Penerapan Hukum Antidumping Di Indonesia Atas Tuduhan Praktik Dumping Tepung Terigu Impor Asal Turki Oleh Aptindo (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia)

(1)

PENERAPAN HUKUM ANTIDUMPING DI INDONESIA ATAS

TUDUHAN PRAKTIK DUMPING TEPUNG TERIGU IMPOR

ASAL TURKI OLEH APTINDO (ASOSIASI PRODUSEN

TEPUNG TERIGU INDONESIA)

SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai

persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

JUNI RUSMINARTY

NIM: 080200174

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENERAPAN HUKUM ANTIDUMPING DI INDONESIA ATAS TUDUHAN PRAKTIK DUMPING TEPUNG TERIGU IMPOR ASAL TURKI OLEH APTINDO (ASOSIASI PRODUSEN TEPUNG TERIGU

INDONESIA) SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai

persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

JUNI RUSMINARTY

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

NIM: 080200174

Disetujui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Windha, S.H., M.Hum. NIP: 197501122005012002

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr.Bismar Nasution,S.H.,M.H. Dr.Mahmul Siregar,S.H.,M.Hum.

NIP: 195603291986011001 NIP: 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Begitu pula shalawat beriring salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, semoga mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak.

Skripsi ini diberikan judul “PENERAPAN HUKUM ANTI DUMPING DI INDONESIA ATAS TUDUHAN PRAKTIK DUMPING TEPUNG TERIGU IMPOR ASAL TURKI OLEH APTINDO (ASOSIASI PRODUSEN TEPUNG TERIGU INDONESIA)” sebagai salah satu unsur penting dalam melengkapi tugas akhir dan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Sejak dalam penyusunan skripsi ini sampai skripsi ini selesai, penulis banyak menerima bantuan baik dalam bentuk moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua Orang Tua yang sangat penulis cintai, Ayahanda Minar, S.H. dan Ibunda Rusiana, yang telah memberikan kasih sayang serta pengorbanan dengan ikhlas dan tanpa pamrih sepanjang hidup penulis, yang selalu menjadi sumber inspirasi dan panutan bagi penulis serta tak henti-hentinya memberikan doa, semangat serta nasehat kepada penulis.


(4)

2. Adik-adikku tercinta, Prayogi Wibowo, Lintang Johar, Sabda Alam dan Rembulan Ratu Adillah, yang telah memberikan keceriaan, semangat dan doanya kepada penulis selama ini.

3. Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH., DMF selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak M. Husni, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Windha, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan masukan serta bimbingannya kepada penulis.

8. Bapak Ramli Siregar, SH., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingannya kepada penulis.

9. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H. selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak membimbing dan memberikan pengetahuan kepada penulis sejak masa perkuliahan hingga sekarang ini.

10.Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan hingga sekarang ini.


(5)

11.Ibu Aflah, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan arahan dan masukan selama perkuliahan.

12.Semua Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya kepada penulis dalam proses pembelajaran selama masa perkuliahan.

13.Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu seluruh mahasiswa/i termasuk penulis mulai dari awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Hukum tercinta ini.

14.Sahabat-sahabatku tercinta (anak-anak Law 4 Life), Putri Ulfa, SH., Christy Ananda, Amalia Khairiza, SH., Efni Sri Andriyani, Asihot MT. Manalu, Fauzan Irgi Hasibuan, Arief Fahriadi, Aras Firdaus, dan Irman Mendrofa yang selama 4 tahun ini telah banyak membantu penulis dalam segala hal dan memberikan semangat serta doanya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih karena sudah mau melalui suka duka bersama-sama.

15.Romina Purnama, SH. yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis dan buat teman-teman stambuk 2008, Adharry Kurniawan, SH., Putri Rizkita, SH., Theresia Deliana, SH., Fiki Muttaqin, Nicky Catherine, SH., Husnul Hamdi, SH., James Antro Yosua, Minstyn Tambunan, Eva Sitindaon, Putrinita E. R., Devi Lubis, SH., Tamara Kristauli, SH., Diah Ayu Oktriningsih, SH., Willa


(6)

Putri Perdana P., SH., Ainul Mardiah, Albert Sentosa dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu penulis ucapkan banyak terima kasih atas semuanya.

16.Seluruh keluarga besar BTM Aladinsyah, SH. FH USU, Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FH USU dan Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi FH USU .

17.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengaharapkan segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikannya di kemudian hari. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Amin.

Medan, Juli 2012 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT – WTO A. Sejarah Terbentuknya GATT – WTO ... 20

B. Sejarah Perkembangan Ketentuan Antidumping ... 26

C. Pengertian dan Pengaturan Dumping serta Antidumping dalam Kerangka GATT–WTO ... 30

D. Jenis–Jenis Dumping dalam Praktik Perdagangan Internasional ... 43


(8)

E. Dampak Praktik Dumping terhadap Negara Importir

dan Eksportir ... 47 F. Pengaruh Ketentuan Antidumping terhadap Perlindungan

Industri dalam Negeri ... 49

BAB III KETENTUAN ANTIDUMPING DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA

A. Dasar Hukum Ketentuan Antidumping di Indonesia ... 53 B. Lembaga-Lembaga Pelaksanaan Peraturan Antidumping

Indonesia ... 57 C. Prosedur Permohonan dan Tahapan Proses Penyelidikan

Antidumping ... 62 D. Indikator yang Digunakan dalam Analisis Praktik Dumping .... 71 E. Pengenaan Bea Masuk Antidumping Sebagai Tindakan

Antidumping ... 77

BAB IV PENERAPAN HUKUM ANTIDUMPING DI INDONESIA DALAM PERKARA TUDUHAN PRAKTIK DUMPING TEPUNG TERIGU IMPOR ASAL TURKI OLEH APTINDO (ASOSIASI PRODUSEN TEPUNG TERIGU INDONESIA) A. Kronologis Kasus Tuduhan Praktik Dumping Tepung Terigu

Impor asal Turki oleh APTINDO ... 81 B. Penerapan Hukum Antidumping di Indonesia terhadap


(9)

1. Prosedur Permohonan Penyelidikan Kasus Tepung

Terigu menurut Hukum Antidumping Indonesia ... 87 2. Penyelidikan oleh KADI ... 91 3. Rekomendasi Penerapan BMAD oleh KADI dan

Menteri Perdagangan ... 101 4. Tindakan Menteri Keuangan atas Rekomendasi

Menteri Perdagangan ... 103 C. Dampak Apabila Kebijakan BMAD Terigu Turki Diterapkan

atau Tidak Diterapkan ... 110 D. Fungsi dan Peranan Pemerintah dalam Kebijakan

Antidumping ... 112

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 115 B. Saran ... 117


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Negara Asal Impor dan Persentase Volume Impor Tepung

Terigu Tahun 2001 – 2010 ... 96 Tabel 4.2 Perbandingan Dampak Volume Terigu Impor Turki dan


(11)

ABSTRAK

PENERAPAN HUKUM ANTIDUMPING DI INDONESIA ATAS TUDUHAN PRAKTIK DUMPING TEPUNG TERIGU IMPOR ASAL TURKI OLEH APTINDO (ASOSIASI PRODUSEN TEPUNG TERIGU

INDONESIA) Juni Rusminarty*) Bismar Nasution**) Mahmul Siregar***)

Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 yang berarti sekaligus menerima Antidumping Code 1994. Konsekuensinya, Indonesia kemudian mengharmonisasikan peraturan antidumping tersebut dengan hukum nasional. Dengan demikian, Indonesia dapat melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping dan dapat menerapkan kebijakan antidumping. Penerapan kebijakan tersebut tampak pada salah satu kasus praktik dumping di Indonesia yaitu kasus tuduhan praktik dumping tepung terigu impor asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia). Skripsi ini membahas konsep dan pengaturan dumping serta anti dumping dalam kerangka GATT–WTO, ketentuan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia, dan penerapan hukum anti dumping di Indonesia dalam perkara tuduhan praktik dumping tepung terigu impor asal Turki oleh APTINDO.

Skripsi ini ditulis dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, dimana penelitian mengacu kepada norma-norma hukum antidumping dan dilakukan dengan menggambarkan peristiwa yang sedang diteliti, kemudian menganalisanya secara kualitatif terhadap data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa tindakan dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian materiil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik. Dalam hukum nasional Indonesia, Bea Masuk Anti-Dumping hanya dapat dikenakan terhadap barang impor yang harga ekspornya lebih rendah dari nilai normalnya dan menyebabkan kerugian dan ancaman kerugian bagi industri dalam negeri. Penerapan hukum antidumping belum secara maksimal dilakukan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh sikap Menteri Keuangan yang belum mengenakan BMAD terhadap tepung terigu Turki walaupun sudah ada rekomendasi dari KADI dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Kata Kunci: Penerapan, Antidumping, Praktik Dumping

*)

Mahasiswa Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **)

Dosen Pembimbing I ***)


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam era globalisasi dewasa ini, perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana negara-negara di dunia saat ini telah menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara dan telah mengarah pada pola perdagangan bebas. Perdagangan internasional yang mengarah pada pasar bebas ini pada dasarnya akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif dan sebaliknya juga akan membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik. Hal ini dapat memungkinkan para pelaku usaha di satu negara berlomba-lomba untuk mendapatkan akses pasar dan mendominasi pasar dari negara lain. 1

Oleh karena itu, untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan di bidang perdagangan internasional, diperlukan aturan-aturan yang mampu menjaga serta memelihara hak-hak dan kewajiban para pelaku perdagangan internasional ini. Perangkat hukum internasional yang mengatur hubungan dagang antarnegara terkandung dalam dokumen GATT yang ditandatangani negara-negara tahun 1947, dan mulai diberlakukan sejak tahun 1948. Dari waktu ke waktu ketentuan

Meskipun demikian, hubungan perdagangan internasional antarnegara tersebut tetap harus dilakukan dengan tertib dan adil.

1

Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia, Analisis dan Panduan Praktis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 8.


(13)

GATT disempurnakan lewat berbagai putaran perundingan, terakhir lewat perundingan-perundingan Putaran Uruguay (1986 – 1994) yang berhasil membentuk sebuah Organisasi Perdagangan Dunia yaitu World Trade Organization (WTO). Badan inilah yang selanjutnya akan melaksanakan dan mengawasi aturan-aturan perdagangan internasional yang telah dirintis GATT sejak tahun 1947.2

Pembentukan WTO memberikan prospek yang baik bagi seluruh negara khususnya negara-negara anggota untuk menempuh kebijakan perdagangan bebas dalam batas-batas rule of law.

3

Namun, berangkat dari kondisi dan perkembangan ekonomi yang berbeda pada negara-negara yang ambil bagian dalam perjanjian-perjanjian internasional maka sebenarnya tidak semua negara siap untuk menghadapi era perdagangan bebas yang disepakati pada GATT – WTO, terutama negara-negara berkembang khususnya Indonesia.4

Bagi semua negara khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia, pola perdagangan bebas ini telah menimbulkan ketergantungan dan integrasi ekonomi nasional ke dalam ekonomi global.5

2

Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional (dalam Kerangka Studi Analitis), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 12.

Hal ini dapat menciptakan mekanisme pasar yang memiliki persaingan yang tinggi. Tindakan persaingan antara pelaku usaha tersebut tidak jarang mendorong dilakukannya persaingan curang, baik dalam bentuk harga maupun bukan harga (price or nor price competition). Dalam bentuk harga misalnya terjadi diskriminasi harga (price discrimination) yang dikenal dengan istilah dumping. Dumping merupakan salah

3

Ibid., hlm. 13. 4

Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 15. 5


(14)

satu bentuk hambatan perdagangan yang bersifat nontarif, berupa diskriminasi harga.6

Praktik dumping merupakan praktik dagang yang tidak adil, karena bagi negara pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri.7

Tindakan dumping tersebut jelas-jelas dapat menimbulkan kerugian yang sangat serius terhadap perekonomian setiap negara. Oleh karena itu, setiap negara memerlukan perlindungan yang memadai dan demi melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, maka lahirlah suatu instrumen kebijaksanaan perdagangan yang dikenal dengan istilah antidumping. Ketentuan mengenai antidumping tersebut sudah lama tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947 dan pengaturannya terdapat dalam Article VI The General Agreement on Tariffs and Trade 1947 (Pasal VI GATT 1947) yang isinya mengatur tentang Antidumping and Countervailing Duties.

Sebagai tindak lanjut dalam mengimplementasikan ketentuan pasal VI GATT, maka pada tahun 1979, dalam Tokyo Round telah disepakati Antidumping

6

Sukarmi, Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 2.

7

Daniel Suryana, “Harmonisasi Ketentuan Anti Dumping ke dalam Hukum Nasional


(15)

Code 1979 yang disepakati dan mengikat sejumlah 22 negara yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980. Antidumping Code 1979 ini kemudian digantikan oleh Antidumping Code 1994 yang dihasilkan oleh Uruguay Round dengan nama Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 yang merupakan Multilateral Trade Agreement (MTA), di mana instrumen hukum tersebut ditandatangani bersamaan dengan penandatanganan Agreement Establishing the World Trade Organization di Marrakesh (Maroko) pada tanggal 15 April 1994. Dengan demikian, Antidumping Code 1994 sudah merupakan suatu paket yang inklusif atau integral dari Agreement Establishing the WTO, suatu institusi yang bertujuan antara lain untuk memajukan perdagangan bebas dunia di antara negara-negara anggotanya sesuai dengan MTA.8

Sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdagangan Multilateral, Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564). Dengan meratifikasi Agreement Establishing the WTO ini, Indonesia secara sekaligus telah meratifikasi pula Antidumping Code 1994.9

Konsekuensi dari diratifikasinya Agreement Establishing the WTO oleh Indonesia, Indonesia kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Nomor 3612) Tanggal 30 Desember 1995 sebagaimana

8

Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 19. 9


(16)

telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93) Tanggal 15 November 2006. Ketentuan antidumping dalam Undang-Undang tersebut diakomodasi di dalam Bab IV mengenai Bea Masuk Anti-Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan, Pasal 18 dan 19.10

Indonesia sebagai salah satu negara yang selalu ikut serta dalam melakukan perdagangan internasional dan merupakan anggota WTO, juga tidak dapat terhindar dari praktik dumping yang dilakukan oleh produk impor di Indonesia. Sehingga untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping tersebut, Pemerintah akan berpedoman pada ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas untuk kemudian diterapkan terhadap praktik dumping tersebut.

Ketentuan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pembuatan peraturan pelaksanaan tentang antidumping Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan yang kini telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan dan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Salah satu produk impor yang dituduh melakukan praktik dumping di Indonesia adalah produk impor tepung terigu asal Turki. Kasus ini bermula ketika APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) yang mewakili tiga

10

Christhophorus Barutu, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 130.


(17)

perusahaan di dalam negeri yakni PT Eastern Pearl FM, PT Sriboga, dan PT Panganmas Inti Persada mengajukan permohonan ke KADI untuk melakukan penyelidikan antidumping atas terigu impor asal Turki, Srilanka dan Australia pada tanggal 16 Oktober 2008. Atas permohonan tersebut KADI melakukan penyelidikan dan rekomendasi dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) atas hasil penyelidikan kasus tersebut telah disampaikan ke Menteri Perindustrian dan Perdagangan sejak Desember 2009. Dalam rekomendasinya, KADI menduga adanya dumping terigu asal Turki dan untuk itu perlu dikenakan BMAD. Ketua KADI, Halida Miljani, menyatakan bahwa berdasarkan investigasi ditemukan terigu impor dari Turki terbukti ada hubungan kausal dumping. 11

Rekomendasi KADI tersebut telah ditindaklanjuti oleh Menteri Perdagangan melalui surat dengan No. 2017/M.DAG/12/2009 kepada Menteri Keuangan tertanggal 31 Desember 2009 yang isinya merekomendasikan agar mengenakan BMAD kepada para eksportir terigu asal Turki. Meskipun KADI telah merekomendasikan pengenaan BMAD terhadap tepung terigu Turki, namun Menteri Keuangan sampai sekarang belum menetapkan surat keputusan tentang bea masuk anti dumping (BAMD) terhadap terigu impor asal Turki.

12

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “Penerapan Hukum Anti Dumping di Indonesia

11

Heri Susanto, “Ada Intervensi atas Kasus Dumping Terigu?”,

http://bisnis.vivanews.com/news/read/128568ada_intervensi_atas_kasus_dumping_terigu, diakses 21 Februari 2012.

12


(18)

atas Tuduhan Praktik Dumping Tepung Terigu Impor asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep dan pengaturan dumping serta anti dumping dalam kerangka GATT – WTO?

2. Bagaimana ketentuan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia? 3. Bagaimana penerapan hukum anti dumping di Indonesia dalam perkara

tuduhan praktik dumping tepung terigu impor asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia)?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan pokok-pokok permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami konsep dan pengaturan dumping serta anti dumping dalam kerangka GATT – WTO.

2. Untuk mengetahui dan memahami ketentuan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan hukum anti dumping di Indonesia dalam perkara tuduhan praktik dumping tepung terigu impor asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia). Selain tujuan yang diuraikan di atas, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:


(19)

1. Secara teoritis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis sebagai bahan pengembangan kajian ilmu hukum pada umumnya, dan khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan penerapan hukum anti dumping di Indonesia atas tuduhan praktik dumping suatu produk impor.

2. Secara praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau pemikiran lebih lanjut bagi hukum nasional di Indonesia dan Pemerintah agar Pemerintah lebih meningkatkan kebijakannya dalam menangani kasus-kasus tuduhan praktik dumping produk impor di Indonesia guna memberikan perlindungan hukum terhadap produk dalam negeri yang dilakukan melalui upaya penegakan hukum anti dumping, baik secara preventif dalam upaya mencegah praktik dumping maupun secara represif yaitu berupa pemberian sanksi “pengenaan bea masuk anti dumping” terhadap pelaku ekonomi yang memasukkan produk berindikasi dumping. Selain itu skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para pelaku usaha dalam mengambil tindakan terkait tuduhan praktik dumping suatu produk impor. Bagi mahasiswa, skripsi ini juga diharapkan mampu memberikan serangkaian informasi dan penjelasan sebagai bahan kajian dalam mengkaji suatu isu yang terjadi pada masyarakat internasional khususnya mengenai isu praktik dumping.


(20)

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum USU diketahui bahwa penulisan skripsi tentang: “Penerapan Hukum Anti Dumping di Indonesia atas Tuduhan Praktik Dumping Tepung Terigu Impor Asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia)” belum pernah dilakukan. Meskipun demikian, ada beberapa penulisan skripsi yang dilakukan oleh mahasiswa terdahulu terkait Anti Dumping, antara lain:

1. Johan Elvin Saragih, Penerapan Anti Dumping dalam Rangka Perlindungan Perdagangan Barang.

2. Halimatus S Marpaung, Tinjauan Hukum terhadap Anti Dumping dalam Perdagangan Internasional menurut GATT – WTO Implementasinya di Indonesia.

3. Chandra Tri Kesuma, Tinjauan terhadap Pelaksanaan Ketentuan Anti Dumping di Indonesia dalam Rangka Menghadapi AFTA 2003.

Skripsi ini berbeda substansi pembahasannya dengan ketiga penulisan skripsi di atas yang juga berkaitan dengan Anti Dumping. Skripsi ini fokus pada sejauh mana dan bagaimana penerapan hukum anti dumping di Indonesia dalam perkara tuduhan praktik dumping tepung terigu impor asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia).

Dengan demikian, penulisan skripsi ini merupakan hasil karya sendiri yang asli dan bukan merupakan hasil jiplakan atau merupakan judul skripsi yang pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain karena penulisannya telah sesuai


(21)

dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan terbuka yang ditulis secara objektif dan ilmiah melalui pemikiran para pakar dan praktisi, referensi, undang-undang, buku-buku, makalah, bahan seminar, koran, dan internet serta bantuan dari berbagai pihak. Sehingga hasil penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap semua kritikan serta masukan yang sifatnya membangun guna menyempurnakan hasil penulisan skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

Ketentuan antidumping sudah lama tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947, yang secara simultan telah diadakan beberapa perjanjian tambahan (Side Agreement) mengenai suatu pasal dalam GATT, dimana perjanjian tambahan tersebut dikenal dengan code dan antidumping diatur dalam Pasal VI GATT 1947 (Article VI GATT 1947) yang merekomendasikan kepada setiap negara anggota untuk mengimplementasikan ketentuan GATT dalam sistem hukum nasional masing-masing.13

Dan sebagai tindak lanjut dalam mengimplementasikan ketentuan pasal VI GATT tersebut, maka pada tahun 1979 dalam Tokyo Round telah disepakati Antidumping Code 1979 oleh 22 negara yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980, yang kemudian diperbaharui dengan Antidumping Code 1994 dalam Uruguay Round yang secara resmi berjudul Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994,di mana instrumen hukum tersebut ditandatangani bersamaan dengan penandatanganan Agreement Establishing the World Trade Organization di

13


(22)

Marrakesh (Maroko) pada tanggal 15 April 1994. Sehingga dengan demikian Antidumping Code 1994 menjadi bagian yang integral dan tidak terpisahkan dari GATT 1994 dan Agreement Establishing the WTO, oleh karena itu harus ditaati oleh semua negara yang telah meratifikasinya.14

Dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 (Article VI GATT 1947), dumping didefenisikan sebagai:

“The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry.” 15

(Terjemahan bebas dari Pasal VI GATT di atas adalah “Para pihak dalam perjanjian mengakui bahwa dumping, dimana barang-barang dari suatu negara diperdagangkan ke negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga normal dari barang tersebut, dilarang apabila dumping tersebut dapat menimbulkan kerugian materiil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik”).

Sedangkan pengertian dumping yang diatur dalam Article 2.1 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, yaitu:

“For the purpose of the agreement,a product is to be concidered as being dumped i.e introcduced into the commerce of another country at less than its normal value, if the export price of the product exported from one country to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country.” 16

Article 2.1 di atas menjelaskan bahwa suatu produk dianggap sebagai dumping apabila harga barang yang diperdagangkan dari suatu negara ke wilayah negara lain lebih rendah dibandingkan nilai normal di negara barang tersebut,

14

Ibid., hlm. 19. 15

The General Agreement on Tariffs and Trade 1947, Article VI point 1. 16


(23)

pada tingkat perdagangan yang wajar. Barang tersebut harus serupa dan ditujukan untuk dikonsumsi di negara tujuan ekspor.

Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, dumping adalah penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai yang wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga di pasar domestiknya atau di negara ketiga.17

Sedangkan pengertian dumping dalam Kamus Hukum Ekonomi diartikan sebagai praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran Internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.

18

Suatu negara dapat dikatakan dumping apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

Jadi secara singkat dumping dapat dikatakan barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekpor.

19

1. Adanya barang yang sejenis yang diekspor ke suatu negara;

2. Adanya penjualan dengan harga ekspor yang di bawah harga normal atau dengan kata lain adanya dumping;

3. Adanya kerugian atau ancaman kerugian terhadap industri dalam negeri;

17

Departernen Perindustrian dan Perdagangan, Kamus Lengkap Perdagangan Internasianal, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, 1997), hlm. 123.

18

A.F. Elly Erawati, J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi, Inggris – Indonesia, (Jakarta: Proyek ELIPS, 1996), hlm. 39.

19


(24)

4. Adanya hubungan sebab akibat antara penjualan dengan harga ekspor yang di bawah nilai normal dengan terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri.

Keempat kriteria tersebut harus terpenuhi agar penyelidikan dumping dapat ditindaklajuti, sekalipun demikian tidak ada yang salah terhadap dumping apabila terbukti bahwa hanya dumping satu-satunya bukti, maksudnya meskipun telah menjadi produk impor dengan harga dumping apabila tidak menimbulkan kerugian pada produk-produk sejenis di negara pengimpor, tindakan dumping tidak dapat dikenakan terhadap barang dengan harga dumping tersebut. Bahkan sebaliknya konsumen diuntungkan karena dapat memilih produk-produk alternatif lainnya dengan harga relatif lebih murah.

Demikian halnya dengan faktor keempat harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan ancaman kerugian materil yang timbul dikarenakan adanya impor dengan harga dumping. Sebab tanpa dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara kedua faktor itu, kerugian atau ancaman kerugian materil yang diderita industri dalam negeri mungkin saja disebabkan oleh faktor-faktor lain misal menurunnya daya beli masyarakat, berkurangnya minat masyarakat terhadap produk yang ada di pasaran dan lain sebagainya.

Terhadap tindakan dumping yang telah memenuhi empat kriteria tersebut maka pemerintah suatu negara pengimpor dapat mengenakan tindakan balasan berupa antidumping dengan menetapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).20

20

Sukarmi, op. cit., hlm. 27.


(25)

impor untuk dipakai di dalam daerah pabean, sedangkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) adalah bea masuk antidumping yang dikenakan untuk sementara waktu menunggu hasil final investigasi. Jika hasil final investigasi menunjukkan praktik dumping telah terbukti dan praktik tersebut telah merugikan industri dalam negeri, BMADS akan diteruskan dan ditetapkan menjadi BMAD, tetapi jika tidak terbukti maka BMADS akan dicabut.21

F. Metode Penulisan

Metode penulisan ilmiah merupakan realisasi dari rasa ingin tahu manusia dalam taraf keilmuan. Seseorang akan yakin bahwa ada sebab bagi setiap akibat dari gejala yang tampak dan dapat dicari penjelasannya secara ilmiah. Oleh karena itu perlu bersikap objektif, karena kesimpulan yang diperoleh hanya akan dapat ditemukan bila dilandasi dengan bukti-bukti yang meyakinkan dan data dikumpulkan melalui prosedur yang jelas, sistematis dan terkontrol.22 Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian yang mencakup hal-hal sebagai berikut:23

1. Tipe Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sehingga penelitian hanya difokuskan untuk mengkaji dan mengetahui penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif tentang anti dumping di Indonesia dalam perkara tuduhan praktik dumping tepung

21

Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 164. 22

H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 7. 23


(26)

terigu impor Turki oleh APTINDO melalui peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan perkara tersebut, dalam hal ini antidumping. 2. Sifat Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.24

3. Sumber Bahan Hukum

Jadi penelitian ini bersifat menggambarkan, menjelaskan dan menganalisa segala mekanisme penerapan hukum anti dumping di Indonesia dalam perkara tuduhan praktik dumping tepung terigu impor Turki oleh APTINDO.

Data pokok yang digunakan sebagai bahan analisa di dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian yaitu: The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1947); Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 (Antidumping Code 1994); Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995; Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996

24


(27)

tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 216/MPP/Kep/7/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/MPP/Kep/9/1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas barang Dumping dan Barang Mengadung Subsidi; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Antidumping Indonesia; dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10/2000 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Anggota Komite Antidumping Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti berbagai tulisan ilmiah hukum, jurnal, makalah dari pakar hukum dan buku-buku yang dianggap berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tertier

Merupakan bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sumber-sumber lain dari internet sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.


(28)

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, surat kabar dan hasil penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

5. Metode Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian skripsi ini yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, maka analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Kualitatif yakni mengumpulkan peraturan perundang-undangan dan bahan kepustakaan lainnya yang relevan dengan penelitian, mengelompokkan peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang ada, melakukan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait, menguraikan bahan-bahan hukum sesuai dengan masalah yang dirumuskan, dan kemudian menarik kesimpulan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari V Bab yang masing-masing bab memiliki sub-bab dan keseluruhan sistematika penulisan skripsi ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu sama lain, yang dapat diuraikan sebagai berikut:


(29)

BAB I Pendahuluan

Bab ini akan menguraikan secara umum mengenai keadaan-keadaan yang berhubungan dengan objek penelitian yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II Konsep dan Pengaturan Dumping serta Anti Dumping dalam Kerangka GATT – WTO

Bab ini menguraikan tentang sejarah terbentuknya GATT – WTO, sejarah perkembangan ketentuan anti dumping, pengertian dan pengaturan dumping dan anti dumping dalam kerangka GATT – WTO, jenis – jenis dumping dalam praktik perdagangan internasional, dampak praktik dumping terhadap negara importir dan eksportir, serta pengaruh ketentuan anti dumping terhadap perlindungan industri dalam negeri.

BAB III Ketentuan Anti Dumping Dalam Hukum Nasional Indonesia Bab ini memberikan pemahaman dan gambaran tentang dasar hukum ketentuan anti dumping di Indonesia, lembaga-lembaga pelaksanaan peraturan anti dumping Indonesia, prosedur permohonan dan tahapan proses penyelidikan anti dumping, indikator yang digunakan dalam analisis praktik dumping, dan penentuan bea masuk anti dumping sebagai tindakan anti dumping.


(30)

BAB IV Penerapan Hukum Anti Dumping di Indonesia dalam Perkara Tuduhan Praktik Dumping Tepung Terigu Impor Asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) Bab ini menguraikan tentang kronologis kasus tuduhan praktik dumping tepung terigu impor asal Turki oleh APTINDO, penerapan hukum anti dumping di Indonesia terhadap kasus dumping tepung terigu turki yang meliputi prosedur permohonan penyelidikan kasus tepung terigu menurut hukum Anti Dumping Indonesia, penyelidikan oleh KADI, rekomendasi penerapan BMAD oleh KADI dan Menteri Perdagangan dan tindakan Menteri Keuangan atas rekomendasi Menteri Perdagangan. Selain itu bab ini juga memberikan pemahaman tentang dampak apabila kebijakan BMAD terigu Turki diterapkan atau tidak diterapkan dan fungsi serta peranan Pemerintah dalam kebijakan Antidumping.

BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab terakhir ini berisi kesimpulan yang diambil oleh penulis terhadap bab-bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dan yang ditutup dengan mencoba memberikan saran-saran yang penulis anggap perlu dari kesimpulan yang diuraikan tersebut.


(31)

BAB II

KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA

ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT – WTO

A. Sejarah Terbentuknya GATT – WTO

Pada akhir Perang Dunia II, negara-negara pemenang Perang Dunia II berupaya menciptakan berbagai organisasi internasional yang diharapkan dapat mengatur tata cara dan aturan-aturan dalam sektor-sektor perekonomian, termasuk perdagangan dengan dilandasi semangat kerja sama internasional untuk membangun sistem perekonomian ke arah yang lebih baik.25

Pada tahun 1944, dalam Konferensi Bretton Woods masyarakat internasional mendirikan suatu badan yang menangani masalah keuangan dan moneter internasional yang dinamakan International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional dan sekaligus membentuk International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau disebut pula Bank Dunia (World Bank) karena dianggap perlu adanya suatu organisasi yang melakukan tindakan untuk menangani masalah rekonstruksi dan pembangunan negara-negara yang mengalami kerusakan akibat perang. Selain itu, masyarakat internasional berupaya memasukkan isu perlu dibentuknya suatu organisasi internasional yang mengatur masalah-masalah perdagangan internasional di samping IMF dan World Bank. Oleh karena itu, timbullah suatu pemikiran untuk merencanakan

25


(32)

pembentukan International Trade Organization (ITO) atau Organisasi Perdagangan Internasional.26

Amerika Serikat merupakan negara yang pertama kali mengusulkan perlunya pembentukan suatu Organisasi Perdagangan Dunia (ITO) pada tanggal 6 Desember. Menurut Amerika Serikat, tujuan pembentukan organisasi ini pada waktu itu adalah untuk menciptakan liberalisasi perdagangan secara bertahap, memerangi monopoli, memperluas permintaan komoditi dan mengkoordinasikan kebijakan perdagangan negara-negara.

27

Usul pembentukan ITO ini disambut baik oleh ECOSOC. Badan khusus PBB ini menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan suatu konferensi guna menyusun piagam internasional di bidang perdagangan. Sehingga akhirnya pertemuan penting diselenggarakan di Jenewa dari April sampai November 1947.28

Pada tahun 1947, para perunding di Jenewa melaksanakan persiapan untuk merumuskan Piagam ITO yang kemudian diserahkan kepada delegasi negara-negara peserta pada Konferensi Havana 1948 (21 November 1947 – 24 Maret 1948). Pada Maret 1948, Konferensi Havana berhasil mengesahkan Piagam Havana (Havana Charter) yang telah disepakati dan ditandatangani oleh 53 negara. Namun sampai dengan pertengahan tahun 1950-an, negara-negara peserta menemui kesulitan dalam meratifikasinya sehingga pada akhirnya ITO tidak dapat terwujud. Hal ini disebabkan karena Kongres Amerika Serikat tidak dapat

26

Ibid., hlm. 3-4. 27

Huala Adolf, A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 6.

28


(33)

menyetujuinya dengan alasan adanya kekhawatiran berkurangnya kewenangan Amerika Serikat dalam menentukan kebijakan.29

Akibat kegagalan atas didirikannya ITO, maka terdapat suatu kekosongan kelembagaan pada tingkat internasional di bidang perdagangan, sehingga untuk mengisi kekosongan tersebut maka GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang awalnya hanya merupakan suatu perjanjian interim, menjadi satu-satunya instrumen di bidang perdagangan yang telah memperoleh konsensus untuk menjadi landasan dalam pengaturan tata cara perdagangan internasional. GATT sebenarnya hanya merupakan salah satu dari Chapters yang direncanakan menjadi isi Havana Charter mengenai pembentukan ITO, yaitu chapter yang menyangkut kebijaksanaan perdagangan (trade policy).

30

GATT yang berlaku sejak 1948 bukanlah suatu organisasi dan hanya merupakan persetujuan multilateral yang berisi ketentuan dan disiplin dalam mengatur perilaku negara-negara dalam kegiatan perdagangan internasional. Dokumen utama GATT yang berjudul The General Agreement on Tariffs and Trade terdiri atas 4 bagian dan 38 pasal. Tujuan dari persetujuan GATT ini adalah untuk menciptakan suatu iklim dalam perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan di dalam penanaman modal, lapangan kerja dan penciptaan iklim perdagangan yang sehat.

31

29

Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 5-6. 30

Ibid., hlm. 7. 31


(34)

Selain itu, ada tiga fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya, yaitu:32

Masalah-masalah perdagangan dalam GATT diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang juga dikenal dengan nama Putaran Perdagangan (Trade Round) untuk mempercepat terwujudnya liberalisasi perdagangan internasional. Dalam GATT, ada beberapa kali diadakan Putaran Perdagangan sebelum WTO terbentuk, yaitu sebagai berikut:

Pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan multilateral yang mengatur tindak-tanduk perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan. Kedua, sebagai suatu forum perundingan perdagangan. Ketiga, adalah sebagai suatu “pengadilan” internasional di mana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota GATT lainnya.

33

1. Putaran Jenewa tahun 1947 (23 negara peserta), Putaran Annecy tahun 1949 (13 negara peserta), Putaran Torquay tahun 1950-1951 (33 negara peserta), Putaran Jenewa tahun 1956 (26 negara peserta), dan Putaran Dillon tahun 1960-1961 (26 negara peserta) hanya membahas masalah tarif (upaya penurunan atau penghapusan hambatan tarif perdagangan);

2. Putaran Kennedy tahun 1964-1967 diikuti oleh 62 negara peserta yang khusus membahas masalah tarif dan antidumping;

32

Ibid., hlm. 4. 33


(35)

3. Putaran Tokyo tahun 1973-1979 (102 negara peserta) yang membahas masalah tarif dan nontarif juga serangkaian persetujuan di bidang pertanian dan manufaktur;

4. Putaran Uruguay tahun 1986-1994 (123 negara peserta) yang membahas masalah tarif, hambatan nontarif, produk sumber daya alam, tekstil dan pakaian jadi, pertanian, produk tropis, pasal-pasal GATT, Tokyo Round Codes, antidumping, subsidi, kekayaan intelektual, aturan investasi, penyelesaian sengketa, sistem GATT, dan jasa.

Dari perkembangan sejarah perundingan-perundingan GATT di atas dapat kita saksikan bahwa sejak Putaran Kennedy tahun 1964-1967 maka telah mulai diperluas bidang masalah-masalah yang dipersoalkan dalam rangka GATT, yang awalnya hanya membahas mengenai tarif, kemudian sejak Putaran Kennedy juga mulai membahas masalah-masalah yang bukan merupakan tarif (non tariff measures).34

Selain itu, pada masa Putaran Uruguay tepatnya pada tanggal 15 April 1994, lebih dari 100 Menteri Perdagangan dunia bertemu di Maroko untuk menandatangani Putaran Uruguay sebagai kesepakatan perdagangan multilateral. Pada saat yang sama mereka juga mengesahkan suatu rencana masa depan untuk mengusulkan suatu pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization), dan setelah melalui serangkaian proses perundingan yang panjang,

34

S. Gautama, Segi-Segi Hukum Perdagangan Internasional (GATT dan GSP), (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 194.


(36)

akhirnya pada Pertemuan Tingkat Menteri Contracting Parties GATT di Marrakesh, Maroko 12-15 April 1994, disahkan Final Act 15 April 1994 tentang Pembentukan dan Tanggal Berlakunya World Trade Organization (Agreement Establishing the World Trade Organization) dan terbuka bagi ratifikasi oleh negara-negara serta mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 1995.35 Pembentukan WTO oleh banyak pihak dipandang sebagai hasil yang sangat penting dari Putaran Uruguay dan pada kenyataannya merupakan kelanjutan dan pengembangan dari GATT 1947. Dengan demikian WTO menggantikan GATT 1947 yang telah berfungsi selama hampir lima puluh tahun secara de facto, sebagai organisasi antar negara bagi perdagangan internasional.36

WTO berfungsi untuk mengatur dan memfasilitasi perdagangan internasional, dan tujuan utamanya adalah untuk menciptakan persaingan sehat di bidang perdagangan internasional bagi para anggotanya, sedangkan berdasarkan Pembukaan Persetujuan WTO, tujuan WTO adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan, menjamin terciptanya lapangan pekerjaan, meningkatkan produksi dan perdagangan serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dunia. Tujuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah untuk penyelesaian sengketa.37

35

Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 14. 36

Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 91.

37


(37)

B. Sejarah Perkembangan Ketentuan Antidumping

Dalam dunia perdagangan internasional yang semakin berkembang pesat dewasa ini, setiap negara atau pengusaha dari suatu negara berusaha untuk dapat berkompetisi dalam pasar global melalui dukungan terhadap ekspor. Kompetisi tersebut tidak jarang mendorong para pelaku usaha untuk melakukan persaingan curang seperti praktik dumping (diskriminasi harga). Dalam hal ini, biasanya pelaku usaha asing akan menjatuhkan harga barangnya dengan tujuan agar barang yang dihasilkan oleh industri dalam negeri tidak mampu bersaing. Akibatnya, industri dalam negeri akan hancur dan gulung tikar. Bila ini terjadi, pelaku usaha asing akan menaikkan harga mereka dan pada gilirannya mereka akan mendapatkan pangsa pasar baru.38

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi praktik dumping ini diperlukan adanya suatu pengaturan secara internasional yang dapat mengatasi masalah praktik dumping. GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1948 dan merupakan persetujuan multilateral yang menentukan peraturan-peraturan bagi perilaku perdagangan internasional, telah mencantumkan suatu kebijakan antidumping guna mengatasi praktik dumping dalam Article VI The General Agreement on Tariffs and Trade 1947 (Pasal VI GATT 1947)

39

“The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less yang isinya mengatur tentang Antidumping and Countervailing Duties. Ketentuan Pasal VI GATT 1947 tersebut adalah sebagai berikut:

38

Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 8. 39


(38)

than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry.” 40

Pasal VI (Article VI) GATT tersebut mengizinkan negara-negara peserta GATT untuk menerapkan sanksi antidumping terhadap negara yang telah melakukan dumping. Namun, penerapannya harus dibuktikan dengan kerugian material (material injury). Persyaratan kerugian material diterapkan untuk mencegah perdagangan curang dan melakukan proteksi guna melindungi industri dan pasar domestiknya. Tanpa adanya kerugian secara material maka suatu negara pengimpor tidak boleh melakukan tindakan anti dumping dan kewajiban kompensasi.41

Pada awalnya, ketentuan GATT yang mengatur tata cara dan prosedur pelaksanaan antidumping dalam Article VI dirasakan masih bersifat tidak jelas dan perlu dipertegas serta diperluas, untuk itu perlu dilakukan suatu penyempurnaan melalui berbagai perundingan multilateral. Sehingga perbaikan pertama dicapai pada Putaran Kennedy tahun 1964-1967. Kemudian, diperbaharui lagi dalam Putaran Tokyo pada tahun 1973-1979,

42

40

The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1947), Article VI point 1.

sehingga menghasilkan Antidumping Code 1979 yang merupakan implementasi dari ketentuan pada Article VI dan telah disepakati serta mengikat 22 negara yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980. Antidumping Code 1979 ini kemudian digantikan oleh Antidumping Code 1994 yang dihasilkan dalam Putaran Uruguay (1986-1994) dengan nama Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, instrumen hukum ini ditandatangani

41

Sukarmi, op. cit., hlm. 30. 42


(39)

bersamaan dengan penandatanganan Agreement Establishing the World Trade Organization di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994. Dengan demikian, Antidumping Code 1994 ini sudah merupakan suatu bagian integral dari Agreement Establishing the WTO, suatu institusi yang bertujuan antara lain untuk memajukan perdagangan bebas dunia di antara anggotanya.43

Setelah Antidumping Code 1994 disepakati, maka semua negara anggota diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan selambat-lambatnya sebelum WTO secara resmi berdiri, yaitu tanggal 1 Januari 1995, untuk mengadakan ataupun menyesuaikan undang-undang, peraturan-peraturan maupun prosedur administratif yang berkaitan dengan antidumping yang telah ada dimasing-masing negara anggotanya dengan ketentuan yang tercantum dalam Antidumping Code 1994.

44

Indonesia sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdagangan Multilateral, telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564). Dengan meratifikasi Agreement Establishing the WTO, Indonesia secara sekaligus telah meratifikasi pula Antidumping Code 1994.

45

Dan sebagai konsekuensinya, Indonesia kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Undang-Undang

43

Ibid., hlm. 44. 44

Ibid., hlm. 19-20 lihat juga Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, Article 18.4.

45


(40)

Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Nomor 3612) Tanggal 30 Desember 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93) Tanggal 15 November 2006. Ketentuan antidumping dalam Undang-Undang tersebut diakomodasi di dalam Bab IV mengenai Bea Masuk Anti-Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan, Pasal 18 dan 19.46

Dari hal-hal di atas sudah begitu jelas perkembangan ketentuan antidumping dari sebelum GATT-WTO terbentuk sampai sekarang sehingga jelas pula perlindungan hukum yang mampu melindungi produk-produk dalam negeri dari praktik dumping yang terjadi di negara-negara anggota GATT-WTO khususnya di Indonesia.

Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ini yang kemudian menjadi dasar bagi pembuatan peraturan pelaksanaan tentang antidumping Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan yang kini telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan dan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

46


(41)

C. Pengertian dan Pengaturan Dumping serta Antidumping dalam Kerangka GATT – WTO

Dumping adalah sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga kembali).47 Dalam Black’s Law dictionary, Pengertian dumping dinyatakan sebagai, “The act of selling in quantity at a very low price or practically regard less of the price; also selling (surplus goods) abroad at less than the market price at home.”48

Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, dumping adalah penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai yang wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga di pasar domestiknya atau di negara ketiga.

Di mana dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai sebuah tindakan yang menjual barang dalam kuantitas harga yang sangat rendah atau hampir mengabaikan harga, juga menjual barang-barang luar negeri kurang dari harga pasar di tempat asalnya.

49

47

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua), (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 110.

Sedangkan pengertian dumping dalam Kamus Hukum Ekonomi diartikan sebagai praktik dagang yang dilakukan ekportir dengan menjual komoditi di pasaran Internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual

48

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990), hlm. 347.

49


(42)

kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.50

Menurut Agus Brotosusilo, secara umum, dumping adalah bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.

51

Dan menurut Muhammad Ashri, dumping adalah suatu persaingan curang dalam bentuk diskriminasi harga yaitu suatu produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih rendah dibandingkan dengan harga normalnya atau dari harga jual di negara ketiga.52

Selain itu, dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 (Article VI GATT 1947), dumping didefenisikan sebagai:

“The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry.” 53

Terjemahan bebas dari Pasal VI GATT di atas adalah “Para pihak dalam perjanjian mengakui bahwa dumping, dimana barang-barang dari suatu negara diperdagangkan ke negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga normal dari barang tersebut, dilarang apabila dumping tersebut dapat menimbulkan kerugian materiil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik”.

50

A.F. Elly Erawati, J.S. Badudu, op. cit.

51

Sukarmi, op. cit., hlm. 25. 52

Ibid.

53


(43)

Kemudian Putaran Uruguay memberikan pengertian dumping yang baru, yang merupakan penyempurnaan dari Article VI di atas, yang kini diatur dalam Article 2.1 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, yaitu:

“For the purpose of the agreement,a product is to be concidered as being dumped i.e introcduced into the commerce of another country at less than its normal value, if the export price of the product exported from one country to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country.” 54

Article 2.1 di atas menjelaskan bahwa suatu produk dianggap sebagai dumping apabila harga barang yang diperdagangkan dari suatu negara ke wilayah negara lain lebih rendah dibandingkan nilai normal di negara barang tersebut, pada tingkat perdagangan yang wajar. Barang tersebut harus serupa dan ditujukan untuk dikonsumsi di negara tujuan ekspor.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas menunjukkan bahwa dumping adalah salah satu bentuk praktik perdagangan yang tidak sehat berupa diskriminasi harga dimana pengekspor menjual produk/ komoditinya ke negara lain dengan harga yang lebih murah (rendah) dari harga normal barang sejenis di negara sendiri maupun negara pengimpor, sehingga menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri di negara pengimpor. Harga/ nilai normal dapat diartikan sebagai harga untuk produk-produk yang sama yang dijual di negara sendiri atau di pasar pengekspor.

Dengan menjual suatu jenis barang produksi ekspor dengan harga lebih rendah daripada pasar domestik (negara pengimpor) dapat menyebabkan matinya

54


(44)

pasar barang sejenis dari industri dalam negeri dan hal ini membuat barang-barang sejenis tidak lagi dapat bersaing secara kompetitif dan adil akibat perbedaan harga yang sangat jauh. Namun di balik itu semua, hanya praktik dumping yang menimbulkan kerugian yang dapat dikategorikan sebagai unfair trade practices.

Oleh karena itu, untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping diperlukan sebuah kebijakan perdagangan yang dikenal dengan istilah antidumping. Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, Antidumping adalah tindakan kebijakan pemerintah negara pengimpor terhadap barang dumping yang merugikan industri dalam negeri melalui pembebanan bea masuk antidumping (antidumping duties).55 Selain itu, antidumping juga dapat didefenisikan sebagai kebijakan yang dibuat atau diciptakan oleh pemerintah dalam suatu negara untuk mencegah timbulnya berbagai kegiatan curang oleh pelaku usaha asing melalui produk impor, perbuatan curang ini berkaitan dengan aspek harga dan produk. Negara yang merasa dirugikan dengan adanya dumping itu bisa melakukan tindakan balasan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pengenaan Bea Masuk Anti Dumping.56

Ketentuan mengenai antidumping diatur oleh GATT-WTO dalam Pasal VI (Article VI) GATT 1947 yang kemudian diimplementasikan dalam Agreement on Tujuan hukum diciptakannya pengaturan anti dumping adalah upaya perlindungan bagi industri lokal atau nasional dalam suatu negara.

55

Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, op. cit., hlm. 22. 56

Romina Purnama, “Hukum Antidumping Sebagai Pelindung Produk Industri dalam Negeri dalam Rangka ACFTA”, (Skripsi Sarjana, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2012), hlm. 29.


(45)

Implementation of Article VI of GATT 1994 (Antidumping Code 1994). Pengaturan mengenai dumping dan antidumping dalam kerangka GATT-WTO dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Penentuan Dumping dalam GATT-WTO

Dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 terdapat kriteria umum bahwa tindakan dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:57

a. Dumping yang dilakukan oleh suatu negara dengan di bawah harga normal atau less than fair value;

b. Menyebabkan kerugian material atau ada ancaman atas kerugian material tersebut terhadap industri domestik yang memproduksi barang sejenis di negara pengimpor; dan

c. Terdapat hubungan sebab akibat (causal link) antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi.

Tindakan dumping yang memenuhi unsur-unsur di atas dilarang oleh GATT, sehingga GATT memberikan hak kepada para anggota GATT untuk dapat menerapkan tindakan-tindakan antidumping jika praktik dumping yang terjadi telah memenuhi unsur-unsur di atas. Namun, apabila telah dilakukan dumping yang dibawah harga normal/ less than fair value di negara pengimpor tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping itu tidak dilarang.

Selanjutnya dalam pasal VI GATT 1947 tersebut diuraikan tentang pengertian “less than fair value” atau “di bawah harga normal”, yaitu:58

57


(46)

a. Jika harga ekspor produk yang diekspor dari satu negara ke negara lain kurang dari harga saing (comparable price) yang berlaku dalam pasar yang wajar, bagi produk sejenis itu ketika diperuntukkan bagi konsumsi di negara yang mengimpor; atau

b. Jika dalam hal tidak terdapat harga domestik, maka harga tersebut harus lebih rendah dari harga saing tertinggi dari barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga dalam pasar yang wajar atau dengan biaya produksi di negara asal ditambah jumlah yang sepantasnya untuk biaya penjualan dan keuntungan.

2. Penentuan Kerugian dalam GATT-WTO

Pasal VI ayat (1) GATT 1947 memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian material baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik. Pasal tersebut kemudian dijabarkan lagi dalam Pasal 3 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 yang menyatakan bahwa Penentuan kerugian dalam Pasal VI GATT didasarkan pada bukti-bukti positif dan melibatkan pengujian objektif mengenai:59

a. Volume produk impor harga dumping dan dampaknya terhadap harga-harga di pasar dalam negeri untuk produk sejenis, dan

b. Dampak impor itu terhadap produsen dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis.

58

Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 40-41. 59


(47)

Sehubungan dengan adanya volume impor dengan harga dumping, pihak yang berwenang akan mempertimbangkan apakah telah terjadi peningkatan yang berarti dari impor produk dumping tersebut, baik dalam nilai absolut maupun relatif terhadap produksi atau konsumsi di negara pengimpor. Apabila akibat impor produk dumping itu berhubungan dengan harga-harga, pihak yang berwenang akan mempertimbangkan apakah ada pemotongan harga yang berarti pada impor produk dumping dibandingkan dengan harga produk sejenis negara pengimpor atau apakah akibat impor seperti itu tidak akan menekan harga-harga pada tingkat yang berarti.60

Selanjutnya, pengujian dampak produk impor dengan harga dumping terhadap industri dalam negeri akan mencakup penilaian terhadap semua faktor ekonomi yang meliputi: penurunan penjualan dalam negeri, penurunan keuntungan, penurunan output (produksi), penurunan market share, penurunan produktivitas, penurunan utilisasi kapasitas produksi, gangguan terhadap Return On Investment, gangguan terhadap harga dalam negeri, the magnitute of dumping margin, perkembangan cash flow yang negatif, inventory meningkat, pengurangan tenaga kerja/ penurunan gaji dan PHK, gangguan terhadap pertumbuhan perusahaan, gangguan terhadap investasi, dan gangguan terhadap kemampuan meningkatkan modal. 61

Kesemua faktor ekonomi di atas tidak harus diderita oleh suatu perusahaan agar dapat dikatakan mengalami kerugian secara materil. Satu atau beberapa

60

Ibid., Article 3.2.

61


(48)

faktor ekonomi saja sudah dapat menjadi petunjuk bahwa suatu perusahaan mengalami kerugian secara materil bergantung pada permasalahan yang ada.62

Sebagaimana yang diketahui bahwa untuk terjadinya dumping harus ada causal link (hubungan sebab akibat) antara harga dumping dan kerugian yang terjadi. Hubungan sebab akibat tersebut dapat diketahui dengan menganalisis volume impor dumping dan pengaruh impor dumping pada harga di pasar domestik untuk produk sejenis. Apabila volume impor dumping semakin meningkat, sedangkan pangsa pasar petisioner dan pangsa pasar impor lain semakin menurun, volume impor dumping secara langsung turut mempengaruhi berkurangnya pangsa pasar petisioner. Selain itu, jika harga impor dumping berada di bawah harga petisioner atau memotong harga petisioner (price undercutting), dan atau harga petisioner mempunyai kecenderungan menurun secara terus menerus selama periode tiga tahun karena tekanan harga impor dumping (price depression), dan atau petisioner tidak dapat menjual harganya di atas biaya produksi (price suppression), harga impor dumping secara langsung mempengaruhi harga petisioner.63

Sedangkan dalam membuat penentuan mengenai adanya ancaman kerugian material, maka harus mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:

64

a. Laju kenaikan yang besar produk impor dengan harga dumping di pasar dalam negeri yang menunjukkan kemungkinan meningkatnya besar.

62

Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 45. 63

Ibid., hlm. 45-46. 64


(49)

b. Peningkatan yang berarti dalam kapasitas eksportir yang menunjukkan kemungkinan peningkatan yang berarti ekspor dengan harga dumping ke pasar anggota pengimpor dengan mempertimbangkan kemampuan pasar-pasar ekspor lain menyerap setiap tambahan ekspor.

c. Apakah impor dengan harga yang akan mempunyai akibat menekan atau menahan atas harga-harga dalam negeri, dan akan meningkatkan permintaan impor selanjutnya.

d. Persediaan produk yang sedang dalam penyelidikan. 3. Penyelidikan Awal dan Lanjutan

Dalam Pasal 5 ayat (1) Antidumping Code 1994 dinyatakan bahwa “Except as provided for in paragraph 6, an investigation to determine the existence, degree and effect of any alleged dumping shall be initiated upon a written application by or on behalf of the domestic industry.”65

Permohonan tertulis tersebut akan meliputi adanya bukti:

Yang dalam terjemahan bebas dapat diartikan bahwa “Penyelidikan untuk menentukan keberadaan, tingkat, dan akibat setiap tuduhan dumping akan diawali dari permohonan tertulis oleh atau atas nama industri dalam negeri.”

a. Dumping

b. Kerugian dengan pengertian Pasal VI GATT

c. Hubungan sebab akibat antara impor dumping dan kerugian yang dituduhkan.

Permohonan akan berisi informasi sebagai berikut:

65


(50)

a. Identitas pemohon dan gambaran volume serta nilai produksi dalam negeri produk sejenis pemohon.

b. Deskripsi lengkap dari produk yang dituduh dumping, nama-nama pengekspor atau negara asal, identitas dari setiap eksportir serta daftar importir produk itu yang diketahuinya.

c. Informasi harga produk yang dipermasalahkan ketika diperuntukkan tujuan konsumsi dalam negeri negara pengekspor dan informasi harga ekspor.

d. Informasi mengenai evolusi volume dumping impor yang dituduhkan, pengaruh impor itu terhadap harga-harga produk sejenis di pasar domestik dan pada industri domestik.66

Suatu penyelidikan tentang dumping tidak akan dimulai kecuali yang berwenang telah menentukan bahwa permohonan itu telah dibuat oleh atau atas nama industri domestik. Permohonan tersebut dianggap telah dibuat oleh atau atas nama industri domestik dengan syarat tertentu yaitu harus ada dukungan dari produsen-produsen domestik itu yang secara kolektif mempunyai output mewakili lebih dari 50 persen total produksi barang sejenis. Barang sejenis itu dihasilkan oleh bagian dari industri domestik yang menyatakan baik yang mendukung atau menolak permohonan tersebut. Akan tetapi, penyelidikan tidak akan dimulai apabila produsen domestik yang menyatakan mendukung permohonan berjumlah

66


(51)

kurang dari 25 persen dari total produksi sejenis yang dihasilkan oleh industri domestik.67

Setelah menerima petisi (permohonan penyelidikan dumping), maka penyidik berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh industri domestik dalam waktu 30 hari sudah harus menetapkan apakah telah terjadi dumping dan apakah ada bukti-bukti terjadinya kerugian material. Setelah ditemukan bukti-bukti tersebut, maka tujuh hari sebelum diumumkannya secara resmi tentang penyelidikan antidumping, pemerintah negara yang bersangkutan diberi tahu terlebih dahulu. Para eksportir diberi waktu 37 hari untuk mengisi dan mengembalikan pertayaan yang dikirim. Penyelidikan antidumping harus selesai dalam waktu satu tahun dan apabila diperlukan dapat diperpanjang maksimum tidak lebih dari 18 bulan.

68

4. Penghentian Penyelidikan

Pada dasarnya suatu penyelidikan harus dihentikan bila salah satu dari de minimus standards dipenuhi, antara lain sebagai berikut:69

a. Produsen yang mendukung permohonan jumlahnya kurang dari 25 persen dari produksi dalam negeri.

b. Margin dumping kurang dari 2 persen dari landed export price.

c. Volume impor dari satu negara kurang dari 3 persen dari total impor, kecuali volume impor dari semua negara yang diselidiki lebih dari 7 persen dari total impor.

67

Ibid., Article 5.4.

68

Sukarmi, op. cit., hlm. 50-51. 69


(52)

5. Pengenaan Bea Masuk Antidumping (Antidumping Duties)

Terhadap praktik dumping, WTO memperkenankan anggotanya untuk melakukan sanksi berupa pemberlakuan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap barang perusahaan yang terindikasi kuat telah terjadi dumping. Pasal 9 dan 11 Antidumping Code 1994 mengatur penerapan dan pengumpulan bea masuk antidumping serta jangka waktu dan tinjauan BMAD dan penyesuaian harga. Dalam penerapan BMAD, hal penting yang perlu diperhatikan adalah:70

a. Jumlah BMAD tidak akan melebihi selisih antara harga ekspor dengan nilai normal barang yang dipermasalahkan (margin of dumping). b. Hanya diterapkan sepanjang dan sejauh dibutuhkan untuk mengambil

tindakan untuk menghapus kerugian yang diakibatkan oleh dumping. c. Dihentikan paling lambat lima tahun setelah diterapkan, kecuali

terbukti bahwa hal ini akan menjurus kepada kerugian akibat dumping yang terus menerus dan berulang-ulang.

Apabila telah diputuskan pengenaan BMAD, maka pemungutannya tidak boleh diskriminatif, dengan kata lain BMAD diterapkan kepada semua produk impor yang terbukti dumping dan menimbulkan kerugian, tanpa melihat asal barang tersebut. Selain BMAD, WTO juga mengatur tentang pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping Sementara (BMADS). BMADS dapat diterapkan untuk jangka waktu empat sampai sembilan bulan, tergantung pada keadaannya, dengan persyaratan sebelumnya telah ditemukan adanya dumping dan injury.

70

Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, op. cit., hlm. 43-44.


(53)

6. Komisi Praktik Antidumping (Committee on Antidumping Practices) Perjanjian Putaran Uruguay (GATT-WTO) telah membentuk komite tentang praktik antidumping yang selanjutnya disebut komite yang terdiri atas wakil dari tiap anggota. Komite akan menjalankan tanggung jawabnya sebagaimana ditugaskan menurut persetujuan tersebut atau oleh para anggota. Komite akan memberikan kesempatan kepada para anggota untuk berkonsultasi mengenai setiap masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan atau kelanjutan dari tujuan-tujuannya.71

Dalam menjalankan fungsinya, komite boleh berkonsultasi dan mencari informasi dari setiap sumber yang dianggap perlu. Akan tetapi, sebelum mencari informasi dari suatu sumber yang berada dalam daerah wewenang anggota, komite akan mengkonfirmasikan kepada anggota yang terlibat. Hal itu harus mendapat persetujuan dari anggota dan setiap perusahaan yang akan dikonsultasi.72

7. Konsultasi dan Penyelesaian Sengketa

GATT-WTO mengatur mengenai konsultasi dan penyelesaian sengketa dalam Pasal 17 Antidumping Code 1994. Langkah awal yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah adalah dengan melakukan konsultasi di antara para pihak yang terkena masalah. Jika konsultasi yang dilakukan gagal mencapai penyelesaian bersama, dan apabila tindakan akhir telah dilakukan oleh yang berwenang dari anggota pengimpor untuk mengenakan BMAD atau menerima penyesuaian harga, maka hal ini dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian

71

Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, Article 16.1.

72


(54)

Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB). Apabila suatu tindakan sementara mempunyai dampak berarti dan anggota yang meminta konsultasi mempertimbangkan bahwa tindakan yang diambil itu berlawanan dengan ketentuan mengenai tindakan sementara, maka anggota juga boleh merujuk masalah yang demikian kepada DSB.73

Tindakan antidumping yang dilakukan berdasarkan ketentuan antidumping dalam GATT-WTO sebagaimana yang diuraikan di atas merupakan upaya untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping dan harus dilakukan secara adil dan proporsional sehingga dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan dunia usaha.

D. Jenis – Jenis Dumping dalam Praktik Perdagangan Internasional

Para ahli ekonomi pada umumnya mengklasifikasikan dumping dalam tiga kategori, yaitu dumping yang bersifat sporadis (sporadic dumping), dumping yang bersifat menetap (persistent dumping) dan dumping yang bersifat merusak (predatory dumping). Di samping itu, dalam perkembangannya, muncul istilah diversinary dumping dan downstream dumping. Kelima jenis dumping tersebut masing-masing akan diuraikan sebagai berikut:74

1. Sporadic Dumping

Sporadic Dumping adalah dumping yang dilakukan dengan menjual barang pada pasar luar negeri (pasar ekspor) pada jangka waktu yang pendek dengan harga di bawah harga dalam negeri negara pengekspor atau biaya produksi

73

Ibid., Article 17.4.

74


(55)

barang tersebut. Dumping jenis ini merupakan diskriminasi harga pada waktu tertentu yang dilakukan oleh produsen yang mempunyai keuntungan karena terjadi over produksi (karena perubahan dalam pasar dalam negeri yang tidak terantisipasi atau buruknya perencanaan produksi). Untuk mencegah penumpukan barang di pasar domestik, produsen menjual kelebihan produksinya tadi kepada pembeli luar negeri dengan harga yang telah direduksi, sehingga harganya menjadi lebih rendah dari harga di dalam negeri.

2. Persistent Dumping

Persistent Dumping atau disebut juga diskriminasi harga internasional adalah penjualan barang pada pasar luar negeri dengan harga di bawah harga domestik atau biaya produksi yang dilakukan secara menetap dan terus menerus yang merupakan kelanjutan dari penjualan barang yang dilakukan sebelumnya. Penjualan tersebut dilakukan oleh produsen barang yang mempunyai pasar secara monopolistik di dalam negeri dengan maksud untuk memaksimalkan total keuntungannya dengan menjual barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dalam pasar domestiknya. Dumping jenis ini biasanya terjadi karena perbedaan keadaan pasar di negara importir dan negara eksportir.

3. Predatory Dumping

Predatory Dumping terjadi apabila perusahaan untuk sementara waktu membuat diskriminasi harga tertentu sehubungan dengan adanya para pembeli asing. Diskriminasi ini untuk menghilangkan pesaing-pesaingnya dan kemudian menaikkan lagi harga barangnya setelah persaingan tidak ada lagi. Predatory


(1)

ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Bab IV tentang Bea Masuk Anti-Dumping dan Bea Masuk Imbalan, Pasal 18 dan 19 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995. Sebagai tindak lanjut, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan yang materinya mengacu pada Antidumping Code 1994 meskipun tidak secara mendetail, dan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Dalam peraturan tersebut, Bea Masuk Anti-Dumping hanya dapat dikenakan terhadap barang impor yang harga ekspornya lebih rendah dari nilai normalnya dan menyebabkan kerugian dan ancaman kerugian bagi industri dalam negeri. Pengenaan BMAD tersebut berlaku paling lama lima tahun. 3. Dalam kasus dumping tepung terigu asal Turki ini, sudah 2,5 tahun

rekomendasi pengenaan BMAD diberikan kepada Menkeu, namun sampai sekarang Menkeu belum dapat mengeluarkan PMK pengenaan BMAD terigu Turki. Berlarutnya-larutnya penetapan BMAD tepung terigu Turki oleh pemerintah menunjukkan bahwa pemerintah belum maksimal dalam menerapkan undang-undang maupun peraturan pemerintah mengenai antidumping khususnya dalam Pasal 27 PP No. 34 Tahun 1996. Padahal rekomendasi yang diberikan Menteri Perindustrian dan Perdagangan telah melalui mekanisme yang dibenarkan WTO dan PP No. 34 Tahun 1996, dan penyelidikan yang dilakukan KADI telah sesuai dengan ketentuan yang


(2)

berlaku. Penerapan hukum antidumping tersebut belum secara maksimal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia karena sebenarnya masih terdapat kelemahan dalam pengaturan antidumping di Indonesia yaitu PP No. 34 Tahun 1996, baik mengenai jangka waktu yang dapat diberikan kepada Menteri Keuangan untuk dapat menerbitkan PMK sesuai dengan rekomendasi Menteri Perindustrian dan Perdagangan maupun mengenai kewenangan Menteri Keuangan perihal apakah Menkeu dapat menolak atau harus menerima rekomendasi Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

B. Saran

1. Pada dasarnya, masalah dumping ini adalah masalah yang sangat urgent dan harus segera diselesaikan oleh Pemerintah karena jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, industri terigu dalam negeri akan semakin mengalami kerugian, yang pada akhirnya bisa mematikan industri terigu dalam negeri. Dengan demikian, seharusnya Pemerintah dapat mengambil langkah yang cepat dalam menyelesaikan kasus praktik dumping dan penyelesaiannya seharusnya tidak boleh dilakukan berlarut-larut. Untuk itu sudah seharusnya ketentuan antidumping di Indonesia mengatur tentang jangka waktu yang dapat diberikan kepada Pemerintah dalam menyelesaikan kasus praktik dumping.

2. Perihal kewenangan Menkeu, maka seharusnya ketentuan antidumping di Indonesia mengatur secara tegas tentang apakah Menkeu dapat menolak suatu rekomendasi dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan atau tidak. Dan jika Menkeu tidak dapat menolak rekomendasi dari Menteri


(3)

Perindustrian dan Perdagangan, maka seharusnya perlu di atur mengenai sanksi yang dapat diberikan apabila dalam menyelesaikan suatu kasus praktik dumping Menkeu tidak mau mengeluarkan PMK. Hal ini dilakukan untuk memberi kepastian hukum bagi semua pihak.

3. Untuk lebih mengantisipasi praktik dumping dan lebih memaksimalkan kinerja Pemerintah dalam menerapkan hukum antidumping di Indonesia serta demi melindungi industri dalam negeri, maka sudah seharusnya ketentuan antidumping di Indonesia juga diatur oleh undang-undang tersendiri secara khusus dan substansinya harus diatur secara detail seperti dalam Antidumping Code 1994 namun tetap harus disesuaikan dengan kondisi dan kepentingan bangsa Indonesia tanpa melanggar prinsip-prinsip yang harus berlaku secara universal. Hal ini perlu dilakukan agar tindakan Pemerintah yang terkesan menggantungkan kasus dumping terigu Turki ini tidak akan terulang kembali dalam menyelesaikan kasus-kasus praktik dumping produk impor lainnya yang merugikan industri dalam negeri barang sejenis di Indonesia.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adolf, Huala, A. Chandrawulan. Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

AK, Syahmin. Hukum Dagang Internasional (dalam Kerangka Studi Analitis). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Ali, H. Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Barutu, Christhophorus. Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990.

Bossche, Peter van den, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi. Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Kamus Lengkap Perdagangan Internasianal. Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, 1997.

Erawati, A.F. Elly, J.S. Badudu. Kamus Hukum Ekonomi, Inggris – Indonesia. Jakarta: Proyek ELIPS, 1996.

Gautama, S. Segi-Segi Hukum Perdagangan Internasional (GATT dan GSP). Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994.

M, Ali Purwito. Kepabeanan dan Cukai (Pajak Lalu Lintas Barang) Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Pusat Kajian Fiskal FHUI dan Badan Penerbit FHUI, 2010.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.

Sukarmi. Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Syahyu, Yulianto. Hukum Anti Dumping di Indonesia, Analisis dan Panduan Praktis. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.


(5)

xi

Peraturan Perundang-Undangan dan Agreement (Kesepakatan/ Perjanjian) Article VI The General Agreement on Tariffs and Trade 1947.

Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 perubahan dari Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 216/ MPP/ Kep/7/2001 tentang perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/ MPP/ Kep/ 9/ 1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 427/ MPP/ Kep/ 10/ 2000 tentang Komite Antidumping Indonesia.

Skripsi dan Tesis

Kartika, Dewi. “Analisis Pengenaan Bea Masuk Antidumping atas Impor Barang Tertentu yang Menyebabkan Kerugian (Injury) Pada Industri Dalam Negeri.” Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, 2008.

M, Romina Purnama. “Hukum Antidumping Sebagai Pelindung Produk Industri dalam Negeri dalam Rangka ACFTA.” Skripsi Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2012.

Yustiawan, Dewa Gede Pradnya. “Perlindungan Industri dalam Negeri dari Praktik Dumping.” Tesis Pascasarjana, Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2011.

Majalah dan Website

Buyung. “Pemerintah Diminta Terapkan BMAD Kepada Terigu Turki.”

Ferdian, Rully. “Terapakan Safeguard Antidumping Dan Standar Produk Impor.”

Indrietta, Nieke, Roffiudin. “Lenggang Kangkung Terigu Turki.”


(6)

Irwan. “Mekanisme Penetapan BMAD.” Warta Bea Cukai, Edisi 418, September 2009.

Lubis , Anggraini. “Amankan Domestik, Terapkan BMAD atas Terigu Turki.”

Simanjuntak, Damiana Ningsih. “APTINDO Gugat Menkeu ke PTUN.”

http://www.beritasatu.com/bisnis/27955-aptindo-gugat-menkeu-ke-ptun.html, diakses tanggal 27 April 2012.

Suhendra. “Cerita ‘Ping-Pong’ Kebijakan BM Anti Dumping Terigu Turki.” Maret 2012.

Suryana, Daniel. “Harmonisasi Ketentuan Anti Dumping ke dalam Hukum

Nasional Indonesia.”

Susanto, Heri. “Ada Intervensi atas Kasus Dumping Terigu?.” http://bisnis.vivanews.com/news/read/128568ada_intervensi_atas_kasus_ dumping_terigu, diakses tanggal 21 Februari 2012.

Syamhudi. “Impor Terigu Turki Lampaui Produksi Nasional.”

“Indonesia Mulai Selidiki Dumping Terigu Tiga Negara.”

http://www.republika.co.id/berita/breaking- news/ekonomi/08/11/20/15057-indonesia-mulai-selidiki-dumping-terigu-tiga-negara, diakses tanggal 18 Juni 2012.

“Kronologi Petisi BMAD Terigu Turki.” “Pemerintah Setuju Tanggung Pajak Terigu.”

http://www.infopajak.com/berita/110108kt.htm, diakses tanggal 15 Juni 2012.

“Petisi Bea Masuk Antidumping Terigu Turki.” diakses tanggal 27 April 2012.