Keaslian Penulisan Tinjauan Kepustakaan

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum USU diketahui bahwa penulisan skripsi tentang: “Penerapan Hukum Anti Dumping di Indonesia atas Tuduhan Praktik Dumping Tepung Terigu Impor Asal Turki oleh APTINDO Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia” belum pernah dilakukan. Meskipun demikian, ada beberapa penulisan skripsi yang dilakukan oleh mahasiswa terdahulu terkait Anti Dumping, antara lain: 1. Johan Elvin Saragih, Penerapan Anti Dumping dalam Rangka Perlindungan Perdagangan Barang. 2. Halimatus S Marpaung, Tinjauan Hukum terhadap Anti Dumping dalam Perdagangan Internasional menurut GATT – WTO Implementasinya di Indonesia. 3. Chandra Tri Kesuma, Tinjauan terhadap Pelaksanaan Ketentuan Anti Dumping di Indonesia dalam Rangka Menghadapi AFTA 2003. Skripsi ini berbeda substansi pembahasannya dengan ketiga penulisan skripsi di atas yang juga berkaitan dengan Anti Dumping. Skripsi ini fokus pada sejauh mana dan bagaimana penerapan hukum anti dumping di Indonesia dalam perkara tuduhan praktik dumping tepung terigu impor asal Turki oleh APTINDO Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia. Dengan demikian, penulisan skripsi ini merupakan hasil karya sendiri yang asli dan bukan merupakan hasil jiplakan atau merupakan judul skripsi yang pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain karena penulisannya telah sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan terbuka yang ditulis secara objektif dan ilmiah melalui pemikiran para pakar dan praktisi, referensi, undang- undang, buku-buku, makalah, bahan seminar, koran, dan internet serta bantuan dari berbagai pihak. Sehingga hasil penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap semua kritikan serta masukan yang sifatnya membangun guna menyempurnakan hasil penulisan skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

Ketentuan antidumping sudah lama tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947, yang secara simultan telah diadakan beberapa perjanjian tambahan Side Agreement mengenai suatu pasal dalam GATT, dimana perjanjian tambahan tersebut dikenal dengan code dan antidumping diatur dalam Pasal VI GATT 1947 Article VI GATT 1947 yang merekomendasikan kepada setiap negara anggota untuk mengimplementasikan ketentuan GATT dalam sistem hukum nasional masing-masing. 13 Dan sebagai tindak lanjut dalam mengimplementasikan ketentuan pasal VI GATT tersebut, maka pada tahun 1979 dalam Tokyo Round telah disepakati Antidumping Code 1979 oleh 22 negara yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980, yang kemudian diperbaharui dengan Antidumping Code 1994 dalam Uruguay Round yang secara resmi berjudul Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, di mana instrumen hukum tersebut ditandatangani bersamaan dengan penandatanganan Agreement Establishing the World Trade Organization di 13 Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 18. Marrakesh Maroko pada tanggal 15 April 1994. Sehingga dengan demikian Antidumping Code 1994 menjadi bagian yang integral dan tidak terpisahkan dari GATT 1994 dan Agreement Establishing the WTO, oleh karena itu harus ditaati oleh semua negara yang telah meratifikasinya. 14 Dalam Pasal VI ayat 1 GATT 1947 Article VI GATT 1947, dumping didefenisikan sebagai: “The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry.” 15 Terjemahan bebas dari Pasal VI GATT di atas adalah “Para pihak dalam perjanjian mengakui bahwa dumping, dimana barang-barang dari suatu negara diperdagangkan ke negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga normal dari barang tersebut, dilarang apabila dumping tersebut dapat menimbulkan kerugian materiil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik”. Sedangkan pengertian dumping yang diatur dalam Article 2.1 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, yaitu: “For the purpose of the agreement,a product is to be concidered as being dumped i.e introcduced into the commerce of another country at less than its normal value, if the export price of the product exported from one country to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country.” 16 Article 2.1 di atas menjelaskan bahwa suatu produk dianggap sebagai dumping apabila harga barang yang diperdagangkan dari suatu negara ke wilayah negara lain lebih rendah dibandingkan nilai normal di negara barang tersebut, 14 Ibid., hlm. 19. 15 The General Agreement on Tariffs and Trade 1947, Article VI point 1. 16 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, Article 2. pada tingkat perdagangan yang wajar. Barang tersebut harus serupa dan ditujukan untuk dikonsumsi di negara tujuan ekspor. Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, dumping adalah penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai yang wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga di pasar domestiknya atau di negara ketiga. 17 Sedangkan pengertian dumping dalam Kamus Hukum Ekonomi diartikan sebagai praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran Internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. 18 Suatu negara dapat dikatakan dumping apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: Jadi secara singkat dumping dapat dikatakan barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekpor. 19 1. Adanya barang yang sejenis yang diekspor ke suatu negara; 2. Adanya penjualan dengan harga ekspor yang di bawah harga normal atau dengan kata lain adanya dumping; 3. Adanya kerugian atau ancaman kerugian terhadap industri dalam negeri; 17 Departernen Perindustrian dan Perdagangan, Kamus Lengkap Perdagangan Internasianal, Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, 1997, hlm. 123. 18 A.F. Elly Erawati, J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi, Inggris – Indonesia, Jakarta: Proyek ELIPS, 1996, hlm. 39. 19 Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 68-69. 4. Adanya hubungan sebab akibat antara penjualan dengan harga ekspor yang di bawah nilai normal dengan terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri. Keempat kriteria tersebut harus terpenuhi agar penyelidikan dumping dapat ditindaklajuti, sekalipun demikian tidak ada yang salah terhadap dumping apabila terbukti bahwa hanya dumping satu-satunya bukti, maksudnya meskipun telah menjadi produk impor dengan harga dumping apabila tidak menimbulkan kerugian pada produk-produk sejenis di negara pengimpor, tindakan dumping tidak dapat dikenakan terhadap barang dengan harga dumping tersebut. Bahkan sebaliknya konsumen diuntungkan karena dapat memilih produk-produk alternatif lainnya dengan harga relatif lebih murah. Demikian halnya dengan faktor keempat harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan ancaman kerugian materil yang timbul dikarenakan adanya impor dengan harga dumping. Sebab tanpa dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara kedua faktor itu, kerugian atau ancaman kerugian materil yang diderita industri dalam negeri mungkin saja disebabkan oleh faktor-faktor lain misal menurunnya daya beli masyarakat, berkurangnya minat masyarakat terhadap produk yang ada di pasaran dan lain sebagainya. Terhadap tindakan dumping yang telah memenuhi empat kriteria tersebut maka pemerintah suatu negara pengimpor dapat mengenakan tindakan balasan berupa antidumping dengan menetapkan Bea Masuk Anti Dumping BMAD. 20 20 Sukarmi, op. cit., hlm. 27. Bea Masuk Anti Dumping adalah pungutan yang dikenakan terhadap barang impor untuk dipakai di dalam daerah pabean, sedangkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara BMADS adalah bea masuk antidumping yang dikenakan untuk sementara waktu menunggu hasil final investigasi. Jika hasil final investigasi menunjukkan praktik dumping telah terbukti dan praktik tersebut telah merugikan industri dalam negeri, BMADS akan diteruskan dan ditetapkan menjadi BMAD, tetapi jika tidak terbukti maka BMADS akan dicabut. 21

F. Metode Penulisan