2. Dampak Dumping di Negara Eksportir
77
Dalam pola diskriminasi harga internasional, pasar yang kurang elastis atau mempunyai peraturan bisnis yang sangat kaku, pada umumnya cenderung
memberlakukan harga tinggi untuk konsumen dalam negeri. Di sisi lain, dengan memperluas kesempatan pasar ekspor, diskriminasi harga yang berupa dumping
ini dapat menguntungkan konsumen dalam negeri dengan memungkinkan adanya biaya produksi yang rendah, investasi yang lebih besar untuk produk-produk baru
dan juga peningkatan kapasitas produksi yang dapat menambahkan kesejahteraan dari konsumen barang dumping.
Sebagai konsekuensi terhadap praktik dumping yang dilakukan oleh eksportir, maka akan terjadi pembatasan penjualan dalam negeri, sehingga akan
membatasi untuk investasi pada penelitian dan pengembangan serta peningkatan sumber daya manusia. Disamping itu akan terjadi kecenderungan tertutupnya
pasar negara pengekspor terhadap produk yang sejenis dari negara lain, terutama jika terjadi subsidi silang atas barang dumping tersebut. Hal ini dapat merugikan
negara eksportir.
F. Pengaruh Ketentuan Antidumping terhadap Perlindungan Industri
dalam Negeri
Lahirnya WTO menjanjikan harapan yang besar untuk dapat meletakkan kegiatan perdagangan internasional dalam suatu koridor hukum yang mengusung
prinsip-prinsip perdagangan yang adil. Prinsip umum perdagangan bebas adalah
77
Ibid., hlm. 50-51.
menyingkirkan hambatan-hambatan teknis perdagangan dengan mengurangi atau menghilangkan tindakan-tindakan yang merusak perdagangan yaitu melalui upaya
pengurangan tarif untuk menciptakan perdagangan yang baik. Perundingan perdagangan multilateral bertujuan untuk menghapuskan atau sekurang-
kurangnya mengurangi hambatan tarif dan nontarif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas perdagangan internasional, baik yang meliputi nilai
maupun volume barang yang diperdagangkan dimana jika arus perdagangan internasional lancar, secara otomatis, baik volume maupun nilai perdagangan akan
meningkat secara simultan.
78
Dengan meningkatnya volume dan nilai perdagangan dalam tataran perdagangan yang fair, maka berimplikasi terhadap meningkatnya pertumbuhan
industri sehingga semakin memperluas lapangan pekerjaan dan hal ini akan mampu mendorong meningkatnya perekonomian negara sehingga negara mampu
memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun, di sisi lain hal ini dapat melahirkan masalah baru di mana dengan dibukanya pintu perdagangan yang
bebas dengan kebijakan pengurangan atau penghapusan tarif dan nontarif, maka ada anggapan bahwa pasar dalam negeri akan semakin terbuka lebar terhadap
barang-barang impor sehingga angka impor akan semakin besar dan menjadi tidak terkendali serta memungkinkan bagi importir untuk melakukan tindakan dumping
yang pada akhirnya akan memukul dan menghancurkan produk-produk dalam negeri akibat tidak mampu bersaing dengan produk impor barang sejenis. Di sini
terjadi persaingan dagang yang tidak sehat dan akan bermuara pada kehancuran
78
Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 30.
ekonomi suatu negara yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar GATTWTO.
79
Demi melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, maka GATTWTO mengeluarkan suatu instrumen kebijaksanaan perdagangan yang
dikenal dengan istilah antidumping. Kebijaksanaan antidumping merupakan ketentuan-ketentuan yang menyoroti praktik dumping dan penjatuhan sanksi
hukuman terhadap pelaku praktik dumping melalui upaya penetapan Bea Masuk Anti Dumping BMAD. Dalam WTO, keberadaan ketentuan antidumping diatur
dalam Agreement on Implementation of Article VI of the GATT 1994 yang dikenal dengan sebutan Antidumping Code 1994 yang dihasilkan oleh Uruguay Round.
Tindakan antidumping diberlakukan terhadap tindakan menjual suatu barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar
dalam negeri harga normal di mana selanjutnya pemerintah negara pengimpor dapat mengenakan bea masuk antidumping untuk menutupi kerugian sebagai
dampak dari dumping tersebut.
80
Namun, tindakan antidumping ini juga dapat disalahgunakan sebagai trik-trik perdagangan untuk melindungi industri di dalam
negeri di suatu negara atau bahkan mematikan industri di suatu negara. Jika hal itu menjadi kenyataan, maka akan terjadi gejala proteksionisme.
81
79
Ibid., hlm. 31.
Dengan demikian, produsen atau industri di dalam negeri cenderung meminta proteksi atau
mengajukan petisi antidumping kepada pemerintah untuk menahan produk impor.
80
Ibid., hlm. 32.
81
Dalam hal ini, proteksionisme merupakan suatu paham perlindungan untuk melindungi produsen dalam negeri dari persaingan asing dengan melarang impor atau memberlakukan tarif
bea masuk yang tinggi.
Untuk mencegah terjadinya hal-hal tersebut maka WTO, dalam Antidumping Code 1994, mengatur tentang cara dan mekanisme untuk melakukan
investigasi dan jangka waktu pengenaan antidumping yang bertujuan untuk mengatur agar negara-negara pengguna instrumen ini tidak melakukan praktik
penyalahgunaan terhadap instrumen ini untuk melakukan proteksi yang berlebihan dan tidak perlu yang dapat menimbulkan ketidakpastian dalam perdagangan
internasional. Selain itu juga mengatur suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang disebut Dispute Settlement Body DSB, di mana negara-negara anggota
WTO dapat mengajukan keberatan melalui DSB jika merasa dirugikan oleh penggunaan instrumen antidumping secara tidak proporsional oleh negara anggota
lainnya.
53
BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM HUKUM NASIONAL
INDONESIA
A. Dasar Hukum Ketentuan Antidumping di Indonesia