berpengaruh positif terhadap konsumsi pangan rumah tangga.
Semakin besar pendapatan rumah tangga akan meningkatkan kebutuhan pengeluarankonsumsi pangannya. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga juga
berpengaruh positif terhadap konsumsi pangan. Sumberdaya manusia tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang semakin tinggi akan mempengaruhi
keputusan rumah tangga dalam menentukan pengeluarankonsumsi rumah tangga untuk pangannya.
Penambahan kredit berpengaruh positif menunjukkan besarnya pengaruh pendapatan lain untuk meningkatkan konsumsi pangan. Dan konsumsi non
pangan berpengaruh negatif terhadap konsumsi pangan. Pengaruh negatif konsumsi non pangan terhadap konsumsi pangan adalah logis. Hal ini
menunjukkan adanya kompetisi antara konsumsi pangan dan konsumsi non pangan. Mengingat pendapatan yang terbatas, maka rumah tangga akan membuat
pilihan-pilihan dalam mengalokasikan pendapatan yang dimilikinya. Sebaran rata-rata konsumsipengeluaran rumah tangga untuk pangan pada
kotakabupaten di Jawa Barat terbesar pada Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung. Seperti yang telah dijelaskan di
atas bahwa Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung memiliki rata-rata modal kredit rumah tangga, pendapatan
rumah tangga bahkan produktivitas rumah tangga yang relatif tinggi maka akan berdampak pada pola konsumsipengeluaran rumah tangganya khususnya
konsumsipengeluaran untuk pangan. Sedangkan sebaran rata-rata konsumsipengeluaran rumah tangga untuk pangan pada kotakabupaten di Jawa
Barat terkecil pada Kabupaten Kuningan, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar. Kabupaten-kabupaten tersebut
memiliki sektor unggulan berupa sektor pertanian, tetapi kesejahteraan masyarakatnya masih tergolong rendah, apabila dilihat dari konsumsipengeluaran
untuk pangannya. Rendah konsumsipengeluaran untuk pangan terjadi karena masih rendahnya produktivitas rumah tangga berupa modal yang rendah, tingkat
pendidikan yang rendah, ataupun usia yang tidak produktif lagi. Menurut Rustiadi, et al. 2006, ketidakseimbangan antar sektor akan mengakibatkan
rendahnya kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari pola konsumsi masyarakat dan berdampak pada rendahnya pembangunan ekonomi di wilayah tersebut.
Pembangunan ekonomi yang dipusatkan pada industri yang mengabaikan pertanian, akhirnya akan menghambat proses pembangunan, dan berakibat pada
semakin langkanya komoditi pertanian. b. KonsumsiPengeluaran Rumah Tangga untuk Barang dan Jasa
Konsumsipengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa diduga dipengaruhi oleh pendidikan, pendapatan siap dibelanjakan, tabungan, kredit,
konsumsi pangan dan konsumsi perumahan. Dari hasil estimasi Tabel 19 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi berapapun dipercaya bahwa secara umum
keenam peubah akan mempengaruhi total konsumsi rumah tangga untuk barang dan jasa. Hal ini dibuktikan dengan nilai probalititas dari F-statistik yang benilai
0,000. Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar 0,9692 yang berarti bahwa model dapat menjelaskan keragaman dari
pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa sebanyak 96,92 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model.
Lama pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan siap dibelanjakan oleh rumah tangga, tingkat permintaan kredit rumah tangga, dan konsumsi untuk
perumahan berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsipengeluaran untuk barang dan jasa, sedangkan tabungan rumah tangga dan konsumsi pangan
berpengaruh negatif terhadap konsumsi barang dan jasa. Tingkatlama pendidikan kepala rumah tangga yang tinggi meningkatkan
pula konsumsi untuk barang dan jasa. Pendapatan yang siap dibelanjakan oleh rumah tangga yang besar menentukan besarnya konsumsi untuk barang dan jasa.
Tingkat permintaan kredit rumah tangga yang besar akan mempermudah dan memperbesar suatu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga akan
barang dan jasa. Besarnya pengeluaran rumah tangga akan perumahan maka memperbesar pula konsumsi barang dan jasa dalam menambah kebutuhannya.
Sedangkan tabungan berpengaruh negatif terhadap konsumsi barang dan jasa. Artinya tabungan yang semakin besar akan berdampak pada berkurangnya
pengeluarankonsumsi untuk barang dan jasa. Begitupula dengan konsumsi
pangan yang berpengaruh negatif terhadap konsumsi barang dan jasa, yang menunjukkan bahwa terjadinya kompetisi kebutuhan akan konsumsipengeluaran
dalam rumah tangga, dimana semakin besar konsumsi untuk pangan akan menurunkan pengeluarankonsumsi untuk barang dan jasa.
Tabel 19 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsipengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa di Provinsi Jawa Barat
Peubah Koefisien Std.
Eror t-Statistic Prob. Konstanta -6.1002
3.5883 -5.707
0.0000 Lama Pendidikan KRT
0.1324 1.8105
6.540 0.0000
Pndptn Siap Blnj RT 1.1836
0.9375 3.171
0.0061 Tabungan RT
-0.0628 1.0275
-2.045 0.0044
Kredit RT 0.0481
0.8427 2.676
0.0074 Knsms Pangan
-0.0754 0.4333
-2.020 0.0144
KnsmsPrmhan 0.1533
1.1864 3.066
0.0064 Fixed Effects Cross
C_Bogor 0.0038 C_Purwakarta
-0.0120 C_Sukabumi 0.0417
C_Karawang 0.0097
C_Cianjur 0.0011 C_Bekasi
0.0067 C_Bandung 0.0106
C_Kota Bogor
0.0184 C_Garut -0.0080
C_Kota Sukabumi
0.0028 C_Tasikmalaya -0.0022
C_Kota Bandung
0.0428 C_Ciamis -0.0096
C_Kota Cirebon
-0.0030 C_Kuningan 0.0018
C_Kota Bekasi
0.0394 C_Cirebon -0.0105
C_Kota Depok
0.0349 C_Majalengka -0.0051
C_Kota Cimahi
0.0024 C_Sumedang 0.0022
C_Kota Tasikmalaya
0.0085 C_Indramayu -0.0123
C_Kota Banjar
0.0096 C_Subang 0.0017
R-squared 0.96927
ProbF-statistic 0.0000
Sebaran kotakabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai rata-rata konsumsi rumah tangga untuk barang dan jasa terbesar dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya adalah Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor, dan Kabupaten Bandung. Besarnya rata-rata konsumsipengeluaran rumah tangga
untuk barang dan jasa pada kota-kota tersebut akibat tingginya jumlah penduduk dan tersedianya barang dan jasa di wilayah-wilayah tersebut. Selain daripada itu,
rata-rata rumah tangga di wilayah tersebut di atas, kebutuhan akan konsumsi barang dan jasa sudah menjadi kebutuhan primer sehari-hari. Konsumsi untuk
barang dan jasa, dipengaruhi juga oleh jumlah pendapatan dan produktivitas rumah tangga di wilayah tersebut.
Sedangkan kotakabupaten dengan rata-rata pengeluaran untuk barang dan jasa terkecil adalah Kabupaten Indramayu, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten
Cirebon, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Garut, Kabupaten Majalengka, dan
Kabupaten Tasikmalaya. Rendahnya rata-rata pengeluaran untuk barang dan jasa pada kabupaten-kabupaten di atas karena rendahnya produktivitas rumah tangga
yang mengakibatkan pendapatan rumah tangga juga rendah dan berdampak pada tingkat konsumsi rumah tangga khususnya konsumsi untuk barang dan jasa.
Selain daripada itu, jika dilihat dari sektor-sektor yang berkembang pada wilayah tersebut, pasokan barang dan jasa untuk rumah tangga relatif sedikit dibandingkan
dengan jumlah penduduknya. c. KonsumsiPengeluaran Rumah Tangga untuk Perumahan dan Fasilitas
Konsumsipengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan fasilitas diduga dipengaruhi oleh pendidikan, pendapatan, tabungan, kredit, konsumsi
pangan, konsumsi barang dan jasa dan konsumsi barang tahan lama. Dari hasil estimasi Tabel 20 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi berapapun
dipercaya bahwa secara umum ketujuh peubah akan mempengaruhi total konsumsi rumah tangga untuk perumahan dan fasilitas. Hal ini dibuktikan dengan
nilai probalititas dari F-statistik yang benilai 0,0000. Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar 0,9989 yang berarti bahwa
model dapat menjelaskan keragaman dari pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan fasilitas sebanyak 99,89 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh
variabel lain diluar model. Peubah yang berpengaruh positif terhadap konsumsi perumahan dan
fasilitasnya adalah lama pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan rumah tangga, kredit rumah tangga dan konsumsi barang dan jasa. Sedangkan peubah
yang berpengaruh negatif adalah tabungan rumah tangga, konsumsi pangan dan konsumsi barang tahan lama. Perubahan lama pendidikan kepala rumah tangga
akan meningkatkan konsumsipengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan fasilitasnya. Pendapatan yang besar akan meningkatkan pengeluaran untuk
perumahan dan fasilitasnya. Begitupula dengan semakin besarnya kredit rumah tangga akan meningkatkan pengeluaran perumahan dan fasilitasnya. Dimana hal
ini menunjukkan bahwa rumah tangga memanfaatkan adanya fasilitas kredit khususnya untuk kredit konsumtif untuk perumahan dan fasilitasnya. Pengeluaran
untuk barang dan jasa berpengaruh positif menunjukkan antara pengeluaran barang dan jasa dengan pengeluaran perumahan dan fasilitasnya bersifat
komplementer. Tabel 20 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsipengeluaran
rumah tangga untuk perumahan dan fasilitas di Provinsi Jawa Barat
Peubah Koefisien Std.
Eror t-Statistic Prob. Konstanta -8.5227
2.5363 -7.019
0.0000 Lama Pendidikan KRT
0.6925 3.6416
11.088 0.0000
Pendapatan RT 1.7082
0.2744 7.573
0.0000 Tabungan RT
-0.0682 2.0210
-9.632 0.0000
Kredit RT 0.0872
0.0307 9.118
0.0000 Knsms Pangan
-0.3660 2.3356
-10.589 0.0000
Knsms Brg jasa 0.1278
3.1289 15.915
0.0000 Knsms Brg Thn Lama
-0.0337 1.0269
-17.465 0.0000
Fixed Effects Cross C_Bogor 0.0053
C_Purwakarta -0.0001
C_Sukabumi -0.0011 C_Karawang
0.0029 C_Cianjur 0.0037
C_Bekasi 0.0068
C_Bandung 0.0077 C_Kota
Bogor 0.0089
C_Garut 0.0056 C_Kota
Sukabumi 0.0011
C_Tasikmalaya -0.0050 C_Kota
Bandung 0.0129
C_Ciamis 0.0035 C_Kota
Cirebon 0.0048
C_Kuningan -0.0001 C_Kota
Bekasi 0.0107
C_Cirebon 0.0054 C_Kota
Depok 0.0138
C_Majalengka -0.0056 C_Kota
Cimahi -0.0015
C_Sumedang 0.0119 C_Kota
Tasikmalaya 0.0005
C_Indramayu 0.0049 C_Kota
Banjar -0.0023
C_Subang 0.0012 R-squared
0.998983 ProbF-statistic
0.0000
Sedangkan untuk tabungan berpengaruh negatif, berarti semakin besar tabungan maka akan mengurangi pengeluaran untuk perumahan dan fasilitasnya.
Hal ini logis, karena rumah tangga mempertimbangkan hal lain untuk menabung daripada untuk pengeluaran perumahan. Besarnya pengeluaran pangan akan
menurunkan peengeluaran untuk perumahan dan fasilitasnya. Begitupula dengan besarnya pengeluaran barang tahan lama akan menurunkan pengeluaran barang
tahan lama. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga mengambil keputusan untuk memenuhi kebutuhan yang primer lebih dahulu dibandingkan kebutuhan
sekunder maupun tersiernya.
Sebaran kotakabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai rata-rata konsumsi rumah tangga untuk perumahan dan fasilitas terbesar dengan faktor-
faktor yang mempengaruhinya adalah Kota Depok, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bekasi. Kesenjangan
perkembangan antara wilayah kota dan kabupaten di Jawa Barat dapat dilihat dari pertumbuhan wilayah pada pertumbuhan tempat tinggal rumah. Wilayah-
wilayah kota didominasi oleh semakin maraknya pengembangan perumahan akibat meningkatnya pertumbuhan penduduk. Data BPS 2006 menunjukkan laju
pertumbuhan penduduk Kota Depok 37,66, Kota Bekasi 17,85, Kota Bogor 11,96, Kabupaten Bandung 8,71, Kabupaten Bekasi 14,41. Pada
Kota Bandung mengalami penurunan laju pertumbuhan penduduk sebesar -0,30, namun demikian jumlah penduduk di Kota Bandung masih di atas rata-
rata jumlah penduduk di Jawa Barat. Kebutuhan rumah tangga akan perumahan dan fasilitasnya didukung juga oleh tempat bekerja. Rendah dan sedikitnya
pekerjaan di wilayah pedesaan mengakibatkan berpindahnya masyarakat pedesaan ke perkotaan yang mengakibatkan semakin banyaknya lahan yang dibangun untuk
perumahan guna pemenuhan kebutuhan akan rumah oleh masyarakat tersebut. Sedangkan sebaran kotakabupaten dengan rata-rata pengeluaran untuk
perumahan dan fasilitas terkecil adalah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten
Purwakarta, Kota Cimahi, dan Kota Banjar. Rendahnya konsumsipengeluaran rumah tangga untuk wilayah kotakabupaten di atas disebabkan karena rendahnya
kebutuhan akan perumahan dan fasilitasnya, serta relatif kecil laju pertumbuhan penduduk, yaitu Kabupaten Sukabumi 1,23, Kabupaten Tasikmalaya 1,99,
Kabupaten Majalengka 1,44, Kota Cimahi dan -14,47. Kabupaten Kuningan, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Banjar memiliki laju pertumbuhan
yang meningkat tetapi jumlah penduduk yang relatif sedikit dengan luas wilayahnya yang besar. Sehingga pertumbuhan penduduk pada kotakabupaten di
atas tidak signifikan dalam peningkatan konsumsipengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan fasilitasnya. Selain daripada itu, kebutuhan akan perumaha
dan fasilitasnya sangat bergantung dari produktivitas dan tingkat pendapatan rumah tangga dalam suatu wilayah tersebut.
d. KonsumsiPengeluaran Rumah Tangga untuk Barang Tahan Lama Konsumsipengeluaran barang-barang tahan lama diduga dipengaruhi oleh
pendidikan, pendapatan, tabungan, kredit, konsumsi pangan, konsumsi barang, dan jasa. Dari hasil estimasi Tabel 21 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi
berapapun dipercaya bahwa secara umum keenam peubah akan mempengaruhi total konsumsipengeluaran rumah tangga untuk barang-barang tahan lama. Hal
ini dibuktikan dengan nilai probalititas dari F-statistik yang benilai 0,00018. Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar
0,9659 yang berarti bahwa model dapat menjelaskan keragaman dari pengeluaran rumah tangga untuk barang tahan lama sebanyak 96,59 persen sedangkan sisanya
dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Tabel 21 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsipengeluaran
rumah tangga untuk barang tahan lama di Provinsi Jawa Barat
Peubah Koefisien Std.
Eror t-Statistic Prob. Konstanta 10.5166
10.6359 1.833
0.0825 Lama Pendidikan KRT
3.4721 4.7262
2.564 0.0190
Pendapatan RT 2.6679
2.0754 1.934
0.0132 Tabungan RT
-0.4075 0.1472
-2.023 0.0023
Kredit RT 0.0333
0.3557 5.343
0.0034 Knsms Pangan
-4.6239 3.2805
-3.238 0.0144
Knsms Brg jasa 0.9215
1.0090 10.745
0.0000 Fixed Effects Cross
C_Bogor 0.36242 C_Purwakarta
0.12028 C_Sukabumi 0.00801
C_Karawang 0.11858
C_Cianjur -0.02761 C_Bekasi
0.03263 C_Bandung 0.13563
C_Kota Bogor
0.06422 C_Garut -0.13569
C_Kota Sukabumi
-0.00851 C_Tasikmalaya -0.29544
C_Kota Bandung
0.52080 C_Ciamis 0.07761
C_Kota Cirebon
-0.03095 C_Kuningan 0.12090
C_Kota Bekasi
0.31610 C_Cirebon 0.00722
C_Kota Depok
0.39913 C_Majalengka 0.12740
C_Kota Cimahi
0.05075 C_Sumedang 0.02192
C_Kota Tasikmalaya
-0.04930 C_Indramayu 0.02068
C_Kota Banjar
-0.03334 C_Subang 0.09356
R-squared 0.965952
ProbF-statistic 0.000183
Peubah lamatingkat pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan rumah tangga, tingkat permintaan kredit, dan konsumsi untuk barang dan jasa
berpengaruh positif terhadap konsumsi rumah tangga untuk barang tahan lama.
Tingginya lamatingkat pendidikan kepala rumah tangga akan meningkatkan konsumsi rumah tangga untuk barang tahan lama. Semakin besar pendapatan
rumah tangga akan meningkatkan konsumsi barang tahan lama. Begitupula dengan semakin besar tingkat permintaan kredit suatu rumah tangga yang
merupakan modal rumah tangga maka akan memperbesar pengeluarankonsumsi untuk barang tahan lama. Dan besarnya pengeluarankonsumsi untuk barang dan
jasa akan meningkatkan pengeluaran konsumsi barang tahan lama. Hal ini menunjukkan bahwa antara peubah pengeluaran barang tahan lama dan
pengeluaran barang dan jasa adalah bersifat komplementer. Sedangkan peubah tabungan rumah tangga dan konsumsi untuk pangan berpengaruh negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin besar tabungan rumah tangga akan menurunkan konsumsi untuk barang tahan lama. Dan semakin besar konsumsi untuk pangan
akan menurunkan konsumsi untuk barang dan jasa. Sebaran kotakabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai rata-rata
konsumsi untuk barang tahan lama terbesar dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten
Bogor, dan Kabupaten Bandung. Kebutuhan akan barang-barang tahan lama merupakan kebutuhan barang tersier, dimana rata-rata rumah tangga dengan
produktivitas dan pendapatan yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan tersebut, begitu juga sebaliknya. Dari penjelasan sebelumnya dapat diketahui bahwa rata-
rata rumah tangga di wilayah tersebut memiliki rata-rata pendapatan dan sumberdaya modal kredit yang relatif tinggi, sehingga dalam pemenuhan
kebutuhan akan barang tahan lamapun tinggi. Sebaran kotakabupaten dengan rata-rata konsumsipengeluaran untuk
barang tahan lama terkecil adalah Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya, dan
Kota Banjar. Rendahnya pendapatan yang diperoleh oleh rata-rata rumah tangga pada wilayah kabupaten di atas menyebabkan pengeluaran akan barang tahan
lama rendah. Pendapatan yang mereka peroleh lebih banyak dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan primer seperti kebutuhan rumah tangga untuk pangan dan
barang jasa lainnya. Sedangkan pada Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar memiliki rata-rata pendapatan rumah tangga yang
cukup tinggi tetapi kebutuhan akan barang tahan lama rendah, hal ini disebabkan karena pembentukan modal untuk kebutuhan barang tahan lama relatif kecil
dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder. Tabel 22 Jumlah tanggungan keluarga pengguna kredit konsumtif dan kredit
produktif di Provinsi Jawa Barat
Jumlah Keluarga Kredit konsumtif
Kredit produktif 1 - 3
16,7 0,0
4 - 6 76,7
86,7 6
6,7 13,3
Jumlah 100 100
Sumber : data primer, olahan 2007
Pemenuhan kebutuhan konsumsipengeluaran rumah tangga baik pangan maupun non pangan berkaitan dengan jumlah tanggungan keluarga. Rumah
tangga pengguna kredit konsumtif dan produktif memiliki rata-rata jumlah tanggungan keluarga terbesar pada empat sampai enam orang Tabel 22. Semakin
besar jumlah tanggungan keluarga maka akan semakin besar konsumsipengeluaran rumah tangga. Konsumsipengeluaran rumah tangga juga
bergantung pada pendapatan rumah tangga. Seperti terdahulu telah dipaparkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga pengguna kredit produktif lebih kecil
daripada kredit konsumtif. Jika dibandingkan antara jumlah keluarganya dengan pendapatan rumah tangga yang diperoleh oleh rumah tangga pengguna kredit
produktif maka dapat dikatakan rata-rata rumah tangga tersebut tergolong rendah kesejahteraannya dibandingkan rumah tangga pengguna kredit konsumtif.
Tabel 23 Tingkat pengeluarankonsumsi rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat
Kredit konsumtif Kredit produktif
Pengeluaran rupiah bulan
Pangan Non Pangan
Pangan Non Pangan
≤ 1.000.000
33,3 20,0 86,7 83,3 1.000.001 – 2.000.000
46,7 53,3
13,3 16,7
2.000.001 – 4.000.000 20,0
26,7 0,0
0,0 4.000.000
0,0 0,0 0,0 0,0 Jumlah
100 100 100 100
Sumber : data primer, olahan 2007
Konsumsipengeluaran rumah tangga baik pangan maupun non pangan pengguna kredit konsumtif lebih besar dibandingkan rumah tangga pengguna
kredit produktif. Rumah tangga pengguna kredit konsumtif memiliki jumlah
pengeluaran untuk non pangan lebih besar daripada pangannya, dan sebaliknya untuk rumah tangga pengguna kredit produktif Tabel 23. Cerminan
kesejahteraan rumah tangga dapat dilihat dari konsumsipengeluaran rumah
tangganya. Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk menduga
pendapatan masyarakat adalah tingkat pengeluaran rumah tangga. Hermanto dan Andriati 1985 menyatakan bahwa: 1 Perbedaan pengeluaran antara kota dan
pedesaan lebih besar perbedaan pengeluaran antar wilayah, 2 Secara umum ketimpangan pengeluaran di kota lebih besar dari ketimpangan di desa, 3 Rumah
tangga pedesaan mengeluarkan 39,4 sampai 44,2 persen dari pendapatannya untuk makanan pokok, sedangkan rumah tangga perkotaan hanya berkisar antara 22,8
sampai 33,9 persen.
6.2.1.4 Tabungan Rumah Tangga
Tabungan rumah tangga merupakan selisih antara pendapatan rumah tangga dengan pengeluaran-pengeluaran rumah tangga dalam waktu tertentu.
Tabungan diduga dipengaruhi oleh pendidikan, pendapatan, tabungan, kredit, konsumsi pangan, konsumsi barang dan jasa. Dari hasil estimasi Tabel 24 dapat
dilihat bahwa pada tingkat signifikasi berapapun dipercaya bahwa secara umum keenam peubah akan mempengaruhi total tabungan rumah tangga. Hal ini
dibuktikan dengan nilai probalititas dari F-statistik yang benilai 0,0000. Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar 0,9908
yang berarti bahwa model dapat menjelaskan keragaman dari tabungan rumah tangga sebesar 99,08 persen.
Peubah lama pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan rumah tangga, dan kredit rumah tangga berpengaruh positif terhadap tabungan rumah tangga.
Sedangkan peubah konsumsi pangan, konsumsi non pangan berpengaruh negatif terhadap tabungan rumah tangga. Tingginya lama pendidikan kepala rumah
tangga akan meningkatkan tabungan rumah tangga, hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya manusia berpengaruh besar terhadap sumberdaya modal rumah
tangga. Pendapatan rumah tangga yang besar juga akan meningkatkan tabungan rumah tangga, hal ini adalah logis dalam model.
Pengeluarankonsumsi untuk pangan berpengaruh negatif terhadap tabungan rumah tangga, hal ini menunjukkan bahwa semakin besar pengeluaran
untuk konsumsi pangan maka akan mengurangi tabungan rumah tangga. Begitupula dengan semakin besarnya pengeluaran untuk non pangan juga akan
mengurangi besarnya tabungan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan harapan. Sedangkan apabila kredit ditingkatkan, maka kemungkinan untuk tabungan adalah
besar, sehingga pengambilan kredit oleh rumah tangga sebagian besar adalah dapat digunakan sebagian untuk menabung.
Tabel 24 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi tabungan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat
Peubah Koefisien Std. Eror
t-Statistic Prob.
Konstanta 18.0472 17.7481
3.290 0.0037
Pendidikan 1.6785 7.3091
15.001 0.0000
Pendapatan 12.6550 2.4203
10.191 0.0000
Knsms Pangan -11.8877
4.1991 -14.037
0.0000 Knsms NonPangan
-3.4440 1.8088
-12.628 0.0000
Kredit 0.0012 0.5242
6.926 0.0000
Fixed Effects Cross C_Bogor 0.07469
C_Purwakarta -0.03000
C_Sukabumi 0.46084 C_Karawang
0.13795 C_Cianjur -0.07603
C_Bekasi 0.22893
C_Bandung 0.09988 C_Kota
Bogor -0.27642
C_Garut -0.01168 C_Kota
Sukabumi 0.24552
C_Tasikmalaya -0.36005 C_Kota
Bandung 0.06494
C_Ciamis 0.31912 C_Kota
Cirebon -0.25643
C_Kuningan 0.05062 C_Kota
Bekasi 0.19703
C_Cirebon 0.00875 C_Kota
Depok 0.21607
C_Majalengka 0.09860 C_Kota
Cimahi 0.22112
C_Sumedang 0.33437 C_Kota
Tasikmalaya -0.14851
C_Indramayu 0.25473 C_Kota
Banjar -0.43555
C_Subang -0.39019 R-squared
0.990781 ProbF-statistic
0.00000
Sebaran kotakabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai rata-rata tabungan rumah tangga terbesar dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya
adalah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kota Sukabumi, dan Kota Cimahi. Tingginya tabungan
pada wilayah tersebut di atas dapat dikatakan bahwa didasari oleh besarnya kesadaran rumah tangga dalam menabung walaupun telah dijelaskan di atas
bahwa kotakabupaten tersebut tergolong dengan rumah tangga yang pendapatan dan pengeluaran rumah tangganya rendah. Sedangkan pada wilayah Kota
Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bandung,
dengan pendapatan yang tinggi ternyata memiliki rata-rata tabungan rumah tangga yang tidak terlalu tinggi, hal ini didasari oleh besarnya konsumsipengeluaran
rumah tangganya sehingga menurunkan tingkat tabungan. Sedangkan sebaran kotakabupaten dengan rata-rata tabungan rumah
tangga di bawah rata-rata adalah Kota Banjar, Kabupaten Subang, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Bogor, Kota Cirebon, dan Kota Tasikmalaya. Kotakabupaten
tersebut memiliki rata-rata rumah tangga dengan pendapatan yang juga rendah sehingga berdampak pada rendahnya tabungan oleh rumah tangga.
Tabel 25 Tingkat tabungan rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat
Tabungan rupiah bulan Kredit konsumtif
Kredit produktif ≤ 1.000.000
50,0 83,4
1.000.001 – 2.000.000 40,0
16,6 2.000.001 – 4.000.000
10,0 0,0
4.000.000 0,0
0,0 Jumlah 100
100
Sumber : data primer, olahan 2007
Berdasarkan tingkat tabungan rumah tangga antara pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif dapat dilihat bahwa pada rumah tangga pengguna
kredit konsumtif memiliki jumlah tabungan lebih besar daripada rumah tangga pengguna kredit produktif Tabel 25. Hal ini terjadi karena pada rumah tangga
pengguna kredit konsumtif memiliki tingkat pendapatan yang relatif besar.
6.3 Dampak Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga terhadap Tingkat Kesejahteraan dan Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
Tingkat dan pola konsumsi masyarakat pada suatu wilayah dalam waktu tertentu merupakan cerminan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah
tersebut. Sedangkan kredit merupakan salah satu input sekaligus insentif bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas baik produktif maupun pemenuhan
kebutuhan konsumsi rumah tangga. Banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan tingkat dan pola konsumsi serta serapan kredit setiap wilayahnya, seperti yang
telah dijabarkan pada bahasan sebelumnya Bab 6.1. IPM yang mendasarkan kepada indeks pendidikan IP, indeks kesehatan IK, serta indeks daya beli
IDB menjadi instrumen untuk melihat kesejahteraan masyarakat dan berkesinambungan berpengaruh terhadap pembangunan wilayah.
Sebaran pola hubungan antara salah satu input yaitu:kredit bagi masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan baik produktif maupun konsumsi rumah tangganya
dengan IPM sebagai cerminan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada Gambar 18. Kecenderungan sebaran rata-rata rumah tangga pada kota
di Jawa Barat dengan nilai IPM menunjukkan bahwa rata-rata wilayah kota dengan nilai IPM tinggi memiliki nilai kredit rumah tangga yang juga tinggi.
Kredit merupakan salah satu input pendapatan rumah tangga atau modal rumah tangga yang dimanfaatkan untuk kegiatan produktif maupun konsumtif. Secara
tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga, dimana juga dapat meningkatkan konsumsipengeluaran rumah tangga dalam hal ini adalah
peningkatan daya beli serta pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan yang diukur dengan IPM. Dengan nilai kredit yang besar maka tinggi pula
kesejahteraan rumah tangga masyarakat tersebut. Untuk wilayah kota di Jawa Barat, rata-rata rumah tangga dengan nilai kredit rumah tangga dan IPM yang
tinggi adalah Kota Depok, Kota Bandung, dan Kota Bekasi. Namun Kota Cirebon diantara kota-kota di Jawa Barat memiliki nilai yang paling rendah, hal ini karena
masih rendahnya penyaluran kredit oleh pihak-pihak lembaga keuangan bagi rumah tangga yang ditunjukkan dengan nilai negatif pada estimasi kredit rumah
tangga diatas Tabel 12, serta masih rendahnya daya beli rumah tangga dan pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan yang juga memiliki nilai estimasi
negatif Tabel 19. Sedangkan Kota Sukabumi memiliki rata-rata nilai kredit rumah tangga
yang cukup tinggi tetapi pada estimasi kredit juga memiliki nilai yang negatif sama dengan Kota Cirebon. Nilai IPM Kota Sukabumi juga rendah, hal ini terjadi
karena masih rendahnya pengeluaran-pengeluaran rumah tangga akibat rendahnya modal atau pendapatan rumah tangga yang diperoleh. Rendahnya penyaluran
kredit dari pihak lembaga keuangan kepada masyarakat adalah belum sembuhnya akibat terperangkap pada krisis berkepanjangan yang melemahkan perekonomian
secara makro.
IPM
74 73
72 71
70 69
R a
ta -R
at a K
redi t R
T T
ahun R p
3000000
2000000
1000000
Gambar 18 Sebaran kredit rumah tangga dengan indeks pembangunan manusia IPM di Provinsi Jawa Barat, tahun 2002.
Setelah krisis berkepanjangan, lembaga keuangan mulai kembali ke fungsinya sebagai lembaga intermediasi namun demikian masih memberikan
kredit dalam jumlah yang belum terlalu besar, dan agak rumit dalam persyaratan serta persetujuan kredit. Dengan adanya ketentuan-ketentuan yang terlalu rumit
maka hanya sebagian masyarakat khususnya hanya masyarakat menengah ke atas yang dapat memanfaatkan jasa lembaga keuangan. Sehingga perlu adanya upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui berbagai langkah, yaitu penciptaan iklim investasi yang kondusif dan penyerapan tenaga kerja yang
signifikan. Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah pengangguran terbesar di Indonesia mencapai 10,2 persen. Suyatno, et al. 1999, salah satu
fungsi kredit adalah dapat meningkatkan pemerataan pendapatan, bantuan kredit dapat memperluas usaha pengusaha dan dapat mendirikan proyek-proyek baru,
sehingga dapat terserapnya tenaga kerja yang akhirnya terjadi pemerataan pendapatan. Dengan penyaluran kredit yang lebih mudah dapat memunculkan
kegiatan produktif dan dapat menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran yang semakin besar.
Kuncoro 2006, menyatakan bahwa untuk mengidentifikasi kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan poverty line, yaitu suatu tolok ukur
Kota Depok Kota Bandung
Kota Bekasi
Kota Bogor Kota Cirebon
Kota Sukabumi
Sumber: data BPS, olahan 2007
yang menunjukkan ketidakmampuan penduduk melampui ukuran garis kemiskinan atau suatu ukuran yang didasarkan pada kebutuhan atau pengeluaran
konsumsi minimum, misalnya konsumsi pangan dan konsumsi nonpangan misalnya kebutuhan perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi,
barang-barang lain dan jasa. Semakin tinggi kesejahteraan seseorang semakin besar persentase pendapatan income yang digunakan untuk konsumsi jasa, selain
daripada itu persentase atau rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan, yang bertolok berdasarkan semakin rendah persentase pengeluaran
untuk makanan terhadap total pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahterannya Rustiadi, et al. 2006.
IPM
70 68
66 64
62 60
R a
ta -R
a ta
K re
d it R
T R
p T
h n
5000000
4000000
3000000
2000000
1000000
Gambar 19 menunjukkan scatter sebaran rata-rata nilai kredit rumah tangga dengan nilai IPM pada wilayah kabupaten di Jawa Barat. Rata-rata pada
wilayah kabupaten di Jawa Barat memiliki nilai IPM yang rendah, yaitu dibawah 70 dan nilai rata-rata kredit yang rendah pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa
Kab. Kuningan
Kab. Sumedang
Kab. Tasimalaya Kab. Bekasi
Kab. Indramayu
Kab. Bandung Kab. Purwakarta
Kab. Bogor Kab. Ciamis
Kab. Majalengka Kab. Cianjur
Kab. Sukabumi Kab. Subang
Kab. Garut Kab. Cirebon
Sumber: data BPS, olahan 2007
Gambar 19 Sebaran kredit rumah tangga dengan indeks pembangunan manusia IPM di Provinsi Jawa Barat, tahun 2002.
wilayah kabupaten di Jawa Barat masih banyaknya masyarakat dengan kesejahteraan yang rendah atau dibawah rata-rata. Kabupaten Bandung memiliki
nilai IPM yang relatif tinggi dibandingkan kabupaten-kabupaten lain, hal ini didukung oleh wilayah Kabupaten Bandung yang berdekatan dengan Kota
Bandung yang relatif tinggi kesejahteraan masyarakatnya. Untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dapat dibantu dengan meningkatkan
nilai kredit rumah tangga, karena jika dilihat dari scatter nilai kredit yang dimiliki masih rendah.
Sedangkan Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Sumedang memiliki rata- rata nilai kredit yang cukup tinggi. Sektor usaha terbesar di Kabupaten Kuningan
adalah sektor pertanian, dimana pada kabupaten ini memiliki lembaga keuangan yang berperan sangat besar dalam kemajuan sektor tersebut, yaitu dengan
pemberian kredit produktif untuk sektor pertanian, namun demikian tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih rendah. Rendahnya kesejahteraan masyarakat
sangat berkaitan erat dengan pendapatan yang rendah khususnya di sektor pertanian. Sedangkan di Kabupaten Sumedang, sektor usaha terbesar adalah
pertanian dan industri pengolahan. Tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Sumedang lebih tinggi daripada Kabupaten Kuningan, hal ini
didukung dengan cukup besarnya pendapatan masyarakat dari sektor industri pengolahan selain sektor pertaniannya.
Pada Gambar 20 menunjukkan bahwa ada pola keterkaitan yang searah antara nilai IPM dan tingkat pengeluarankonsumsi rumah tangga. Pada wilayah
kota memiliki nilai IPM tinggi dengan rata-rata tingkat pengeluarankonsumsi rumah tangga yang juga tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat pada
kota-kota di Jawa Barat memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Tingginya konsumsi rumah tangga di perkotaan diimbangi oleh kepadatan penduduk di kota
yang memang lebih tinggi daripada di kabupaten. Pada wilayah Kota Depok, Kota Bekasi dan Kota Bogor didukung pula oleh wilayah yang stategis dimana
merupakan daerah hinterland dari Jakarta, yang sebagian besar adalah masyarakat commuter
. Sedangkan Kota Cirebon memiliki rata-rata tingkat konsumsi yang paling rendah.
IPM
74 73
72 71
70 69
R a
ta -R
a ta K
ons um
si K
api ta
T ahun
R p
360000 340000
320000 300000
280000 260000
240000 220000
Sedangkan pada wilayah kabupaten-kabupaten di Jawa Barat memiliki masyarakat dengan rata-rata tingkat kesejahteraan yang rendah. Hal ini dapat
terlihat dari wilayah kabupaten bergerombol pada nilai IPM dan pengeluaran yang cukup rendah Gambar 21. Kabupaten yang memiliki rata-rata rumah tangga
yang cukup sejahtera adalah Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan
adalah rendahnya daya beli masyarakat karena kombinasi rendahnya pendapatan dan tingginya nilai bahan-bahan pokok, besarnya insiden pengangguran akibat
kontraksi sektor formal serta tekanan kondisi pasar tenaga kerja Irawan dan Suparmoko 2002.
Kota Bandung
Kota Depok
Kota Bekasi
Kota Bogor Kota Sukabumi
Kota Cirebon Bulan Rp
Sumber: data BPS, olahan 2007
Gambar 20 Sebaran konsumsipengeluaran per kapita sebulan dengan indeks pembangunan manusia IPM di Provinsi Jawa Barat, tahun 2002.
IPM
70 68
66 64
62 60
R a
ta -R
a ta K
ons um
si K
api ta
T hn
R p
260000 240000
220000 200000
180000 160000
140000
Keterangan :
1 = Kab Bogor
9 = Kab Cirebon
2 = Kab Sukabumi
10 = Kab Majalengka
3 = Kab Cianjur
11 = Kab Sumedang
4 = Kab Bandung
12 = Kab Indramayu
5 = Kab Garut
13 = Kab Subang
6 = Kab Tasikmalaya
14 = Kab Purwakarta
7 = Kab Ciamis
15 = Kab Karawang
8 = Kab Kuningan
16 = Kab Bekasi
Keterkaitan antara IPM, kredit dan pengeluaran per kapita per bulan dapat dilihat pada Tabel 26. Dimana pada kabupaten-kabupaten di Jawa Barat tidak
adanya hubungan yang signifikan baik antara Indeks Pembangunan Manusia, kredit dan pengeluaran per kapita sebulan. Hal ini menunjukkan bahwa pada
wilayah kabupaten memiliki nilai Indeks Pembangunan Manusia, kredit dan pengeluaran per kapita sebulan yang masih rendah. Sehingga perlunya
pembenahan di kabupaten baik dengan meningkatkan IPM yang mendasarkan kepada indeks pendidikan IP, indeks kesehatan IK, serta indeks daya beli
IDB, merangsang pengeluarankonsumsi rumah tangga serta perlunya pihak
12
6 16
11
15 14
9 5
2 3
13 10
1 8
7 4
Bulan Rp
Sumber: data BPS, olahan 2007
Gambar 21 Sebaran konsumsipengeluaran per kapita sebulan dengan indeks pembangunan manusia IPM di Provinsi Jawa Barat, tahun 2002
.
lembaga keuangan dalam menyalurkan kreditpinjaman sehingga dapat merangsang produktivitas rumah tangga.
Tabel 26 Korelasi antara IPM, kredit dan pengeluaran per kapita sebulan dirinci menurut kabupaten di Provinsi Jawa Barat, tahun 2002
Variabel IPM
Kredit Pengeluarankapitabln
Pearson Correlation 1
0.14 0.45
Sig. 2-tailed 0.60
0.08 IPM
N 16
16 16
Pearson Correlation 0.14
1 0.12
Sig. 2-tailed 0.60
0.66 Kredit
N 16
16 16
Pearson Correlation 0.45
0.12 1
Sig. 2-tailed 0.08
0.66 Pengeluarankptbln
N 16
16 16
Sumber: Hasil analisis
Sedangkan pada keterkaitan antara IPM, kredit dan pengeluaran per kapita per bulan pada wilayah kota di Jawa Barat terjadi korelasi positif yaitu antara IPM
dengan kredit rumah tangga Gambar 27. Hal ini sangat berkaitan dengan daya beli masyarakat yang semakin meningkat pada wilayah perkotaan. Dimana
semakin tinggi kredit yang diperoleh rumah tangga maka pemenuhan kebutuhan akan pengeluaran baik untuk pendidikan, konsumsi rumah tangga serta kesehatan
akan terpenuhi. Tetapi antara kredit dengan pengeluarankapitabulan ataupun IPM dengan pengeluarankapitabulan tidak ada hubungan yang signifikan.
Tabel 27 Korelasi antara IPM, kredit dan pengeluaran per kapita sebulan dirinci menurut kota di Provinsi Jawa Barat, tahun 2002
Variabel IPM
Kredit Pengeluarankapitabln
Pearson Correlation 1
0.84 0.54
Sig. 2-tailed 0.04
0.27 IPM
N 6
6 6
Pearson Correlation 0.54
1 0.06
Sig. 2-tailed 0.27
0.80 Kredit
N 6
6 6
Pearson Correlation 0.84
0.06 1
Sig. 2-tailed 0.04
0.80 Pengeluarankptbln
N 6
6 6
Keterangan: = Nilai korelasi berbeda nyata pada level 0,05
Sumber: Hasil analisis
Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia IPM yang merupakan cerminan kesejahteraan masyarakat dapat terlaksana dengan peningkatan
pendapatan rumah tangga yang perhitungannya didekati oleh pengeluaran per
kapita sebulan yaitu dengan penambahan input lain seperti kredit kepada rumah tangga sehingga diperlukan korelasi yang positif diantara ketiganya. Seperti
dijelaskan dalam lingkaran perangkap kemiskinan yang diformulasikan oleh Clifford Geertz sebagai Agriculture Involution yang sebelumnya diungkapkan
oleh Nurkse 1953 diacu dalam Rustiadi, et al. 2006 sebagai “The Vicious Circles
”, menyatakan ada tiga penyebab kemiskinan, yaitu adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal yang
menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan
berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan atau rendahnya kesejahteraan rumah tangga
Lihat Gambar 1.
Sumber: data BPS, olahan 2007
Gambar 22 Sebaran rata-rata konsumsipendapatan per kapita setahun dengan PDRB per kapita di Provinsi Jawa Barat, tahun 2005.
Sehingga untuk dapat meningkatkan modal rumah tangga untuk kegiatan produktif dan konsumtifnya perlu bantuan lembaga keuangan. Karena selam ini
masih adanya credit crunch, yang didefinisikan sebagai suatu situasi dimana terjadi penurunan supply kredit lembaga keuangan secara tajam sebagai akibat
dari menurunnya kemauan bank dalam menyalurkan kredit kepada dunia usaha
PDRBKapita
30000000 20000000
10000000
K o
nsum si
K apit
a T
hn
7000000 6000000
5000000 4000000
3000000 2000000
Kota Cirebon
Kab.Bekasi Kota Bandung
Kota Bekasi Kota Depok
sehingga fungsi intermediasi lembaga keuangan akan terganggu. Lembaga keuangan yang seharusnya menjadi perantara antara sektor moneter dengan
sektor riil menjadi tidak mampu lagi menggerakkan perkembangan dunia usaha melalui kredit yang mereka salurkan. Dengan terhambatnya penyaluran kredit
oleh lembaga keuangan pada dunia usaha, maka dunia usaha akan mengalami kelesuan serta investasi dan aktivitas ekonomi lainnya akan mengalami stagnasi
Siregar 2006. Tujuan pembangunan nasional adalah harus dapat dimanfaatkan bagi
peningkatan kesejahteraan rakyat dan hasilnya dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat. Dan tujuan pembangunan tersebut erat kaitannya dengan upaya
mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Salah satu indikator dari tolak ukur pembangunan wilayah dapat dilihat dari nilai Pendapatan Domestik
Regional Bruto per kapita PDRBkapita, serta kesejahteraan masyarakat berkaitan erat dengan konsumsipengeluaran per kapita setahun. Dimana
konsumsipengeluaran per kapita setahun merupakan bagian dari PDRB per kapita.
Pada Gambar 22 dapat dilihat scatter antara pengeluarankonsumsi per kapita rumah tangga dengan PDRB per kapita di Provinsi Jawa Barat dalam
kotakabupaten cenderung masih banyak memiliki kotakabupaten yang rendah pembangunan ekonominya. Pembangunan ekonomi yang rendah ditunjukkan oleh
sebaran kotakabupaten yang meng-cluster pada nilai pengeluarankonsumsi per kapita rumah tangga dan PDRB per kapitanya rendah. Diagram scatter diatas
berkorelasi positif, dimana kecenderungan kotakabupaten yang memiliki nilai rata-rata pengeluarankonsumsi per kapita rumah tangganya rendah maka PDRB
per kapitanyapun rendah, dan begitupula sebaliknya. Kotakabupaten
yang memiliki
rata-rata rumah tangga dengan pengeluarankonsumsi per kapita rumah tangga dan PDRB per kapita tinggi
adalah Kabupaten Bekasi dan Kota Cirebon. Sedangkan untuk Kota Bandung, Kota Bekasi dan Kota Depok yang memiliki rata-rata pengeluarankonsumsi per
kapita rumah tangganya tinggi ternyata tidak mempengaruhi nilai PDRB per kapitanya yaitu cukup rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kota-kota
besar lebih banyak pengeluarankonsumsi khususnya konsumsi non pangan yang
mendominasi pengeluaran rumah tangga seperti telah dijelaskan pada Gambar 12 beralih ke luar kota luar Provinsi Jawa Barat sepeti DKI Jakarta sehingga
mengurangi nilai tambah pendapatan wilayah Jawa Barat yang diukur lewat PDRB per kapita dan secara otomatis pembangunan ekonomi di Jawa Barat
kurang berkembang. Adanya konsumsipengeluaran rumah tangga khususnya kota-kota besar tersebut yang mengalir keluar mengakibatkan sebagian dari nilai
tambah yang dihasilkan pada akhirnya bocor mengalir keluar yang disebut dengan capital outflow
. Selain daripada itu, konsumsipengeluaran rumah tangga di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan diakibatkan oleh jumlah penduduk di
perkotaan yang lebih banyak. Pembangunan ekonomi di Jawa Barat yang kurang berkembang
disebabkan pula oleh distribusi pendapatan rumah tangga yang tidak merata atau terjadi kesenjangan ekonomi antara kotakabupaten. Hal ini terbukti dari angka
indeks williamson yaitu indeks yang digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah dengan pengukuran didasarkan pada variasi hasil-hasil pembangunan
ekonomi antar wilayah berupa besaran PDRB, sebesar 0,7 dan artinya niali indeks tersebut menunjukkan cukup besar tingkat perbedaan ekonomi dari
kotakabupaten di Provinsi Jawa Barat. Namun jika dibandingkan dengan rata-rata indeks tingkat disparitas antar provinsi di Indonesia, Jawa Barat masih memiliki
nilai di bawah rata-rata indeks Indonesia yang sebesar 1,56. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas antar kotakabupaten
di Jawa Barat yaitu salah satunya adalah faktor sosial ekonomi. Faktor sosial seperti tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat yang rendah, selanjutnya
akan menyebabkan tingkat produksi rendah dan pendapatannyapun rendah sehingga berakibat pada tingkat kesejahteraan yang juga rendah seperti telah
dijelaskan dalam bab 6.2 sebelumnya. Rustiadi, et al. 2006, menyatakan pula bahwa disparitas antar wilayah di Pulau Jawa khususnya Jawa Barat terutama
karena aktivitas ekonomi di kawasan pusat-pusat perekonomian yang menyebabkan aliran bahan baku dan tenaga kerja dari wilayah pendukungnya ke
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Salah satu penyebab hal tersebut diatas adalah lemahnya keterkaitan antara
pusat pertumbuhan dengan daerah belakang atau antara satu wilayah dengan
wilayah lainnya. Oleh karena itu perlu diciptakan keterkaitan yang kuat antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya ketimpangan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Keterkaitan antar sektoral dapat dipahami lebih dalam dari hasil Analisis Input Output
Analisis IO di bawah ini. Struktur Nilai Tambah Bruto
Input primer disebut juga Nilai Tambah Bruto NTB adalah balas jasa atas pemakaian faktor-faktor produksi yang terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal
dan kewiraswastaan. Adapun komponen NTB perekonomian Provinsi Jawa Barat meliputi penerimaan upah dan gaji, penerimaan surplus usaha, penyusutan nilai
barang dan modal, pajak tak langsung netto dan subsidi. Tabel 28 Komponen struktur nilai tambah Provinsi Jawa Barat tahun 1999 dan
Indonesia tahun 2005 milyar rupiah
Jawa Barat 1999 Indonesia 2005
No Komponen Nilai Persentase Nilai Persentase
1 Upah dan gaji
44377,73 27,79
367065 29,87
2 Surplus usaha
96811,17 60,62
702966 56,21
3 Penyusutan 12686,22
7,94 111142
8,21 4
Pajak tidak langsung 5823,92
3,65 101741
6,37 5 Subsidi
-9734 -0,66
Total 159699,04
100 1273180
100
Sumber: Hasil analisis 2007
Berdasarkan Tabel 28 didapatkan bahwa komponen input primer tertinggi Provinsi Jawa Barat dan Indonesia oleh surplus usaha diikuti tingkat kedua, ketiga
dan keempat adalah komponen upahgaji, penyusutan, pajak tak langsung. Komponen surplus usaha serta upah gaji merupakan komponen dengan persentase
tertinggi dibandingkan dengan komponen lainnya. Komponen upah dan gaji merupakan satu-satunya komponen nilai tambah yang langsung diterima dibawa
pulang oleh pekerja. Sedangkan, komponen surplus usaha merupakan nilai tambah yang diterima oleh pengusaha. Surplus usaha belum tentu hasilnya
langsung dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tetapi sebagian besar ada yang tersimpan di perusahaan dalam bentuk laba ditahan.
Komponen upah dan gaji pada NTB di Provinsi Jawa Barat hampir mendekati nilai komponen upah gaji nasional. Hal ini menunjukkan bahwa
besarnya peluang masyarakat yang tinggal di Jawa Barat untuk dapat
meningkatkan taraf hidupnya dan bahkan dapat menarik orang untuk bermigrasi ke Jawa Barat. Tetapi nilai komponen upah dan gaji yang relatif besar di Jawa
Barat tidak mengurangi disparitas pendapatan masyarakat rumah tangga. Disparitas tersebut terjadi akibat dari sebaran yang tidak merata pada
kotakabupaten di Jawa Barat terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat dengan menitikberatkan hanya pada perkembangan wilayah perkotaan dan tidak
di perdesaan. Nilai komponen surplus usaha Jawa Barat lebih besar daripada nasional. Walaupun surplus usaha Jawa Barat tinggi, ternyata masih terjadi
ketimpangan dalam penyaluran investasi di dunia usaha khususnya usaha kecil dan menengah rumah tangga, sehingga diharapkan adanya pemerataan investasi di
dunia usaha dan dapat meningkatkan produktivitas rumah tangga, lalu akan berdampak pada peningkatan pendapatan rumah tangga tersebut.
Tabel 29 Struktur nilai tambah berdasarkan sektoral peringkat lima sektor terbesar di Provinsi Jawa Barat tahun 1999 milyar rupiah
No Sektor Nilai
Persentase 1 Perdagangan
24883,53 15,58
2 Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki
16181,27 10,13
3 Pertambangan minyak, gas dan panas bumi
13922,13 8,72
4 Padi 10947,87
6,86 5
Industri pupuk, kimia dan barang dari karet dan mineral nonlogam 9842,29
6,16
Sumber: Hasil analisis 2007
Berdasarkan sektoral, NTB Provinsi Jawa Barat dan nasional tidak berbeda jauh. Di Jawa Barat sektor pertama yang menyumbangkan NTB adalah
adalah perdagangan, sedangkan nasional adalah industri. Namun demikian, peringkat lima besar sektor terbesar antara Jawa Barat dan nasional sama. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor-sektor yang berkembang di Jawa Barat yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat adalah sektor perdagangan dan industri.
Provinsi Jawa Barat sendiri merupakan salah satu provinsi yang menyumbangkan nilai tambah terbesar dalam sektor industri dan perdagangan nasional Tabel 30.
Tetapi seperti yang diketahui bahwa sektor industri dan perdagangan di Jawa Barat tidak tersebar merata pada kotakabupatennya. Sektor-sektor tersebut
hanya terpusat pada wilayah-wilayah tertentu, seperti kota-kota dan kabupaten yang berdekatan dengan kota yang berkembang daripada wilayah kabupaten yang
lainnya. Hal ini dapat terjadi akibat dari: 1 Corak perpindahan penduduk dari
yang masih terbelakang ke wilayah maju, 2 Arus investasi yang tidak seimbang, 3 Pola dan aktivitas perdagangan yang didominasi oleh industri-industri di
wilayah yang lebih maju, 4 Jaringan pengangkutan yang lebih baik di wilayah yang lebih maju Rustiadi, et al. 2006. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak
seimbangnya sebaran pertumbuhan ekonomi pada kotakabupaten di Jawa Barat. Tabel 30 Struktur nilai tambah berdasarkan sektoral peringkat lima sektor
terbesar di Indonesia tahun 2005 milyar rupiah
No Sektor Nilai
Persentase 1 Industri
309579 24,32
2 Perdagangan 198786
15,62 3 Pertambangan
dan Penggalian
151402 11,89
4 Tanaman Bahan Makanan
128617 10,10
5 Pemerintah dan
Hankam 77833
6,11
Sumber: Hasil analisis 2007
Struktur Permintaan Akhir
Permintaan akhir merupakan penghela perekonomian karena setiap permintaan akhir akan timbul baik secara keseluruhan maupun masing-masing
komponennya akan mempengaruhi output, pendapatan, tenaga kerja dan nilai tambah. Permintaan akhir dapat memicu produsen menghasilkan output dan dapat
merangsang perekonomian khususnya produksi barang dan jasa. Berdasarkan Tabel 31 dapat dilihat bahwa komponen permintaan akhir
terbesar di Jawa Barat yaitu konsumsi rumah tangga 46,97, begitupula komponen permintaan akhir nasional terbesar berada pada komponen konsumsi
rumah tangga 54,78. Permintaan akhir oleh rumah tangga yang sangat besar menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi wilayah Jawa Barat sangat
dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga dan bahkan menjadi prioritas. Tabel 31 Komponen struktur permintaan akhir Provinsi Jawa Barat tahun 1999
dan Indonesia tahun 2005 milyar rupiah
Jawa Barat 1999 Indonesia 2005
No Komponen Nilai Persentase Nilai Persentase
1 Konsumsi Rumah Tangga
111571,8 46,97
2135725 54,78 2 Konsumsi
Pemerintah 10843,9
4,56 240615 6,17
3 Pembentukan Modal
35428,9 14,91
560925 14,39 4 Perubahan
Stock -3187,9
-1,34 27946 0,72
5 Ekspor 82900,8
34,89 933413 23,94
Total 237557,9 100
38986240 100
Sumber: Hasil analisis 2007
Secara sektoral bahwa permintaan akhir penyumbang terbesar adalah sektor industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 12,49, sektor industri
makanan minuman dan tembakau 11,96, sektor industri alat angkutan, mesin dan peralataanya 9,45, sektor pertambangan minyak, gas dan panas bumi
6,83 dan sektor perdagangan 5,94 dari total permintaan akhir Tabel 32. Tingginya permintaan akhir oleh industri di Jawa Barat mendorong investasi
masuk, sehingga perlunya peningkatan investasi dalam bidang industri dan perdagangan yang merata khususnya UKM pada rumah tangga untuk dapat
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang seimbang antara wilayah yang maju dan wilayah terbelakang. Tidak meratanya pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat
menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah. Ketimpangan ini menghasilkan struktur hubungan atau keterkaitan antar wilayah yang membentuk
suatu interaksi yang saling memperlemah. Tabel 32 Struktur permintaan akhir berdasarkan sektoral peringkat lima sektor
terbesar di Provinsi Jawa Barat tahun 1999 milyar rupiah
No Sektor Nilai
Persentase 1
Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 29664,3
12,49 2
Industri makanan minuman dan tembakau 28417,8
11,96 3
Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya 22448,2
9,45 4
Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 16228,8
6,83 5 Perdagangan
14101,5 5,94
Sumber: Hasil analisis 2007
Struktur Konsumsi Rumah Tangga Struktur konsumsi rumah tangga terhadap barang dan jasa penduduk Jawa
Barat berasal dari sektor yang didominasi oleh sektor industri makanan, minuman dan tembakau 25,38 Tabel 33. Sumbangan konsumsi rumah tangga terbesar
dalam sektor industri makanan, minuman dan tembakau sesuai dengan share dari lapangan usaha pada PDRB terbesar di Jawa Barat yaitu industri pengolahan
khususnya industri pengolahan bukan migas sebesar 41,74 persen dari total PDRB Jawa Barat, tahun 2005 Lihat Tabel 5. Seperti telah dijelaskan pada pembahsan
terdahulu bahwa sebaran pembangunan ekonomi di Jawa Barat antar kotakabupaten tidak merata. Rustiadi, et al. 2006 menyatakan bahwa terdapat
beberapa upaya untuk membangun keterkaitan dan mengatasi masalah disparitas antar wilayah: 1 Mendorong pemerataan investasi, investasi harus terjadi pada
semua sektor dan semua wilayah secara simultan sehingga infrastruktur wilayah bisa berkembang 2 Mendorong pemerataan permintaan, setiap industri dan
wilayah harus dikembangkan secara simultan sehingga bisa menciptakan demand untuk masing-masing produk, 3 mendorong pemerataan tabungan, tabungan
sangat diperlukan untuk bisa memacu investasi. Tabel 33 Struktur konsumsi rumah tangga berdasarkan sektoral peringkat lima
sektor terbesar di Provinsi Jawa Barat tahun 1999 milyar rupiah
No Sektor Nilai
Persentase 1
Industri makanan minuman dan tembakau 28320,4
25,38 2 Hotel
dan Restoran
11053,9 9,91
3 Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki
9521,6 8,53
4 Perdagangan 8452,2
7,58 5 Jasa-jasa
lainnya 8160,6
7,31
Sumber: Hasil analisis 2007
Pertumbuhan ekonomi regional Jawa Barat dapat berkembang dengan meningkatkan komponen konsumsi rumah tangga. Terdapat strategi
pengembangan wilayah yaitu strategi “demand side” yaitu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari
masyarakat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan wilayah tersebut dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup
diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan
industri dan jasa-jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut. Analisis Multiplier
Analisis multiplier bertujuan untuk melihat dampak perubahan atau peningkatan permintaan akhir di suatu sektor ekonomi terhadap semua sektor
yang ada tiap satu satuan perubahan jenis multiplier. Multiplier kali ini hanya membahas tentang multiplier pendapatan.
Multiplier Pendapatan Multiplier pendapatan menghitung jumlah kenaikan upah dan gaji atau
pendapatan rumah tangga diseluruh perekonomian jika permintaan akhir disuatu sektor meningkat satu-satuan. Hasil analisis multiplier pendapatan dideskripsikan
pada Tabel 34.
Sub sektor yang memiliki nilai multiplier pendapatan tipe I terbesar adalah industri barang-barang dari plastik sebesar 4,57, artinya jika ada peningkatan
permintaan akhir di sektor industri barang-barang dari plastik sebesar 1 rupiah maka akan meningkatkan pendapatan di semua sektor sebesar 4,57 rupiah. Sektor
kedua dan seterusnya adalah industri karet dan barang-barang dari karet 4,49, industri mesin peralatan dan perlengkapannya 3,36, industri kertas, barang dari
kertas, dan sejenisnya 3,28, serta industri tekstil 3,13. Berdasarkan Tabel 35 nilai multiplier pendapatan tipe II adalah industri barang-barang dari plastik
sebesar 6.25 menunjukkan bahwa pendapatan akan meningkat sebesar 6,25 rupiah jika sektor rumah tangga dimasukkan dalam model. Sektor kedua dan seterusnya
adalah industri karet dan barang-barang dari karet 6,14, industri mesin peralatan dan perlengkapannya 4,60, industri kertas, barang dari kertas, dan sejenisnya
4,49, industri tekstil 4,28. Tabel 34 Multiplier pendapatan tipe I sektor-sektor perekonomian Provinsi Jawa
Barat tahun 1999
Peringkat Sektor Tipe I
1 Industri barang-barang dari plastik
4,57 2
Industri karet dan barang-barang dari karet 4,49
3 Industri mesin peralatan dan perlengkapannya
3,36 4
Industri kertas, barang dari kertas, dan sejenisnya 3,28
5 Industri tekstil
3,13 6
Real estat dan usaha persewaan bangunan 3,09
7 Industri semen
2,96 8
Minyak dan gas bumi 2,93
9 Jasa angkutan
udara 2,83
10 Industri pengolahan
lainnya 2,79
Sumber: Hasil analisis 2007
Berdasarkan Tabel 34 dan 35, sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat adalah sektor
industri. Sehingga perlu didorong peningkatan investasi atau penambahan input kredit terhadap sektor industri.
Dorongan investasi terhadap sektor industri akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga dan berdampak pada pola pengeluaran rumah tangga.
Investasi tersebut dapat secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan semakin tingginya tingkat produksi
yang akan mengurangi tingkat pengangguran dan mendorong konsumsi sehingga masyarakat lebih maju.
Tabel 35 Multiplier pendapatan tipe II sektor-sektor perekonomian Provinsi Jawa Barat tahun 1999
Peringkat Sektor Tipe II
1 Industri barang-barang dari plastik
6,25 2
Industri karet dan barang-barang dari karet 6,14
3 Industri mesin peralatan dan perlengkapannya
4,60 4
Industri kertas, barang dari kertas, dan sejenisnya 4,49
5 Industri tekstil
4,28 6
Real estat dan usaha persewaan bangunan 4,22
7 Industri semen
4,06 8
Minyak dan gas bumi 4,00
9 Jasa angkutan
udara 3,87
10 Industri pengolahan
lainnya 3,81
Sumber: Hasil analisis 2007
Dorongan investasi terhadap sektor industri akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga dan berdampak pada pola pengeluaran rumah tangga.
Investasi tersebut dapat secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan semakin tingginya tingkat produksi
yang akan mengurangi tingkat pengangguran dan mendorong konsumsi sehingga masyarakat lebih maju.
Besarnya pengaruh pengeluarankonsumsi rumah tangga terhadap PDRB Jawa barat dapat dilihat juga pada Tabel 6 Bab V. Pengeluarankonsumsi rumah
tangga sebesar 64,53 persen dari total PDRB, dengan konsumsi makanan sebesar 36,96 persen dan konsumsi bukan makanan sebesar 27,56 persen dari total PDRB
Jawa Barat. Sehingga pembangunan ekonomi Jawa Barat akan dapat meningkat dengan semakin besarnya konsumsi rumah tangga.
Keterkaitan antara
konsumsipengeluaran per kapita rumah tangga dengan PDRB per kapita tidak terlepas pula dari pendapatan yang diterima oleh rumah
tangga itu sendiri. Kredit sebagai salah satu input dalam pendapatan rumah tangga dapat mempengaruhi tingkat konsumsipengeluaran rumah tangga dan secara
tidak langsung juga akan mempengaruhi PDRB per kapita wilayah Provinsi Jawa Barat.
Sumber: data BPS, olahan 2007
Gambar 23 Sebaran rata-rata kredit rumah tangga dengan PDRB per kapita di Provinsi Jawa Barat, tahun 2005.
Gambar 23
menggambarkan scatter
antara kredit dan PDRB per kapita. Hubungan antara kredit dengan PDRB per kapita tidak linear artinya rata-rata nilai
kredit yang diambil rumah tangga tiap kotakabupaten besar tidak berarti nilai PDRB per kapita yang dihasilkan juga besar. Namun sebagian lagi, rata-rata nilai
kredit kotakabupaten kecil maka PDRB per kapita cenderung juga kecil. Sehingga dapat dikatakan bahwa secara rata-rata masyarakat Jawa Barat belum
memanfaatkan secara maksimal dan optimal adanya lembaga keuangan khususnya dalam meminjam dan investasi serta masih rendahnya pengetahuan masyarakat
akan manfaat kredit itu sendiri karena sebagian besar masyarakat Jawa Barat berada di perdesaan, dimana masyarakat perdesaan masih memegang tradisi yang
kuat serta terlalu banyaknya prosedur yang diajukan oleh lembaga keuangan yang sangat menyulitkan masyarakt perdesaan.
Wilayah di Jawa Barat yang dengan nilai kredit dan PDRB per kapita yang cukup besar terdapat pada Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Indramayu.
Kabupaten Indramayu dapat berkembang karena besarnya share PDRB dari sektor pertambangan, industri migas dan pertanian yang pelaku ekonominya sebagian
besar adalah pengusaha dan mudah dalam mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan. Sedangkan Kabupaten Bekasi share PDRB terbesar adalah sektor
PDRBKapita
30000000 20000000
10000000
Kr e
d it
R p
1000000 800000
600000 400000
200000 Kab. Bekasi
Kota Cirebon Kab. Indramayu
Kota Banjar Kab Cirebon
Kota Bogor Kab. Kuningan
Kab. Ciamis
industri pengolahan non migas. Wilayah dengan rata-rata nilai kredit yang besar tetapi memiliki PDRB yang kecil adalah Kabupaten Kuningan dan Kabupaten
Ciamis, dimana kedua kabupaten tersebut memiliki share terbesar dari PDRB adalah sektor pertanian yang sangat sulit untuk berkembang dan maju karena
upahgaji petani yang sangat kecil dan kesejahteraan masyarakatnya rendah. Apabila kedua Kabupaten tersebut ingin dapat meningkatkan PDRB, maka secara
tidak langsung harus dapat meningkatkan kesejahteraan petaninya yaitu salah satunya dengan adanya penambahan modal seperti pemberian rangsangan
investasi kredit produktif dan pengetahuan yang cukup khususnya dalam kegiatan produktif, sehingga produktivitasnya meningkat dan diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan riilnya. Sedangkan wilayah yang memiliki nilai rata- rata kredit dan PDRB per kapitanya rendah adalah Kota Banjar, Kota Bogor, dan
Kabupaten Cianjur. Ketiga wilayah tersebut memiliki share terbesar PDRB adalah dari sektor perdagangan.
Untuk mendorong akselerasi pemulihan ekonomi Jawa Barat pada level intensitas yang tinggi dapat dianggap LDR ini masih menyimpan potensi yang
besar. Sebab dilihat dari sisi penggunaannya, sebagian besar kredit yang disalurkan oleh bank-bank umum di Jawa Barat digunakan untuk kegiatan
konsumsi. Pada triwulan I-2005 kredit konsumsi yang disalurkan mencapai 20,74 triliun rupiah atau sebesar 49,55 persen dari total kredit yang disalurkan
dengan pertumbuhan kredit secara triwulanan sebesar 5,71 persen dan 31,60 persen secara tahunan. Sedangkan kredit yang disalurkan untuk kegiatan produktif
berupa kredit investasi dan modal kerja pada triwulan I-2005 sebesar 21,12 triliun rupiah 50,45 atau tumbuh sebesar 0,44 persen. Dengan demikian ditinjau dari
aspek pertumbuhan, maka pertumbuhan kredit produktif lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan kredit konsumsi. Hal ini menunjukkan dukungan sektor
lembaga keuangan terhadap perkembangan investasi dan kegiatan ekonomi lainnya di Jawa Barat perlu dipacu dengan maksimal sehingga dapat berpengaruh
positif terhadap intensitas program akselerasi pemulihan ekonomi Jawa Barat. Selain daripada itu pemulihan perekonomian Jawa Barat dengan nilai
kredit investasi dan modal kerja dapat ditingkatkan dengan memfokuskan pada pembiayaan bagi sektor-sektor produktif yang berprospek seperti industri
pengolahan manufaktur. Potensi industri manufaktur di Jawa Barat cukup besar terutama untuk industri tekstil dan produk tekstil TPT, industri kenderaan
bermotor, barang-barang elektronika, mesin-mesin, industri alas kaki, industri makanan olahan, industri kulit dan besi, kerajinan keramik, produk agroindustri,
pupuk, industri peralatan informasi dan komunikasi, dan industri barang-barang rumah tangga. Semua produk-produk yang berasal dari sektor industri tanpa migas
tersebut telah menyumbang 95 persen dari pangsa sektor industri pengolahan di Jawa Barat. Sedangkan sektor industri pengolahan yang merupakan leading sector
sebesar 9,30 triliun rupiah hingga 11,4 triliun rupiah serta sektor perdagangan, restoran dan hotel sebesar 7,76 triliun rupiah, diharapkan dapat meningkatkan
pertumbuhan perekonomian Jawa Barat. Rendahnya nilai kredit yang disalurkan pada sektor tersebut tidak sebanding dengan potensi sektor industri pengolahan di
Jawa Barat. Posisi kredit yang disalurkan ke sektor pertanian pada triwulan I-2005 hanya sebesar 1,14 triliun rupiah. Kondisi ini sangatlah kontras dengan wilayah
pertanian dan perkebunan Jawa Barat yang sangat luas serta dijadikannya subsektor agrobisnis sebagai bisnis inti core business dalam program
pembangunan ekonomi Jawa Barat. Dari hasil estimasi pada Tabel 36 antara pembangunan perekonomian
Jawa Barat PDRB dengan sosial ekonomi rumah tangga menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Jawa Barat dipengaruhi oleh jumlah bank di tiap wilayah
kotakabupaten, kredit rumah tangga dan tabungan rumah tangga. Dimana semakin banyak jumlah bank maka akan dapat meningkatkan pendapatan wilayah
dengan besarnya investasi-investasi yang dilakukan oleh lembaga keuangan. Begitupula dengan tabungan rumah tangga, semakin besar minat rumah tangga
dalam menginvestasikan uangnya ke lembaga keuangan maka akan besar pula dalam menggerakkan perekonomian Jawa Barat. Peningkatan permintaan dan
penyaluran kredit oleh lembaga keuangan akan mendorong produktivitas masyarakat dan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi rumah tangga sehingga
dapat meningkatkan perkembangan ekonomi Jawa Barat.
Tabel 36 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi produk domestik regional bruto PDRB di Provinsi Jawa Barat
Variabel Bebas Koefisien
Std.Error t-statistik
Prob. constanta 16,45
1.5242 2,382
0.1037 pertumbuhan penduduk
0,002 0.4203
0,130 0.3402
kredit 0,148
4.1991 4,893
0.0001 pengeluaran
2,747 1.8088
1,244 0.2300
Jumlah bank 1,135
8.7481 4,592
0.0002 pendapatan
-3,530 1.2011
-1,413 0.0000 tabungan
0,462 5.3091
3,979 0.0013
R-squared 0.85 ProbF-statistic 0.00001
6.4 Implikasi Kebijakan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga terhadap