2.6 Kajian Pola Konsumsi
Konsumsi agregat merupakan salah satu komponen penentu tingkat kegiatan ekonomi dari pengeluaran agregat yang mendorong kenaikan pendapatan
nasionaldaerah. Tingkat konsumsi masyarakat terutama ditentukan oleh tingkat pendapatan rumah tangga, dan besarnya permintaan konsumsi tersebut tergantung
pada kecenderungan untuk mengkonsumsi atau Marginal Propensity to Consume MPC yang dirumuskan menjadi
∆C∆Y dimana C = konsumsi, Y = pendapatan agregat. Jurang antara pendapatan dan konsumsi dijembatani oleh investasi
dimana tingkat investasi yang dibutuhkan relatif sedikit atau menurun, maka tingkat permintaan agregat akan menurun Mankiw 2003. Hal tersebut
disebabkan turunnya investasi mengakibatkan kesempatan kerja berkurang sehingga penduduk kehilangan sebagian pendapatannya, yang pada akhirnya akan
menurunkan jumlah konsumsi barang didalam perekonomian. Jadi dapat disimpulkan bahwa konsumsi dan pendapatan mempunyai hubungan yang positif.
Disamping pendapatan, faktor lain yang menentukan jumlah konsumsi adalah: 1 Jumlah kekayaan, 2 Tingkat suku bunga, 3 Kondisi perekonomian, dan
4 Distribusi pendapatan. Menurut Tarigan 2002, untuk dapat menghitung pendapatan regional,
salah satu metode yang di pakai adalah metode langsung dengan pendekatan pengeluaran, dimana pendekatan ini menjumlahkan nilai penggunaan akhir dari
barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Dari segi penggunaan maka total penyediaanproduksi barang dan jasa itu digunakan untuk: 1 Konsumsi rumah
tangga, 2 Konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung, 3 Konsumsi pemerintah, 4 Pembentukan modal tetap bruto investasi, 5 Perubahan stok, dan
6 Eksport.
S alah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk menduga pendapatan
masyarakat adalah tingkat pengeluaran rumah tangga. Dari analisis data Susenas dapat disimpulkan bahwa: 1 Perbedaan pengeluaran antara kota dan pedesaan
lebih besar perbedaan pengeluaran antar wilayah, 2 Secara umum ketimpangan pengeluaran di kota lebih besar dari ketimpangan di desa, 3 Rumah tangga
pedesaan mengeluarkan 39,4 sampai 44,2 persen dari pendapatannya untuk
makanan pokok, sedangkan rumah tangga perkotaan hanya berkisar antara 22,8 sampai 33,9 persen Hermanto dan Andriati 1985.
Gambar 6 Perubahan permintaan barang konsumsi.
Keterangan Gambar : S
1
: kurva penawaran mula-mula S
2
: kurva penawaran bergeser ke kanan D
1
: kurva permintaan mula-mula D
2
: kurva permintaan bergeser ke kanan W
1
: kebijaksanaan yang menggeser kurva permintaan ke kanan W
2
: kebijaksanaan yang menggeser kurva penawaran ke kanan
Banyak ragam kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan konsumsi masyarakat. Dari berbagai alternatif kebijaksanaan
tersebut dapat dibedakan kedalam tiga kategori kebijaksanaan. Yang pertama adalah kelompok kebijaksanaan yang dapat menggeser kurva penawaran ke
kanan. Kedua adalah kelompok kebijaksanaan yang menggeser kurva permintaan ke kanan. Dan ketiga, kelompok kebijaksanaan yang memberikan subsidi harga,
baik kepada konsumen maupun kepada produsen. Secara grafis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 6 Hermanto dan Andriati 1985.
Peningkatan pengeluaran untuk konsumsi bahan makanan menunjukkan indikasi adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Walaupun demikian ada
suatu indikator yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan masyarakat semakin kecil proporsi pengeluaran yang dipergunakan untuk
P
1
P
2
P D
1
D
2
S
1
S
2
Q Q
1
Q
2
Jumlah barang konsumen
Harga barang
konsumsi W
1
W
2
Sumber: Hermanto dan Andriati 1985
pembelian bahan makanan pokok yaitu beras, tetapi proporsi pengeluaran yang gunakan untuk pembelian bahan makanan sumber protein semakin meningkat.
Konsumsi bahan bakar mempunyai kedudukan penting setelah konsumsi bahan makanan. Kebutuhan bahan bakar bensin dari pengeluaran bahan bakar
memberikan indikator tingginya mobilitas penduduk. Makin besar konsumsi bensin yang dipakai untuk menjalankan kendaran bermotor perorangan, semakin
banyak pula jarak yang ditempuh per satuan waktu. Semakin jauh jarak yang dapat ditempuh per satuan waktu, berarti makin tinggi mobilitas pengendara.
Begitu juga pola konsumsi untuk melengkapi kesejahteraannya, seperti kebutuhan akan pakaian, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasitransportasi dan
estetika, dikenal dengan kelompok kebutuhan untuk non pangan dan energi. Hal- hal di atas mengindikasikan adanya pemenuhan kesejahteraan masyarakat
Kuntjoro 1984. 2.7 Penelitian Terdahulu Mengenai Perkreditan
Pursito 2003, dalam kajian efektivitas dan faktor-faktor penyaluran kredit dalam pembiayaan industri kecil menengah pangan oleh Bank Rakyat
Indonesia di Semarang, menyatakan bahwa pemberian kredit perbankan di Jawa Tengah mengalami peningkatan walaupun kecil 0,7. Hal ini menunjukan
bahwa dalam berbagai sektor usaha perekonomian yang ada masih membutuhkan suntikan dana, walaupun di sisi lain banyak juga yang masih enggan untuk
mengambil kredit, karena suku bunga yang masih dianggap terlalu tinggi 19- 27. Penyaluran kredit secara sektoral, perbankan Jawa Tengah pada triwulan I-
2002 masih cenderung menyalurkan kredit pada sektor ekonomi tertentu, yaitu sektor perindustrian dan sektor perdagangan serta jasa restoran dan hotel, yang
masing-masing mencapai pangsa sebesar 38,9 persen dan 24,5 persen dari total kredit perbankan. Kondisi tersebut tidak terlepas dari posisi Jawa Tengah sebagai
salah satu kawasan industri utama di Indonesia dan memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah. Jika dilihat dari penggolongan kredit
menurut jenis penggunaannya adalah investasi sebesar 62,9 persen, modal sebesar 16 persen dan konsumsi sebesar 21,1 persen.
Sudarma 1991, dalam analisis permintaan kredit usahatani padi sawah di Provinsi Bali, menyatakan bahwa besarnya pendapatan petani ditentukan oleh
besarnya penerimaan dan biaya yang diinvestasikan untuk kegiatan usahatani. Dari model analisis diturunkan fungsi permintaan kredit dari fungsi keuntungan.
Besarnya elastisitas permintaan kredit oleh petani ditentukan oleh harga produksi dan besarnya nilai masukan tetap, hal ini apabila petani tidak memaksimumkan
keuntungan. Jika petani memaksimumkan keuntungan maka besarnya elastisitas permintaan kredit oleh petani ditentukan oleh faktor harga produksi dan besarnya
keuntungan yang diraih pada musim tanam sebelumnya. Kalangi 1993 dalam peranan perkreditan dalam pembangunan pertanian
di Provinsi Sulawesi Utara, menyatakan bahwa situasi dan kondisi dengan adanya Pakto 27 Paket 27 Oktober 1988 mendorong perbankan untuk lebih
meningkatkan efisiensi dan efektivitas usahanya agar tetap hidup dan berkembang, sehingga dikeluarkan peraturan tentang Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat, diharapkan sektor-sektor ataupun pelaku-pelaku ekonomi yang belum tersentuh oleh perbankan merasakan keuntungan-keuntungan dari
kredit perbankan. Pada bulan April 1993, posisi kredit pada Bank Perkreditan Rakyat sebesar 5,835 juta rupiah, dimana kredit untuk modal kerja 3,301 juta
rupiah, kredit konsumsi 2,132 juta rupiah dan yang paling kecil kredit investasi 402 juta rupiah. Sehingga sektor 36,5 persen yang disalurkan oleh Bank
Perkreditan Rakyat di Sulawesi Utara adalah kredit konsumsi. Sedangkan pada waktu yang sama kredit konsumsi yang disalurkan oleh seluruh bank di Sulawesi
Utara sebesar 96,253 juta rupiah atau 12,7 persen dari kredit yang disalurkan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kredit yang disalurkan oleh Bank Perkreditan
Rakyat digunakan oleh masyarakat menengah ke bawah karena besarnya kredit untuk konsumsi berarti masyarakat ini menggunakan kredit yang diperoleh untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya dahulu. Suciani 1996, dalam peranan lembaga perkreditan terhadap peningkatan
usaha masyarakat pedesaan di Kabupaten Tabanan Bali, menyatakan bahwa pendapatan nasabah sebelum dan setelah menerima kredit pada Bank Perkreditan
Rakyat menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata, walaupun pendapatan nasabah Bank Perkreditan Rakyat mengalami peningkatan secara absolut. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar kredit yang diterima nasabah menggunakan kredit untuk kredit konsumtif dan hanya sebagian kecil nasabah menggunakan
untuk hal produktif. Sehingga rata-rata peningkatan pendapatan secara absolut kelihatan meningkat tetapi secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata,
dimana jenis penggunaan modal kerja berperan besar terhadap kredit perbankan di Bali yaitu 59,7 persen, kredit investasi sebesar 28,6 persen dan kredit konsumsi
sebesar 11,7 persen. Sariwulan 2000, dalam perkreditan perdesaan dan dampaknya terhadap
kesejahteraan masyarakat kecil, menyatakan bahwa salah satu indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan suatu program kredit adalah perubahan
pendapatan, karena pada dasarnya program kredit selain berorientasi pada peningkatan produktivitas atau optimalisasi penggunaan sumberdaya yang lain,
juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga, perbaikan ekonomi masyarakat di pedesaan, meningkatkan taraf hidup rumah tangga,
meningkatkan pendidikan anak-anak, dan kesejahteraan lainnya. Rachmina 1994, dalam analisis permintaan kredit pada industri kecil
kasus Jawa Barat dan Jawa Timur, menyatakan dalam mengantisipasi permasalahan dana, terutama di pedesaan, pemerintah Indonesia telah banyak
mengembangkan program dan kebijaksanaan tentang perkreditan. Kebijaksanaan tersebut tidak hanya ditujukan untuk petani, melainkan juga pedagang, industri
rumah dan kecil, dan usaha kecil lainnya. Sartiyah 2001, dalam dampak implementasi desentralisasi fiskal terhadap
pembangunan ekonomi daerah di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Utara: Suatu analisis simulasi, menyatakan turunnya investasi mengakibatkan kesempatan kerja
berkurang sehingga penduduk kehilangan sebagian pendapatannya, yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah konsumsi barang di dalam peerkonomian.
Demikian sebaliknya konsumsi akan meningkat pada tingkat investasi yang tinggi, karena kesempatan kerja akan meningkat dan menambah pendapatan
masyarakat. Sehingga dapat dikatakan konsumsi dan pendapatan mempunyai hubungan yang positif.
Surbakti 2004, dalam sistem pengorganisasian kredit mikro dan dampaknya terhadap kinerjanya, menyatakan pemberdayaan masyarakat
dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan sosial budaya, dan pemberdayaan pendidikan. Pemberdayaan ekonomi dengan upaya untuk
menumbuhkan mata pencaharian orangkeluarga miskin, sehingga mereka mampu memperoleh penghasilan tetap dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup diri
dan keluarganya secara layak yang dilaksanakan melalui pemberian kredit mikro kepada kelompok-kelompok usaha yang dibentuk.
Karina 2005, dalam faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran kredit bank umum terhadap usaha kecil di indonesia, menyatakan peran bank umum
dalam memberdayakan usaha kecil adalah dengan mendorong perbankan untuk membiayai usaha mikro, kecil, dan menengah, yaitu dengan meningkatkan
kerjasama antara usaha kecil dan perbankan. Pada kenyataannya program- program tersebut belum direalisasi secara sempurna karena perbankan masih
berhati-hati dalam penyaluran kredit kepada sektor riil. Hal ini dikarenakan perbankan dituntut untuk meningkatkan sistem manajemen berbasis risiko,
dimana dari sisi aset kredit belum memberikan jaminan bagi perbankan, serta perbankan masih berupaya mengoptimalkan pendapatannya dari sisi aset
nonkreditnya.
III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Pemikiran