B. Sejarah Perkembangan Ketentuan Antidumping
Dalam dunia perdagangan internasional yang semakin berkembang pesat dewasa ini, setiap negara atau pengusaha dari suatu negara berusaha untuk dapat
berkompetisi dalam pasar global melalui dukungan terhadap ekspor. Kompetisi tersebut tidak jarang mendorong para pelaku usaha untuk melakukan persaingan
curang seperti praktik dumping diskriminasi harga. Dalam hal ini, biasanya pelaku usaha asing akan menjatuhkan harga barangnya dengan tujuan agar barang
yang dihasilkan oleh industri dalam negeri tidak mampu bersaing. Akibatnya, industri dalam negeri akan hancur dan gulung tikar. Bila ini terjadi, pelaku usaha
asing akan menaikkan harga mereka dan pada gilirannya mereka akan mendapatkan pangsa pasar baru.
38
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi praktik dumping ini diperlukan adanya suatu pengaturan secara internasional yang dapat mengatasi masalah
praktik dumping. GATT General Agreement on Tariffs and Trade yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1948 dan merupakan persetujuan multilateral yang
menentukan peraturan-peraturan bagi perilaku perdagangan internasional, telah mencantumkan suatu kebijakan antidumping guna mengatasi praktik dumping
dalam Article VI The General Agreement on Tariffs and Trade 1947 Pasal VI GATT 1947
39
“The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less
yang isinya mengatur tentang Antidumping and Countervailing Duties. Ketentuan Pasal VI GATT 1947 tersebut adalah sebagai berikut:
38
Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 8.
39
Sukarmi, op. cit., hlm. 23.
than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a
contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry.”
40
Pasal VI Article VI GATT tersebut mengizinkan negara-negara peserta GATT untuk menerapkan sanksi antidumping terhadap negara yang telah
melakukan dumping. Namun, penerapannya harus dibuktikan dengan kerugian material material injury. Persyaratan kerugian material diterapkan untuk
mencegah perdagangan curang dan melakukan proteksi guna melindungi industri dan pasar domestiknya. Tanpa adanya kerugian secara material maka suatu negara
pengimpor tidak boleh melakukan tindakan anti dumping dan kewajiban kompensasi.
41
Pada awalnya, ketentuan GATT yang mengatur tata cara dan prosedur pelaksanaan antidumping dalam Article VI dirasakan masih bersifat tidak jelas dan
perlu dipertegas serta diperluas, untuk itu perlu dilakukan suatu penyempurnaan melalui berbagai perundingan multilateral. Sehingga perbaikan pertama dicapai
pada Putaran Kennedy tahun 1964-1967. Kemudian, diperbaharui lagi dalam Putaran Tokyo pada tahun 1973-1979,
42
40
The General Agreement on Tariffs and Trade GATT 1947, Article VI point 1.
sehingga menghasilkan Antidumping Code 1979 yang merupakan implementasi dari ketentuan pada Article VI dan telah
disepakati serta mengikat 22 negara yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980. Antidumping Code 1979 ini kemudian digantikan oleh Antidumping Code 1994
yang dihasilkan dalam Putaran Uruguay 1986-1994 dengan nama Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, instrumen hukum ini ditandatangani
41
Sukarmi, op. cit., hlm. 30.
42
Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 35.
bersamaan dengan penandatanganan Agreement Establishing the World Trade Organization di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994. Dengan
demikian, Antidumping Code 1994 ini sudah merupakan suatu bagian integral dari Agreement Establishing the WTO, suatu institusi yang bertujuan antara lain
untuk memajukan perdagangan bebas dunia di antara anggotanya.
43
Setelah Antidumping Code 1994 disepakati, maka semua negara anggota diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan selambat-
lambatnya sebelum WTO secara resmi berdiri, yaitu tanggal 1 Januari 1995, untuk mengadakan ataupun menyesuaikan undang-undang, peraturan-peraturan maupun
prosedur administratif yang berkaitan dengan antidumping yang telah ada dimasing-masing negara anggotanya dengan ketentuan yang tercantum dalam
Antidumping Code 1994.
44
Indonesia sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdagangan Multilateral, telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade
Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564. Dengan
meratifikasi Agreement Establishing the WTO, Indonesia secara sekaligus telah meratifikasi pula Antidumping Code 1994.
45
Dan sebagai konsekuensinya, Indonesia kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Undang-Undang
43
Ibid., hlm. 44.
44
Ibid., hlm. 19-20 lihat juga Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994,
Article 18.4.
45
Ibid., hlm. 19.
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Nomor 3612 Tanggal 30
Desember 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1995 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93 Tanggal 15 November 2006. Ketentuan antidumping dalam Undang-Undang
tersebut diakomodasi di dalam Bab IV mengenai Bea Masuk Anti-Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan,
Pasal 18 dan 19.
46
Dari hal-hal di atas sudah begitu jelas perkembangan ketentuan antidumping dari sebelum GATT-WTO terbentuk sampai sekarang sehingga jelas
pula perlindungan hukum yang mampu melindungi produk-produk dalam negeri dari praktik dumping yang terjadi di negara-negara anggota GATT-WTO
khususnya di Indonesia. Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ini
yang kemudian menjadi dasar bagi pembuatan peraturan pelaksanaan tentang antidumping Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang
Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan yang kini telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping,
Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan dan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
46
Christhophorus Barutu, op. cit., hlm.130.
C. Pengertian dan Pengaturan Dumping serta Antidumping dalam